Claim Missing Document
Check
Articles

Found 32 Documents
Search

Aspek Tatwa, Susila, dan Upacara dalam Menanggap Wayang Kulit Bali di Desa Kukuh Tabanan Putra, Ida Bagus Eka Darma; Marajaya, I Made
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 1 No 1 (2021): Agustus.
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v1i1.692

Abstract

Dalam etnologi wayang banyak aspek yang mempengaruhi tradisi-tradisi dan kebudayaan khususnya di Bali. Aspek yang pertama yaitu aspek tatwa yang dimana tatwa itu sebagai landasan kepercayaan, logika, kaidah-kaidah, peraturan, ilmu, nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama. Aspek yang kedua ada susila yang mana susila tersebut adalah prilaku seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang sudah diajarkan turun temurun oleh leluhur. Yang terakir adanya upakara/upacara yang mana upakara tersebut sanggat penting dalam upacara yang digelar agama hindu di bali, saat menanggap wayang juga harus menggunakan upakara, saat pertunjukan juga harus menggunakan upakara, maka dari itu upakara itu sangatlah peting dalam upacara agama hindu. Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan masyarakat, sejarah tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, pergerakan-pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan. Permasalahan pokok dalam penelitian kualitatif adalah makna yang menjadi hakekat kualitatif yang ditentukan oleh suatu dimensi kedalaman dan kedalaman ini tidak tertangkap walaupun sampel diperluas sejauh mungkin untuk menyaring lebih banyak data. Hasilnya menunjukkan bahwa: pertama Wayang selalu dipentaskan pada saat upacara yadnya digelar, baik itu di pura maupun perumahan. Ketika wayang wayang lemah dipentaskan selalu berbarengan dengan pementasan topeng sidakarya sebagai pelengkap upacara, dan nantinya tirta (air suci) sebagai pemuputnya. Kedua susila erat kaitannya denga etika dan prilaku manusia, dalam etika disini akan membahas lebih banyak tentang prilaku orang yang menanggap dalang wayang kulit di Desa Kukuh. Ketiga acara akan mengarhkan kita tentang upacara yadnya yang di gelar dan upacara yadnya yang harus berisikan pementasan wayang sebagai pelengkap upacara, biasanya upacara yadnya di Bali semua menggunakan pertunjukan wayang sebagai pelengkap upacara. Dari paparan panca yadnya semua yadnya menggunakan wayang sebagai pelengkap upacara, seperti Dewa Yadnya, menggunakan wayang sebagai wali, tujuan menanggap wayang disini adalah “nunas tirta wayang” dimana tirta wayang dan topeng sidakarya biasanya dijadikan pemuput karya, selesai tirta dari sulinggih tirta wayang dan topeng sangatlah penting.
Garapan Inovatif “Prabu Kalianget” Budiawan, Nyoman Wirahadi; Marajaya, I Made
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 2 No 1 (2022): April
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v2i1.1526

Abstract

Pewayangan di era globalisasi memerlukan suatu terobosan baru agar generasi muda tartarik untuk menyaksikan pertunjukan wayang. Untuk mengkemas pertunjukan wayang agar lebih menarik dan kreatif, ada keinginan penggarap untuk menggabungkan wayang tradisi dengan sebuah teknologi digital yaitu animasi. Dengan mengambil gambar wayang yang digunakan dalam pertunjukan, selanjutnya menciptakan gerak dengan menggunakan aplikasi animasi maka terciptalah wayang animasi. Garapan ini bertujuan agar anak-anak maupun di kalangan remaja lebih antusias di dalam menonton, mempelajari dan mencintai seni pewayangan sejak dini. Ide garapan ini muncul ketika penggarap menonton film wayang yang berjudul “Kita Wayang Kita”, tontonan ini sangat menarik karena disajikan dengan konsep yang matang dan memadukan teater, wayang dan animasi. Cerita atau lakon “Prabu Kalianget” dipilih karena merupakan cerita yang bertemakan kepahlawanan dan pengorbanan, cerita ini menarik untuk dituangkan atau direalisasikan ke dalam bentuk pertunjukan seni pewayangan, yaitu dengan menggunakan konsep wayang kulit animasi, yang dikemas sedemikian rupa khususnya dalam penataan adegan pada layar dan musik pengiring. Metode penciptaan yang digunakan meminjam dari teori Alma M. Hawkins yang dimulai dari tahapan ekploration, improvisasi, dan forming. Garapan wayang animasi ini sangat disukai oleh anak-anak, remaja, dan di kalangan orang dewasa. Pemilihan cerita sangat mempengaruhi sebuah pertunjukan, karena apabila cerita yang dibawakan tanpa konflik maka pertunjukan tidak akan menarik untuk ditonton. Secara harfiah “Prabu” berarti Raja dan “Kali” berarti Dewi Durga yang melambangkan kegelapan atau kehancuran, sedangkan “Anget” berarti keadaan gembira, senang, dan sukacita. Dengan demikian makna dari Prabu Kalianget adalah seorang raja yang iklas akan kehancuran demi kesejahtraan rakyatnya.
Teater Pakeliran Wayang Penyalonarangan “Pangristaning Mujung Sari” Artawan , I Gede Dodi; Marajaya, I Made; Putra, I Gusti Ngurah Gumana
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 2 No 2 (2022): Oktober
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v2i2.1863

Abstract

Dadong Janggel adalah seorang janda sakti yang hidup di Banjar Pujung Kelod, Sebatu, Tegallalang, Gianyar, Bali. Dadong Janggel terkenal sangat sakti karena mendapat anugerah dari Ida Betara Lingsir yang berstana di Pura Dalem Pujung Kelod. Kisah Dadong Janggel ini menginspirasi penggarap untuk mengangkat cerita ini ke dalam sebuah karya Teater Pakeliran Penyalonarangan yang berjudul Pangristaning Mujung Sari, karena peristiwa ini benar-benar terjadi di wilayah tempat tinggal penggarap. Inovasi yang penggarap lakukan pada karya Teater Pakeliran Penyalonarangan Pangristaning Mujung Sari ini adalah menggunakan kelir layar lebar dengan pencahayaan menggunakan proyektor untuk menampilkan scenery agar lebih dramatis. Selain itu penggarap menampilkan Wayang yang awalnya berbentuk payudara dapat berubah menjadi dua ekor naga, Wayang ini dibuat dengan bentuk seperti lampion agar bisa dilipat ke atas untuk menunjukkan bentuk payudara dan jika ditarik ke bawah dapat berubah menjadi 2 ekor naga. Dalam garapan ini, penggarap menggunakan gamelan Semara Pegulingan sebagai instrumen iringan. Menciptakan sebuah karya seni tentu memerlukan proses metode penciptaan yang panjang. Dalam penyelesaian garapan ini, penggarap melewati tiga tahapan yaitu eksplorasi, improvisasi, dan forming. Ketiga tahapan ini mempermudah penggarap dalam menyelesaikannya. Penggarap berharap dengan kisah Dadong Janggel yang dibalut dengan karya teater pakeliran Pangristaning Mujung Sari ini dapat berdampak baik, khususnya untuk masyarakat Banjar Pujung Kelod, Sebatu, Tegallalang Gianyar serta menginspirasi masyarakat umum.
Pakeliran Inovatif “Niwatakwaca Antaka” Putra, Ida Bagus Gede Jaya Dwija; Marajaya, I Made; Putra, I Gusti Ngurah Gumana
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 3 No 1 (2023): April
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v3i1.2290

Abstract

Garapan Pakeliran Inovatif dengan judul Niwatakwaca Antaka merupakan sebuah kreasi seni pertunjukan yang menggabungkan unsur tradisional dan modern dari pertunjukan wayang Bali. Tujuan penciptaan garapan ini adalah untuk mengunggulkan wujud pementasan yang inovatif dan memberikan pengalaman yang berbeda bagi penonton. Metode penciptaan garapan ini dilakukan dengan memnafaatkan triadik pendiptaan seni yaitu a) exploration (explorasi); b) improvitation (improvisasi); c) forming (pembentukan) dengan mengambil dasar lakon/cerita Niwatakwaca Antaka yang mengisahkan tentang matinya Raksasa Niwatakwaca yang mengusik ketenangan di surga. Cerita ini juga memunculkan tokoh Arjuna sebagai pahlawan yang berhasil mengalahkan Niwatakwaca dengan memanahnya pada bagian mulut. Hingga pada akhirnya Arjuna berhasil memperoleh Dewi Supraba sebagai hasil kesuksesannya mengembalikan ketentraman di Surga. Dalam penciptaan garapan Niwatakwaca Antaka, pencipta menggunakan teknik penggabungan elemen tradisional seperti gamelan Bali, kostum tradisional, dan gerakan wayang dengan unsur modern seperti penggunaan teknologi canggih dalam tata lampu dan efek suara. Hasil penciptaan garapan ini adalah sebuah pertunjukan Pakeliran Inovatif dengan judul “Niwatakwaca Antaka” yang memberikan pengalaman yang unik bagi penonton. Dalam garapan ini, penonton dapat menyaksikan pertunjukan wayang Bali yang telah dikemas dengan sentuhan modern yang inovatif. Selain itu, cerita yang disampaikan yaitu gugurnya Niwatakawaca di tangan Arjuna hingga dipinangnya Dewi Supraba dapat dipetik sebagai pembelajaran bagi khalayak atau audiens penonton dari berbagai kalangan.
Penciptaan Teater Wayang Cili “Kalulut Asih” Jaya, Ngurah Made Asmara; Marajaya, I Made; Widnyana, I Kadek
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 4 No 1 (2024): April
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i1.3718

Abstract

Zaman modernisasi seperti saat ini sangat membawakan perkembangan yang sangat luas. Terlebih dalam kesenian wayang. Perkembangan zamanlah yang sekaligus mengembangkan kesenian wayang menjadi kesenian yang inovatif. Dengan adanya hal tersebut penata menciptakan sebuah karya baru dalam seni pewayangan yang terinspirasi pada salah satu tradisi adat Bali yaitu Cili yang memiliki makna sebagai Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Cili tersebut ditrasnformasikan ke dalam bentuk wayang yang kemudian dikemas dalam bentuk seni teater sehingga terciptalah Teater Wayang Cili “Kalulut Asih”. Proses penciptaan Teater Wayang Cili “Kalulut Asih” menggunakan metode sumber Sanggit atau Kawi Dalang yang dikemukakan oleh I Nyoman Sedana dengan tahapan sebagai berikut: a. Pandulame yaitu imajinasi, penata terimajinasi atau terinspirasi dari bentuk cili yang hanya dijadikan sarana upacara, dari hal tersebut muncullah ide penata agar wayang tersebut dapat digerakkan seperti menggerakkan wayang golek. B. adicita/Adirasa yaitu ide konsep wayang cili dikembangkan ke dalam bentuk cerita yang dapat diterima oleh masyarakat khususnya pada kalangan remaja. c. sranasasmaya yaitu properti yang digunakan sebagai pelengkap keberlangsungan pementasan, d. Gunatama atau art skill yaitu ketrampilan pendukung menuangkan improvisasi saat teater ditampilkan.
Penciptaan Karya Pertunjukan “Teater Pakeliran Kalakama” Manuaba, Ida Bagus Dwilingga Darpita; Marajaya, I Made; I Ketut, Sudiana
JURNAL DAMAR PEDALANGAN Vol 4 No 2 (2024): Agustus
Publisher : Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/dmr.v4i2.4388

Abstract

Pergaulan bebas marak terjadi pada jaman seperti sekarang ini. Pelaku utama dari pergaulan bebas ini adalah kebanyakan anak-anak yang masih belia atau remaja. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya ilmu orang tua dan guru dalam memberikan edukasi tentang pergaulan bebas khususnya Pendidikan Seks. Anak-anak remaja yang seharusnya menjadi penerus bangsa terpaksa harus kehilangan masa depannya akibat dari pergaulan bebas. Mereka tidak mengetahui akan bahayanya jika melakukan pergaulan bebas. Judul dari karya ini adalah Teater Pakeliran Kalakama yang menggunakan metode Catur Datu kawya. Kalakama berasal dari kata Kala yang artinya ruang dan waktu yang menyeramkan, sedangkan Kama artinya hawa nafsu yang berasal dari Sad Ripu dan harus bisa kita kendalikan. Salah satu contoh akibat dari pergaulan bebas yaitu terjadinya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seorang siswi karena hamil dan tidak mendapatkan pertanggungjawaban dari laki-laki yang menghamilinya. Saat ini negara kita sangat membutuhkan Pendidikan Seks yang lebih baik demi menyelamatkan generasi penerus bangsa.
Eksagerasi animasi god toon dalam cerita Alkitab: Kisah Daniel dalam konteks historis dan kultural Darmawan, Andreas James; Arimbawa, I Made Gede; Marajaya, I Made
KURIOS Vol. 9 No. 2: Agustus 2023
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v9i2.729

Abstract

Exaggeration is a solution to attract attention again when conveying a message, especially when the message is an old, repeated message. This exaggeration is needed to provide novelty to the target's boredom with old, repetitive messages. This research examines a Bible story film with a bold novelty value with the scientific knife of romantic hermeneutics. The episode that is the scope of the research is the story of Daniel in the Lion's Cage, from a Korean animation studio called God Toon. This research uses a descriptive qualitative method, which describes historical and cultural contexts obtained from several literary sources, interviews, and researcher interpretations. The research results are a study of exaggeration in Biblical characterizations, which gives rise to reference implications for research that addresses similar topics. The impact of the research is to encourage similar efforts that try to make a breakthrough in the target's boredom of receiving Bible stories that are visually relatively the same, as well as trying to generate story messages so that they continue to gain interest and a place in the hearts of Christians. AbstrakEksagerasi merupakan solusi untuk menarik atensi kembali dalam menyampaikan sebuah pesan, apalagi pesan yang hendak disampaikan adalah pesan lama yang berulang; eksagerasi ini diperlukan sebagai solusi dalam upaya memberikan kebaruan pada kejenuhan target pada pesan lama yang berulang. Penelitian ini mengkaji sebuah film cerita Alkitab dengan nilai kebaruan yang berani dengan pisau keilmuan hermeneutik romantisme. Episode yang menjadi lingkup penelitian adalah cerita Daniel di Kandang Singa, dari studio animasi korea bernama God Toon. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, yang menggambarkan kedua konteks baik historis maupun kultural, yang didapatkan dari beberapa sumber literatur, wawancara, dan tafsiran peneliti. Hasil penelitian berupa sebuah kajian tentang eksagerasi pada penokohan Alkitab, yang melahirkan implikasi acuan bagi penelitian yang mengangkat topik yang serupa. Dampak penelitian adalah mendorong upaya serupa yang mencoba melakukan terobosan bagi kejenuhan target menerima cerita Alkitab yang secara visual relatif sama, serta berupaya mengenerasi pesan cerita agar tetap mendapatkan minat dan tempat dalam hati umat Kristiani.
TETIKESAN PRACTICAL TRAINING OF WAYANG PARWA BEBADUNGAN STYLE PERFORMANCE IN SANGGAR MAJALANGU Marajaya, I Made; Marhaeni, Ni Komang Sekar; Suteja, I Kt.
Lekesan: Interdisciplinary Journal of Asia Pacific Arts Vol. 7 No. 1 (2024)
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/lksn.v7i1.2805

Abstract

Abstract Wayang Parwa performances in the last three decades have become increasingly rare in society. This performance originates from the Mahabharata epic and is accompanied by the Gender Wayang gamelan, which is one of the oldest in Bali. Wayang Parwa is usually used as a basis for learning to become a puppeteer in formal and non-formal education. Wayang Parwa has many versions, and in Bali, there are four styles of Wayang Parwa: Bebadungan Style, Sukawati Style, Tunjung Style, and Buleleng (North Bali). One of the styles with the most favorite is the Bebadungan style, which is spread across six districts/cities in Bali, such as Tabanan, Negara, Klungkung, Bangli, Karangasem, and Denpasar City. With the emergence of various variants of innovative wayang performances, the popularity of Wayang Parwa has decreased. To maintain the existence of the Wayang Parwa Bebadungan Style performance in this millennial era, conservative efforts needed to be made, namely through training. Considering the Wayang Parwa Bebadungan style performances by today's young puppeteers, many need to be stronger in Tetikesan (puppet movements). For this reason, the training material provided to members of Sanggar Majalangu, Kerobokan Village, North Kuta District, Badung Regency, led by I Made Agus Adi Santika, is Tetikesan. This training could answer the public's opinion that the weakness of the Wayang Parwa Bebadungan style performance refers to Tetikesan. The training was focused on one of the studio members using instructional, structured, gradual, and innovative learning methods by utilizing YouTube media, which releases audio recordings of Wayang Buduk performances by puppeteer Ida Bagus Arnawa (deceased) and his son, puppeteer Ida Bagus Puja (deceased) as standardization of the Bebadungan style. Keywords: Training, Tetikesan, Wayang Parwa Bebadungan Style
Interpreting Life Values in The Performance of Ramayana Shadow Puppet Setubanda Play Marajaya, I Made
Proceeding Bali-Bhuwana Waskita: Global Art Creativity Conference Vol. 3 (2023): Proceedings Bali-Bhuwana Waskita: Global Art Creativity Conference
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ramayana Shadow Puppet Performance is a type of Balinese shadow puppet from the Ramayana Epic, and its position still exists in society today. The Ramayana Shadow Puppet Performance's main characters are Rama a symbol of good and Ravana a symbol of evil. The characters consist of humans, monkeys (ore), and giants. This performance of Ramayana story is famous for its characteristic "ngore" (monkey sound). One of the most popular plays show is Setubanda play, named Sundara Kanda. The shadow puppet play tells the story of Rama's army led by Sugriwa was building a connecting bridge from Mount Mahendra to Alengka. The Setubanda Bridge which had been completed by Rama's troops was then damaged by Ravana's son Detya Kala Sura Bhuta and his crocodile army. Then there was a war that ended with the death of Detya Kala Sura Bhuta. This research used qualitative methods and was supported by semiotic and hermeneutic theories. It can be philosophically interpreted as a bridge between Paramatman (Rama) and Jiwatman (Sita) who were separated by Ravana. The Setubanda play contains many life values; the value of education, leadership, unity, loyalty, and the value of solidarity.
THE IMPACT OF TECHNOLOGY ON THE DEVELOPMENT OF BALINESE SHADOW PUPPETRY IN THE GLOBAL ERA Marajaya, I Made; Peradantha, Ida Bagus Gede Surya
Proceeding Bali-Bhuwana Waskita: Global Art Creativity Conference Vol. 4 (2024): Proceedings Bali-Bhuwana Waskita: Global Art Creativity Conference
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31091/bbwp.v4i1.589

Abstract

This study is motivated by the significant changes in Balinese shadow puppetry (wayang) resulting from the integration of technology in the global era. While the introduction of technology has opened new opportunities for the development of Balinese wayang, there are concerns that its use may undermine traditional values, affect the creativity of the puppeteers, and potentially threaten the preservation of this art form. Based on this, the study poses two main research questions: (1) How does technology influence the creativity of Balinese wayang in the global era? and (2) What are the impacts on the preservation and advancement of Balinese wayang? This qualitative research employs data collection methods such as observation, interviews, and literature review. The data were analyzed descriptively and interpretively, supported by creativity theory. The results indicate that technology has stimulated boundless innovation in Balinese wayang, leading to more engaging audio-visual performances. Moreover, the use of technology has contributed to the resurgence of the wayang-watching culture in Balinese society, while supporting the sustainability of this art form in the global era.