cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
Acta Comitas
Published by Universitas Udayana
ISSN : 25028960     EISSN : 25027573     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 321 Documents
Tanggung Jawab Notaris Akibat Batalnya Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Karena Cacat Hukum Anak Agung Deby Wulandari
Acta Comitas Vol 3 No 3 (2018)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2018.v03.i03.p04

Abstract

Law of the Republic of Indonesia Number 2 of 2014 concerning Amendments to Law Number 30 Year 2004 concerning Notary Position (UUJN) gives authority to notaries to make an agreement. According to that regulation, of course the notary has an important role in the making of the land sale and purchase agreement. A land sale and purchase agreement must meet the subjective requirements and objective requirements as contained in Article 1320 of the Civil Code (KUHPerdata). The problems that occur are: (1) How is the position of the deed of binding agreement on the sale and purchase of land containing legal defects? and (2) How is the notary's responsibility related to the cancellation of the binding contract of sale and purchase agreement due to a legal defect in its manufacture? The type of this research is legal research. The results of this research indicate that the position of the deed of binding agreement on sale and purchase of land that contains legal defects is not as a deed that has perfect proof power, so that the law can be canceled or null and void by law. This is related to subjective requirements and objective conditions in the provisions of Article 1320 of the Civil Code. The responsibility of the notary is related to the cancellation of the binding agreement on the sale and purchase of land due to a legal defect in the form of notary public, criminal, administrative, and notary codes of conduct. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN) memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat suatu perjanjian. Terkait dengan hal tersebut tentunya notaris memiliki peran penting dalam pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah. Suatu perjanjian jual beli tanah harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif sebagaimana terkadung dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Permasalahan yang terjadi yaitu: (1) Bagaimanakah kedudukan akta perjanjian pengikatan jual beli tanah yang mengandung cacat hukum? dan (2) Bagaimanakah pertanggungjawaban notaris terkait dengan batalnya akta perjanjian pengikatan jual beli tanah diakibatkan adanya cacat hukum dalam pembuatannya?. Penelitian ini beranjak dari penelitian hukum normatif. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa kedudukan akta perjanjian pengikatan jual beli tanah yang mengandung cacat hukum yaitu tidak sebagai akta yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga berakibat hukum akta dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Hal ini berkaitan dengan syarat subjektif dan syarat objektif dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Pertanggungjawaban notaris terkait dengan batalnya akta perjanjian pengikatan jual beli tanah diakibatkan adanya cacat hukum dalam pembuatannya yaitu notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara perdata, pidana, administrasi, dan terhadap kode etik notaris.
KEDUDUKAN HUKUM AKTA PPAT SETELAH TERBITNYA SERTIPIKAT KARENA PERALIHAN HAK ATAS TANAH Made Putri Saraswati; I Made Arya Utama; Ida Bagus Agung Putra Santika
Acta Comitas Vol 3 No 1 (2018)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2018.v03.i01.p03

Abstract

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 dan Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998, bahwa akta PPAT mempunyai dua fungsi yaitu sebagai alat bukti perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan sebagai alat pendaftaran guna perubahan data pendaftaran tanah. Ketika terjadi peralihan hak atas tanah, maka fungsi akta PPAT sebagai alat pendaftaran selesai dan menyisakan akta PPAT sebagai alat bukti perbuatan hukum. Begitu pula, bila terjadi peralihan hak berikutnya, maka akan menyisakan kembali akta PPAT sebagai alat bukti perbuatan hukum. Ada dua isu hukum yang dikaji terhadap kedudukan akta PPAT terkait dengan kewajiban PPAT menyimpan aktanya, yakni (1) kedudukan hukum akta PPAT yang dijadikan dasar penerbitan sertipikat setelah mengalami peralihan hak berikutnya dan (2) tanggung jawab PPAT terhadap akta yang telah mengalami peralihan hak berikutnya terkait dengan kewajibannya menyimpan akta. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif beranjak dari kekosongan norma terhadap kedudukan akta PPAT yang membawa ikutan terhadap tanggung jawab PPAT terkait kewajibannya menyimpan akta. Pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Dari hasil penelitian ini disimpulkan, bahwa kedudukan hukum akta PPAT yang dijadikan dasar penerbitan sertipikat setelah mengalami peralihan hak berikutnya dapat dikategorikan sebagai arsip inaktif, sedangkan terhadap akta PPAT untuk peralihan hak atas tanah berikutnya dapat dikategorikan sebagai arsip yang masih aktif. Akta PPAT dikategorikan sebagai arsip aktif selama 5 tahun, sedangkan sebagai arsip inaktif selama 30 tahun. Terhadap isi perbuatan hukum dalam akta yang sudah final menghentikan tugas produk hukum tersebut. Dalam hal akta PPAT telah mengalami peralihan hak berikutnya maka berhenti tanggung jawab PPAT, norma hukum sekalipun tidak beralih mengacu pada 30 tahun, terlebih lagi telah dialihkan. Kepastian terhadap kedudukan akta PPAT juga memberikan kepastian terhadap tanggung jawab PPAT. Tanggung jawab PPAT harus dibedakan antara tanggung jawabnya sebagai pejabat umum dan tanggung jawabnya sebagai penyimpan dokumen negara, sehingga PPAT tidak berorientasi bertanggung jawab tanpa batas. Kata kunci : Akta PPAT, Alat Pendaftaran, Alat Bukti Perbuatan Hukum dan Peralihan Hak Atas Tanah.
Kajian Yuridis Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (Dikaji dari Perspektif Hukum Tata Negara) I Gusti Ngurah Adityanatha
Acta Comitas Vol 4 No 1 (2019)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2019.v04.i01.p13

Abstract

The House of Representatives as a legislative commission has the privilege of being a right of inquiry in order to run a system of government that is check and balances. With regard to the right of inquiry The House of Representatives to The Corruption Eradication Commission, it is feared to be used as a means to influence and interfere with The Corruption Eradication Commission, even weaken the role of The Corruption Eradication Commission as an independent institution free from any influence of power. Regarding the formulation of the problem in this scientific research is, how the position of The Corruption Eradication Commission in the constitutional system in Indonesia as an independent institution? and whether The House of Representatives may use the right of inquiry to The Corruption Eradication Commission? The type of research used in this scientific research is normative legal research. The Corruption Eradication Commission is an independent state commission in Indonesia that is outside the realm of the three original powers of executive, legislative, and judicial (trias potilica) in the state administration system in Indonesia, so that The Corruption Eradication Commission can not be subject to the right of inquiry by The House of Representatives. It is also reinforced by the subject of a limited questionnaire on the implementation of a law and / or government policy carried out solely by The President, Vice President, State Minister, Commander of the Indonesian National Army, the Chief of the Indonesian National Police, the Attorney General, or the non-ministerial government agencies. Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif memiliki hak istimewa yakni hak angket dalam rangka menjalankan sistem pemerintahan yang bersifat check and balances. Terkait dengan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dikhawatirkan digunakan sebagai sarana untuk mempengaruhi dan mengintervensi Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan dapat melemahkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Mengenai rumusan masalah dalam karya ilmiah ini yaitu, bagaimanakah kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia sebagai lembaga independen? dan apakah Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi? Jenis penelitian yang digunakan pada karya ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif. Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan komisi negara independen di Indonesia yang berada di luar ranah tiga poros kekuasaan asli yaitu eksekutif, legislatif, dan yudisial (trias potilica) dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dapat dijadikan subjek dari hak angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Hal tersebut juga diperkuat dengan subjek dari hak angket yang terbatas pada pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian.
Fungsi dan Kedudukan Penerjemah Tersumpah dalam Pembuatan Akta Notaris Made Dita Widyantari
Acta Comitas Vol 4 No 1 (2019)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2019.v04.i01.p04

Abstract

Article 43 UUJN-P opens the opportunity for sworn translators to be involved in making notary deeds because of the provision that the deed can be made in a foreign language if it is desired by the parties and in the case of a notary being unable to translate or explain it. However, the existence of Article 43 UUJN-P which contradicts Article 31 of UUBBLNLK has resulted in legal uncertainty related to the mechanism of deed making which affects the function and position of the sworn translator. Responsibility in the event of an error of the translation has also not been clearly regulated so as not to protect the interests of the clients. This research aims to find out the function and position of sworn translator in making notary deeds and reviewing the responsibilities of sworn translators in the event of errors in translating the contents of the notary deed. This study uses a normative legal research method which concludes that the sworn translator serves to translate a copy of the deed that has been made by a notary into the language desired by the parties and translate orally in a language that is understood by the parties. In the event of an error in translating the content produced resulting in a loss, the sworn translator may be prosecuted under Article 1365 of the Civil Code. Pasal 43 UUJN-P membuka peluang bagi penerjemah tersumpah untuk ikut terlibat dalam pembuatan akta notaris karena adanya ketentuan bahwa akta dapat dibuat dalam bahasa asing jika para pihak menghendaki dan notaris tidak dapat menerjemahkannya. Namun keberadaan Pasal 43 UUJN-P yang bertentangan dengan Pasal 31 UUBBLNLK mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum terkait mekanisme pembuatan akta yang berdampak pula terhadap fungsi dan kedudukan penerjemah tersumpah dalam pembuatan akta notaris. Tanggung jawab penerjemah tersumpah dalam hal adanya kesalahan atas terjemahan yang dihasilkan oleh penerjemah tersumpah juga belum diatur secara jelas sehingga tidak melindungi kepentingan pengguna jasa penerjemah tersumpah. Studi ini bertujuan untuk mengelaborasi fungsi dan kedudukan jasa penerjemah tersumpah dalam pembuatan akta notaris dan mengkaji tanggung jawab penerjemah tersumpah dalam hal terjadinya kesalahan dalam menerjemahkan isi akta notaris. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil studi menunjukkan bahwa penerjemah tersumpah berfungsi untuk menerjemahkan salinan akta notaris ke dalam bahasa yang diinginkan oleh para pihak dan menerjemahkan isi akta secara lisan pada saat pembacaan akta oleh notaris dalam hal notaris tidak dapat menerjemahkannya. Dalam hal terjadi kesalahan dalam menerjemahkan isi akta yang mengakibatkan kerugian, penerjemah tersumpah dapat dituntut untuk mengganti kerugian tersebut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
Kekuatan Hukum Perseujuan Suami atau Istri yang dibuat di Bawah Tangan N Wahyu Triashari
Acta Comitas Vol 3 No 3 (2018)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2018.v03.i03.p09

Abstract

Approval from a husband or wife as a seller in buying and selling land is very necessary. In practice the usual agreement used is a minimum that has been legalized by a Public Notary. The problem that arises is how the legal strength of the agreement of a husband or wife whose name is not stated in a land title deed with its capacity as a seller in the land sale and purchase agreement and what are the legal consequences of the land purchase agreement when the agreement is made under the form without legalization. The purpose of this paper is to contribute conceptually with scientific, systematic, and logical conceptual work, especially in matters of legal strength from the agreement of a husband or wife whose name is not stated in a certificate with its capacity as a seller in a land sale and purchase agreement. The method used in this legal research is a type of normative legal research. Approval of a husband or wife is required whose name is not stated in the certificate with the capacity as a seller in the land purchase agreement because it relates to joint assets in the marriage. The legal consequences of the land purchase agreement when the agreement of the husband or wife is only made under the hands without being legalized is that the file will not be processed at the local Land Office for the transfer of ownership rights to the land in the case of buying and selling. Persetujuan dari suami atau istri sebagai penjual dalam jual beli tanah sangat diperlukan. Persetujuan yang biasa digunakan sebagai syarat pelaksanaan jual beli adalah minimal yang telah di legalisasi oleh Notaris. Permasalahan yang muncul yaitu bagaimana kekuatan hukum persetujuan suami atau istri yang namanya tidak tertera dalam sertipikat dengan kapasitasnya sebagai penjual dalam perjanjian jual beli tanah dan apa akibat hukum terhadap perjanjian jual beli tanah ketika persetujuan tersebut dibuat dalam bentuk di bawah tangan tanpa legalisasi. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan karya konseptual dengan argumentatif ilmiah, sistematis, dan logis khususnya dalam permasalahan kekuatan hukum dari persetujuan suami atau istri yang namanya tidak tertera dalam sertipikat dengan kapasitasnya sebagai penjual dalam perjanjian jual beli tanah. Metode yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah jenis penelitian hukum normative. Dibutuhkan persetujuan suami atau istri dalam kapasitasnya sebagai penjual pada perjanjian jual beli tanah karena berhubungan dengan harta bersama dalam perkawinan. Akibat hukum terhadap perjanjian jual beli tanah ketika persetujuan dari suami atau istri tersebut hanya dibuat dengan di bawah tangan tanpa di legalisasi adalah berkasnya tidak akan dapat diproses pada Kantor Pertanahan setempat untuk pengalihan hak milik atas tanah dalam hal jual beli.
ADAPTASI DOKTRIN PROMISSORY ESTOPPEL DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI PADA TAHAP PRA KONTRAK PADA HUKUM KONTRAK DI INDONESIA I Gde Prim Hadi Susetya; I Made Pasek Diantha; Putu Tuni Cakabawa Landra
Acta Comitas Vol 3 No 1 (2018)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2018.v03.i01.p08

Abstract

Tahap pra kontraktual adalah merupakan tahap awal dari sebuah perundingan antara para pihak yang membuat. Dalam tahap ini bias disebut juga tahap negosiasi atau perundingan atau kesepahaman awal sebelum memasuki kontrak yang sebenarnya. Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau preliminary negotiation, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam uang, membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka mengenai kontrak bisnis yang di rundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah satu pihak begitu percaya dan menaruh pengharapan terhadap janji-janji yang diberikan oleh rekan bisnisnya. Jika pada akhirnya perundingan mengalami jalan buntu dan tidak tercapai kesepakatan, misalnya tidak tercapai kesepakatan mengenai fees, royalties atau jangka waktu lisensi, maka tidak dapat di tuntut ganti rugi atas segala biaya, investasi yang telah dikeluarkan oleh rekan bisnisnya. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pengaturan penyelesaian ganti rugi menurut system hokum di Indonesia, dan (2) Bagaimanakah pengadaptasian Doktrin Promissory Estoppel dalam hukum kontrak di Indonesia. Berangkat dari adanya kekosongan norma dimana tidak diaturnya akibat hokum pada tahap pra kontraktual baik dalam KUHPerdata maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan hukum kontrak, maka penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan perbandingan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara melakukan study kepustakaan. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskriptif, teknik sistematis, dan teknik evaluatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) pengaturan penyelesaian ganti rugi belum diatur secara tegas dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan kontrak. Dalam KUHPerdata, ganti rugi hanya diberikan jika terjadi wan perstasi dan perbuatan melawan hukum. Namun, jika salah satu pihak merasa dirugikan dalam tahap pra kontraktual bias menggugat ke pengadilan negeri. (2) Pengadaptasian doktrin hukum Promissory Estoppel ke dalam system hukum Indonesia bisa dilakukan karena adanya kesamaan system hukum di common law (inggris, amerika) denga system hukum di Indonesia, sehingga pengadilan di Indonesia bisa memakai doktrin tersebut untuk mengisi kekosongan hukum dalam hukum kontrak. Kata Kunci: Doktrin Promissory Estoppel, Ganti Rugi, Tahap Pra Kontraktual.
Tanggungjawab Notaris Terhadap Penomoran Ganda Pada Akta Yang Berbeda I Gusti Ayu Oka Trisnasari
Acta Comitas Vol 4 No 1 (2019)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2019.v04.i01.p09

Abstract

A notary is a public official who has the authority to make an authentic deed. In carrying out its authority to make authentic deeds, a Notary cannot be separated from errors such as including the same deed number on a different deed. The problems contained in this writing are (1) What is the Notary's responsibility for double numbering on different deeds and (2) What are the legal consequences of multiple numbering on different deeds? The purpose of this paper is to analyze and understand the Notary's responsibility for double numbering on different deeds and legal consequences for double numbering on different deeds. This type of research is normative legal research that uses a type of statute approach. The legal material used consists of primary and secondary legal materials. Card system techniques are used as legal material collection techniques and description techniques as techniques for analyzing legal material. The results of the discussion obtained show that (1) the Notary's responsibility for double numbering on different deeds, namely the Notary is charged with civil liability as determined in Article 84 of the UUJN. This responsibility can be carried out by withdrawing a copy of the related deed whose costs are borne by a Notary, this is done because the mistake in numbering the deed can be detrimental to the parties if the deed is used in the verification process, (2) The legal consequences of double numbering on the different deed namely the deed still considered valid if it has fulfilled the legal requirements of an agreement specified in Article 1320 of the Civil Code. Notaris ialah pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat suatu akta otentik. Dalam menjalankan kewenangannya membuat akta otentik, Notaris tidak terlepas dari kesalahan seperti mencantumkan nomor akta yang sama pada akta yang berbeda. Permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini ialah (1) Bagaimana tanggungjawab Notaris terhadap penomoran ganda pada akta yang berbeda dan (2) Bagaimana akibat hukum atas penomoran ganda pada akta yang berbeda? Tujuan penulisan ini yaitu untuk menganalisis dan memahami mengenai tanggungjawab Notaris terhadap penomoran ganda pada akta yang berbeda dan akibat hukum atas penomoran ganda pada akta yang berbeda. Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan jenis pendekatan perundang-undangan (statute approach). Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Teknik sistem kartu (card system) digunakan sebagai teknik pengumpulan bahan hukum dan teknik deskripsi sebagai teknik untuk menganalisis bahan hukum. Hasil pembahasan yang diperoleh menunjukan bahwa (1) Tanggungjawab Notaris terhadap penomoran ganda pada akta yang berbeda yaitu Notaris dibebankan tanggungjawab secara perdata sebagaimana ditentukan dalam Pasal 84 UUJN. Tanggungjawab tersebut dapat dilakukan dengan menarik salinan akta terkait yang biayanya ditanggung oleh Notaris, hal ini dilakukan karena kesalahan dalam penomoran akta dapat merugikan para pihak jika akta tersebut digunakan dalam proses pembuktian, (2) Akibat hukum atas penomoran ganda pada akta yang berbeda yaitu akta tersebut tetap dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
HUBUNGAN HUKUM PERUSAHAAN INDUK BERBENTUK PERSEROAN TERBATAS DENGAN ANAK PERUSAHAAN BERBENTUK PERSEKUTUAN KOMANDITER Ni Made Pratiwi Dharnayanti; Yohanes Usfunan; I Made Sarjana
Acta Comitas Vol 2 No 1 (2017)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2017.v02.i01.p06

Abstract

Kepemilikan perusahaan induk atas saham pada anak perusahaan dalam jumlah tertentu memberi kewenangan kepada perusahaan induk untuk bertindak sebagai pimpinan sentral yang mengendalikan anak perusahaan. Namun hal ini menjadi permasalahan apabila bentuk anak perusahaan bukan berstatus sebagai badan hukum, yaitu Persekutuan Komanditer karena dalam isi Pasal 84 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas maupun peraturan perundangan lainnya belum ada yang memuat tentang pengaturan hubungan hukum perusahaan induk yang berbentuk badan ke anak perusahaan yang bukan berbentuk badan hukum. Berdasarkan kondisi tersebut, maka permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Apakah yang menjadi dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk PT dengan anak perusahaan yang berbentuk CV, dan (2) Bagaimanakah akibat hukum dari hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk PT dengan anak perusahaan yang berbentuk CV. Berangkat dari adanya kekosongan norma yang terdapat pada Pasal 84 ayat (2) huruf b UUPT terbaru, maka penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis konsep hukum. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan sistem kartu.. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan adalah teknik deskriptif, teknik interpretatif, teknik evaluatif, teknik sistematif dan teknik argumentatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) dasar timbulnya hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk PT dengan anak perusahaan yang berbentuk CV terjadi karena adanya kepemilikan saham CV dari PT sebagai perusahaan induk, sehingga PT dapat menggunakan hak suaranya dalam RUPS untuk menetapkan kebijakan bagi CV sebagai anak perusahaan, mengangkat anggota direksi/dewan pengawas dalam PT sebagai perusahaan induk sebagai direktur utama atau pengawas dalam CV, melakukan perjanjian hak bersuara dengan CV dan melakukan kontrak kendali terhadap CV sebagai anak perusahaan; dan (2) akibat hukum dari hubungan hukum antara perusahaan induk yang berbentuk PT dengan anak perusahaan yang berbentuk CV apabila ditinjau dari prinsip limited liability yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT terbaru, maka dominasi antara PT terhadap CV tidak melahirkan tanggung jawab hukum bagi PT dalam hubungan hukum yang terjadi dengan pihak ketiga, namun apabila PT terbukti melakukan indikasi-indikasi penyimpangan pada laporan keuangan dalam hubungan hukumnya dengan CV sebagai anak perusahaan, maka PT dapat dikenakan sanksi berupa denda atau pidana terhadap perbuatannya tersebut.
PEMBERIAN KREDIT BANK DENGAN JAMINAN HAK GUNA BANGUNAN YANG JANGKA WAKTUNYA TELAH BERAKHIR SEDANGKAN PERJANJIAN KREDITNYA BELUM BERAKHIR I Gede Etha Prianjaya; Ibrahim R; I Ketut Westra
Acta Comitas Vol 2 No 1 (2017)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2017.v02.i01.p12

Abstract

Bank is a financial institution that has an important role in the economy of a State based on the function of banks as a collector and distributor of public funds, as well as the types of products produced and supplied by the bank have become something significant and convenient enjoyed by people such as the provision of credit. Granting bank credit is stipulated in Law No. 7 of 1992 and its amendment, Law No. 10 of 1998 Article 6 letter b. Loans granted by banks contains a risk, so in practice the bank must pay attention to the principles of what healthy credit is. In order to reduce the risk, collateral for credit is an important factor considered by a bank. Title to a land that can be used as collateral, such as Building Rights stipulated in Article 35 of Law Number 5 of 1960 on Basic Regulation of Agrarian, as one of the land rights by law to have a controlling effect but with time its period must be expired. Expiration of Building Rights being used as a credit security encumbered encumbrance of course would have the legal effect of the existence of security rights itself. Based on that, it will cause problems as follows What is the position of security building rights whose period has ended and the loan is not over and what is the efforts made by the bank to the credit agreement has not ended with the assurance that the right mortgage is over. This type of research used in this thesis is empirical legal research because there is a gap between the governing rules and the problems that occur in the community. Data collection techniques employed are interviews and document study techniques. For data analysis, descriptive analytical techniques are used, associated with the relevant theories and then summed to address the problems. The results of the study based on the problems addressed are: The position of the guarantee of building rights whose term has ended but the credit has not expired leads to the abolishment of building rights as land rights which still serve as credit guarantees. Efforts made by the bank to the credit agreement which has not ended are efforts to implement the binding power of attorney imposing liability rights during the extension process of building rights done in the office of the National Land Body.
PEWARISAN PADA MASYARAKAT ADAT BALI TERKAIT AHLI WARIS YANG BERALIH AGAMA I G. A. Mas Rwa Jayantiari; Ida Bagus Putra Atmadja; Ni Nyoman Sukerti; I G. A. Tirta Sari Dewi; I G. A Bagus Agastya Pradnyana
Acta Comitas Vol 1 No 2 (2016)
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/AC.2016.v01.i02.p01

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan menganlisis tentang kedudukan ahli waris yang beralih agama dalam hal hak dan kewajibannya baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat adat serta akibat hukum yang timbul terkait ahli waris yang beralih agama tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris, dengan pendekatan non doktrinal (socio legal reseach). Data digali dengan metode wawancara, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa ahli waris yang beralih agama tidak lagi berkedudukan ahli waris. Akibatnya ahli waris yang bersangkutan gugur hak warisnya dari orang tuanya. Gugurnya hak mewaris berakibat tidak ada kewajiban-kewajiban yang harus dipikulnya baik kewajiban terhadap keluarga maupun terhadap masyarakat adat. Ahli waris yang beralih agama dikaji dari teorinya Lawrence M. Friedman tentang sistem hukum terdiri dari tiga unsur yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum, dimana dari ketiga unsur itu tidak mengalami perkembangan. Dengan demikian hukum adat waris Bali masih dipertahankan secara utuh.

Page 7 of 33 | Total Record : 321