Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

Aspek Tatwa, Susila, dan Upacara dalam Menanggap Wayang Kulit Bali di Desa Kukuh Tabanan Ida Bagus Eka Darma Putra; I Made Marajaya
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 1 No. 1 (2021): Agustus.
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam etnologi wayang banyak aspek yang mempengaruhi tradisi-tradisi dan kebudayaan khususnya di Bali. Aspek yang pertama yaitu aspek tatwa yang dimana tatwa itu sebagai landasan kepercayaan, logika, kaidah-kaidah, peraturan, ilmu, nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama. Aspek yang kedua ada susila yang mana susila tersebut adalah prilaku seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang sudah diajarkan turun temurun oleh leluhur. Yang terakir adanya upakara/upacara yang mana upakara tersebut sanggat penting dalam upacara yang digelar agama hindu di bali, saat menanggap wayang juga harus menggunakan upakara, saat pertunjukan juga harus menggunakan upakara, maka dari itu upakara itu sangatlah peting dalam upacara agama hindu. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, pergerakan-pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan. Permasalahan pokok dalam penelitian kualitatif adalah makna yang menjadi hakekat kualitatif yang ditentukan oleh suatu dimensi kedalaman dan kedalaman ini tidak tertangkap walaupun sampel diperluas sejauh mungkin untuk menyaring lebih banyak data. Hasilnya menunjukkan bahwa: pertama Wayang selalu dipentaskan pada saat upacara yadnya digelar, baik itu di pura maupun perumahan. Ketika wayang wayang lemah dipentaskan selalu berbarengan dengan pementasan topeng sidakarya sebagai pelengkap upacara, dan nantinya tirta (air suci) sebagai pemuputnya. Kedua susila erat kaitannya denga etika dan prilaku manusia, dalam etika disini akan membahas lebih banyak tentang prilaku orang yang menanggap dalang wayang kulit di Desa Kukuh. Ketiga acara akan mengarhkan kita tentang upacara yadnya yang di gelar dan upacara yadnya yang harus berisikan pementasan wayang sebagai pelengkap upacara, biasanya upacara yadnya di Bali semua menggunakan pertunjukan wayang sebagai pelengkap upacara. Dari paparan panca yadnya semua yadnya menggunakan wayang sebagai pelengkap upacara, seperti Dewa Yadnya, menggunakan wayang sebagai wali, tujuan menanggap wayang disini adalah “nunas tirta wayang” dimana tirta wayang dan topeng sidakarya biasanya dijadikan pemuput karya, selesai tirta dari sulinggih tirta wayang dan topeng sangatlah penting.
Garapan Inovatif “Prabu Kalianget” Nyoman Wirahadi Budiawan; I Made Marajaya
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 2 No. 1 (2022): April
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pewayangan di era globalisasi memerlukan suatu terobosan baru agar generasi muda tartarik untuk menyaksikan pertunjukan wayang. Untuk mengkemas pertunjukan wayang agar lebih menarik dan kreatif, ada keinginan penggarap untuk menggabungkan wayang tradisi dengan sebuah teknologi digital yaitu animasi. Dengan mengambil gambar wayang yang digunakan dalam pertunjukan, selanjutnya menciptakan gerak dengan menggunakan aplikasi animasi maka terciptalah wayang animasi. Garapan ini bertujuan agar anak-anak maupun di kalangan remaja lebih antusias di dalam menonton, mempelajari dan mencintai seni pewayangan sejak dini. Ide garapan ini muncul ketika penggarap menonton film wayang yang berjudul “Kita Wayang Kita”, tontonan ini sangat menarik karena disajikan dengan konsep yang matang dan memadukan teater, wayang dan animasi. Cerita atau lakon “Prabu Kalianget” dipilih karena merupakan cerita yang bertemakan kepahlawanan dan pengorbanan, cerita ini menarik untuk dituangkan atau direalisasikan ke dalam bentuk pertunjukan seni pewayangan, yaitu dengan menggunakan konsep wayang kulit animasi, yang dikemas sedemikian rupa khususnya dalam penataan adegan pada layar dan musik pengiring. Metode penciptaan yang digunakan meminjam dari teori Alma M. Hawkins yang dimulai dari tahapan ekploration, improvisasi, dan forming. Garapan wayang animasi ini sangat disukai oleh anak-anak, remaja, dan di kalangan orang dewasa. Pemilihan cerita sangat mempengaruhi sebuah pertunjukan, karena apabila cerita yang dibawakan tanpa konflik maka pertunjukan tidak akan menarik untuk ditonton. Secara harfiah “Prabu” berarti Raja dan “Kali” berarti Dewi Durga yang melambangkan kegelapan atau kehancuran, sedangkan “Anget” berarti keadaan gembira, senang, dan sukacita. Dengan demikian makna dari Prabu Kalianget adalah seorang raja yang iklas akan kehancuran demi kesejahtraan rakyatnya.
Teater Pakeliran Wayang Penyalonarangan “Pangristaning Mujung Sari” I Gede Dodi Artawan; I Made Marajaya; I Gusti Ngurah Gumana Putra
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 2 No. 2 (2022): Oktober
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dadong Janggel adalah seorang janda sakti yang hidup di Banjar Pujung Kelod, Sebatu, Tegallalang, Gianyar, Bali. Dadong Janggel terkenal sangat sakti karena mendapat anugerah dari Ida Betara Lingsir yang berstana di Pura Dalem Pujung Kelod. Kisah Dadong Janggel ini menginspirasi penggarap untuk mengangkat cerita ini ke dalam sebuah karya Teater Pakeliran Penyalonarangan yang berjudul Pangristaning Mujung Sari, karena peristiwa ini benar-benar terjadi di wilayah tempat tinggal penggarap. Inovasi yang penggarap lakukan pada karya Teater Pakeliran Penyalonarangan Pangristaning Mujung Sari ini adalah menggunakan kelir layar lebar dengan pencahayaan menggunakan proyektor untuk menampilkan scenery agar lebih dramatis. Selain itu penggarap menampilkan Wayang yang awalnya berbentuk payudara dapat berubah menjadi dua ekor naga, Wayang ini dibuat dengan bentuk seperti lampion agar bisa dilipat ke atas untuk menunjukkan bentuk payudara dan jika ditarik ke bawah dapat berubah menjadi 2 ekor naga. Dalam garapan ini, penggarap menggunakan gamelan Semara Pegulingan sebagai instrumen iringan. Menciptakan sebuah karya seni tentu memerlukan proses metode penciptaan yang panjang. Dalam penyelesaian garapan ini, penggarap melewati tiga tahapan yaitu eksplorasi, improvisasi, dan forming. Ketiga tahapan ini mempermudah penggarap dalam menyelesaikannya. Penggarap berharap dengan kisah Dadong Janggel yang dibalut dengan karya teater pakeliran Pangristaning Mujung Sari ini dapat berdampak baik, khususnya untuk masyarakat Banjar Pujung Kelod, Sebatu, Tegallalang Gianyar serta menginspirasi masyarakat umum.
Pakeliran Inovatif “Niwatakwaca Antaka” Ida Bagus Gede Jaya Dwija Putra; I Made Marajaya; I Gusti Ngurah Gumana Putra
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 3 No. 1 (2023): April
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Garapan Pakeliran Inovatif dengan judul Niwatakwaca Antaka merupakan sebuah kreasi seni pertunjukan yang menggabungkan unsur tradisional dan modern dari pertunjukan wayang Bali. Tujuan penciptaan garapan ini adalah untuk mengunggulkan wujud pementasan yang inovatif dan memberikan pengalaman yang berbeda bagi penonton. Metode penciptaan garapan ini dilakukan dengan memnafaatkan triadik pendiptaan seni yaitu a) exploration (explorasi); b) improvitation (improvisasi); c) forming (pembentukan) dengan mengambil dasar lakon/cerita Niwatakwaca Antaka yang mengisahkan tentang matinya Raksasa Niwatakwaca yang mengusik ketenangan di surga. Cerita ini juga memunculkan tokoh Arjuna sebagai pahlawan yang berhasil mengalahkan Niwatakwaca dengan memanahnya pada bagian mulut. Hingga pada akhirnya Arjuna berhasil memperoleh Dewi Supraba sebagai hasil kesuksesannya mengembalikan ketentraman di Surga. Dalam penciptaan garapan Niwatakwaca Antaka, pencipta menggunakan teknik penggabungan elemen tradisional seperti gamelan Bali, kostum tradisional, dan gerakan wayang dengan unsur modern seperti penggunaan teknologi canggih dalam tata lampu dan efek suara. Hasil penciptaan garapan ini adalah sebuah pertunjukan Pakeliran Inovatif dengan judul “Niwatakwaca Antaka” yang memberikan pengalaman yang unik bagi penonton. Dalam garapan ini, penonton dapat menyaksikan pertunjukan wayang Bali yang telah dikemas dengan sentuhan modern yang inovatif. Selain itu, cerita yang disampaikan yaitu gugurnya Niwatakawaca di tangan Arjuna hingga dipinangnya Dewi Supraba dapat dipetik sebagai pembelajaran bagi khalayak atau audiens penonton dari berbagai kalangan.
TETIKESAN PRACTICAL TRAINING OF WAYANG PARWA BEBADUNGAN STYLE PERFORMANCE IN SANGGAR MAJALANGU I Made Marajaya; Ni Komang Sekar Marhaeni; I Kt. Suteja
Lekesan: Interdisciplinary Journal of Asia Pacific Arts Vol. 7 No. 1 (2024)
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/lksn.v7i1.2805

Abstract

Abstract Wayang Parwa performances in the last three decades have become increasingly rare in society. This performance originates from the Mahabharata epic and is accompanied by the Gender Wayang gamelan, which is one of the oldest in Bali. Wayang Parwa is usually used as a basis for learning to become a puppeteer in formal and non-formal education. Wayang Parwa has many versions, and in Bali, there are four styles of Wayang Parwa: Bebadungan Style, Sukawati Style, Tunjung Style, and Buleleng (North Bali). One of the styles with the most favorite is the Bebadungan style, which is spread across six districts/cities in Bali, such as Tabanan, Negara, Klungkung, Bangli, Karangasem, and Denpasar City. With the emergence of various variants of innovative wayang performances, the popularity of Wayang Parwa has decreased. To maintain the existence of the Wayang Parwa Bebadungan Style performance in this millennial era, conservative efforts needed to be made, namely through training. Considering the Wayang Parwa Bebadungan style performances by today's young puppeteers, many need to be stronger in Tetikesan (puppet movements). For this reason, the training material provided to members of Sanggar Majalangu, Kerobokan Village, North Kuta District, Badung Regency, led by I Made Agus Adi Santika, is Tetikesan. This training could answer the public's opinion that the weakness of the Wayang Parwa Bebadungan style performance refers to Tetikesan. The training was focused on one of the studio members using instructional, structured, gradual, and innovative learning methods by utilizing YouTube media, which releases audio recordings of Wayang Buduk performances by puppeteer Ida Bagus Arnawa (deceased) and his son, puppeteer Ida Bagus Puja (deceased) as standardization of the Bebadungan style. Keywords: Training, Tetikesan, Wayang Parwa Bebadungan Style
The Aesthetic Value of the Accompaniment Music of the Dance Drama 'The Blessing of Siva-Visvapujita' | Nilai Estetika Musik Iringan Drama Tari “The Blessing of Siva-Visvapujita” Dewi Yulianti Ni Ketut; I Ketut Sariada; I Made Marajaya
GHURNITA: Jurnal Seni Karawitan Vol 4 No 3 (2024)
Publisher : Pusat Penerbitan LPPMPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jurnalsenikarawitan.v4i3.3724

Abstract

Music is an art form consisting of sounds arranged in certain patterns to produce compositions containing harmony, melody, and rhythm. Accompaniment music accompanies an activity or event, such as art performances, dances, dance dramas, films, ceremonial events, or daily activities. This paper aims to find aesthetic values in the musical accompaniment influences the dance drama The Blessing of Siva-Visvapujita and find out how the musical accompaniment influences the interpretation and delivery of the story in the dance drama The Blessing of Siva-Visvapujita. This research applies a qualitative descriptive method, which consists of three stages, namely (1) Data collection, (2) Data analysis, and (3) Presentation of analysis results. This research shows that the musical accompaniment to the dance drama The Blessing of Siva-Visvapujita contains aesthetic values with unique melodic beauty and harmony, as well as rhythm and dynamics that suit the storyline and character traits. Synchronization with the dance choreography creates a harmonious experience while expressing emotion and atmosphere through music enriches the aesthetic dimension. The use of MIDI technology brings innovation to the listening experience. Music also plays an important role in creating atmosphere, highlighting emotions and conflict, and strengthening the narrative in the performance as a whole. 
PELATIHAN WAYANG PARWA GAYA BEBADUNGAN DI SANGGAR MAJALANGU, KELURAHAN KEROBOKAN, KECAMATAN KUTA UTARA, KABUPATEN BADUNG Marajaya, I Made; Marheni, Ni Komang Sekar; Suteja, I Kt.
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 3 (2023): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dewasa ini pertunjukan wayang kulit khususnya Wayang Parwa semakin jarang ditemukan dalam masyarakat. Pertunjukan Wayang Parwa dengan sumber lakon Epos Mahabharata dan diiringi dengan gamelan Gender Wayang termasuk golongan paling tertua dari jenis pertunjukan wayang lainnya. Wayang Parwa biasanya dipakai sebagai dasar untuk belajar praktek pakeliran baik melalui pendidikan formal maupun non formal seperti halnya di sanggar-sanggar maupun di masyarakat. Wayang Parwa memiliki banyak versi yang disebut dengan gaya/styl. Di Bali ditemukan empat gaya Wayang Kulit Parwa yaitu; Gaya Bebadungan, Gaya Sukawati, Gaya Tunjuk, dan Gaya Bali Utara (Buleleng). Meredupnya popularitas Wayang Kulit Parwa juga disebabkan oleh munculnya berbagai varian wayang kulit inovatif seperti; Wayang Cenk Blonk, Wayang Joblar, Wayang D’Karbit, Wayang Genjek, Wayang Kang Cing Wi, dan lain-lain yang memiliki ciri khas tersendiri. Untuk menjaga kelestarian pertunjukan Wayang Parwa Gaya Bebadungan khususnya di Kabupaten Badung perlu dilakukan upaya-upaya konservatif yang salah satunya adalah melalui pelatihan. Kegiatan pelatihan dilakukan bekerjasama dengan Sanggar Majalangu, Kelurahan Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung yang dipimpin oleh I Made Agus Adi Santika. Kegiatan ini didanai oleh dana DIPA ISI Denpasar tahun 2023 melalui LP2MPP. Pelatihan diberikan kepada salah satu dari anggota Sanggar Majalangu dengan menggunakan metode pembelajaran teori praktek pakeliran. Proses pelatihan dilakukan secara bertahap mulai dari adegan pamungkah, igel Kayonan, panyahcah parwa, bebaturan, sendu samita, panggalang ratu, pangalang penasar (Tualen), angkat-angkatan, pepeson, dan pangkat siat.
Teater Pakeliran Wayang Penyalonarangan “Pangristaning Mujung Sari” Artawan , I Gede Dodi; Marajaya, I Made; Putra, I Gusti Ngurah Gumana
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 2 No. 2 (2022): Oktober
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v2i2.1863

Abstract

Dadong Janggel adalah seorang janda sakti yang hidup di Banjar Pujung Kelod, Sebatu, Tegallalang, Gianyar, Bali. Dadong Janggel terkenal sangat sakti karena mendapat anugerah dari Ida Betara Lingsir yang berstana di Pura Dalem Pujung Kelod. Kisah Dadong Janggel ini menginspirasi penggarap untuk mengangkat cerita ini ke dalam sebuah karya Teater Pakeliran Penyalonarangan yang berjudul Pangristaning Mujung Sari, karena peristiwa ini benar-benar terjadi di wilayah tempat tinggal penggarap. Inovasi yang penggarap lakukan pada karya Teater Pakeliran Penyalonarangan Pangristaning Mujung Sari ini adalah menggunakan kelir layar lebar dengan pencahayaan menggunakan proyektor untuk menampilkan scenery agar lebih dramatis. Selain itu penggarap menampilkan Wayang yang awalnya berbentuk payudara dapat berubah menjadi dua ekor naga, Wayang ini dibuat dengan bentuk seperti lampion agar bisa dilipat ke atas untuk menunjukkan bentuk payudara dan jika ditarik ke bawah dapat berubah menjadi 2 ekor naga. Dalam garapan ini, penggarap menggunakan gamelan Semara Pegulingan sebagai instrumen iringan. Menciptakan sebuah karya seni tentu memerlukan proses metode penciptaan yang panjang. Dalam penyelesaian garapan ini, penggarap melewati tiga tahapan yaitu eksplorasi, improvisasi, dan forming. Ketiga tahapan ini mempermudah penggarap dalam menyelesaikannya. Penggarap berharap dengan kisah Dadong Janggel yang dibalut dengan karya teater pakeliran Pangristaning Mujung Sari ini dapat berdampak baik, khususnya untuk masyarakat Banjar Pujung Kelod, Sebatu, Tegallalang Gianyar serta menginspirasi masyarakat umum.
Penciptaan Teater Wayang Cili “Kalulut Asih” Jaya, Ngurah Made Asmara; Marajaya, I Made; Widnyana, I Kadek
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 1 (2024): April
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i1.3718

Abstract

Zaman modernisasi seperti saat ini sangat membawakan perkembangan yang sangat luas. Terlebih dalam kesenian wayang. Perkembangan zamanlah yang sekaligus mengembangkan kesenian wayang menjadi kesenian yang inovatif. Dengan adanya hal tersebut penata menciptakan sebuah karya baru dalam seni pewayangan yang terinspirasi pada salah satu tradisi adat Bali yaitu Cili yang memiliki makna sebagai Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Cili tersebut ditrasnformasikan ke dalam bentuk wayang yang kemudian dikemas dalam bentuk seni teater sehingga terciptalah Teater Wayang Cili “Kalulut Asih”. Proses penciptaan Teater Wayang Cili “Kalulut Asih” menggunakan metode sumber Sanggit atau Kawi Dalang yang dikemukakan oleh I Nyoman Sedana dengan tahapan sebagai berikut: a. Pandulame yaitu imajinasi, penata terimajinasi atau terinspirasi dari bentuk cili yang hanya dijadikan sarana upacara, dari hal tersebut muncullah ide penata agar wayang tersebut dapat digerakkan seperti menggerakkan wayang golek. B. adicita/Adirasa yaitu ide konsep wayang cili dikembangkan ke dalam bentuk cerita yang dapat diterima oleh masyarakat khususnya pada kalangan remaja. c. sranasasmaya yaitu properti yang digunakan sebagai pelengkap keberlangsungan pementasan, d. Gunatama atau art skill yaitu ketrampilan pendukung menuangkan improvisasi saat teater ditampilkan.
Penciptaan Karya Pertunjukan “Teater Pakeliran Kalakama” Manuaba, Ida Bagus Dwilingga Darpita; Marajaya, I Made; I Ketut, Sudiana
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 2 (2024): Agustus
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i2.4388

Abstract

Pergaulan bebas marak terjadi pada jaman seperti sekarang ini. Pelaku utama dari pergaulan bebas ini adalah kebanyakan anak-anak yang masih belia atau remaja. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya ilmu orang tua dan guru dalam memberikan edukasi tentang pergaulan bebas khususnya Pendidikan Seks. Anak-anak remaja yang seharusnya menjadi penerus bangsa terpaksa harus kehilangan masa depannya akibat dari pergaulan bebas. Mereka tidak mengetahui akan bahayanya jika melakukan pergaulan bebas. Judul dari karya ini adalah Teater Pakeliran Kalakama yang menggunakan metode Catur Datu kawya. Kalakama berasal dari kata Kala yang artinya ruang dan waktu yang menyeramkan, sedangkan Kama artinya hawa nafsu yang berasal dari Sad Ripu dan harus bisa kita kendalikan. Salah satu contoh akibat dari pergaulan bebas yaitu terjadinya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seorang siswi karena hamil dan tidak mendapatkan pertanggungjawaban dari laki-laki yang menghamilinya. Saat ini negara kita sangat membutuhkan Pendidikan Seks yang lebih baik demi menyelamatkan generasi penerus bangsa.