cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota medan,
Sumatera utara
INDONESIA
Jurnal Mahupiki
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education,
Arjuna Subject : -
Articles 368 Documents
PEMBINAAN TERHADAP NARAPIDANA (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B KOTA LANGSA) Kristina Sitanggang; Suwarto Suwarto; Marlina Marlina
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.444 KB)

Abstract

ABSTRAK Kristina Sitanggang* Prof. Dr. Suwarto, SH, MH ** Dr. Marlina, SH, M.Hum *** Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana berdasarkan UU No. 12 Tahun 1995 ikut berperan dalam proses penanggulangan kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan cara memberikan pembinaan terhadap narapidana, melakukan pengayoman, dan membimbing narapidana.Gambaran mengenai Lembaga pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana terpadu yang berperan dalam proses pembinaan terhadap narapidana tidak sesuai atau tidak sejalan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Secara umum jumlah penghuni di lembaga pemasyarakatan kelas II B Kota Langsa telah melebihi daya tampung atau overcapacity, tidak adanya pengkhususan lembaga pemasyarakatan seperti lembaga pemasyarakatan khusus wanita, lembaga pemasyarakatan khusus anak atau lembaga pemasyarakatan khusus narkotika. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta seadanya (fact finding). Dalam melakukan langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kepustakaan (library research), untuk memperoleh data primer, data ini diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara dan menggunakan teknik sampel (sampling). Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999, serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M. 02-PK.04.10 Tahun 1990. Proses pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Langsa dilakukan sebagian besar sesuai dengan apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan. Proses pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh setiap narapidana dan prinsip-prinsip pemasyarakatan yang sesuai dengan Pancasila dan memperhatikan Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh tiap-tiap warga binaan pemasyarakatan.   *            Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **          Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN LUKA BERAT DAN KEMATIAN (STUDI KASUS DI POLRESTA PEMATANG SIANTAR) Ramadan Ramadan; Edi Warman; Liza Erwina
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 1 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.542 KB)

Abstract

PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN LUKA BERAT DAN KEMATIAN (STUDI KASUS DI POLRESTA PEMATANG SIANTAR)     RAMADAN Prof.Dr.Ediwarman,SH,M.HUM Liza Erwina,SH,M.HUM Abstrak Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah lama disosialisasikan, tetapi angka kecelakaan dan pelanggaran  lalu lintas di Indonesia tetap tinggi. Polisi sebagai bagian dari aparat penegak hukum merupakan salah satu subsistem yang bertugas dalam bidang penyidik dan penyelidik tindak pidana seperti halnya dalam penyidikan kasus kecelakaan lalu lintas. Permasalahan yang diangkat dan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana aturan hukum kecelakaan berlalu lintas sebagai tindak pidana kelalaian yang menyebabkan kematian pada orang lain? Bagaimana peranan kepolisian dalam penyidikan kasus kecelakaan berlalu lintas yang menyebabkan kematian? Bagaimana upaya polisi dalam menanggulangi kasus kecelakaan berlalu lintas yang menyebabkan kematian? Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui  peranan kepolisian dalam penyidikan kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian (studi kasus di Polresta Pematang Siantar). Metode dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif-normatif yang bersifat kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah konseptual. Materi penelitian diambil dari data primer dan data sekunder, kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan penelitian. Peran kepolisian dalam melakukan penyidikan kasus kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian korban yaitu dengan memproses laporan/informasi, mendatangi tempat kejadian perkara, melakukan permintaan visum et repertum, membuat  berita acara pemeriksaan di TKP dengan melakukan pemanggilan, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan barang bukti, pemberkasan perkara. Upaya yang dilakukan polisi untuk menanggulangi kecelakaan lalu lintas yaitu dengan cara penal dan non penal. Pihak kepolisian segera mendatangi lokasi tempat kejadian kecelakaan lalu lintas sehingga segera mendapatkan barang bukti dan saksi-saksi yang akan mempermudah dalam proses penyusunan berkas perkara.  
KEABSAHAN INFORMASI PADA MEDIA SOSIAL SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 Togi Robson; Suwarto Suwarto; Madiasa Ablisar
Jurnal Mahupiki Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (175.643 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Togi Robson Sirait[1] Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.H.[2] Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.H.[3] Perkembangan Teknologi merukan salah satu dampak dari globalisasi yang tidak bias dihindarkan. Era globalisasi ini telah menjadi pendorong lahirnya era teknologi informasi. Perkembangan teknologi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung demikian cepat. Terkhusus dalam kasus pencemaran nama baik telah memiliki dimensi baru karena sering terjadi karena ketersinggungan melalui status yang dibuat pada media sosial. Dari banyaknya kebutuhan akibat berkembangnya kejahatan yang terjadi, Indonesia menjawabya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perkembangan yang sedemikian rupa membuat hukum harus cepat beradaptasi juga terhadap perubahan sosial. Sehingga kita juga harus megetahui bagaimana pengaturan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ITE. Dengan mengetahui karakteristik tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang tersebut, maka yang perlu dikaji lebih lanjut adalah penggunaan informasi pada media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang ITE. Dari kedua hal tersebut, maka akan dibahas mengenai penerapan hukum terhadap penggunaan informasi pada media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik khususnya dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel. Dalam mengkaji masalah tersebut, digunakan salah satu tipe penelitian hukum yang ada, yaitu doctrinal research. Dalam metode ini penelitian dilakukan dengan menganalisis aturan-aturan hukum terkait dengan permasalahan yang ada dan  dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk perkembangan hukum di masa depan. Penggunaan informasi pada media sosial merupakan bagian dari penggunaan alat bukti elektronik sebagai alat bukti dalam system pembuktian pidana di Indonesia. Oleh karena itu, informasi pada media sosial merupakan alat bukti yang sah yang dapat digunakan dalam proses persidangan di pengadilan. Penggunaan alat bukti elektronik di kemudian hari akan menjadi kebutuhan dalam sistem pembuktian dalam hukum Indonesia. Para aparat Negara sebaiknya juga akan membuat pengaturan khusus mengenai alat bukti elektronik serta pelaksanaan dalam menjamin keabsahaan penggunaan alat bukti elektronik.     [1] Mahasiswa [2] Dosen Pembimbing 1 [3] Dosen Pembimbing 2
TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN SEKSUAL BERUPA SODOMI DITINJAU DARI PSIKOLOGI KRIMINIL (ANALISIS JURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN) Arief Hidayat; Liza Erwina; Marlina Marlina
Jurnal Mahupiki Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.894 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Arief Fahriadi   Penyimpangan Seksual merupakan tingkah laku seksual yang tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan tata cara serta norma agama, yang mana cara untuk mendapatkan kenikmatan seksual ini dengan jalan yang tidak wajar salah satunya adalah sodomi, sodomi ialah penyimpangan seksual terhadap pasangan seks yang berjenis kelamin sama dimana hubungan seksual dilakukan melalui anus. Penulis pada skripsi ini mengemukakan permasalahan yang terdapat dalam sodomi yaitu faktor penyebab terjadinya penyimpangan seksual berupa sodomi ditinjau dari psikologi kriminil, bagaimana upaya penanggulangan terhadap tindak pidana penyimpangan seksual berupa sodomi ditinjau dari psikologi kriminil serta bagaimana penerapan sanksi terhadap 4 Putusan Pengadilan Negeri medan di dalam kasus penyimpangan seksual berupa sodomi. Dari ketiga pokok permasalahan tersebut dapat diketahui bagaimana cara agar dapat mengantisipasi terjadinya kejahatan seksual seperti sodomi, hal ini dilakukan agar orang-orang yang kita sayangi seperti anak, saudara bahkan teman dapat kita lindungi dari perilaku kejahatan seksual yang kebanyakan dilakukan oleh orang dewasa. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini menganalisis 4 Putusan Pengadilan Negeri Medan mengenai kasus sodomi, dimana pelakunya terdiri atas 2 orang dewasa dan 2 orang anak yang masih dibawah umur. Selanjutnya ialah menganalisa putusan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang didalamnya melihat apakah dakwaan sesuai dengan putusan serta fakta hukum yang ada kemudian ditambah analisis perspektif perlindungan terhadap anak dan juga mengenai pengadilan anak yang mengatur tentang tata cara persidangan yang dilalui oleh anak pelaku tindak kejahatan. data yang diperoleh dalam skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan, yaitu dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek penelitian hukum primer diantaranya adalah KUHP, Perpu, serta bahan hukum sekunder lainnya yang relevan dengan penelitian, serta analisa hasil memakai analisis kualitatif. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dapat disimpulkan sodomi ialah suatu penyimpangan seksual yang diakibatkan oleh beberapa faktor seperti pada orang dewasa sodomi dipengaruhi oleh kelainan seksual, pengaruh sosial atau pergaulan serta pernah menjadi korban sodomi sewaktu kecil sedangkan pada anak-anak, sodomi terjadi akibat menonton VCD Porno serta pernah disodomi.
KEDUDUKAN KETERANGAN SAKSI DI PENYIDIKAN SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PERSIDANGAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Stabat No.752/ Pid.B/ 2012/ PN.Stb Febri Sri Utami; Alvi Syahrin; Syafruddin Hasibuan
Jurnal Mahupiki Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (147.657 KB)

Abstract

ABSTRAK   Pembuktian dipandang sangat penting dalam hukum acara pidana karena yang dicari dalam pemeriksaan perkara pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri. Untuk menemukan suatu kebenaran dalam suatu perkara, pembuktian adalah cara paling utama yang digunakan hakim untuk menentukan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan atau memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara.   Salah  satu alat  bukti  di dalam  hukum acara pidana  adalah keterangan saksi. Keterangan saksi adalah alat bukti yang utama digunakan dalam sidang perkara pidana, hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang  saksi  nyatakan  dimuka  sidang  pengadilan.  Dengan  kata  lain  hanya keterangan saksi yang diberikan dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat (1) KUHAP).   Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dengan penelitian hukum   normatif dalam mewujudkan tulisan ini, penulis melakukan penelitian terhadap pustaka. Selanjutnya penelitian empiris dilakukan dengan melakukan penelitian secara langsung dengan mengadakan wawancara dengan ketua Pegadilan Negeri Stabat.   keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di muka  sidang,  bukan  sebuah  keharusan  yang  tidak  dapat  ditolerir.  KUHAP memberi alternatif penyelesaian masalah jika pada suatu hal jaksa penuntut umum atau hakim tidak dapat menghadirkan saksi ke persidangan karena alasan tertentu. Jika karena suatu alasan yang sah saksi berhalangan atau tidak dapat dihadirkan untuk memberikan keterangan di persidangan maka keterangan saksi tersebut ketika di penyidikan di bacakan di muka sidang, dan keterangan yang dibacakan itu berlaku sebagai alat bukti yang sah asalkan keterangan itu sebelumnya dilakukan dibawah sumpah.
KAJIAN YURIDIS PEMBUKTIAN KEJAHATAN MAYANTARA (CYBERCRIME) DALAM LINGKUP TRANSNASIONAL (Studi Putusan) Evi Lestari; Edi Warman; Rafiqoh Lubis
Jurnal Mahupiki Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (382.825 KB)

Abstract

ABSTRAK Evi Lestari Situmorang* Kejahatan mayantara (cybercrime) merupakan kejahatan yang terjadi di dunia maya (cyberspace) yang tidak mengenal batas yurisdiksi serta penggunaan internet oleh siapa saja dan kapan saja saja di seluruh dunia. Sehingga dapat digolongkan bahwa kejahatan mayantara (cybercrime) termasuk kejahatan transnasional. Oleh karena sifatnya yang transnasional, pembuktian kejahatan mayantara (cybercrime) juga menjadi hal yang membutuhkan perhatian bagi negara Indonesia dalam rangka penegakan hukum serta menentukan yurisdiksi kejahatan transanasional ini sesuai Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas diangkatlah beberapa permasalahan yaitu: bagaimanakah  eksistensi kejahatan mayantara (cybercrime), bagaimanakah  kejahatan mayantara (cybercrime) dalam hukum pidana positif  di Indonesia, serta bagaimanakah pembuktian kejahatan mayantara (cybercrime) dalam lingkup transnasional. Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif  atau penelitian yuridis normatif yaitu penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini menitikberatkan pemakaian bahan pustaka dan data sekunder. Data sekunder tersebut terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Pembuktian kejahatan mayantara (cybercrime) dalam lingkup transnasional yang terjadi di Indonesia menggunakan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara Indonesia telah diatur pula di beberapa undang-undang. Munculnya kejahatan mayantara (cybercrime) ini disebabkan oleh faktor kesadaran hukum masyarakat yang kurang, faktor keamanan pelaku dalam melakukan kejahatan, faktor budaya hukum, dan masih kurangnya aparat penegak hukum yang memiliki kemampuan dalam hal cybercrime, serta peraturan perundang-undangan yang belum berlaku secara efektif dalam menanggulangi kejahatan tersebut. Kebijakan penanggulangan kejahatan ini dapat ditempuh dengan pendekatan penal dan non penal. [1] * Penulis, Mahasiswi Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara.
RELEVANSI SANKSI PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009) DENGAN TUJUAN PEMIDANAAN Timbul TM Aritonang; Syafruddin Kalo; Mahmud Mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.56 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Prof. Dr. Syafruddin Kalo SH.M.Hum. * Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum ** Timbul Tua Marojahan Aritonang *** Skripsi ini berbicara mengenai relevansi pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang penyalahgunaan narkotika dilihat dari sudut pandang tujuan pemidanaan. Undang-Undang narkotika sebagai suatu peraturan yang mengatur mengenai penyalahgunaan narkotika merupakan suatu peraturan hukum yang tergolong dalam hukum pidana, untuk itu asas dan tujuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 ini tentu saja tidak boleh melenceng dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Artinya, sanksi-sanksi yang tercantum di dalamnya pun haruslah sesuai dengan tujuan-tujuan pemidanaan yang berlaku di Indonesia, termasuk sanksi pidana mati yang berlaku di dalam Undang-Undang tersebut. Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana Bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana narkotika menurut undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika dan bagaimana relevansi sanksi pidana mati dalam tindak pidana narkotika (Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009) dengan tujuan pemidanaan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum. Pengaturan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat dalam BAB XV Ketentuan Pidana yaitu pada pasal 111 sampai dengan pasal 148. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yakni Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, mengadakan, dan mengedarkan Narkotika dengan tidak menaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Adapun tindak pidana yang dapat dijatuhi pidana mati terletak pada pasal 113, 114, 116, 118, 119, 121, 133. Ditinjau dari tujuan pemidanaan, Pidana mati atas tindak pidana narkotika lebih terkait kepada tujuan pemidanaan preventif, hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Narkotika itu sendiri. Bahwa pidana mati dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku  penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Sebagaimana juga didukung oleh rancangan KUHP (Baru) yang mana mengkhususkan penerapan Hukuman Mati sebagai alternatif terakhir.
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI PUTUSAN YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG DIDAKWAKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA Jerry Thomas; Syafruddin Kalo; Rafiqoh Lubis
Jurnal Mahupiki Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (442.262 KB)

Abstract

ABSTRAK Syafruddin Kalo* Rafiqoh Lubis** Jerry Thomas*** Ketentuan di dalam Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang sering disebut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menegaskan bahwa majelis hakim melakukan musyawarah untuk menjatuhkan putusan berdasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Dan dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP juga menegaskan agar hakim memutus bebas seorang terdakwa apabila hasil pemeriksaan sidang menyatakan bahwa pasal-pasal di dalam surat dakwaan tidak terbukti. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, judex factie dalam kedua perkara tersebut telah menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Namun, Mahkamah Agung pada perkara yang pertama justru menerima kasasi dengan menyatakan bahwa putusan haruslah sesuai dengan surat dakwaan, sedangkan pada perkara kedua menolak kasasi dengan dalih bahwa penerapan hukum yang dilakukan judex factie sudah tepat. Kedua putusan ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum akan hukum acara pidana di Indonesia. Ada beberapa yurisprudensi yang memang memperbolehkan hakim untuk memutus pasal yang tidak didakwakan di dalam surat dakwaan, seperti putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984, Nomor 42 K/Kr/1956, Nomor 693 K/Pid/1986, dan Nomor 675 K/Pid/1987 yang memperbolehkan memutus pasal sejenis dengan pasal yang didakwakan. Di lain pihak, juga terdapat yurisprudensi yang tidak memperkenankan penjatuhan pidana terhadap pasal yang tidak didakwakan, antara lain putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/1983, Nomor 47 K/Kr/1956, dan Nomor 68 K/Kr/1973 yang menegaskan bahwa putusan pengadilan harus didasarkan pada surat dawaan. Dari beberapa hal tersebut, maka menimbulkan kebingungan akan hukum acara pidana Indonesia, mengingat bahwa yurisprudensi juga merupakan sumber hukum formil. Selain itu, semakin membingungkan mengingat bahwa sistem hukum yang dianut di Indonesia adalah sistem hukum Civil Law yang tidak mengikat hakim untuk mengikuti yurisprudensi yang ada. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu hakim dalam menjatuhkan putusannya harus memperhatikan 3 (tiga) asas yang penting, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.   * Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
MEDEPLEGER YANG DINYATAKAN BERSALAH TANPA DI PIDANANYA PLEGER DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR : 2442/PID.B/2011/PN-MDN) Wisman Goklas; Madiasa Ablisar; Marlina Marlina
Jurnal Mahupiki Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (230.687 KB)

Abstract

ABSTRAK Dr. Madiasa Ablisar, SH.M.S.* Dr. Marlina, SH.M.Hum** Wisman Goklas*** Penulisanskripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap tindak pidana pembunuhan berencana yang dapat dipidananya medepleger tanpa dipidananya pleger. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana, pertanggungjawaban pelaku dalam penyertaan, dan pertimbangan hakim dalam pembuktian pelaku penyertaan tindak pidana pembunuhan berencana dalam putusan pengadilan negri medan no; 2442/Pid.B/2011/PN-MDN. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative, yaitu suatu penelitian yang secara deduktif mulai dengan analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hokum yang bertujuan hokum untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya (Studi Putusan). Berdasarkan hasil penelitian penulis mengambil kesimpulan bahwa pengaturan hokum tindak pidana peembunuhan berencana yang diatur dalam pasal 340 KUHP ialah pembunhan dalam arti pasal 338 KUHP ditambah dengan adanya unsur dengn rencana terlebih dahulu, lebih berat ancaman pidana pada pembunuhan berencana jika dibandingkan dengan pembunuhan dalam pasal 338 maupun pasal 339 KUHP, diletakkan pada adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu. Penyertaan diatur dalam pasal 55 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bahagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. Pertimbangan hakim dalam putusan pengadilan negeri medan No : 2442/Pid.B/2011/PN-MDN terhadap sun an anlang yang dijatuhkan hukuman pidana penjara seumur hidup adalah keliru, bahwa penulis berpendapat unsur-unsur dalam pasal 340 jo pasal 55 KUHP tidak terpenuhi.
Dissenting Opinion sebagai Bentuk Kebebasan Hakim dalam Membuat Putusan Pengadilan guna Menemukan Kebenaran Materiil Henny Handayani; Alvi Syahrin; Mahmud Mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (344.14 KB)

Abstract

Abstrak Henny Handayani Sirait* Prof. Alvi Syahrin S.H.,M.S** Dr. Mahmud Mulyadi S.H.,M.Hum***   Kebebasan dalam menyampaikan pandangan yang berbeda terhadap suatu perkara merupakan perwujudan dari kebebasan eksistensial hakim. Kebebasan eksistensial hakim bukan merupakan kebebasan tanpa batas melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab sosial sesuai dengan etika, norma, hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia, serta bangsa dan negara. Implementasi dari kebebasan eksistensial hakim ialah kebebasan dalam melakukan penemuan hukum secara aktif dalam mewujudkan tujuan hukum pidana dalam rangka penemuan kebenaran “waarheidsvinding”. Proses penemuan kebenaran melalui wadah musyawarah merupakan sarana bagi majelis hakim untuk bertukar pendapat, sehingga kebenaran materiil yang akan ditemukan bukan kebenaran yang bersifat personal tapi merupakan kebenaran yang lahir dari majelis hakim yang mengekspresikan pandangan yang diyakini oleh masyarakat bahwa hal tersebut merupakan suatu kebenaran. Artinya, hakim dalam mengemukakan pandangannya bukan hanya bertumpu kepada pandangan, keilmuan, filsafat, pengalaman dan kebenaran materiil yang hanya bersifat individual, tetapi pandangan yang diyakini oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran yang mengandung nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat. Pranata dissenting opinion merupakan instrumen menuju kualitas penegakan hukum yang lebih baik, pranata ini memiliki beberapa makna penting dalam pembangunan dan perkembangan hukum di Indonesia, yakni dissenting opinion merupakan pilar penting dalam menjaga peradilan tetap sehat, dissenting opinion sebagai cerminan kebebasan personal hakim dan imparsialitas hakim, memberikan efek psikology dwang dalam membuat putusan pengadilan di masa depan, dissenting opinion sebagai bahan eksaminasi publik terhadap putusan pengadilan, dan dissenting opinion sebagai intrumen mengembalikan  public trust terhadap putusan pengadilan, pendobrak paradigma penemuan hukum dalam mewujudkan rechsidee. Adapun yang menjadi objek kajian penulis terkait persfektif kebebasan hakim dalam menemukan kebenaran materiil yang mencerminkan sense of justice, konsepsi dissenting opinion berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam membuat putusan pengadilan, serta penerapan kebebasan eksistensial hakim melalui dissenting opinion dalam upaya penemuan kebenaran materiil. Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum (legal research), dengan spesidikasi penelitian yang bersifat dekriptif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), dan pendekatan perbandingan (historical approach) dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier, yang selanjutnya disimpulkan dan diberi saran yang berupa argumentasi baru terkait permasalahan yang dikaji.