Claim Missing Document
Check
Articles

Found 32 Documents
Search

PELATIHAN WAYANG PARWA GAYA BEBADUNGAN DI SANGGAR MAJALANGU, KELURAHAN KEROBOKAN, KECAMATAN KUTA UTARA, KABUPATEN BADUNG Marajaya, I Made; Marheni, Ni Komang Sekar; Suteja, I Kt.
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 3 (2023): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dewasa ini pertunjukan wayang kulit khususnya Wayang Parwa semakin jarang ditemukan dalam masyarakat. Pertunjukan Wayang Parwa dengan sumber lakon Epos Mahabharata dan diiringi dengan gamelan Gender Wayang termasuk golongan paling tertua dari jenis pertunjukan wayang lainnya. Wayang Parwa biasanya dipakai sebagai dasar untuk belajar praktek pakeliran baik melalui pendidikan formal maupun non formal seperti halnya di sanggar-sanggar maupun di masyarakat. Wayang Parwa memiliki banyak versi yang disebut dengan gaya/styl. Di Bali ditemukan empat gaya Wayang Kulit Parwa yaitu; Gaya Bebadungan, Gaya Sukawati, Gaya Tunjuk, dan Gaya Bali Utara (Buleleng). Meredupnya popularitas Wayang Kulit Parwa juga disebabkan oleh munculnya berbagai varian wayang kulit inovatif seperti; Wayang Cenk Blonk, Wayang Joblar, Wayang D’Karbit, Wayang Genjek, Wayang Kang Cing Wi, dan lain-lain yang memiliki ciri khas tersendiri. Untuk menjaga kelestarian pertunjukan Wayang Parwa Gaya Bebadungan khususnya di Kabupaten Badung perlu dilakukan upaya-upaya konservatif yang salah satunya adalah melalui pelatihan. Kegiatan pelatihan dilakukan bekerjasama dengan Sanggar Majalangu, Kelurahan Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung yang dipimpin oleh I Made Agus Adi Santika. Kegiatan ini didanai oleh dana DIPA ISI Denpasar tahun 2023 melalui LP2MPP. Pelatihan diberikan kepada salah satu dari anggota Sanggar Majalangu dengan menggunakan metode pembelajaran teori praktek pakeliran. Proses pelatihan dilakukan secara bertahap mulai dari adegan pamungkah, igel Kayonan, panyahcah parwa, bebaturan, sendu samita, panggalang ratu, pangalang penasar (Tualen), angkat-angkatan, pepeson, dan pangkat siat.
Teater Pakeliran Wayang Penyalonarangan “Pangristaning Mujung Sari” Artawan , I Gede Dodi; Marajaya, I Made; Putra, I Gusti Ngurah Gumana
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 2 No. 2 (2022): Oktober
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v2i2.1863

Abstract

Dadong Janggel adalah seorang janda sakti yang hidup di Banjar Pujung Kelod, Sebatu, Tegallalang, Gianyar, Bali. Dadong Janggel terkenal sangat sakti karena mendapat anugerah dari Ida Betara Lingsir yang berstana di Pura Dalem Pujung Kelod. Kisah Dadong Janggel ini menginspirasi penggarap untuk mengangkat cerita ini ke dalam sebuah karya Teater Pakeliran Penyalonarangan yang berjudul Pangristaning Mujung Sari, karena peristiwa ini benar-benar terjadi di wilayah tempat tinggal penggarap. Inovasi yang penggarap lakukan pada karya Teater Pakeliran Penyalonarangan Pangristaning Mujung Sari ini adalah menggunakan kelir layar lebar dengan pencahayaan menggunakan proyektor untuk menampilkan scenery agar lebih dramatis. Selain itu penggarap menampilkan Wayang yang awalnya berbentuk payudara dapat berubah menjadi dua ekor naga, Wayang ini dibuat dengan bentuk seperti lampion agar bisa dilipat ke atas untuk menunjukkan bentuk payudara dan jika ditarik ke bawah dapat berubah menjadi 2 ekor naga. Dalam garapan ini, penggarap menggunakan gamelan Semara Pegulingan sebagai instrumen iringan. Menciptakan sebuah karya seni tentu memerlukan proses metode penciptaan yang panjang. Dalam penyelesaian garapan ini, penggarap melewati tiga tahapan yaitu eksplorasi, improvisasi, dan forming. Ketiga tahapan ini mempermudah penggarap dalam menyelesaikannya. Penggarap berharap dengan kisah Dadong Janggel yang dibalut dengan karya teater pakeliran Pangristaning Mujung Sari ini dapat berdampak baik, khususnya untuk masyarakat Banjar Pujung Kelod, Sebatu, Tegallalang Gianyar serta menginspirasi masyarakat umum.
Penciptaan Teater Wayang Cili “Kalulut Asih” Jaya, Ngurah Made Asmara; Marajaya, I Made; Widnyana, I Kadek
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 1 (2024): April
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i1.3718

Abstract

Zaman modernisasi seperti saat ini sangat membawakan perkembangan yang sangat luas. Terlebih dalam kesenian wayang. Perkembangan zamanlah yang sekaligus mengembangkan kesenian wayang menjadi kesenian yang inovatif. Dengan adanya hal tersebut penata menciptakan sebuah karya baru dalam seni pewayangan yang terinspirasi pada salah satu tradisi adat Bali yaitu Cili yang memiliki makna sebagai Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Cili tersebut ditrasnformasikan ke dalam bentuk wayang yang kemudian dikemas dalam bentuk seni teater sehingga terciptalah Teater Wayang Cili “Kalulut Asih”. Proses penciptaan Teater Wayang Cili “Kalulut Asih” menggunakan metode sumber Sanggit atau Kawi Dalang yang dikemukakan oleh I Nyoman Sedana dengan tahapan sebagai berikut: a. Pandulame yaitu imajinasi, penata terimajinasi atau terinspirasi dari bentuk cili yang hanya dijadikan sarana upacara, dari hal tersebut muncullah ide penata agar wayang tersebut dapat digerakkan seperti menggerakkan wayang golek. B. adicita/Adirasa yaitu ide konsep wayang cili dikembangkan ke dalam bentuk cerita yang dapat diterima oleh masyarakat khususnya pada kalangan remaja. c. sranasasmaya yaitu properti yang digunakan sebagai pelengkap keberlangsungan pementasan, d. Gunatama atau art skill yaitu ketrampilan pendukung menuangkan improvisasi saat teater ditampilkan.
Penciptaan Karya Pertunjukan “Teater Pakeliran Kalakama” Manuaba, Ida Bagus Dwilingga Darpita; Marajaya, I Made; I Ketut, Sudiana
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol. 4 No. 2 (2024): Agustus
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i2.4388

Abstract

Pergaulan bebas marak terjadi pada jaman seperti sekarang ini. Pelaku utama dari pergaulan bebas ini adalah kebanyakan anak-anak yang masih belia atau remaja. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya ilmu orang tua dan guru dalam memberikan edukasi tentang pergaulan bebas khususnya Pendidikan Seks. Anak-anak remaja yang seharusnya menjadi penerus bangsa terpaksa harus kehilangan masa depannya akibat dari pergaulan bebas. Mereka tidak mengetahui akan bahayanya jika melakukan pergaulan bebas. Judul dari karya ini adalah Teater Pakeliran Kalakama yang menggunakan metode Catur Datu kawya. Kalakama berasal dari kata Kala yang artinya ruang dan waktu yang menyeramkan, sedangkan Kama artinya hawa nafsu yang berasal dari Sad Ripu dan harus bisa kita kendalikan. Salah satu contoh akibat dari pergaulan bebas yaitu terjadinya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seorang siswi karena hamil dan tidak mendapatkan pertanggungjawaban dari laki-laki yang menghamilinya. Saat ini negara kita sangat membutuhkan Pendidikan Seks yang lebih baik demi menyelamatkan generasi penerus bangsa.
WAYANG CINEMA LAKON KAPI BALI LINA SEBUAH MODEL PENGEMBANGAN WAYANG KULIT BALI Marajaya, I Made; Peradantha, Ida Bagus Gede Surya
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 4 (2024): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji estetika Wayang Cinema berjudul Kapi Bali Lina yang diproduksi oleh SMK 3 Sukawati Gianyar. Wayang Cinema yang memadukan dua elemen estetik dari wayang kulit dan seni perfileman ini, telah ikut meramaikan kesenian wayang di media sosial melalui Channel Youtube. Wayang Cinema yang mengangkat cerita Kapi Bali Lina ini memakai medium wayang kulit dan “aktor” manusia. Permasalahan yang diangkat dalam artikel ini adalah; (1) bagaimana estetika Wayang Cinema lakon Kapi Bali Lina?; (2) apa pesan moral yang terkandung di dalam lakon Kapi Bali Lina?. Permasalahan di atas dikaji menggunakan metode kualitatif. Data yang diperoleh di lapangan dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, dan literatur. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif interpretatif, dan didukung dengan teori kreativitas dan estetika postmodern. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pembaruan dalam pertunjukan wayang kulit Bali, menggunakan peran wayang dan manusia, serta dikemas dengan teknik perfileman. Garapan Wayang Cinema dengan lakon Kapi Bali Lina ini memberi pesan moral, yaitu satya wacana dan kesalahpahaman. Terbunuhnya Subali oleh Sang Rama karena petunjuk para dewata, bahwa yang dibunuh oleh Sang Rama adalah sifat orang yang tidak pernah menempati janjinya.
PENCIPTAAN KARYA TEATER BAYANG RAGA NUSANTARA DOOMED ROMANCE Gunawan, Gede Putra Arya Bagus; Marajaya, I Made; Sudarta, I Gusti Putu
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 5 No 1 (2025): Mei
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v5i1.4825

Abstract

The performance Shadow Theater: Raga Nusantara adapts traditional Balinese wayang techniques, blending them into a modern theater performance that tells the love story of Sri Tanjung and Sidapaksa, a tale believed by the Banyuwangi community. The Raga Nusantara shadow theater applies methods from Eko Supriyanto’s book “Ikat Kait Impulsif Sarira”—namely Re-Visiting, Re-Questioning, and Re-Interpreting. This work, titled Doomed Romance, translates to a shattered romance or broken love. The shadow theater piece, Doomed Romance, originates from the social phenomena prevalent among the younger generation, particularly concerning the dynamics of romantic relationships. This phenomenon reflects various aspects of young people's lives as they undergo the process of searching for identity, self-existence, and the meaning of love in an ever-changing social context. Romantic relationships often become an important part of their lives, involving not only emotions but also complex social interactions. This work narrates the love journey of Sri Tanjung and Sidapaksa, filled with obstacles and temptations, which form the dynamics of their romantic story. The story carries many moral messages and meanings, particularly in the realms of romance and trust. This tale is considered relevant to the phenomena experienced by the younger generation undergoing the dynamics of social or romantic relationships, which is why the artist chose this story for the Raga Nusantara shadow theater.
MAKNA PERTUNJUKAN WAYANG WONG RAMAYANA LAKON MAYA SANDI DI BANJAR PESALAKAN GIANYAR Ni Komang Sekar , Marhaeni; Marajaya, I Made
Segara Widya : Jurnal Penelitian Seni Vol. 13 No. 2 (2025)
Publisher : Institut Seni Indonesia Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/sw.v13i2.3421

Abstract

Penelitian ini bertujuan mengkaji makna pertunjukan Wayang Wong Lakon Maya Sandi di Banjar Pesalakan Kabupaten Gianyar Bali. Wayang Wong yang lakonnya bersumber dari cerita pewayangan ini termasuk kesenian langka dan hanya terdapat di beberapa daerah di Bali. Wayang Wong Ramayana ini dipentaskan pada tanggal, 19 September 2024 saat upacara pujawali atau odalan di Pura Dalem Prajurit. Kehadiran Wayang Wong dalam upacara ini mengandung makna yang diyakini dapat membawa berkah dan keselamatan bagi para pendukungnya. Permasalahannya adalah: (1) Bagaimana bentuk estetika pertunjukan Wayang Wong Lakon Maya Sandi di Banjar Pesalakan Kabupaten Gianyar?; (2) Makna apa yang terkandung dalam pertunjukan Wayang Wong Lakon Maya Sandi di Banjar Pesalakan Kabupaten Gianyar?. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data kualitatif dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan studi literature. Data yang telah terkumpul diolah secara deskriptif kualitatif didukung oleh teori estetika dan teori semiotika. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa bentuk estetika pertunjukan Wayang Wong lakon Maya Sandi di Banjar Pesalakan di Kabupaten Gianyar dapat dilihat pada; lakon, penokohan, retorika, gerak, antawacana, dan dialog antar tokoh. Makna pertunjukan Wayang Wong Ramayana lakon Maya Sandi antara lain; makna religius, makna estetika, makna hiburan, makna pelestarian, dan makna sosial.
Embodying the Living Corpse: Intermedial Adaptation in Balinese "Calonarang" Shadow Theatre Marajaya, I Made; Sasrani Widyastuti, Ida Ayu Gede
Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies) Vol. 15 No. 2 (2025): Symbolism in Balinese Rituals
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JKB.2025.v15.i02.p14

Abstract

As Balinese Calonarang shadow theatre responds to shifting audience expectations and media influences, intermediality has emerged as a strategic mode of adaptation. This article examines a notable example: the emergence of the watangan matah or ‘living corpse,’ a figure performed by a live actor within the traditionally two-dimensional shadow space. This adaptation bridges symbolic shadow play with embodied presence, negotiating ritual integrity with theatrical spectacle. Using a mixed-method embedded design, the study combines descriptive quantitative data with ethnographic interpretation through observation, video analysis, interviews, and an audience survey. Findings show that the inclusion of watangan matah intensifies visual and emotional impact but generates divided responses between younger, media-oriented audiences and ritual purists. More significantly, staging a live corpse figure introduces power contestation, as puppeteers symbolically challenge mystical forces to assert spiritual authority. Watangan matah thus exemplifies how Calonarang theatre navigates preservation and transformation while maintaining its sacred resonance.  
Penciptaan Karya Mannequin Puppet "Asmara Samara" Asmara Nata, I Wayan Candra; Marajaya, I Made; Sekar Marhaeni, Ni Komang; Darma Putra, I Gusti Made
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 5 No 2 (2025): Oktober
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v5i2.4986

Abstract

The creation of the Mannequin Puppet performance entitled Asmara Samara is driven by the need for innovation in Balinese puppetry to bridge traditional values with contemporary artistic expression. This work presents a tragic romance between Prince Semara Yana of the Nila Kingdom and Princess Asmara Gantari of the Seta Kingdom, whose love is challenged by an enduring conflict between their parents. The purpose of this artistic project is to introduce a new format of puppetry that is communicative, philosophically grounded, and appealing to younger generations. The creative process employed the Dalang Anumana method formulated by I Gusti Made Darma Putra, consisting of five stages: Ngawit (starting), Ngepah (conception), Ngastawa (spirituality), Ngripta (making), and Ngebah (performing). Through visual exploration, media experimentation, and integration of theater, dance, and video mapping, the performance successfully embodies Balinese aesthetics within a naturalistic and symbolic style. The result demonstrates how Balinese philosophical concepts such as swasraya, karmaphala, and tri hita karana can be recontextualized through innovative performance media. In conclusion, Asmara Samara not only represents an artistic innovation but also serves as a medium for the preservation and transformation of Balinese puppetry in the global cultural landscape.
Embodying the Living Corpse: Intermedial Adaptation in Balinese "Calonarang" Shadow Theatre Marajaya, I Made; Sasrani Widyastuti, Ida Ayu Gede
Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies) Vol. 15 No. 2 (2025): Symbolism in Balinese Rituals
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JKB.2025.v15.i02.p14

Abstract

As Balinese Calonarang shadow theatre responds to shifting audience expectations and media influences, intermediality has emerged as a strategic mode of adaptation. This article examines a notable example: the emergence of the watangan matah or ‘living corpse,’ a figure performed by a live actor within the traditionally two-dimensional shadow space. This adaptation bridges symbolic shadow play with embodied presence, negotiating ritual integrity with theatrical spectacle. Using a mixed-method embedded design, the study combines descriptive quantitative data with ethnographic interpretation through observation, video analysis, interviews, and an audience survey. Findings show that the inclusion of watangan matah intensifies visual and emotional impact but generates divided responses between younger, media-oriented audiences and ritual purists. More significantly, staging a live corpse figure introduces power contestation, as puppeteers symbolically challenge mystical forces to assert spiritual authority. Watangan matah thus exemplifies how Calonarang theatre navigates preservation and transformation while maintaining its sacred resonance.