Articles
13 Documents
Search results for
, issue
"Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019"
:
13 Documents
clear
TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMENAKIBAT BEREDARNYA MAKANAN DAN MINUMAN KADALUWARSA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Syamsir Hasibuan
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (236.961 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4046
Kekuatan hukum barang bukti dalam proses pembuktian pada sistem peradilan pidana di Indonesia adalah sangat penting, meskipun pengertian mengenai barang bukti tidak dijelaskan dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Pada putusan hakim, terdapat pertimbangan fakta hukum dan pertimbangan hukum. Pertimbangan fakta hukum yang dipaparkan hakim dalam putusannya yaitu mengenai fakta dan keadaan juga alat-alat pembuktian yang terdapat sepanjang persidangan berlangsung, yang dijadikan sebagai dasar penentuan kesalahan terdakwa.Keberadaan dan kekuatan hukum barang bukti hendaknya diatur secara jelas dalam Kitab Hukum Acara Pidana yang akan datang sehingga jelas dan nyata kekuatan hukumnya dalam pembuktian pada persidangan pidana.
TINJAUAN YURIDIS FUNGSI SURAT DAKWAAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA TINDAK PIDANA DI PENGADILAN
Agus Riyanto
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (191.649 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4040
Dalam penyusunan surat dakwaan dituntut kejelian penuntut umum dalam penyusunan surat dakwaan supaya tindak pidana yang dilakukan terdakwa dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang pidana (KUHP) agar terdakwa dapat dijatuhi pidana sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan. Pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1) Bagaimanakah fungsi surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum dalam proses pemeriksaan suatu tindak pidana? 2) Bagaimanakah pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara berdasarkan surat dakwaan yang dibuat penuntut umum dalam perkaraNomor :274/PID.B/2010/PN.BTM, pada Pengadilan Negeri Batam? Secara ilmiah, dalam penelitian dan penulisan penelitian ini, Penulis menggunakan penelitian yuridis empiris yaitu merupakan penelitian hukum yang memakai sumber data primer, data yang dipakai berasal dari eksperimen dan observasi, sedangkan metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Adapun metode pengumpulan data primer meliputi wawancara dan observasi, metode pengumpulan data sekunder melalui dokumentasi yang didapat dari buku, Berkas Perkara, Surat Dakwaan. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa faktor pendukung penyusunan surat dakwaan adalah berkas perkara lengkap, ketelitian, kejelian jaksa, semua unsur-unsur tindak pidana terpenuhi. Faktor penghambat penyusunan surat dakwaan adalah tidak lengkapnya berkas perkara, tidak jelasnya locus delicti, tempus delicti. Dampak kesalahan penyusunan surat dakwaan adalah terdakwa bisa diputus bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, Strategi yang digunakan Penuntut Umum untuk meminimalisir terjadinya kesalahan penyusunan surat dakwaan adalah menguasai berkas perkara, prinsip ketelitian dan kehati-hatian, koordinasi, kontrol dan ekspos.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI RUMAH DALAM PENGALIHAN HAK GUNA BANGUNAN DILAKUKAN BERDASARKAN PERJANJIAN JUAL BELI DI BAWAH TANGAN
Ciptono Ciptono;
Parningotan Malau;
Dian Arianto;
Tuti Herningtyas;
Adelia Widya Pramesti
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (278.823 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4052
Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki keabsahan perjanjian jual beli rumah dibawah tangan apabila ingin melakukan pengalihan hak guna bangunan. Metode yang digunakan adalah wawancara dan studi pustaka. Keabsahan perjanjian jual beli rumah dibawah tangan dari cara pembuatan perjanjian sesuai dengan pasal 1320 kuhperdata merupakan perjanjian yang sah. Oleh karena semua poin dalam pasal tersebut diatas telah dipenuhi dalam perjanjian dibawah tangan yang dilakukan pembeli dan penjual. Perjanjian dalam pembuatanya tersebut tidak bertentangan dengan pasal 1320 kuhperdata. Hanya saja ada aturan khusus yang menyatakan bahwa perjanjian dalam jual beli rumah/bangunan harus dilakukan dihadapan notaris. Perjanjian yang dibuat dibawah tangan tidak dapat dijadikan sebagai syarat untuk jual beli rumah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Apabila ingin melakukan pengalihan hak guna bangunan maka tidak dapat digunakan sebagai syarat pengalihan balik nama ruma/bangunan.
TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN DOMESTIK PT. GARUDA INDONESIA TERHADAP PENUMPANG DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009
Anna Andriany Siagian
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (200.235 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4047
Tanggung jawab atas pemakai jasa angkutan udara didasarkan perjanjian antara pengangkut dengan penumpang, sehingga apabila terjadi suatu hal yang menyebabkan kerugian bagi penumpang maka pihak pengangkut bisa dimintai pertanggungjawaban. Selama pengangkutan berlangsung, penguasaan pesawat beserta isinya ada di tangan pengangkut. Oleh sebab itu, apabila dalam pengangkutan udara terjadi musibah atau kecelakaan, kerugian yang timbul dari keadaan tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut. Jenis penelitian adalah yuridis empiris. Yuridis empiris yaitu penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku anggota masyarakat dalam hubungan hidup masyarakat. Perilaku itu meliputi perbuatan yang seharusnya dipatuhi, baik bersifat perintah maupun larangan. Perbuatan tersebut merupakan perwujudan dan pernyataan hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Dengan kata lain penelitian hukum empiris mengungkapkan hukum yang hidup dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat. Penelitian bertujuan melihat bagaimana tanggung jawab maskapai penerbangan domestik PT. Garuda Indonesia terhadap penumpang ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan. Pelaksanaan tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap kerugian penumpang domestik yaitu pasal 141 ayat (1), (2), (3) adalah Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut Dalam realisasinya PT. Garuda Indonesia memberikan ganti rugi kematian atau lukanya penumpang lebih besar dari besarnya ganti rugi yang ditentukan dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995. Hilang atau rusaknya barang penumpang. Pelaksanaan tanggung sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995. Besarnya jawab PT. Garuda Indonesia terhadap hilang atau rusaknya barang bagasi ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah tersebut, yaitu ganti rugi dibatasi setinggitingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogramnya. Keterlambatan pengangkutan. Dalam prakteknya, pihak PT. Garuda Indonesia hanya bertanggung jawab secara moril saja. Dalam hal ini berarti bila terjadi keterlambatan pengangkutan penumpang yang disebabkan oleh pihak pengangkut, maka pihak PT. Garuda Indonesia hanya melakukan permintaan maaf saja dan memberikan sebatas makan gratis untuk para penumpang. Pelaksanaan, PT. Garuda Indonesia memberikan batas ganti rugi seperti ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 44 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tersebut. Untuk keterlambatan bagasi apabila merupakan kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) perkilogramnya.
PERBANDINGAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT BANK ANTARA UNDANG- UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN
Tri Artanto
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (447.956 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4042
Bank sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dalam memberikan kredit harus memperhatikan aturanaturan yang diberlakukan Bank Indonesia, dan juga wajib memperhatikan keabsahan perjanjian kredit, dan pengikatan benda jaminan kredit. Ketidaksahan perjanjian kredit dan pengikatan jaminan akan menimbulkan kerugian bagi kreditur maupun debitur, dimana suatu perjanjian kredit baru dapat dinyatakan tidak sah apabila sudah diputus pengadilan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam pada itu tentunya kreditur maupun debitur akan mengeluarkan biaya misalnya biaya pengadilan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai aturan-aturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan prinsip-psinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, keabsahan suatu perjanjian kredit, dan benda-benda yang dapat menjadi jaminan kredit. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui perbandingan hukum perjanjian kredit bank antara Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Untuk mengetahui pengaturan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit bank ketika terjadi wanprestasi.Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dan bersifat deskriptif yaitu dengan menelaah undang-undang dan regulasi-regulasi lain yang merupakan hukum positif tertulis yang berkaitan dengan perjanjian kredit bank.Berdasarkan hasil penelitian ada aturan-aturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit yang wajib dipenuhi oleh suatu bank ketika akan memberikan kredit. Disamping itu perjanjian kredit harus memenuhi syarat-syarat keabsahan perjanjian yang ditentukan Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Dan karena kredit memiliki resiko, bank meminta jaminan dari nasabah debitur, untuk pelunasan kredit apabila nasabah debitur wanprestasi.
PROSEDUR HUKUM ATAS PERCERAIAN SUAMI DAN ISTRI BERSTATUS PEGAWAI NEGERI SIPIL TINJAUAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
Ahars Sulaiman
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (162.522 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4053
Untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan, sejahtera dari lingkungan terkecil yaitu lingkungan rumah tangga yang di awali dengan adanya suatu perkawinan. Membentuk keluarga yang diawali dengan perkawinan merupakan keinginan yang normal pada setiap manusia, karena perkawinan merupakan mekanisme survival (cara mempertahankan kelangsungan hidup). Melalui perkawinan akan diperoleh keturunan yang kemudian menjadi manusia-manusia baru yang akan mempertahankan kehadiran manusia di dunia dan akan hidup dalam kelompok-kelompok masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui Untuk Prosedur Hukum Atas Perceraian Suami Dan Istri Berstatus Pegawai Negeri Sipil Tinjauan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Untuk mengetahuistudi atas kasus prosedur hukum perceraian pada putusan Nomor 1406/Pdt.G/2013/PA.BTMdi Batam. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Hendaknya masalah perceraian dikalangan Pegawai Negeri Sipil dan juga masalah hak dan kewajiban suami terhadap istri setelah terjadi perceraian mendapat perhatian dari semua instansi terkait terutama lembaga Pengadilan Agama. Mengingat Pegawai Negeri Sipil merupakan unsure Aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku.Karena banyak pasangan suami istri yang mengajukan gugatan perceraian tidak mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Maka harus diadakannya penyuluhan- penyuluhan kepada para pihak-pihak terkait tentang undang-undang perkawinan dan aturan-aturan lainnya tentang Undang-undang Perkawinan, Peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 dan aturan-aturan lainnya.
ANALISIS YURIDIS PENERAPAN SANKSI DARI INSTANSI KEPOLISIAN TERHADAP ANGGOTA KEPOLISIAN YANG MENYALAHGUNAKAN NARKOTIKA
Tri Novianti
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (187.103 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4048
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan ujung tombak aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dan pada sisi lain selaku pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. anggota Polri sangat diharapkan untuk tidak terlibat dalam pemakaian apalagi peredaran narkoba.Tetapi untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba yang terjadi di dalam organisasi Polri sangat sulit. Mendeskripsikan Tinjauan umum sanksi yang meliputi: Pengertian sanksi, Jenis- jenis sanksi. tinjauan umum kepolisian: Pengertian kepolisian, Pengertian polisi, Pengertian tugas dan wewenang polisi/kepolisian, Pengertian kode etik kepolisian. Tinjauan umum penyalahgunaan narkotika:Pengertian narkotika,Jenis- jenis narkotika, Penyalahgunaan narkotika, Sanksi penyalahgunaan narkotika. Penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis empiris dengan peraturan perundang-undangan, yaitu penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Ada beberapa anggota kepolisian di daerah Kepulauan Riau yang menyahgunakan Narkotika ditahun 2014, semuanya jenis Sabu. Para anggota dikenakan sanksi dari Intansi sesuai Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
PROSEDUR HUKUM UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA ATAS TERJADINYA WANPRESTASI DALAM SEWA MENYEWA RUMAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1994 TENTANG PENGHUNIAN RUMAH OLEH BUKAN PEMILIK
Seftia Azrianti
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (349.819 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4043
Perumahan atau permukiman seperti yang disebutkan diatas tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya. Rumah yang telah dibeli atau dibangun dapat dijual kembali atau disewakan kepada orang yang membutuhkan tentunya dengan harga yang diinginkan oleh si pemilik rumah. Hal ini dapat menambah pemasukan keuangan bagi pemilik rumah. Sehingga tidak heran jika banyak orang pada golongan ekonomi mapan dapat memiliki rumah lebih dari satu unit. Tujuannya bukan lagi untuk menunjukkan style atas kekayaan seseorang sehingga mengoleksi banyak rumah, melaikan sebagai lahan mendapatkan keuntungan berupa uang. Penelitian ini melihat Prosedur Hukum Upaya Penyelesaian Sengketa Atas Terjadinya Wanprestasi Dalam Sewa Menyewa Rumah Menurutperaturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik”. Upaya penyelesaian sengketa dalam perjanjian sewa menyewa rumah tersebut dapat dilakukan dengan cara kekeluargaan baik itu dengan teguran lisan atau dengan cara mensomasi pihak yang dianggap merugikan. Namun apabila cara kekeluargaan tidak juga dipenuhi, maka penyelesaian melalui jalur hukum baik itu secara perdata dapat dilakukan dengan memenuhi syarat dan isi gugatan/tuntutan. Penghunian rumah oleh bukan pemilik dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama adalah penghunian rumah dengan cara sewa menyewa, yang mana cara penghunian seperti itu didasarkan kepada suatu perjanjian tertulis atas kesepakaan bersama untuk mengikatkan diri antara pemilik rumah dan penyewa rumah yang menerangkan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, batas waktu perjanjian, serta larangan-larangan bagi masing-masing pihak. Dan yang kedua adalah penghunian rumah dengan cara bukan sewa menyewa, yang mana penghunian ini merupakan bentuk sukarela dari pemilik rumah memberikan rumah untuk dihuni tanpa dipungut biaya dengan batasan-batasan yang telah ditentukan dalam suatu perjanjian tertulis, baik itu mengenai hak dan kewajiban para pihak, serta batas waktu penghunian rumah. Namun, apabila tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis, berakhirnya penghunian rumah tersebut sesuai dengan isi kesepakatan.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UPAH MINIMUM SEKTORAL (UMS) KOTA BATAM
Rahmanidar Rahmanidar;
Ferizone Ferizone
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (204.097 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4055
Kebijakan upah minimum hingga saat ini masih menjadi acuan pengupahan bagi pekerja/ buruh di Kota Batam. Upah Minimum Sektoral dapat terdiri atas Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/ Kota (UMSK). Penerapan upah minimum sektoral dikota Batam khususnya pada perusahaan- perusahaan shipyard dikawasan industri Tanjung Uncang, harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam penerapan upah minimum sektoral ini. Penerapan upah minimum sektoral di Kota Batam dibawah pengawasan Dinas Tenaga Kerja Kota Batam. Untuk mendapatkan penghasilan hidup yang layak sehinga memenuhi kebutuhan hidup pekerja/ buruh maupun bagi keluarganya, hal yang paling penting dari penerapan upah minimum adalah terjaganya keseimbangan antara pengusaha dan pekerja/ buruh.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU YANG MENYEBABKAN LUKA BERAT TERHADAP ORANG LAIN DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS
Medi Heryanto
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (163.564 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4049
Pentingnya arti dan tujuan pelaku kecelakaan yang menyebabkan luka berat terhadap orang lain, diatur oleh hukum dengan terperinci dengan baik dan lengkap. suatu kecelakaan menurut Hukum adalah, peristiwa yang terjadi karena kelalaian dari sipengemudi, akibat dari kondisi jalan. UU yang mengatur kecelakaan tersebut adalah UU RI NO 301 (3) Nomor 22 tahun 2009. Hal tersebut selanjutnya menjadi latar belakang penulis untuk melakukan suatu kajian Hukum yang berkaitan dengan pelaku kecelakan yang menyebabkan luka berat dalam kecelakaan lalu lintas, di lingkungan pengadilan negeri Batam. Adapun permasalahan Hukum yang diteliti adalah bertujuan untuk mengetahui pertanggungjawaban dari pelaku kecelakaan yang menyebabkan luka berat dalam kecelakaan lalu lintas di kota batam. Serta mengetahui faktor- faktor apa yang menjadi pertimbangan Hakim dalam perkara nomor: 169/pid. B/2014/PN. Batam.Pada pengadilan Negeri Batam. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normative dengan menggunakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan , pustaka berupa putusan pada penngadilan dan peraturan Perundang- undangan yang berlaku serta buku- buku (literatur) dan karangan- karangan ilmiah, artikel dan tulisan ilmiah Hukum yang terkait dengan objek penelitian. Hasil penelitian ini adalah terdakwa dalam melakukan tindak pidana karena kelalaianya menyebabkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat. Maka pertimbangan Hakim adalah melihat terdakwa melarikan diri dan tidak menolong korban pada saat kejadian.