cover
Contact Name
Opik Rozikin
Contact Email
rozikinopik@gmail.com
Phone
+6285862536992
Journal Mail Official
jurnalpemuliaanhukum@gmail.com
Editorial Address
Jl. Soekarno Hatta No. 530, Sekejati, Kec. Buahbatu, Kota Bandung
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Pemuliaan Hukum
ISSN : 26542722     EISSN : 28298640     DOI : https://doi.org/10.30999/jph.v4i1.
Core Subject : Social,
Jurnal Pemuliaan Hukum (P-ISSN: 2654-2722) is a double-blind peer-reviewed published by the Faculty of Law, Universitas Islam Nusantara (UNINUS), Bandung, Indonesia. This journal publishes research articles, conceptual articles, and book reviews with legal studies. The article is in the Journal of Legal Breeding studies, thought development, and research on civil law, Focus and Scope Review). This journal article is published twice a year in April and October. Since its publication in 2018, the Journal of Legal Breeding has been listed on CrossRef. All articles published by the Journal of Legal Breeding have a DOI number. The Journal of Legal Breeding is also indexed by Google Scholar, Garuda, Moraref, BASE, and other indexes, please open it here. Journal Secretariat: Faculty of Law, Nusantara Islamic University (UNINUS) Bandung, Indonesia, Jl. Soekarno Hatta No. 530, Sekejati, Kec. Buahbatu, Bandung City, West Java 40286, Indonesia.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 147 Documents
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual Yuhaeni, Yuyu; Hikmat, Ahmad M. Ridwan Saiful; Handayani, Widya Marthauli
Pemuliaan Hukum Vol. 4 No. 1 (2021): Pemuliaan Hukum
Publisher : Law Study Program, Faculty of Law, Nusantara Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/jph.v4i1.1445

Abstract

Akhir-akhir ini sering terdapat suatu tindak pidana mengenai persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa maupun oleh anak, hal ini merupakan suatu ancaman yang sangat besar dan berbahaya bagi anak sebagai generasi penerus bangsa. Perlindungan terhadap hidup dan penghidupan anak masih menjadi tanggung jawab kedua orangtua, keluarganya, masyarakat, dan juga negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis penerapan unsur-unsur dan dasar pertimbangan hakim dalam Pasal 81 Undang-undang No. 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Putusan No11/PidSus.Anak/ 2018/PN.Spg. Penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan metode library research. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang anak yang diduga melakukan tindak pidana melalui sistem peradilan formal yang ada pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Penanganan perkara pidana anak pada UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menghendaki adanya petugas sebagai tenaga medis yang ahli dalam bidang anak dan ditunjuk untuk menangani kesehatan anak selama dalam penanganan perkara anak. Dalam menangani anak sebagai pelaku tindak pidana, penegak hukum senantiasa harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Sifat dasar anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara, dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana. Majelis Hakim berpendapat bahwa pemidanaan yang dijatuhkan dalam diktum putusan ini dipandang sudah memenuhi rasa keadilan baik untuk pelaku pribadi maupun keadilan bagi korban serta dalam kehidupan masyarakat, serta sepadan dan setimpal dengan kesalahan Anak sehingga diharapkan akan mencapai tujuan atau sasaran dari pemidanaan.
Perlindungan Hukum Hak Pekerja Atas Upah Pada Perusahaan Pailit Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 Fachrurahman, Indra; Anggraeni, Happy Yulia; Wahyuni, Fitri
Pemuliaan Hukum Vol. 4 No. 1 (2021): Pemuliaan Hukum
Publisher : Law Study Program, Faculty of Law, Nusantara Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/jph.v4i1.1446

Abstract

In principle, all wages in arrears must be paid after the assets of the bankrupt Debtor are sold and the distribution list has been determined by the Court based on the curator's proposal. Meanwhile, based on the Constitutional Court Decision No. 67/PUU-XI/2013, the Constitutional Court has explicitly provided protection for workers' rights by providing legal certainty to prioritize workers' rights so that they can obtain their own rights in the event the company concerned goes into bankruptcy. The position of other rights of workers or laborers with the Constitutional Court Decision Number 67/PUU-XI/2013 takes precedence over claims for state rights, auction offices, and public bodies established by the Government. But the status of other rights of workers or laborers is still under the bill of wage rights and separatist creditors. So in practice, if a company is declared bankrupt, then the other rights of workers or workers are in third position after the settlement of wage rights and claims of separatist creditors. The Bankruptcy Law is revised or amended again, so that the rights of each creditor that have been regulated in other laws do not overlap, so that its implementation is not too difficult in reality.Pada prinsipnya semua upah buruh yang tertunggak wajib dibayarkan setelah aset Debitur yang pailit dijual dan daftar Pembagian sudah ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan atas usulan kurator. Sedangkan berdasarkan Putusan MK No. 67/PUU-XI/2013, MK telah secara tegas memberikan perlindungan terhadap hak pekerja dengan memberikan kepastian hukum untuk memprioritaskan hak pekerja agar dapat memperoleh haknya sendiri dalam hal perusahaan yang bersangkutan mengalami kepailitan. Kedudukan hak-hak lain pekerja atau buruh dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 didahulukan atas tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah. Tetapi kedudukan hak-hak lain pekerja atau buruh masih berada di bawah tagihan hak upah dan kreditur separatis. Sehingga pada praktiknya apabila suatu perusahaan diputuskan pailit, maka hak-hak lain pekerja atau buruh berada di posisi ketiga setelah pelunasan hak upah dan tagihan kreditur separatis. Undang-Undang Kepailitan diperbaiki ataudiubah lagi, agar hak-hak setiap kreditor yang telah diatur dalam perundang-undangan lainnya tidak tumpang tindih, sehingga penerapan dalam kenyataannya tidak terlalu sulit.
Penyaluran Program Indonesia Pintar Pondok Pesantren di Kabupaten Pangandaran Dihubungkan KMA14 Tahun 2015 Hidayat, Muhammad Fauzan; Rasmiaty, Mia; Prihastuti, Diane
Pemuliaan Hukum Vol. 4 No. 1 (2021): Pemuliaan Hukum
Publisher : Law Study Program, Faculty of Law, Nusantara Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/jph.v4i1.1447

Abstract

The purpose of this study was to determine the implementation in the distribution of PIP Islamic Boarding Schools in Pangandaran Regency related to the Decree of the Minister of Religion of the Republic of Indonesia (KMA) No. 14 of 2015 concerning Guidelines for the Smart Indonesia Program at the Ministry of Religion and its constraints. This research is descriptive analytical, using empirical normative juridical approach and data collection techniques, namely library research and field research through interviews, and documentation/library studies and data analysis carried out in a qualitative normative manner. Based on the results of the study that the distribution of the Smart Indonesia Program (PIP) at Islamic Boarding Schools in Pangandaran Regency, has not run optimally, because there is a lack of administrative completeness carried out by the technical team and pesantren leaders, starting from socialization, communication, data collection, proposing potential beneficiaries, verification and validation of potential beneficiaries, determination of potential beneficiaries, disbursement of funds, reporting of distribution, and supervision and control of distribution. In addition, there are several obstacles that hinder the process of implementing the distribution, namely: communication and socialization, readiness of beneficiaries, timeliness, targets and utilization of PIP.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan dalam  penyaluran  PIP Pondok Pesantren di Kabupaten Pangandaran dihubungkan dengan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia (KMA) Nomor 14 Tahun 2015 tentang Pedoman Program Indonesia Pintar pada Kementerian Agama dan kendala-kendalanya. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dengan  menggunakan metode pendekatan yuridis normatif empiris dan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan   (field research) melalui wawancara, dan studi dokumentasi/ kepustakaan dan analisis data dilakukan secara  normatif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian bahwa   penyaluran   Program Indonesia Pintar (PIP) pada Pondok Pesantren di Kabupaten Pangandaran, belum berjalan optimal, karena  terdapat kekuranglengkapan  adminsitrasi yang dilakukan oleh tim teknis dan  pimpinan pesantren, mulai dari sosialisasi, komunikasi, pendataan, pengusulan calon penerima manfaat, verifikasi dan validasi calon penerima manfaat, penetapan calon penerima manfaat, pencairan dana, pelaporan penyaluran, dan pengawasan  serta  pengendalian  penyaluran. Di samping itu terdapat beberapa kendala yang menghambat proses pelaksanaan penyaluran yaitu: komunikasi dan sosialisasi, kesiapan penerima manfaat, ketepatan waktu, sasaran serta pemanfaatan PIP.
Tinjauan Hukum Terhadap Penanggulngan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Muntaha, Muntaha; Amelia, Hanny; Baskoro, Novi E.
Pemuliaan Hukum Vol. 4 No. 1 (2021): Pemuliaan Hukum
Publisher : Law Study Program, Faculty of Law, Nusantara Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/jph.v4i1.1448

Abstract

Tindak pidana korupsi merupakan delik khusus yang diatur secara tersendiri di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal ini sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga dalam mengatasi permasalahan tersebut dirumuskan tujuan penelitian ini yaitu Untuk mengetahui Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi dan Untuk mengetahui Upaya Pencegahan dan faktor yang menghambat dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi merupakan perumusan dan ruang lingkup suatu perundang-undangan pidana yang baik, atau kebijakan untuk menetapkan ancaman hukuman pidana yang ditentukan atas tindak pidana korupsi sehingga diperlukan upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dengan strategi yang komprehensif untuk dapat meminimalisir celah atau potensi terjadinya Tindak Pidana korupsi seperti dapat dengan memperkuat kapasitas kelembagaan birokrasi, Penguatan kapasitas sumber daya manusia (SDM)  Untuk itu perlu adanya Hukuman yang lebih memberatkan bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi, mengingat bahwa Tindak Pidana Korupsi merupakan crimes against humanity (kejahatan kemanusiaan) dan merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) sehingga menimbulkan efek jera dan perumusan ulang (reformulasi) terhadap aturan UU No. 20 Tahun 2001, sehingga hambatan atau kendala penerapan dapat diminimalisasi dalam upaya menanggulangi tindak pidana korupsi.
Efektivitas Pengaturan Upah Tenaga Kerja Berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Purnama, Nizar Sukma; Amelia, Hanny
Pemuliaan Hukum Vol. 4 No. 1 (2021): Pemuliaan Hukum
Publisher : Law Study Program, Faculty of Law, Nusantara Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/jph.v4i1.1449

Abstract

Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan ini di mana lapangan pekerjaan semakin sempit akan tetapi angkatan kerja semakin bertambah banyak membuat buruh semakin terjepit untuk menerima setiap perlakuan dari pengusaha. Seperti apa yang dikatakan oleh Iman Soepomo, buruh adalah suatu status yang walaupun secara yuridis merupakan individu yang bebas, akan tetapi secara sosiologis buruh adalah bukan individu yang bebas, karena buruh tidak memiliki bekal hidup lain selain tenaganya sendiri, serta secara terpaksa menjual tenaganya pada orang lain, dimana ia tidak dapat menentukan syarat-syarat kerja. Maka karena itulah buruh selalu dekat dengan keadaan yang tidak adil, dan diskriminatif. oleh karena itu diperlukannya suatu perlindungan dari negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perlindungan hukum terhadap buruh sendiri dalam prakteknya masih sangat minim hal ini terbukti lewat masih banyaknya tindakan sewenang-wenang dari pengusaha terhadap buruhnya. Pada hari senin 5 Oktober 2020 DPR telah mengesahkan undang-undang No.11 Tahun 2020 tentang yang didalamnya mengatur perihal ketentuan upah. Tujuan penulisan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pekerja dengan upah yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Sektoral Profinsi dan untuk mengetahui penyelesaian sengketa ketidaksesuaian upah berdasarkan Upah Minimum Sektoral Profinsi ada perusahaan yang menang­guhkan pembayaran kepada pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang. Spesifikasi penulisan menggunakan pendekatan bersifat deskriptif analistis, Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan data sekunder. Kepastian dan Keadilan Hukum Terhadap Pekerja dengan Upah yang Tidak Sesuai UMK/P diatur dalam Ketentuan Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, secara tegas melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum kota/ kabupaten. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja pasal ini dihapus dan diselipkan Pasal 90A dan 90B dimana upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di perusahaan.Penyelesaian Sengketa Ketidaksesuaian Upah Berdasarkan UMK/P Pada Perusahaan yang Menangguhkan Pembayaran Kepada Pemerintah Upaya Hukum yang bisa dilakukan oleh Pekerja yaitu menjadikan SPSI sebagai kuasa dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi. Setelah itu diselesaikaan oleh Mediator di Dinas Tenaga Kerja, jika tidak selesai lagi maka dapat melalui mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja yang tidak diupah sesuai dengan ketentuan upah minimum kota/ kabupaten, di Kota adalah dengan melakukan pengaduan kepada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota untuk diupayakan advokasi hingga peneguran kepada pihak pengusaha yang terlibat konflik agar terwujudnya perlindungan serta kesejahteraan tenaga kerja, selain itu dapat juga dilakukan perundingan mengenai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang diharapkan akan dipatuhi oleh semua pihak.
Kajian Hukum Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 di Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia Sanjaya, Muhamat Agung; Puannandini, Dewi Asri; Kurniasih, Ida
Pemuliaan Hukum Vol. 4 No. 1 (2021): Pemuliaan Hukum
Publisher : Law Study Program, Faculty of Law, Nusantara Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/jph.v4i1.1450

Abstract

Implementation of the Covid-19 vaccination as an effort by the government to suppress the spread of the Covid-19 virus, the vaccination obligation is listed in Presidential Regulation Number 14 of 2021 as well as containing administrative and criminal sanctions for those who refuse vaccination, reasons for refusing vaccination due to fear of serious side effects that threaten life safety, so that it is not appropriate for criminal sanctions to be applied to people who refuse vaccines but obey health protocols. The purpose of this study is to determine the urgency of implementing criminal sanctions for those who refuse Covid-19 vaccination from the perspective of human rights as well as legal consequences and legal protection for recipients and refusals of Covid-19 vaccination in Indonesia. This study uses a normative juridical approach to legislation and comparison and then analyzed qualitatively. As a result, it is concluded that the obligation to vaccinate is a form of human rights restriction in a health emergency, but the application of criminal sanctions for vaccination refusals is full of difficulties and complications, although it can function as an effort to comply with the community, and as a result, vaccine recipients get an international vaccination certificate. criminal law, while legal protections due to AEFI are regulated in-laws and regulations. In addition, victims can apply for other legal steps in civil, criminal, or through consumer protection. Therefore, a Perpu vaccination is needed to ensure legal certainty through a social approach and restorative justice in the success of vaccination.Pelaksanaan vaksinasi Covid-19 sebagai upaya pemerintah untuk menekan penyebaran virus Covid-19 maka kewajiban vaksinasi tercantum pada Perpres Nomor 14 Tahun 2021 sekaligus memuat sanksi administratif dan pidana bagi yang menolak vaksinasi, alasan penolakan vaksinasi karena ketakutan terhadap efek samping serius yang mengacam keselamatan jiwa, sehingga tidak tepat sanksi pidana diterapkan kepada orang yang menolak vaksin namun taat menerapkan protokol kesehatan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui urgensi penerapan sanksi pidana bagi yang menolak vaksinasi Covid-19 ditinjau dari perspektif HAM serta akibat hukum dan perlindungan hukum bagi penerima maupun penolak vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Penelitian ini menggunakan yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan perbandingan lalu dianalisis secara kualitatif. Sehingga dihasilkan bahwa kewajiban vaksinasi merupakan bentuk pembatasan HAM pada keadaan darurat kesehatan namun penerapan sanksi pidana bagi penolak vaksinasi sarat akan kesulitan dan kerumitan walaupun dapat berfungsi sebagai upaya kepatuhan masyarakat, dan akibat hukumnya penerima vaksin mendapatkan sertifikat vaksinasi internasional, bagi penolak vaksin dikenakan sanksi administratif dan pidana, sedangkan perlindungan hukum akibat KIPI diatur dalam peraturan perundang-undangan selain itu korban dapat mengajukan langkah hukum lain secara perdata, pidana, atau melalui perlindungan konsumen. Maka diperlukan Perpu vaksinasi untuk menjamin kepastian hukum melalui pendekatan sosial dan restorative justice dalam mensukseskan vaksinasi.  
Penerapan Keadilan Restoratif Bagi Pelaku Tindak Pidana dalam Penegakan Hukum Dikejaksaan Jamaludin, Ahmad
Pemuliaan Hukum Vol. 4 No. 2 (2021): Pemuliaan Hukum
Publisher : Law Study Program, Faculty of Law, Nusantara Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/jph.v4i2.1453

Abstract

The purpose of this research is to find out the legal process in the application of restorative justice according to the Indonesian Prosecutor's Office Regulation Number 15 of 2020 concerning the Dismissal of Prosecution Based on Restorative Justice. The research method includes research specifications, namely analytical descriptive, normative juridical approach method, through the library research stage, namely researching and reviewing secondary data obtained through library study data collection techniques, then secondary data is analyzed juridically-qualitatively. The conclusions are as follows: the legal process in the application of restorative justice according to the Indonesian Prosecutor's Office Regulation Number 15 of 2020 concerning the Dismissal of Prosecution Based on Restorative Justice is considered more capable of realizing substantive justice as desired by the parties (perpetrators, victims and the community) which in this case is more focused on the interests of victims and the obstacles faced by the Prosecutor's Office in Implementing the RI Prosecutor's Regulation Number 15 of 2020 concerning Dismissal of Prosecution Based on Restorative Justice, among which are juridically, law enforcers are not given a clear and firm space in using alternative models in the settlement of criminal cases that allow for a balance protection of all parties.Tujuan peneltian ini adalah untuk mengetahui proses hukum dalam penerapan keadilan restoratif menurut Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Pemberhentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.dan untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Pemberhentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Metode penelitian mencakup spesifikasi penelitian, yairu deskriptif analitis, metode pendekatan yuridis normatif, melalui tahap penelitian kepustakaan, yaitu meneliti dan mengkaji data sekunder yang didapat melalui tknik pengumpulan data studi kepustakaan, yang selanjutnya data sekunder dianalisis secara yuridis-kualitatif. Kesimpulan kesimpulan sebagai berikut: proses hukum dalam penerapan keadilan restoratif menurut Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pemberhentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dianggap lebih dapat mewujudkan keadilan substantif sebagaimana diinginkan oleh para pihak (pelaku, korban dan masyarakat) yang dalam hal ini lebih fokus pada kepentingan korban dan Kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam Melaksanakan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Pemberhentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan  Restoratif,  diantaranya  adalah  Secara  yuridis,  penegak hukum tidak diberikan ruang yang jelas dan tegas dalam menggunakan model alternatif dalam penyelesaian perkara pidana yang memungkinan adanya keseimbangan perlindungan semua pihak.
Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja atas Perundungan yang Terjadi di Tempat Kerja Noval, Sayid Muhammad Rifki
Pemuliaan Hukum Vol. 4 No. 2 (2021): Pemuliaan Hukum
Publisher : Law Study Program, Faculty of Law, Nusantara Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/jph.v4i2.1464

Abstract

Bullying is a serious phenomenon these days, as the intensity of reports and news about it is increasing. However, victim legal protection at the workplace is particularly low. False assumption that views bullying at the workplace as a common thing passing down to generations needs to be corrected. It should also be confirmed when there is huge potential of law violation. Yet, there is no specific laws regulating about bullying at the workplace, while other countries put more concern on this matter by establishing specific laws and regulations. This article attempts to provide alternative policies regarding bullying at the workplace by using normative legal method and approach to law, as well as comparative law method. Regulation and practice applied in several countries can become an alternative solution to be considered as preventive measures of bullying at the workplace.Perundungan menjadi fenomena yang memperihatinkan saat ini, tidak hanya karena instensitas laporan dan pemberitaan yang marak namun rendahnya perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban, diantaranya perundungan yang terjadi di tempat kerja. Anggapan keliru yang menilai perundungan di tempat kerja hanya sebagai budaya perlu diluruskan dan membutuhkan penegasan bila potensi hadirnya pelanggaran hukum sangatlah besar. Namun, perlu diakui jika saat ini tidak terdapat aturan yang secara khusus mengatur tindakan perundungan di tempat kerja sebagaimana negara-negara lain telah memberikan perhatiannya dalam bentuk regulasi khusus. Tulisan ini berupaya memberikan alternatif kebijakan yang dapat diterapkan terhadap perundungan di tempat kerja dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan undang-undang, serta perbandingan hukum. Regulasi dan praktik yang terjadi pada beberapa negara dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam upaya mencegah terjadi perundungan di tempat kerja.
PERAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DI INDONESIA Ramdhani, Fahmi Ali
Pemuliaan Hukum Vol. 4 No. 2 (2021): Pemuliaan Hukum
Publisher : Law Study Program, Faculty of Law, Nusantara Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/jph.v4i2.1479

Abstract

Women's political rights are fundamentally human rights, and human rights are the essence of the democratic framework. Therefore, involving women and men in the decision-making process is an absolute requirement in democracy. In this theory, in fact, there is no longer a female-male dichotomy. But in reality women's rights are still being politicized and mobilized in the name of democracy. With the fulfillment of the 30% quota for women's representation in parliament, there are at least two symptoms that can result from this excess. First, there is the seriousness of women in trying to enter the world of politics. In addition, politics is a state policy that regulates the direction and goals of the state, so that the policy-making process can be carried out by all components of the nation, including women. Second, public awareness to provide opportunities for women not only to vote but also to be elected.Hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia merupakan esensi dari kerangka demokrasi. Oleh karena itu, melibatkan perempuan dan laki-laki didalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak dalam demokrasi. Dalam teori ini sesungguhnya tidak lagi ada dikotomi perempuan-pria. Tapi pada kenyataannya hak perempuan masih dipolitisasi dan dimobilisasi atas nama demokrasi. Dengan terpenuhinya quota 30 % keterwakilan perempuan diparlemen minimal ada dua gejala yang dapat ditimbulkan dari ekses tersebut. Pertama, adanya kesungguhan perempuan untuk berupaya mau terjun kedunia politik. Selain itu, kesadaran perempuan itu sendiri bahwa politik adalah bidang kebijakan kenegaraan yang mengatur arah dan tujuan negara, sehingga proses pengambilan kebijakan dapat dilakukan secara politis oleh semua komponen bangsa termasuk perempuan. Kedua, kesadaran masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk tidak saja memilih tetapi juga dipilih.
PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL KEJAHATAN SIBER (CYBER CRIME) MELALUI MATA UANG DIGITAL (CRYPTO CURRENCY) Puanandini, Dewi Asri
Pemuliaan Hukum Vol. 4 No. 2 (2021): Pemuliaan Hukum
Publisher : Law Study Program, Faculty of Law, Nusantara Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30999/jph.v4i2.1480

Abstract

This study aims to examine the crime of money laundering originating from cyber crimes through digital currency (Crypto Currency). This research uses a normative juridical approach with primary and secondary legal materials. The results of this study indicate that this virtual bitcoin currency has been defined by the FATF as a digital representation of exchange rates that can be traded virtually and functions as (1) a medium of exchange; and/or (2) one unit of account; and/or (3) a store of value, but does not have legal tender status in any jurisdiction. Bitcoin as a digital currency, can still be mentioned in the explanation of financial transactions in Article 1 number 4 of Law no. 8 of 2010, which refers to the receipt, transfer, deposit, withdrawal, book-entry, payment, grant, donation, deposit, and/or exchange of a sum of money or other actions and/or activities related to money. So, bitcoin should still be penalized if it is related to the transactions made. Activities that can be carried out legally through bitcoin are only in the form of investments so that they are vulnerable to money laundering. In an effort to overcome the occurrence of money laundering through digital currency in Indonesia, Indonesia can take several examples of law enforcement models in several countries such as Switzerland.Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tindak pidana pencucian uang yang berasal dari kejahatan siber melalui mata uang digital (Crypto Currency) Penelitian ini dilakukan terhadap permasalahan hukum dari sisi normatif berdasarkan aturan hukum dalam perundang-undangan maupun norma. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan bahan hukum hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Mata uang virtual bitcoin ini telah didefinisikan oleh FATF sebagai representasi digital dari nilai tukar yang dapat diperdagangkan secara virtual dan berfungsi sebagai (1) media pertukaran; dan / atau (2) satu unit akun; dan / atau (3) penyimpan nilai, tetapi tidak memiliki status tender legal di yurisdiksi mana pun. Bitcoin sebagai mata uang digital, tetap dapat disinggung di dalam penjelasan mengenai transaksi keuangan dalam Pasal 1 angka 4 UU No. 8 Tahun 2010, yaitu merujuk pada penerimaan, pentransferan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. Maka, bitcoin pun seharusnya tetap dapat dipidanakan jika terkait dengan transaksi yang dilakukan. Kegiatan yang dapat dilakukan secara legal melalui bitcoin hanya dalam bentuk investasi sehingga rentan terjadi tindakan pencucian uang di dalamnya. Dalam upaya penanggulangan terjadinya tindak pidana pencucian uang melalui mata uang digital di Indonesia maka Indonesia dapat mengambil beberapa contoh model penengakan hukum di beberapa Negara seperti diantaranya Swiss.