cover
Contact Name
Waldi Nopriansyah
Contact Email
waldi@stebisigm.ac.id
Phone
+6287735155355
Journal Mail Official
alahkam@walisongo.ac.id
Editorial Address
Faculty of Sharia and Law Jl. Prof. Hamka Kampus III Ngaliyan Semarang Jawa Tengah Indonesia Postalcode: 50185
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Al-Ahkam
Core Subject : Religion, Social,
Al-AHKAM; is a peer-reviewed journal published by the Faculty of Sharia and Law, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang in collaboration with the Indonesian Consortium of Shariah Scholars (KSSI). Al-AHKAM focuses on Islamic law with various perspectives. This journal, serving as a forum for studying Islamic law within its local and global context, supports focused studies of a particular theme and interdisciplinary studies. AL-AHKAM has been indexed in DOAJ, Google Scholar, and the Indonesia Ministry of Research, Technology, and Higher Education (SINTA 2 - SK No. 164/E/KPT/2021). AL-AHKAM has become a CrossRef Member since the year 2016. Therefore, all articles will have a unique DOI number.
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 350 Documents
THE KOMPILASI HUKUM ISLAM AND DEBATES ON SHARI’A: RECONSIDERING ISLAMIC LAW IN INDONESIA Nasir, Mohamad Abdun
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Wacana tentang penerapan hukum Islam (syari’ah) melalui kekuasaan negara telah menjadi perhatian publik di Indonesia dan menimbulkan isu-isu kontroversial. Ide tentang penerapan itu telah dibawa oleh sejumlah politisi, kelompok, serta organisasi yang menganggap syari’ah sebagai solusi terbaik atas krisis multi dimensi, sosial, ekonomi, dan politik pasca jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Mereka percaya bahwa penegakan hukum Islam tidak hanya cocok dengan semangat demokratisasi, karena asumsi bahwa mayoritas penduduk di negara ini Muslim, namun juga menawarkan solusi yang komprehensif bagi krisis tersebut. Sayangnya, hal ini tidak didasarkan pada pembacaan yang komprehensif terhadap sifat syari’ah itu sendiri dan terhadap kondisi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk, melainkan lebih pada dorongan politik, yaitu dorongan yang kuat untuk mewujudkan sebuah negara Islam yang mengintegrasikan negara dan agama serta Islam dan politik. Dengan menganalisis Kompilasi Hukum Islam, sebagai salah satu contoh produk hukum Islam di Indonesia, muncul argumentasi bahwa penerapan hukum agama oleh negara harus mempertimbangkan metodologi hukum dan dampaknya bagi masyarakat luas.***The discourses on the application of shari’a law through state enforcement have become public concerns in Indonesia and constituted a controversial issue. The idea of the application has been brought up by a number of Muslim politicians and Muslim groups and organizations that consider shari’a the best solution for the multi-dimension of socio-economic and political crisis upon the downfall of the New Order Regime in 1998. They believe that shari’a enforcement not only fits the spirit of democracy, assuming that the majority of population in the country is Muslims, but also offers a comprehensive solution to the crisis. Unfortunately, this idea is not grounded on a comprehensive apprehension to the nature of shari’a itself and pluralistic Indonesian society but more on political impetus, namely a strong plea to realize an Islamic state that integrates the state and religion and Islam and politics. By examining the Kompilasi Hukum Islam, as one example of shari’a legislation in Indonesia, this article demonstrates the problems of Islamic reform that most proponents of shari’a application have overlooked. It argues that application of religious law by the state must consider the methodology of the law and its impacts for broader society.***Keywords: Kompilasi Hukum Islam, shari’a, changes, response, Islam-state relations, Indonesia
OBSERVASI HILAL DENGAN TELESKOP INFRAMERAH DAN KOMPROMI MENUJU UNIFIKASI KALENDER HIJRIYAH NASIONAL Fitri, Ahmad Asrof
AL-AHKAM Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Tulisan ini bermaksud menawarkan pemikiran terkait dengan unifikasi kalender Hijriyah. Setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan ide tersebut. Pertama, memodernisasi peralatan rukyat al-hilāl dengan teleskop berbasis infra merah. Teleskop ini diyakini mampu meminimalisir hambatan dalam pelaksanaan rukyah yang selama ini terjadi, seperti awan, cuaca, dan human error. Kedua, menjadikan maṭla’ sebagai alat pemersatu yang dijamin dengan kepastian hukum oleh pemerintah. Setidaknya ada tiga pendapat tentang maṭla’, yaitu maṭla’ global, maṭla’ fī al-wilāyat al-ḥukmi, dan maṭla’ masāfāt al-qaṣr. Maṭla’ fī al-wilāyat al-ḥukmi menjadi salah satu pilihan yang paling potensial untuk menyatukan penentuan awal bulan Hijriyah. Ikhtiar ini perlu dilakukan guna menjembatani konflik yang selalu terjadi antara landasan teoritik (hisab) dan landasan empirik (rukyat) dalam penetapan awal bulan. Pada akhirnya terobosan ini diharapkan mampu menstimulasi terjadinya kompromi-kompromi antara beberapa teori dan mazhab yang berbeda dalam penentuan awal bulan Hijriyah di Indonesia.***This paper intends to offer the thoughts associated with the unification of the Islamic calendar. There are at least two things that need to be done to realize the idea. First, modernize equipment of rukyat al-hilal based infrared telescopes. This telescope is believed to be able to minimize the obstacles in the implementation of rukyah which have so far happened, like a cloud, the weather, and human error. Second, renders maṭla’ as unifying instrument secured with legal certainty by the government. There are three opinions about matla’, namely maṭla’ global, maṭla’ fī al-wilāyat al-ḥukmi, dan maṭla’ masāfāt al-qaṣr. Maṭla’ fī al-wilāyat al-ḥukmi be one option the most potential to unite the determination of the early months of the Hijriyyah Calender. This effort needs to be done to bridge conflicts that always occurs between the theoretical base (hisab) and empirical base (rukyat) in determining the beginning of the month. This effort is also expected to stimulate the occurrence of compromises between several theories and different groups in the determination of the beginning of the Hijriyyah calender in Indonesia.***Keywords: ru’yat  al-hilāl, teleskop inframerah, unifikasi  kalender Hijriyah, maṭla’
SINKRONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI PERKAWINAN BEDA AGAMA Rosidah, Zaidah Nur
AL-AHKAM Volume 23, Nomor 1, April 2013
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sinkronisasi secara horisontal maupun vertikal peraturan perundang-undangan tentang perkawinan beda agama di Indonesia. Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif, yang diproyeksikan untuk meneliti harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan beda agama. Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach). Teknik pengumpul­an data dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik analisa data dilakukan melalui sinkronisasi secara horisontal dan vertikal. Adapun temuan dalam penelitian ini adalah: pertama, secara horisontal terjadi ketidak­sinkronan antara UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan beda agama dilarang, sedang dalam UU Administrasi Ke­pendudukan, hal itu diperbolehkan. Kedua, secara vertikal antara UU Perkawinan dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Inpres No. 9 Tahun 1991 sudah terdapat sinkronisasi yaitu melarang perkawinan beda agama. Tetapi dengan Peraturan Perkawinan Campur­an No. 158 Tahun 1898 terjadi ketidaksinkronan. UU Perkawinan melarang perkawinan mereka yang berbeda agama, sedangkan menurut Peraturan Perkawinan Campuran, perbedaan agama bukan penghalang melangsungkan per­kawinan.***This research aims to know the horizontal and vertical synchronization of legislation on interfaith marriage in Indonesia. This study is a part of normative legal research which is projected to examine the harmonization of legislation regarding interfaith marriage. The current approach of this research is legislation approach (statue approach) in which the data was collected by reciting the literature of primary and secondary legal materials. The next to analysis the data, the researcher examined them through horizontal and vertical synchronization.  And the last, the finding outs are: the first, it horizontally occurs discrepancies between the regulation No. 1 of 1974 on Marriage and the regulation No. 23 of 2006 on Demographic and Civic Administration. According to the marriage regulation, interfaith marriage is prohibited meanwhile Demographic and Civic Adminis­tration regulation allows it. The second, vertically, between the Marriage regulation of the Government Regulation No. 9 of 1975 and Presidential Decree No. 9 of 1991 already contained synchronization that prohibits interfaith marriage. However, the Cross Marriage Regulation No. 158 of 1898 occurred discrepancies in where Marriage regulation prohibits people to do the interfaith marriage, meanwhile according to the Cross Marriage Regulation, interfaith is not a barrier to marry.***Keywords: sinkronisasi horisontal, sinkronisasi vertikal, peraturan perundang-undangan, perkawinan beda agama
MAKNA AHL AL-KITĀB DALAM KONTEKS HUKUM PERKAWINAN MUSLIM DAN AHL AL-KITĀB Sya’roni, Sam’ani
AL-AHKAM Volume 23, Nomor 1, April 2013
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Artikel ini bermaksud mendiskusikan (kembali) status ahl al-kitāb dalam konteks hukum perkawinanya dengan seorang Muslim. Meskipun secara tematis kajian ini telah banyak dilakukan oleh para ahli, pendekatan tafsir yang digunakan dalam tulisan ini menjadi faktor pembedanya dan diharapkan menghasilkan pemikiran yang unik. Secara umum, sesuai dengan khiṭāb al-Qur’an, bahwa yang disebut ahl al-kitāb adalah umat Yahudi dan umat Nasrani. Namun sebagian ulama memperluas cakupan makna ahl al-kitāb kepada semua pemeluk agama yang kitab sucinya diduga keras berasal dari Allah. Islam tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan ahl al-kitāb, tetapi yang menjadi masalah siapa yang dikategorikan ahli kitab pada zaman sekarang. Perdebatan ini menjadi akar perbedaan pendapat di kalangan ulama sehingga ada ulama yang membolehkan dan ada yang mengharamkan atas dasar nilai maṣlaḥat yang dikandungnya. Namun demikian kebolehan menikahi perempuan ahl al-kitāb bukan merupakan anjuran, sehingga dampak positif dan negatifnya harus dipertimbangkan secara mendalam oleh umat Islam.***This article intends to (re) discuss about the position of ahl al-kitāb woman in the legal context of her marriage with a Muslim. Although thematically, this study has been carried out by experts, an interpretation approach used in this paper is expected to be as distinctive and produce a unique thought. According to khiṭāb Quran, that are called ahl al-kitāb are Jews and Christians. But some scholars expand the meaning scope of the ahl al-kitāb for all faiths whose holy book allegedly from God. Islam does not forbid people to marry with ahl al-kitāb. In other side, who is categorized scribes today is the problem. The controversial would be the root of the difference opinions among scholars that there are scholars who allow and forbid anyone on the basis of beneficiaries contains. However, the ability to marry the ahl al-kitāb is not a recommendation, so the positive and negative impacts should be considered in depth by Muslims.***Keywords: ahl al-kitāb, munākahāt, tafsir al-Qur’an, maslahat
HUKUM ISLAM DAN DINAMIKA FEMINISME DALAM ORGANISASI NAHDLATUL ULAMA’ Mulia, Musdah
AL-AHKAM Volume 23, Nomor 1, April 2013
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Perkembangan gerakan feminisme secara signifikan telah ditunjukkan dalam sejarah perkembangan organisasi Nahdlatul Ulama’ (NU). Di tengah isu-isu diskriminatif ter­hadap perempuan dan anti gender mainstream, NU justru secara sadar dan berani mem­buka diri untuk memberi ruang diskusi bagi perluasan peran perempuan bahkan pada wilayah hukum Islam (fiqh) yang selama ini disakralkan oleh mereka. Tidak hanya dalam tataran teoritis-normatif, NU menunjukkan konsistensinya dengan meng­imple­mentasi­kan pemikiran-pemikirannya tentang peran perempuan dalam wilayah publik secara nyata. Meskipun sejumlah persoalan masih menjadi agenda perjuangan feminis dalam komunitas Muslimah, seperti kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (domestic violence) dan isu gender mainstreaming dalam berbagai posisi strategis di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta lembaga strategis lainnya, satu hal yang pasti bahwa gerakan feminisme di Indonesia menunjukkan pengaruh yang signifi­kan terhadap berbagai perubahan di bidang politik, sosial, hukum, dan ekonomi.***The development of the feminist movement has significantly demonstrated in the history of the Nahdlatul Ulama’ (NU) organization. In the midst of the discriminatory issues against women and gender mainstreaming bias, NU consciously and courageous­ly opens up to make space for an expanded discussion of the role of women even in the area of Islamic law (fiqh), which is considered sacredly. Not only in theoretical-normative, but also NU showed consistency in the implementation for the  ideas  of women roles in the public sphere significantly,  although a number of issues  is still on the agenda of feminist struggle in the Muslimah community, such as violence against women in the household (domestic violence) and  gender mainstreaming issues in a variety of positions in the executive, legislative, and judicial branches of government as well as other strategic institutions. The certain thing is that the feminist movement in Indonesia showed a significant effect on the changes in the political, social, legal, and economical areas.***Keywords: gender, feminisme, Nahdlatul Ulama’, hukum Islam
PERGULATAN HUKUM DAN POLITIK DALAM LEGISLASI UU NO. 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI’AH Ghofur, Abdul
AL-AHKAM Volume 23, Nomor 1, April 2013
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis latar belakang sejarah lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dalam sudut pandang relasi antara hukum dan politik kekuasaan. Kajian ini dianggap menarik dalam konteks negara Indonesia sebagai negara hukum yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga secara etis hukum Islam menjadi bagian yang penting dalam perkembangan hukumnya. Secara politis, pemerintah Indonesia juga memiliki latar belakang sejarah hubungan yang harmonis dengan kekuatan Islam. Penetapan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah tidak bebas dari konstelasi dan konfigurasi politik yang terjadi pada saat itu. Namun demikian, meski dihiasi oleh konfigurasi politik yang ketat, penetapan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah ini memiliki dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis yang dapat dipertanggung­jawabkan. Penetapan undang-undang ini mem­buktikan bahwa hukum Islam telah menjadi salah satu sumber hukum Nasional dan memiliki peluang untuk berkontribusi secara maksimal dalam pembangunan hukum Nasional di masa yang akan datang.***This study intends to analyze the historical background of the enactment of Law No. 21 of 2008 concerning Islamic Banking in the perspective of relationship between law and political power. This study are considered attractive in the context of Indonesia as a state law that the majority of the population is Muslim, which is ethically Islamic law becomes an important part in the law development. Politically, the Indonesian government also has a historical background of the harmonious relationship with the Islamic forces. Determination of law No. 21 of 2008 concerning Sharia banking is not free from the constellation and political configurations that occured at that time. However, despite decorated by strict political configuration, the determination of this statue has a accountability of its juridical basis, sociological, and philosophical. Determination This law proves that Islamic law has become one of the sources of national law and has the opportunity to contribute to the development of national laws optimally in the future.***Keywords: Hukum Islam, konfigurasi politik, UU No. 21 Tahun 2008, perbankan syari’ah
EKSEKUSI HUKUMAN MATI - Tinjauan Maqāṣid al-Sharī’ah dan Keadilan Yahya, Imam
AL-AHKAM Volume 23, Nomor 1, April 2013
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Perdebatan tentang hukuman mati, hingga kini masih menarik perhatian banyak kalangan. Setidaknya ada dua mainstream dalam hal ini, yaitu orang yang setuju dan menolak diberlakukan hukuman mati. Bagi yang setuju beralasan bahwa pelanggaran berat terhadap hak hidup, harus diancam hukuman mati sehingga bisa menjadi efek jera, sementara yang menolak berpendapat bahwa hukuman mati meru­pakan pengingkaran terhadap hak asasi manusia, yaitu berupa hak hidup. Hakekat hukuman mati bukanlah pelanggaran hukum, karena penerapan hukuman mati justru ditegakkan dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri. Dalam pandangan hukum Islam, hukuman mati, dapat dilakukan terhadap empat kasus, yaitu yang melakukan zina muhṣan, membunuh dengan sengaja, ḥirābah dan murtad (keluar dari Islam). Selanjut­nya hukuman mati harus dilaksanakan sesuai dengan maqāṣid al-sharī’ah dan keadilan. Dalam perspektif maqāṣid tujuan hukuman mati harus merujuk pada tujuan me­melihara agama (ḥifẓ al-dīn), memelihara diri atau menjaga kelangsungan hidup (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan memelihara harta (ḥifẓ al-māl). Dalam perspektif keadilan, negara atas nama hukum harus melindungi warganya dari peristiwa-peristiwa hukum yang merugikan masya­rakatnya.***The debate about death penalty, is still attracted attention of people. At least, there are, two mainstream firstly those who agrees and secondly who refuses the death penalty being imposed. For those who agrees reasoned that severe violations of the right to life, should be punished by death so that could provide a deterrent effect, while those who refuses argued that the death penalty is a denial of human rights, especially right to life. The essence of the death penalty is not a violation of the law, because the imple­mentation the death penalty actually enforced in order to protect human rights itself. In the view of Islamic law, death penalty, can be done on four cases, namely that of adultery, killing intentionally, Hirabah and apostasy. Furthermore, the death penalty should be carried out in accordance with maqāṣid al-sharīah and justice. In maqāṣid al-sharīah perspective, the purpose of death penalty should refer to maintain religion (ḥifẓ al-dīn), maintain body or maintain the survival (ḥifẓ al-nafs), mind (ḥifẓ al-aql), descent (ḥifẓ al-nasl), and maintaining property (ḥifẓ al-māl). While in the perspective of justice, State, on behalf of the law must protect its citizens from legal events that harm society.***Keywords: hukuman mati, maqāṣid al-sharī’ah, keadilan
REKONSEPTUALISASI MAṬLA‘ DAN URGENSINYA DALAM UNIFIKASI AWAL BULAN QAMARIYAH Muhaini, Akhmad
AL-AHKAM Volume 23, Nomor 1, April 2013
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Di Indonesia seringkali terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Qamariyah khususnya Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Perbedaan ini tidak bisa terlepas dari dua metode besar penentuan awal bulan Qamariyah yaitu ḥisāb dan ru’yat. Terlepas dari persoalan perdebatan antara penganut metode ḥisāb dan ru’yat, sesama penganut ḥisāb ataupun sesama penganut ru’yat, persoalan lain yang juga sering menimbulkan persoal¬an adalah tentang keberlakuan ru’yat dan ḥisāb atau yang dikenal dengan keberlakuan maṭlā‘. Pemaknaan konsep maṭlā‘ telah dikaji dalam perspektif fikih. Namun pemaknaan konsep maṭlā‘ saat ini dipandang tidak lagi memadahi dalam mengatasi perbedaan ter¬sebut. Untuk itu rekonseptualisasi (pemaknaan ulang) ter¬hadap makna maṭlā‘ me¬rupakan sesuatu yang sangat penting. Namun yang perlu dicatat bahwa re¬koseptualisasi tersebut tidak boleh keluar dari batas-batas ketentuan syar’i dan di sisi lain harus melibatkan dasar-dasar ilmu astronomi sehingga lebih up to date dan lebih mudah diterima secara rasional.***In Indonesia, frequently occured the differences on initial determination of islamic lunar month such as Ramadhan, Syawal and Zulhijjah. This difference can not be separated from the two major methods of determining begining of lunar month namely ḥisāb (calculation) and ru’yat (observing hilāl). Apart from debate between ḥisāb and ru’yat, another issue that is also often raises is applicability rukyah and ḥisāb, known as validity of maṭlā‘. Meaning of the maṭlā‘s concept now seen no longer adequate and unable to overcome that differences. For that reason, reinterpretation of the maṭlā‘s meaning is something that is very important. However it should be noted that reinterpretation should not be out of bounds from Shari limitation and on the other hand must involve basic science of astronomy  so can make it more up to date and more easily accepted rationally.***Keywords: rekoseptualisasi, maṭlā‘, bulan Qamariyah, hilāl
MODEL APLIKASI FIKIH MUAMALAH PADA FORMULASI HYBRID CONTRACT Murtadho, Ali
AL-AHKAM Volume 23, Nomor 2, Oktober 2013
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Literatur fikih muamalah modern banyak membicarakan berbagai formulasi akad-akad yang mampu melegitimasi upaya memaksimalkan margin industri keuangan syari’ah. Akad-akad baru ini merupakan hasil sintesa akad-akad yang sudah ada sebelumnya yang diramu sedemikian rupa hingga menjadi akad yang terpadu, yang belakangan ini dikenal dengan istilah hybrid contract atau multiakad (al-‘uqūd al-murakkabah). Beberapa akad jenis ini adalah akad bay‘ bi thaman ‘ājil, akad ijārah muntahiyah bi ’l-tamlīk dan akad mushārakah muta­nāqiṣah. Penelitian ini bermaksud untuk men­deskripsi­kan  lebih jauh model-model akad hybrid contract, dan mengeksplorasi ke­dudukannya dalam lembaga keuangan syari’ah modern. Penelitian ini menemukan adanya potensi pergeseran dari semangat mewujudkan nilai ideal syari’ah menjadi semangat berkompetisi dalam formalitas kesyari’ahan.***Modern literatures of fiqh mu’āmalah talk alot about various contract formulation with capability of maximizing profit in shariah finance industry. This new contract modification is the synthesis among existing contracts which is formulated in such a way to be an integrated contract. This formulation is known as a hybrid contract or multi-contract (al-uqūd al-murakkabah). Some of them are, bay bi thaman ājil, Ijārah muntahiyah bi ’l-tamlīk dan mushārakah mutanāqiṣah. This study intends to further describe models of hybrid contract, and explore the shariah principles in modern financial institutions. This study found a potential shift from the ideal values ​​of the spirit of shariah into the spirit of competition based shariah formally.***Keywords: hybrid contract,  fikih muamalah, akad, muḍārabah
IMPLEMENTASI MAQĀṢID AL-SHARĪAH DALAM HUKUM EKONOMI ISLAM Syufa’at, Syufa’at
AL-AHKAM Volume 23, Nomor 2, Oktober 2013
Publisher : AL-AHKAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.419 KB)

Abstract

Tujuan disyari’atkan hukum Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan manusia, baik secara individu maupun kolektif dalam masyarakat. Kemaslahatan yang dimaksud dalam hukum Islam adalah kemaslahatan yang sejati, bukan kemaslahatan semu yang dipengaruhi hawa nafsu belaka. Kemaslahatan disini meliputi kemaslahatan jasmani dan kemaslahatan rohani atau spiritual. Kemaslahatan yang ditunjuk hukum Islam adalah kemaslahatan di dunia dan di akhirat bukan semata mata di dunia. Kemaslahatan yang menjadi orientasi syari’ah didasarkan pada lima prinsip kepentingan manusia yang disebut dengan al-mabādi’al-khamsah atau al-uṣūl al-khamsah meliputi: menjaga agama (hifẓ al-dīn), menjaga jiwa (hifẓ al-nafs), menjaga akal (hifẓ al-‘aql), menjaga harta (hifẓ al-māl), menjaga keturunan (hifẓ al-nasl). Implementasi maqāṣid al-sharī’ah terhadap beberapa permasalahan ekonomi adalah menjawab realitas masyarakat modern menghadapi tantangan kebutuhan dasar (human basic needs) kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, sanitasi, energi, transportasi dan informasi. Kebutuhan krusial manusia modern yang harus dipenuhi adalah spiritual dan etika, karena masyarakat modern mengukur kesejahteraan hanya dari segi lahiriah yakni memenuhi kebutuhan asas manfaat (utility) dan pragmatisme.***The objective revelation of Islamic law is to create public interest (maṣlaḥat), both individually and collectively. The public interest that mentioned in Islamic law is the true goodness, not the pseudo benefit which influenced human desires. The Public interest here includes physical and spiritual. The public interest that intended by Islamic law is the goodness in this life and in the hereafter, not solely in the world live.  maslahah in the Shariah perspective is based on five principles called al-mabādial-khamsah or al-uṣūl al-khamsah namely: keeping religion (hifẓ al-dīn), keeping the soul (hifẓ al-nafs), keeping mind (hifẓ al-‘aql), keeping property (hifẓ al-māl), and keeping descent (hifẓ al-nasl). Maqāṣid al-sharī’ah implementation of some economic problems is to answer the reality of modern society to face the challenges of basic needs such as clothing, food, shelter, health, education, employment, sanitation, energy, transport and information. Crucial needs of modern man is the spiritual and ethical, because modern society only measure the welfare just from the outer side only, that is to meet the needs according to the principle of utility and pragmatism.***Keywords: maqāṣid al-sharī’ah, ilmu ekonomi Islam, maslahat, mu’amalat

Page 2 of 35 | Total Record : 350