cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota medan,
Sumatera utara
INDONESIA
Jurnal Mahupiki
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education,
Arjuna Subject : -
Articles 368 Documents
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP OKNUM POLRI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/PN.Mdn) Daniel Siregar; Madiasa Ablisar; Mahmud mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 2, No 01 (2015)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (144.434 KB)

Abstract

ABSTRAK Daniel Clinton Siregar* Dr. Madiasa Ablisar, S.H.,M.S.** Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum.*** Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dalam bidang medis, kini kerap disalahgunakan. Penyalahgunaan tersebut merupakan penggunaan narkotika, pengedar dan kejahatan Prekursor Narkotika yang dapat dilakukan dengan permufakatan jahat. Pelaku tindak pidana narkotika harus diberi hukuman karena telah melanggar hukum, sebab dalam hukum yang penting bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya terjadi. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimana formulasi Tindak Pidana Narkotika dalam UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bagaimana penegakan hukum dalam kasus Henry Dunant Purba sebagai Oknum Polri sebagai pelaku Tindak Pidana Narkotika pada Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor. 479/Pid.B/2011/PN.Mdn.   Metode Penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yudiris normatif yang terdiri dari inventarisasi hukum positif dan penemuan hukum inkonkreto. Inventarisasi hukum positif maksudnya adalah kegiatan mengkritisi yang bersifat mendasar untuk melakukan penelitian hukum dari jenis-jenis yang lain, serta penemuan hukum inkonkreto merupakan usaha untuk menemukan apakah hukum yang terapkan tersebut sesuai atau tidak untuk menyelesaikan perkara atau masalah tertentu dimana bunyi peraturan ditemukan.   Kesimpulannya adalah Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana khusus dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan ketentuan khusus yang perbuatannya berupa memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, memproduksi, mengimpor/ekspor atau menyalurkan, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, menukar atau menyerahkan, membawa, mengirim, dan mengangkut narkotika dan prekursor narkotika. Terdapat beberapa hal yang tidak bersesuaian dalam surat tuntutan dan putusan Hakim dengan didukung oleh pertimbangan Hakim mengenai unsur-unsur yang terbukti berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dalam persidangan terdakwa Henry Dunant Purba yang menyatakan bahwa terdakwa memenuhi semua unsur dari Pasal 114 UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu sebagai penjual atau perantara dalam jual beli atau menyerahkan Narkotika golongan I jenis shabu-shabu.    
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP OKNUM POLRI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/PN.Mdn) Daniel Clinton; Madiasa Ablisar; Mahmud mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 02 (2016)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (144.434 KB)

Abstract

ABSTRAK Daniel Clinton Siregar* Dr. Madiasa Ablisar, S.H.,M.S.** Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum.*** Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dalam bidang medis, kini kerap disalahgunakan. Penyalahgunaan tersebut merupakan penggunaan narkotika, pengedar dan kejahatan Prekursor Narkotika yang dapat dilakukan dengan permufakatan jahat. Pelaku tindak pidana narkotika harus diberi hukuman karena telah melanggar hukum, sebab dalam hukum yang penting bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya terjadi. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah Bagaimana formulasi Tindak Pidana Narkotika dalam UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bagaimana penegakan hukum dalam kasus Henry Dunant Purba sebagai Oknum Polri sebagai pelaku Tindak Pidana Narkotika pada Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor. 479/Pid.B/2011/PN.Mdn.   Metode Penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yudiris normatif yang terdiri dari inventarisasi hukum positif dan penemuan hukum inkonkreto. Inventarisasi hukum positif maksudnya adalah kegiatan mengkritisi yang bersifat mendasar untuk melakukan penelitian hukum dari jenis-jenis yang lain, serta penemuan hukum inkonkreto merupakan usaha untuk menemukan apakah hukum yang terapkan tersebut sesuai atau tidak untuk menyelesaikan perkara atau masalah tertentu dimana bunyi peraturan ditemukan.   Kesimpulannya adalah Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana khusus dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan ketentuan khusus yang perbuatannya berupa memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, memproduksi, mengimpor/ekspor atau menyalurkan, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara, menukar atau menyerahkan, membawa, mengirim, dan mengangkut narkotika dan prekursor narkotika. Terdapat beberapa hal yang tidak bersesuaian dalam surat tuntutan dan putusan Hakim dengan didukung oleh pertimbangan Hakim mengenai unsur-unsur yang terbukti berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada dalam persidangan terdakwa Henry Dunant Purba yang menyatakan bahwa terdakwa memenuhi semua unsur dari Pasal 114 UU. No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu sebagai penjual atau perantara dalam jual beli atau menyerahkan Narkotika golongan I jenis shabu-shabu.  
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI MASKAPAI PENERBANGAN SIPIL AKIBAT KECELAKAAN PESAWAT YANG MENYEBABKAN KEMATIAN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA INDONESIA Ari Pareme; Mhd Hamdan; Rafiqoh Lubis
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 01 (2016)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (518.914 KB)

Abstract

ABSTRAK Ari Pareme Simanullang Dr.M.Hamdan, S.H.,M.H. Rafiqoh Lubis, S.H.,M.Hum   Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi serta didukung oleh modernisasi dan kemajuan teknologi mengakibatkan korporasi banyak mengambil bagian dalam kehidupan masyarakat. Di satu sisi, hal ini berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar, tetapi di sisi lain berpotensi menimbulkan kerugian besar baik secara ekonomi, lingkungan hidup sampai matinya seseorang. Korporasi sebagai subjek hukum di dalam Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 tentu membawa suatu yang baru karena pada undang-undang sebelumnya, tidak mengatur korporasi sebagai subjek hukum, mengingat juga bahwa kecelakaan pesawat yang terjadi di Indonesia tidak pernah diselesaikan melalui ranah pidana, jika pun ada, bukan korporasi yang dimintakan pertanggungjawaban tetapi pilot (awak kapal) sebagai perorangan. Korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana penerbangan membuat bentuk pertanggungjawaban pidananya berbeda dengan pertanggungjawaban pidana orang perorangan. Sehingga, adapun masalah hukum yang diteliti dan dibahas terkait hal tersebut adalah kebijakan penanggulangan tindak pidana penerbangan di Indonesia dan pertanggungjawaban pidana korporasi maskapai penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat yang menyebabkan kematian ditinjau dari aspek hukum pidana Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang dikaji adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan KUHP. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara deskriptif analitis. Hasil dari penelitian ini bahwa, pertama, kebijakan penanggulangan tindak pidana penerbangan di Indonesia melalui hukum pidana (sarana penal) telah dirumuskan dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang kemudian haruslah diterapkan melalui tahap aplikatif dan eksekutif. Tetapi pada praktiknya, kebijakan penanggulangan tindak pidana penerbangan cenderung diselesaikan melalu sarana non-penal, yaitu secara perdata atau administrasi. Kedua, Pertanggungjawaban pidana korporasi maskapai penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat yang menyebabkan kematian dimintakan kepada pengurus dan/atau korporasi maskapai penerbangan yang melakukan tindak pidana mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh tahun) dan denda paling banyak  Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam bab ketentuan pidana.
TINJAUAN TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM JABATAN ( Studi Putusan Nomor : 465/PID.SUS/2010/PN.PSP ) Kayaruddin Hasibuan; Mhd Hamdan; Mahmud mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 01 (2016)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (460.136 KB)

Abstract

ABSTRAKSI Bangsa Indonesia terjangkit penyakit korupsi yang telah kronis dan belum dapat disembuhkan hingga saat ini. Hal ini disebabkan oleh korupsi yang seolah-olah telah mengakar dan mendarah daging dalam sistem dan subur dipelihara dengan kebiasaan-kebiasaan yang koruptif. dalam masyarakat, praktik korupsi ini dapat ditemukan dalam berbagai modus operandi dan dapat dilakukan oleh siapa saja, dari berbagai strata sosial dan ekonomi. Korupsi mampu melumpuhkan pembangunan bangsa, membutakan moral para pelakunya hingga mematikan kepedulian terhadap bangsa yang kian rapuh dan lemah ini. Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan tertentu sehingga karakteristik kejahatan korupsi itu selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan. Alasan inilah yang melatar belakangi Penulis untuk mengangkat Permasalahan Tindak Pidana Korupsi, Khususnya Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini antara lain : pertama, Bagaimanakah Ketentuan Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan. Kedua, Bagaimanakah Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan Dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan putusan nomor : 1018/Pid.Sus/2011/PN.Psp. Jenis penelitan yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Berdasarkan tindak pidana korupsi yang terjadi pada Dinas Pendidikan Kota Padang Sidimpuan, Maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana korupsi yang menyalahi Peraturan Perundang-undangan  yang berlaku. Sehingga terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dimuka hukum secara pribadi, karena terdakwa telah turut serta melakukan penyalahgunaan wewenang dalam jabatannya dengan memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain  dan telah merugikan keuangan negara. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung dalam menjatuhkan putusan pada perkara ini telah menggunakan pertimbangan yuridis yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang telah terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-undang ditetapkan. Kata Kunci : Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan.
SAH TIDAKNYA PENETAPAN STATUS TERSANGKA OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) YANG DIAJUKAN SEBAGAI ALASAN PRA PERADILAN DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA (STUDI TERHADAP PUTUSAN NOMOR: 04/PID.PRAP/2015/PN.JKT.SEL – PRA PERADILAN BUDI GUN Randa Morgan Tarigan; Syafruddin Kalo; Rafiqoh Lubis
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 01 (2016)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (440.549 KB)

Abstract

ABSTRAK Randa Morgan Tarigan* Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum** Rafiqoh Lubis, SH,M.Hum*** Praperadilan dibentuk oleh KUHAP untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekwen. Dengan adanya lembaga praperadilan, KUHAP telah menciptakan mekanisme kontrol yang berfungsi sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana. Dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, KPK merupakan lembaga yang lewat amanah Undang-Undang berwenang dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka guna proses penyidikan dan penyelidikan tindak pidana korupsi. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimana mekanisme penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan bagaimana sah-tidaknya penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan sebagai alasan Praperadilan ditinjau dari Hukum Acara Pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif melalui penelitian kepustakaan (library research). Hasil dari proses penyelidikan merupakan penentu penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemeriksaan tindak pidana korupsi akan ditingkatkan ke penyidikan setelah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti. Sebelumnya, sah-tidaknya penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah bukan merupakan objek praperadilan dan bukan pula wewenang pengadilan untuk mengadili. Tetapi, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 praperadilan telah berwenang memeriksa sah atau tidaknya penetapan status tersangka. Hal ini merupakan sebuah pembaruan dalam hukum acara pidana di Indonesia.  
ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 177/ K/MIL/2013 dan Putusan Nomor 234/K/MIL/2014 ) Eka Wijaya Silalahi; Liza Erwina; Mahmud mulyadi
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 01 (2016)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (259.414 KB)

Abstract

A B S T R A K Eka Wijaya Silalahi *) Liza Erwina **) Mahmud Mulyadi **)   Hukum Positif di Indonesia tidak memandang semua hubungan kelamin diluar pernikahan sebagai zina (Overspel). Perbuatan zina menurut KUHP hanya meliputi mereka yang melakukan persetubuhan diluar pernikahan dan berada dalam status bersuami atau beristri. Hal ini tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan pandangan umum masyarakat Indonesia, dimana menurut nilai-nilai sosial yang berdasarkan adat istiadat ataupun agama di Indonesia pada umumnya menganggap semua perbuatan bersetubuh diluar pernikahan adalah zina. Dalam hal perbuatan zina itu dilakukan oleh anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) selain proses penegakan hukumnya berbeda, tanggungjawab hukumnya akan berbeda pula jika dibandingkan dengan perbuatan zina yang dilakukan oleh warga sipil. Perihal perkara mengenai tindak pidana perzinahan yang diajukan untuk dilakukan pemeriksaan kasasi diancam dengan hukuman pidana dibawah satu tahun, berdasarkan ketentuan pasal 45A ayat (2) UU No.5 Tahun 2004 maka Mahkamah Agung wajib menolak pemeriksaan kasasi terhadap perkara tersebut. Pasal 45A ayat (2)  Undang-Undang No.5 Tahun 2004 juncto Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, secara tegas menyatakan bahwa tindak pidana yang diancam dengan pidana paling lama satu tahun tidak dapat dimohonkan untuk pemeriksaan kasasi. Dalam putusan Mahkamah Agung No.324 K/MIL/2014 Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi mengingat ancaman hukuman pada putusan pengadillan Judex Facti tidak memenuhi pasal 45A ayat (2) UU No.5 Tahun 2004. Sementara pada putusan Mahkamah Agung No.177 K/MIL/2013 , Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi walaupun ancaman hukuman oleh Judex Facti tidak memenuhi ketentuan Pasal 45A ayat (2) UU No.5 Tahun 2004 untuk dilakukan pemeriksaan kasasi. Hal ini merupakan penerobosan hukum (Undang-Undang) oleh Mahkamah Agung.
“PELAKSANAAN DIVERSI DALAM PERATURAN PEMERINTAH NO. 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAKYANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN” Siti Annur; Madiasa Ablisar; Nurmala wati
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 01 (2016)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (169.133 KB)

Abstract

  Siti Fathia Annur* Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S.** Nurmalawaty, S.H., M.Hum.***   Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut. Lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi peneguhan terkait dengan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Undang-undang inilah yang memperkenalkan konsep diversi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Tahun 2015 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun yang menjadi kebutuhan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Permasalahan yang diambil dari latar belakang tersebut adalah bagaimana pengaturan diversi dalam sistem hukum peradilan pidana anak, dan bagaimanakah pelaksanaan diversi dalam peradilan pidana anak menurut Peraturan Pemerintah No.65 Tahun 2015. Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Penelitian ini juga didukung oleh data empiris. Setiap tingkatan peradilan anak wajib melaksanakan proses diversi baik itu penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan bagi anak yang sudah berumur 12 (Dua Belas) tahun tetapi belum berumur 18 (Delapan Belas) tahun. Diversi secara umum diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan secara khusus diatur dalam peraturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Pelaksanaan diversi di Pengadilan Negeri Medan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun. Dalam pelaksanaan diversi di Pengadilan Negeri Medan ditemukan beberapa hambatan dalam pelaksanaannya namun telah dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan tersebut. * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **     Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***  Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ANALISIS PENJATUHAN PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan PN Tebing Tinggi Nomor: 701/Pid.B/2010/PN-TTD jo. Putusan MARI Nomor : 2280 K/Pid.Sus/2012) Edi Warman; Nurmala Waty
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 02 (2016)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (586.328 KB)

Abstract

ABSTRAK Olivia Intan Maria Sinurat* Prof. Dr. Ediwarman,SH., M.Hum ** Nurmalawaty, SH., M.Hum *** Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang termasuk ke dalam kejahatan luar biasa. Putusan bebas khususnya dalam kasus narkotika selalu menjadi hal yang kontroversial dalam masyarakat, karena seorang pelaku dalam tindak pidana narkotika merupakan seseorang yang dipandang tercela. Bahkan dalam Undang-Undang Narkotika sanksi pidana terberat yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana narkotika adalah pidana mati. Putusan bebas yang dijatuhkan atas kasus narkotika pasti menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas, khususnya dalam kasus narkotika. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan bagi penulis yang kemudian diangkat menjadi rumusan permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan hukum mengenai penjatuhan putusan bebas dalam tindak pidana narkotika, faktor yang menyebabkan Hakim menjatuhkan putusan bebas dalam tindak pidana narkotika dan apa kebijakan hukum bagi terdakwa yang telah dijatuhkan putusan bebas. Untuk menjawab masalah tersebut maka metode yang penulis gunakan adalah menggunakan metode penelitian hukum normative yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan, khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum serta melakukan wawancara langsung dengan obyek yang berhubungan. Pengaturan mengenai penjatuhan putusan bebas dalam tindak pidana narkotika dikaji secara terpisah, yaitu dari KUHAP yang mengatur mengenai penjatuhan putusan bebas yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP dan dari undang-undang narkotika, yang mana pengaturan mengenai tindak pidana narkotika diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976, yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, yang kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang berlaku sampai saat ini. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini pengaturan mengenai tindak pidana narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan Hakim menjatuhkan putusan bebas dalam tindak pidana narkotika adalah apabila tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif dan apabila tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Kebijakan hukum bagi terdakwa yang telah dijatuhi putusan bebas adalah berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (pemulihan nama baik).  
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KASUS PENGGELAPAN PREMI ASURANSI (Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn) Chrismanto HS; Alvi Syahrin; Nurmala wati
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 02 (2016)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (510.25 KB)

Abstract

ABSTRAK Chrismanto H.S* Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., M.S** Nurmalawaty, SH., M.Hum***   Kebutuhan terhadap asuransi yang sangat tinggi dalam masyarakat banyak dijumpai perbuatan curang (melawan hukum) dalam perjanjian asuransi. Perbuatan-perbuatan tersebut telah memenuhi delik perbuatan pidana.         Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah pelaksanaan penyidikan asuransi. Penegakan hukum terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi dan Analisis kasus putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan penyidikan terhadap pengajuan klaim asuransi terkait dengan tindak pidana penggelapan asuransi klaim asuransi terkait tindak pidana penggelapan di bidang asuransi pada Pasal 372 KUHP yang dinyatakan Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada adalah kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Dan Pasal 374 KUHP Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Penegakan hukum terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi dan Analisis kasus putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn. Tindak pidana premi asuransi sebagaiman dirumuskan dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Asuransi tidak dapat dilepaskan dari rumusan tindak pidana penggelapan yang secara umum diatur dalam Pasal 372 KUHP atau dalam beberapa kasus dapat juga diatur dalam Pasal 378 KUHP. Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang Asuransi tidak menentukan lebih jauh apa yang dimaksud dengan bagian inti “menggelapkan” tersebut. Dengan demikian, makna bagian inti atau unsur “menggelapkan” dalam Undang-Undang Asuransi, harus ditafsirkan sebagai “penggelapan” dalam KUHP.   * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
PENERAPAN SANKSI P1DANA TERHADAP KURIR NARKOTIKA DALAM TINJAUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEBUMEN PERKARA NOMOR 139/Pid.B/2010/PN.Kbm ) M Ikhwan Adabi; Edi Yunara; Nurmala Wati
Jurnal Mahupiki Vol 1, No 02 (2016)
Publisher : Jurnal Mahupiki

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (370.944 KB)

Abstract

ABSTRAK Muhammad Ikhwan Adabi*) Edi Yunara**) Syafruddin Hasibuan***)   Penerapan sanksi pidana terhadap kurir narkotika merupakan salah satu bahagian dari tindak kejahatan narkotika yang saat ini makin berkembang dan terus meningkat, hal ini merupakan suatu permasalahan serius yang belum bisa di antisipasi oleh pemerintah. Meningkatnya kasus pemakaian narkoba ini tidak terlepas dari para gembong mafia narkoba yang melakukan berbagai cara untuk memuluskan operasi barang berbahaya itu. Cara yang efektif untuk melakukan operasinya yaitu memerintahkan seseorang dengan berupa imbalan untuk mengedarkan narkoba, atau dapat disebut dengan kurir atau perantara narkotika. Kurir atau perantara narkotika ini kebanyakan di paksa, di ancam oleh mafia narkoba untuk diedarkan kepada calon pembeli. Perekrutan kurir oleh mafia narkoba berasal dari kalangan yang ekonominya rendah baik itu laki-laki maupun perempuan, bahkan sekarang anak di bawah umur di manfaatkan untuk di jadikan kurir narkoba. Selain kurir yang di paksa untuk melakukan peredaran narkotika, banyak juga untuk menjadi kurir tidak mesti di paksa, bahkan banyak juga yang sukarela demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun yang menjadi permasalahan dalam hal ini yaitu mengenai pengaturan tindak pidana terhadap kurir narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di Indonesia, apa saja yang menjadi kendala dalam pemberantasan tindak pidana narkotika, serta bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap kurir Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu metode penelitian hukum yuridis empirtis. Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti peraturan perundang-undangan dan hukum yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas, serta melihat dan mengkaji bagaimana aturan hukum yang ada diterapkan kepada masayarakat Dalam tulisan ini yaitu yang berkaitan dengan kurir narkotika. Peredaran gelap narkotika yang menjadikan kurir sebagai pengedamya merupakan tindak pidana yang serius. Sanksi pidana terhadap kurir ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Untuk penerapan sanksi pidana terhadap kurir anak sudah diatur lebih lanjut di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Penerapan sanksi pidana terhadap pekerjaan sebagai kurir narkotika mesti terlebih dahulu melihat latar belakang keinginan melakukan pekerjaan kurir ini agar tercipta suatu keadilan bagi masyarakat.