Perbedaan penetapan awal masuk bulan Dzulhijjah memberikan dampak pada ketentuan hukum terkait pelaksanaan puasa sunnah arafah, hari raya idul adha, dan hari qurban. Khususnya orang yang akan melakukan puasa arafah dan hari raya idul adha berdasarkan pada keraguan penentuan awal masuknya bulan Dzulhijjah yang berdasarkan pada kesaksian seseorang terhadap hilal Dzulhijjah namun ditolak oleh hakim dan seseorang yang yang menyaksikan hilal Dzulhijjah dan persaksiannya ditolak oleh hakim, apakah mereka boleh melaksanakan puasa arafah dan hari raya idul adha berdasarkan keraguan dan kesaksian yang tertolak ataukah mereka harus melakukan puasa arafah dan hari raya idul adha bersama dengan hakim dan kaum muslimin lainnya? Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengetahui ketentuan hukum terhadap permasalahan tersebut berdasarkan pada risalah Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitab Majmu’ Rasail tentang rukyat hilal Dzulhijjah. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis Studi Pustaka (libarary research) dengan menggunakan teknik prosedur pengumpulan data yaitu teknik pengkajian terhadap isi dari risalah Ibnu Rajab Al-Hambali tentaang rukyat hilal Dzulhijjah. Sedangkan teknis analisis data yang digunakan adalah analisis isi (content analysis) terhadap kitab Majmu’ Rasail. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan yang diuraikan dalam risalah Ibnu Rajab Al-Hanbali, ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan hukumnya. Sebagian ulama melarang untuk melakukan puasa dan hari raya idul adha dan sebagian yang lainnya membolehkan. Ulama yang membolehkan untuk melakukan puasa arafah dan hari raya idul adha seperti Ibnu Taimiyyah, memberikan syarat agar tidak melakukan sembelih qurban dikalangan kaum muslimin lainnya, akan tetapi melakukan penyembelihan qurban bersama dengan hakim dan kaum muslimin lainnya. The difference in determining the start of the month of Dzulhijjah has an impact on legal provisions related to the implementation of the sunnah fast of Arafah, the Eid al-Adha holiday and the day of sacrifice. In particular, people who are going to fast on Arafat and the Eid al-Adha holiday based on doubts about determining the beginning of the month of Dzulhijjah which is based on someone's testimony regarding the Dzulhijjah hilal but is rejected by the judge and someone who witnesses the Dzulhijjah hilal and whose testimony is rejected by the judge, are they allowed to fast? Arafah and Eid al-Adha holidays based on doubts and rejected testimony or should they observe the Arafat fast and Eid al-Adha holidays together with judges and other Muslims? Therefore, the aim of this research is to analyze and find out the legal provisions regarding this problem based on Ibn Rajab Al-Hanbali's treatise in the book Majmu' Rasail regarding the rukyat of the hilal of Dzulhijjah. This research is qualitative research with the type of library research using data collection procedures, namely the technique of studying the contents of Ibn Rajab Al-Hambali's treatise on the rukyat hilal of Dzulhijjah. Meanwhile, the technical data analysis used is content analysis of the book Majmu' Rasail. The results of the research show that regarding the problems described in Ibn Rajab Al-Hanbali's treatise, scholars differ in their opinions regarding the legal provisions. Some scholars prohibit fasting and Eid al-Adha holidays and others allow it. Scholars who allow the fasting of Arafah and Eid al-Adha, such as Ibn Taymiyyah, provide conditions not to carry out sacrificial slaughter among other Muslims, but rather carry out sacrificial slaughter together with judges and other Muslims.