Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

SEORANG WANITA PENJAJA SEKS DENGAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL MULTIPEL DAN HIV POSITIF Stefani Nurhadi
Bahasa Indonesia Vol 2 No 2 (2021): Prominentia Medical Journal
Publisher : Universitas Ciputra Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37715/pmj.v2i2.4127

Abstract

Wanita penjaja seks (WPS) memiliki risiko tinggi terkena infeksi menular seksual (IMS) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Estimasi jumlah WPS di berbagai negara di Asia bervariasi. Tingkat prevalensi HIV yang tinggi diketahui terjadi di kalangan WPS di berbagai wilayah, termasuk beberapa negara di Afrika, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia. Prevalensi IMS yang tinggi pada WPS juga menjadi faktor risiko penularan HIV. Bukti menunjukkan bahwa pengendalian IMS dapat mengurangi penularan HIV. Studi ini melaporkan satu kasus WPS dengan HIV positif dan infeksi menular seksual multipel, untuk meningkatkan pemahaman tentang perilaku berisiko, hubungan IMS-HIV, dan pencegahannya. Pada kasus ini, seorang wanita pekerja seks (WPS) dengan risiko tinggi tertular infeksi menular seksual (IMS) dan HIV. Wanita tersebut bekerja sebagai pekerja seks langsung di rumah bordil di Bali. Saat berhubungan seksual pasien tidak selalu mengenakan kondom. Pasien sudah bekerja sebagai WPS selama 1 tahun. Penderita mengaku sulit keluar dari pekerjaan tersebut karena ia tidak memiliki keterampilan lain untuk bekerja. Prognosis pada pasien ini dubius ad malam, karena Riwayat risiko tinggi berupa pasangan seksual multiple, tidak selalu menggunakan kondom saat berhubungan seksual, sulit untuk alih profesi dan daya tahan tubuh yang rendah akibat infeksi HIV. Di Indonesia, prostitusi ilegal dan dianggap fenomena negatif. WPS menghadapi kendala seperti stigma, diskriminasi, dan keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan. Penting untuk memberikan intervensi yang meliputi penggunaan kondom yang konsisten, skrining IMS rutin, tes HIV, dan pemberdayaan WPS. Intervensi struktural juga diperlukan, termasuk kerjasama dengan mucikari, kebijakan kondom wajib, dan program pemberdayaan sosial.
Perilaku Remaja di Surabaya Barat Dalam Pengobatan Jerawat Stefani Nurhadi; Minarni Wartiningsih
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma Vol 10, No 2 (2021): SEPTEMBER 2021
Publisher : Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/jikw.v10i2.1215

Abstract

Jerawat adalah kelainan kelenjar pilosebasea yang banyak diderita oleh remaja yang meskipun dapat sembuh sendiri tetapi dapat bekomplikasi skar permanen dan dampak psikologis. Oleh karena itu penting untuk meneliti perilaku remaja dalam mengatasi jerawatnya sehingga dapat diberikan edukasi yang sesuai sehingga komplikasi dapat dihindari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku remaja di Surabaya Barat dalam pengobatan jerawat. Rancangan penelitian ini adalah penelitian analitik observasional menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi adalah seluruh remaja yang berada di Surabaya Barat dengan besar sampel 251 responden diambil secara cluster random sampling dan diberikan kuesioner. Hasil penelitian didapatkan sebagian besar subyek penelitian mengobati jerawatnya 185 orang (73.7%), namun hanya 45 orang (24,3%) yang berkonsultasi ke dokter. Subyek yang mengobati jerawatnya sendiri terbanyak memakai produk anti jerawat non sabun yang dibeli di supermarket 76 orang (36,7%), sering mencuci muka dilaporkan 55 orang ( 21,9%), memencet jerawat sendiri dilaporkan 39 orang (15,5%) dan memakai produk anti jerawat non sabun yang dibeli secara online dilaporkan 36 orang (14,3%). Jenis kelamin, lamanya berjerawat dan tingkat pendidikan tidak berhubungan secara statistik dengan perilaku help seeking. Kesimpulannya perilaku help seeking remaja di Surabaya Barat dalam pengobatan jerawat cenderung memilih mengobati jerawatnya daripada berkonsultasi ke dokter. Subyek yang mengobati jerawatnya sendiri mayoritas menggunakan produk anti jerawat non sabun yang dibeli di supermarket. Serta tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, tingkat pendidikan dan lamanya berjerawat dengan perilaku help seeking pada remaja di Surabaya Barat.
The high homeostatic model assessment of insulin resistance as risk factor for acne vulgaris I Gusti Ayu Agung Praharsini; Anak Agung Gde Putra Wiraguna; Stefani Nurhadi
Bali Dermatology Venereology and Aesthetic Journal BDVJ - Vol. 1 No. 2 (December 2018)
Publisher : Explorer Front

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51559/ya8fq451

Abstract

Background: Acne vulgaris (AV) is a common chronic skin disease involving blockage and or inflammation of pilosebaceous glands which usually affects teenagers and young adults. Elevated sebaceous gland secretion, Propionibacterium acne colonization and inflammation, high androgen effects, and follicular hyperproliferation are the main pathogenic factors of AV. IGF-1 and insulin were studied to stimulate sebaceous lipogenesis. In the skin, besides inducing lipid production in human sebocytes IGF-1 also induces keratinocyte proliferation in vitro and in vivo. HOMA-IR is an examination to determine insulin activity in the basal state. Objective: To prove that high HOMA-IR value is a risk factor for the occurrence of acne vulgaris. Methods: This study is a case control analytic study by comparing HOMA-IR in subjects with AV (case group) and non AV (control group). AV is diagnosed based on clinical predilection. Insulin testing was carried out by the immulite 2000 device through the immunochemiluminescent method. Results: Mean HOMA-IR of case group is 2.63 ± 0.29 meanwhile in the control group was 1.71 ± 0.26 (p <0.001). Subjects with high HOMA-IR had 4.8 times higher risk to experience AV compared to patients with normal HOMA-IR values (p <0.001; 95% CI 2.765-8.332). Conclusion: HOMA-IR values in acne patients were higher than controls. A high HOMA-IR value is an AV risk factor.
SEORANG LELAKI DENGAN MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE TUBERKULOID DISERTAI CACAT KUSTA TINGKAT 2 Stefani Nurhadi
Bahasa Indonesia Vol 4 No 2 (2023): Prominentia Medical Journal
Publisher : Universitas Ciputra Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37715/pmj.v4i2.4027

Abstract

Leprosy is a chronic granulomatous disease caused by Mycobacterium leprae, which can cause significant disability in patients. Risk factors for leprosy include genetic susceptibility, environmental exposure, and social and economic factors. Diagnosis and classification of leprosy is based on clinical signs, skin examination, and histopathology. Defects arising in leprosy can result from bacilli infiltration of the skin and nerves, as well as from leprosy reactions in the form of acute neuritis. Prevention and treatment of hand and foot defects need to be done early and involve self-care by the patient. A case of MH type BT in a 29-year-old male with grade 2 leprosy was reported based on anamnesis, physical examination and supporting examination. The management given from the skin and genital department was MDT MB package I and vitamins B1 B6 B12 and the medical rehabilitation department consul was given intrinsic muscle stimulation of the hand, range of movement (ROM) exercises, movement, and functional hand. Leprosy treatment aims to break the chain of transmission, cure patients, and prevent disability. The leprosy eradication program involves treatment with a multi-drug treatment (MDT) regimen tailored to the type of disease. Prevention and treatment of disability in leprosy involves physical exercise, protection of hands and feet, and wound and skin care. People with leprosy also need to understand the importance of self-care and avoiding risk factors that can worsen the condition. Leprosy is a disease that can cause significant disability and impairment. Prevention and treatment of disability in leprosy plays an important role in improving the quality of life of patients. Leprosy eradication programs involving MDT treatment have been shown to be effective in reducing disease incidence. Self-care by sufferers through physical exercise, hand and foot protection, and wound and skin care can help prevent more severe disability. A holistic and comprehensive approach is expected to reduce the negative impact of leprosy on sufferers and society.
LAPORAN KASUS : MICRONEEDLE RADIOFREQUENCY UNTUK TATALAKSANA JERAWAT IATROGENIC PADA PASIEN POST TRANSPLANTASI GINJAL Nurhadi, Stefani
Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Vol 10, No 8 (2023): Volume 10 Nomor 8
Publisher : Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/jikk.v10i8.11458

Abstract

Abstrak: Microneedle Radiofrequency untuk Tatalaksana Jerawat Iatrogenicpada Pasien Post Transplantasi Ginjal: Laporan Kasus. Jerawat iatrogenicditandai dengan riwayat penggunaan glukokortikoid, timbulnya jerawat yang tibatibadan pada distribusi usia yang umumnya tidak berjerawat. Jerawat tersebutmuncul pada wajah dan leher, dan di luar area seboroik ada umumnya. Pasiendengan jerawat iatrogenik disertai penyakit ginjal sering menyebabkan mereka takutmenggunakan obat sistemik yang biasa digunakan untuk perawatan jerawat.Microneedling Radiofrequency (MRF) adalah modalitas minimal invasif yangmenggunakan jarum-jarum halus untuk menghantarkan energi radio frekuensi kedalam kulit. Alat ini telah menunjukkan efektivitas dalam mengobati jerawat aktifdengan mendenaturasi kelenjar sebasea dan mengurangi keberadaan bakteriCutibacterium acnes. Seorang pria berusia 44 tahun datang dengan erupsipapulopustular berat di wajahnya yang muncul tiga bulan sebelum kunjungannya keklinik. Pasien memiliki riwayat penyakit ginjal polikistik dan menjalani transplantasiginjal tujuh bulan yang lalu. Untuk mengurangi risiko penolakan organ, pasien diberibeberapa obat imunosupresif (takrolimus dan metilprednisolon). Pemeriksaandermatologis menunjukkan papula eritematosa dan pustula multipel di wajah,disertai dengan komedo multipel. Pasien menolak pengobatan sistemik dan mencaritatalaksana alternatif. Dalam kasus ini, kami memilih perawatan MRF, yang terdiri  dari tiga sesi dengan jarak empat minggu. Gambar diambil sebelum terapi dan empat minggu setelah sesi terakhir. Didapatkan penurunan yang signifikan pada lesi inflamasi. Skor penilaian jerawat, menurut Plewig dan Kligman, menurun dari 3 pada awalnya menjadi 1. Tidak ada efek samping berat yang dilaporkan 
Perception of Medical Students at Ciputra University Aged 17-25 Years Regarding The Importance of Sunscreen Use Gumay, Nur Intan Permatasari; Nurhadi, Stefani; Sayogo, William; Wirya, Stephen Akihiro
Open Access Health Scientific Journal Vol. 6 No. 1 (2025): February 2025
Publisher : PT. Griya Eka Sejahtera

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55700/oahsj.v6i1.57

Abstract

Background: The use of  sunscreen is important in the efforts to protect the skin from the dangers of ultraviolet (UV) radiation. Sunscreen contains protective components measured  by sun protection factor (SPF) and UVA protection. The perception of sunscreen use is essential  for maintaining skin  health, especially among medical students who have more excellent knowledge about the harmful effects of UV radiation. Continuous exposure to UV radiation can lead to skin damage, such as sunburn, darkening, the appearance of spots on the face, dullness, premature aging, and even melanoma. This research aimed to provide evaluation, insight, and confidence regarding the importance of sunscreen use. By understanding this perception, it is hoped that we can identify shortcomings in education and develop interventions to promote sunscreen use practices in the broader community.Methods: The research employed a descriptive approach. Data collection was conducted using total sampling techniques with questionnaires distributed to 184 medical students at Ciputra University aged 17 to 25 years.Results: Descriptive tests were performed.Conclusion: Both students who use sunscreen and those who do not express that using sunscreen is important.
Perbandingan Proteksi Tabir Surya Spf 30, 50, dan 100 Terhadap Minimal Erythema Dose Akibat Paparan Sinar UVB Secara In Vivo Dewa Ayu Manik Utari; Stefani Nurhadi; Desy Hinda Pramita; Stephen Akihiro Wirya
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : Syntax Corporation

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36418/syntax-literate.v10i3.55819

Abstract

Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang terletak di garis khatulistiwa, sehingga menerima sinar matahari dengan intensitas tinggi dan konstan sepanjang hari. Tabir surya melindungi kulit dari paparan sinar matahari dan efektivitasnya diukur melalui Sun Protecting Factor (SPF). Minimal Erythema Dose (MED) adalah interval waktu atau dosis terendah sinar ultraviolet yang dapat menyebabkan eritema minimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan proteksi tabir surya SPF 30, 50 dan 100 dengan melihat minimal erythema dose pada hewan coba setelah dilakukan paparan sinar UVB. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) sebagai hewan coba. Terdapat 4 kelompok yang terdiri dari 1 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan dengan sampel setiap 1 kelompok adalah 7 sampel. Kelompok perlakuan dalam penelitian ini adalah kelompok tikus putih yang dioleskan dengan tabir surya dengan sun protecting factor 30, 50, dan 100 yang dipapar dengan sinar UVB, sedangkan kelompok kontrol pada penelitian ini adalah kelompok tikus putih tanpa dioleskan tabir surya yang dipapar sinar UVB. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengukuran waktu MED yang timbul dalam satuan menit. Hasil analisis ANOVA satu arah menunjukkan nilai signifikansi <0,05, yang menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna antara kelompok. Rata-rata waktu MED untuk kelompok kontrol adalah 13,57 menit, sedangkan untuk kelompok SPF 30, 50, dan 100 masing-masing adalah 341,29 menit, 560,43 menit, dan 702,14 menit. Dapat disimpulkan bahwa proteksi tabir surya SPF 30, SPF 50 dan SPF 100 berbanding lurus dengan waktu perlindungan, semakin tinggi nilai SPF tabir surya maka semakin tinggi waktu perlindungannya.
Formulasi dan Evaluasi Pengaruh Sediaan Krim Pelembap Dengan Gliserol Terhadap Kadar Hidrasi Kulit Tikus Putih Yang Dipapar Aseton Sudargo, Iie; Nurhadi, Stefani; Pramita, Desy Hinda; Pribadi, Florence; Sayogo, Wiliam; Adrianto, Hebert; Wirya, Stephen Akihiro
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 4 No. 11 (2025): COMSERVA: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v4i11.3048

Abstract

Kulit kering atau xerosis, ditandai dengan hilangnya fungsi barier kulit dan berkurangnya hidrasi kulit. Gliserol, suatu humektan, dapat meningkatkan hidrasi kulit dengan karena memiliki kemampuan untuk menarik molekul air dengan membentuk ikatan hidrogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh pemberian krim pelembap dengan berbagai konsentrasi gliserol terhadap kadar hidrasi kulit tikus putih yang dipapar aseton. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar jantan Sampel penelitian dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing terdiri dari 7 ekor tikus. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software SPSS. Dari hasil analisis deskriptif didapatkan bahwa rata-rata kadar hidrasi kulit tertinggi dihasilkan oleh krim pelembap formula III yang mengandung 20% gliserol. Hasil uji t berpasangan menunjukkan bahwa sediaan krim pelembap kontrol tanpa gliserol tidak meningkatkan kadar hidrasi kulit pada hari pertama, kedua, dan ketiga sesudah pengolesan. Sediaan krim pelembap formula I, II, dan III yang masing-masing mengandung 5%, 10%, dan 20% gliserol dapat meningkatkan kadar hidrasi kulit pada hari pertama, kedua, dan ketiga sesudah pengolesan. Dari hasil uji t dua sampel bebas ditemukan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara efek hidrasi kulit krim pelembap kontrol dengan krim pelembap formula I, II, dan III. Hasil uji ANOVA satu arah menunjukkan adanya perbedaan efek hidrasi kulit yang signifikan antara sediaan krim pelembap formula I, II, dan III (p<0,05). Penelitian ini menegaskan efikasi gliserol sebagai humektan dalam meningkatkan hidrasi kulit. Temuan ini mendukung pengembangan krim pelembap berbasis gliserol untuk mengatasi kulit kering.