Articles
BOTI : PELAYARAN PADA MASYARAKAT DESA TIRA KECAMATAN SAMPOLAWA KABUPATEN BUTON SELATAN
HASARUDDIN
Jurnal Pendidikan Sejarah Volume VII, Nomor 1, Mei 2021
Publisher : Jurnal Pendidikan Sejarah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Masyarakat desa Tira adalah masyarakat yang berada di pesisir pantai dan kelompok masyarakatnya sangat dinamis. Struktur geografis yang bertebing membuat masyarakatnya gemar untuk berlayar dengan menggunakan media perahu yang oleh masyarakat setempat disebut Boti. Perahu tersebut digunakan sebagai meduia transportasi yang akan menghubungkan daerah-daerah yang dekan maupun yang jauh. Dalam penelitian ini menggunakan metode yang tediri dari empat tahapan yang terdiri atas : Heuristik yaitu kegiatan menghimpun jejak-jejak sejarah masa lampau. Heuristik merupakan tahap awal dari historiografi diawali dengan kegiatan penjajakan, perincian serta pengumpulan sumber yang berkaitan dengan maslah yang teliti. Tahap kedua, kritik yang meyelidiki apakah jejak sejati baik bentuk maupun. Tahap ketiga, interpretasi, yaitu setelah melakukan kritik sumber dihadapkan informasi atau data-data mengenai subyek penulis sejarah yang berhubungan dengan obyek yang teliti. Data-data tersebut adalah fakta-fakta sejarah yang dapat dibuktikan kebenarannya, tahap keempat histografi yaitu mengajukan sintesa yang diperoleh dalam kisah-kisah sejarah. Hasil peneltian menunjukan bahwa. Boti sebagai salah satu media trasnportasi laut bagi masyarakatnTira sangat penting digunakan karena kapal boti sangat efisien dan sangat murah dalam penggunaannya. Kapal atau perahu ini dengan mengandalkan layar untuk menjelajahi perairan laut sehingga anggaran yang digunakan untuk pelayaran sangat kecil. Peranan boti pada masyarakat Tira sangat penting dalam menghubungkan antara daerah-daerah di kawasan Buton secara umum. Di samping itu, perahu Boti juga menghubungkan antara tempat asal (Tira) dengan kelompok masyarakat lainnya di kawasan di luar Buton. Dengan demikian masyarakat Tira dapat berhubungan dengan daerah-daerah lainnya di kawasan Nusantara. Masyarakat Tira yang berada pada pesisir pantai daerah Buton bagian selatan masyarakat sangat dinamis. Jalur transportasi darat yang sulit dilalui untuk daerah Buton maka salah satu alat trasnportasi yang digunakan adalah jalur laut. Di saping itu menghubungkan dengan daerah Buton maka daerah-daerah tujuan lainnya adalah banggai, Dobo, Ternate, Tiroro, dan beberapa daerah Papua. Dalam proaes perjalanan tersebut mereka membawa barang dagangan yang dipasarkan dibeberapa daerah yang disinggahinya.
PEMBAHARUAN PERJANJIAN BONGAYA: Dampak Pada Kesultanan Buton
HASARUDDIN
Jurnal Pendidikan Sejarah Volume VII, No 2, November 2021
Publisher : Jurnal Pendidikan Sejarah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini bertujuan untuk menetahui 1) lahirnya pembaruan perjanjian Bongaya; 2) pelaksanaan pembaruan perjanjian Bongaa, dan 3) dampak dari lahirnya pembaruan perjanjian Bongaya khususnya terhadap wilayah kesultanan Buton. Hasil penelitian ini menunukan bahwa hubungan Buton dan Belamda semakin erat sebagai dampak dari lahirnya perjanjian pertama pada tanggal 5 Januari 1613. Pada sisi lain bahwa dengan munculnya pembaruan perjanjian Bongaya tersebut sangat merugikan kesultanan buton karena intervensi Belanda terhadp Buton semkin besar dalam beberap sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Konfrontasi Islam Ideologis Versi Abdul Qahhar Muzakkar dengan Komunis di Desa Tompo Bulu
Abdulkahar;
Syamzan Syukur;
Hasaruddin
Al-Hikmah Journal for Religious Studies Vol 24 No 1 (2022): June
Publisher : Universitas Islam Negeri Alauddin
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24252/al-hikmah.v24i1.28900
Abdul Qahhar Mudzakkar merupakan salah satu tokoh yang kini menjadi simbol perjuangan bagi sebagian masyarakat di Sulawesi Selatan. Perjuangannya dalam menyuarakan hak-hak para gerilyawan memberikan kesan tersendiri bagi masyarakat local yang berjuang saat itu. Tidak hanya itu, Qahhar juga menjadi ikon perjuangan bagi para tokoh agama dalam memperjuangkan syariat Islam. Konflik di tubuh militer dianggap sebagai dasar pemberontakan Qahhar bersama para pasukannya. Padahal jika kita menelaah dari perspektif lain, perjuangan Qahhar tidaklah dilatarbelakangi oleh motif politik; melainkan motif agama. Hal tersebut dapat kita lihat dari berbagai macam rekonsiliasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pemerintahan namun tak satupun yang berhasil. Ditambah lagi, surat-surat yang ditulis oleh Qahhar benar-benar menampakkan penolakannya terhadap komunis yang telah mendapat ruang khusus di negeri ini. Hal serupa dapat kita lihat di desa Tompo Bulu yang menjadi salah satu markas berkumpulnya para gerilyawan. Saat itu, ketika PKI datang untuk mencari dukungan, masyarakat lokal menolak dengan alasan PKI-nya. Artinya, masyarakat di pedalaman telah teredukasi sehingga mereka menolak apapun yang berbau PKI dalam kehidupannya.
TARIAN LUMENSE: MAKNA SIMBOLIK DALAM MASYARAKAT KABAENA
HASARUDDIN
Jurnal Pendidikan Sejarah Volume VIII, No 1, Mei 2022
Publisher : Jurnal Pendidikan Sejarah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya suatu bencana dalam bentuk penyakit yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Penyakit tersebut tidak dapat disembuihkan dengan berbagai bemtuk pengobatan dalam bentuk herbal atttau pengobatan kampung. Hingga suatu ketika dipikirkan dengan cara pengoobatan berdasarkan riitual dalam bentuk tarian yang harus dilakonkkan oleh masyarakat. Hasil peneltian menunjukan bahwa Tari Lumense dilakukan dalam ritual pe-olia, yaitu ritual penyembahan kepada roh halus yang disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri) dengan menyajikan berbagai aneka jenis makanan. Ritual ini dimaksudakan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana. Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang. Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa kekuasaan Kesultanan Buton. Seiring dengan perkembangan, fungsi tari Lumense pun mulai bergeser. Tarian ini diawali dengan gerakan maju mundur, bertukar tempat kemudian membentuk konfigurasi huruf Z lalu berubah menjadi S, gerakan yang ditampilkan merupakan gerakan yang dinamis yang disebut moomani atau ibing. Klimaks dari tarian ini adalah ketika para penanari terus melakukan moomani kemudian menebaskan parang kepada pohon pisang, sampai pohon pisang itu jatuh bersamaan ke tanah. Penutup dari tarian ini adalah para penari membentuk konfigurasi setengah lingkaran sambil saling mengaitkan tangan lalu menggerakannya naik turun sambil mengimbangi kaki yang maju mundur.Khusus para penari lumense, taincombo dipadu dengan selendang merah. Kelompok putra ditandai adanya korobi (sarung parang dari kayu) yang disandang di pinggang sebelah kiri. Parang atau ta-owu yang disarungkan di korobi dibuat khusus oleh pandai besi lokal dan selalu diasah agar matanya tetap tajam
RITUAL PIMINAKI LA KALASE PADA MASYARAKAT BATUATAS
HASARUDDIN
Jurnal Pendidikan Sejarah Vol. 8 No. 2 (2022): Jurnal Pendidikan Sejarah Terbitan Bulan November 2022
Publisher : Jurnal Pendidikan Sejarah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Rumusan masalah dalam penelitian ini : 1) bagaimana latar belakang munculnya ritual La Kalase pada masyarakat Batuatas; 2) bagaimana tata cara pelaksanaa ritual La Kalase pada masyarakat Batuatas; 3) bagaimana kedudukan dan fungsi ritual La Kalase pada masyarakat Batuatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1) latar belakang munculnya ritual La Kalase pada masyarakat Batuatas ; 2) tata cara pelaksanaan ritual La Kalase pada masyarakat Batuatas ; 3) kedudukan dan fungsi ritual La Kalase pada masyarakat Batuatas Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Subyek penelitian adalah 3 orang parabola. Instrument penlitian menggunakan observasi, wawancara, cacatan lapangan, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukan : (1) latar belakang munculnya ritual La Kalase berawal pada kejadian pada zaman dulu yakni La Dase dan Wa Sula yang melakukan perbuatas asusila, sehingga mereka dihukum dan dimasukan ke dalam bubu, sebelum mereka dimasukan mereka berwasiat, kemudian mereka dijatuhkan di air laut, tempat tersebut di namakan ujung kantaho. (2) prose pelaksanaan ritual La Kalase dilakukan beberapa tahap : a. tahap persiapan, melakukan diskusih tentang perlengkapan ritual. b tahap pelaksana (3) kedudukan dan fungsi ritual La Kalase. 1. Kedudukan ritual Piminaki La Kalase terdiri dari. a. Mantra merupakan perkataan atau ucapan batata/do’a. 2. Fungsi ritual Piminaki La Kalase terdiri dari. a. meredahkan air laut, dan b. sugesti merupakan pengaruh yang dapat menggerakan hati orang
JEJAK-JEJAK KOLONIAL DI BINONGKO
HASARUDDIN
Jurnal Pendidikan Sejarah Vol. 9 No. 1 (2023): Jurnal Pendidikan Sejarah Terbitan Bulan Mei 2023
Publisher : Jurnal Pendidikan Sejarah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Binongko merupakan saah satu wilayah di gugusan kepulauan tukang besi yang saat ini dikenal dengan nama kabupaten Wakatobi. Pulau Binongko pada masa silam merupakan salah satu daerah di wilayah kesultanan Buton, yang memproduksi rempah-rempah khususnya cengkeh dan pala. Posisi binongko yang sangat strategis yang merupakan salah satu jalur pelayaran yang menghubungkan dari arah timur kea rah barat Nusantara ataupun sebaliknya memungkinkan wilayah ini menjadi tempat persinggahan. Disamping itu keberadaan cengkeh dan pala yang merupakan komoditas perdagangan internasional pada zamannnya menjadikan pulau Binongko menjadi sasaran para pedangan khususnya bangsa Eropa. Kesepakatan antara Buton dan Belanda menjadikan komoditas cengkeh dan pala di Pulau Binongko menjadi daya Tarik Belanda untuk berada di Pulau Binongko sehingga meninggalkan jejak-jejak keberadaann bangsa Belanda
I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud (Kondisi Kerajaan Islam Makassar Menjelang Pemerintahannya): (KONDISI KERAJAAN ISLAM MAKASSAR MENJELANG PEMERINTAHANNYA)
Habib Akramullah, Ahmad;
Hasaruddin
Rihlah : Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Vol 11 No 01 (2023): History and Culture
Publisher : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24252/rihlah.v11i01.42386
Pada masa itu, Makassar telah berkembang menjadi kerajaan yang dipengaruhi Islam berkat upaya Karaeng Matoaya I Malingkaang Daeng Manyonri' Karaeng Katangka Sultan Abdullah, bersama penguasa Gowa ke-14, I Mangarangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin. Hal ini menyebabkan para penguasa menyebarkan agama Islam karena perjanjian yang dibuat oleh para raja (Ulu Ada'), yang merupakan “janji bersama” yang menyatakan: “Siapapun (di antara raja-raja) yang menemukan jalan yang lebih baik harus juga memberitahu raja-raja lain yang berpartisipasi dalam perjanjian itu." Melalui jalur ini, Islam menjadi agama resmi di Sulawesi Selatan pada tahun 1611. Hasilnya, Islam dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan masing-masing kerajaan, dan didirikanlah lembaga pengawas hukum Islam (pejabat yang disebut Parewa Sarak). Keputusan ini memungkinkan Kerajaan Makassar membuka pintunya bagi masyarakat dari semua bangsa untuk melakukan perdagangan di wilayahnya tanpa membeda-bedakan bangsa yang berbeda. Pengaruh militer Makassar juga diperluas pada masa pemerintahan Karaeng Matoaya. Ekspedisi angkatan laut Makassar tercatat dikirim ke wilayah utara dan tengah Sulawesi, Buton, dan kepulauan Nusa Tenggara. Di wilayah selatan Sulawesi, pasukan darat Makassar yang kuat juga menumpas pemberontakan dan ketidakpatuhan terhadap kekuatan militer mereka.
TULA-TULANA RAJA INDARA PITARA: Sebuah Kajian Analisis Episode
nur alam, siti;
hasaruddin
Jurnal Pendidikan Sejarah Vol. 10 No. 1 (2024): Jurnal Pendidikan Sejarah Terbitan Bulan Mei 2024
Publisher : Jurnal Pendidikan Sejarah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Buton sejak menjadi tempat persinggahan telah mengembangkan tradisi tulis. Tadisi tersebut dapat dilakukan atau ditulis oleh masyarakat lokal atau karya-karya sastra tersebut didatangkan dari luar khusunya pada daerah Melayu. Jaringan intelektual menciptakan pengembangan karya-karya sastra khusunya di Buton. Salaah satu karya sastra tersebut adalah Tula-Tulana Raja Indara Pitara. Naskah tersebut disalin ole masyarakat Buton dari aksara Arab Melayu menjadi Aksara Arab Wolio. Naskah ini berbahasa Wolio yang terdari dari 170 halaman. Teks naskah menceritakan seorang tokoh yang bernama Indara Pitara yang berjuang mempertahankan hidup karena dibahwa oleh seekor burung merak. Pada kajian ini akan dilakukan pembagian episode berdasarkan alur ceritanya. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan mengunakan pendekatan ilmu sastra khusunya sosiologi. Sumber data yang digunakan adalah Tula-Tulana Raja Indara Pitara. Teknik yang digunakan adalah Purposive Sampling. Teknik pengumpulan data, melalui pelacakan lewat buku-buku, perpustakaan, dan koleksi pribadi. Membaca dan menganalisis hasil teks naskah. Dalam melakukan validasi data menggunakan trianggulasi teori . teknik analisis data untuk menganalisis data dalam Tula-Tulana Raja Indara Pitara ini ada tiga komponen pokok, yaitu: 1) reduksi data; 2) display data; dan 3) penggambaran kesimpulan. Hasil Penelitian menunjukan bahwa tahap awal kerajaan Amantapure memangil beberapa orang ahli nujum untuk dimintai keterangan tentang anak yang dilahirkan oleh permaisuri. Episode kedua mengisahkan tinggal bersama Nenengkubaeya, seorang pedagang bunga yang berdiam di komuitas jin. Episode ketiga Raja Indara Pitara diutus untuk mencari obat yang dapat menghidupkan binatang yang telah mati. Episode ini Raja Indara Pitara dalam perjalanannya banyak mendapat rintangan. Pada bagian lain dikisahkan pula bahwa pertemuan antara Indra Pitara dengan peri yang berasal dari kayangan bernama putri Kumala Ratna Sari anak raja Batarasahu. Lepas dari persoalan tersebut pada episode selanjutnya setelah Raja Indara Pitara melanjutkan perjalanannya mengembang amanat dari Raja Sahasiani menemui bukit yang yang dapat dilewatinya. Tetapi karena Raja Indara Pitara telah menaklukan bangsa jin. Raja Indara Pitara kembali ke kampung halamannya
Perang Salib (Penyebab Pecahnya Perang Salib, Apa Manfaat yang Diperoleh Umat Islam dan Nasrani dari Perang Salib)
Sri Nilawati;
Hasaruddin;
Syamzan Syukur
Jurnal Ilmu Pendidikan dan Sosial Vol. 2 No. 4 (2024): Januari
Publisher : CV Putra Publisher
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.58540/jipsi.v2i4.493
The Crusades occurred because a number of Christian cities and holy places were occupied by Islam since 632 AD. The Christian military used the cross as a symbol to show that this war was holy and aimed at liberating the holy city of Baitul Maqdis (Jerusalem) from Muslims/to show that the war was right. If it is true that it is a holy war, then all Western fleets and troops leaving for the battlefield are obliged to wear the cross attribute, whether worn on the sails of their boats, on their flags, starting from team flags and troop flags, shields, armor and various other equipment. The research method used is a qualitative method with a literature study type of research. Primary data sources use supporting references and secondary data sources use several journals and books. Analysis of the data used uses content analysis. The results of this research found that the crusades were the result of the birth of expansionism in Europe as in the efforts of the Seljuq against the Byzantine Empire. In the expansion movement carried out by Alp Arselan was the Manzikart event, in 464 AH, Alp Arselan's army with a strength of 15,000 soldiers, defeated the army Romans numbering 200,000 people. This event planted the seeds of hostility and hatred among Christians towards Muslims. This hatred increased after the Seljuq Dynasty seized Baitul Maqdis in 471 AH from the power of the Fatimid Dynasty based in Egypt. The Seljuq rulers set regulations for Christians who wanted to make a pilgrimage there. They felt that this regulation was very difficult for them. To obtain the freedom to make a pilgrimage to the holy Christian land, Pope Urban called on Christians in Europe to carry out a holy war.
Sejarah Konflik di Suriah: Sosok Tokoh Hafez al-Assad dan Bashar al-Assad
Muh. Taufiq Syam;
Hasaruddin
CARITA: Jurnal Sejarah dan Budaya Vol 2 No 1 (2023): CARITA : Jurnal Sejarah dan Budaya
Publisher : Program Studi Sejarah Peradaban Islam
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.35905/carita.v2i1.4323
The protest movement against the government regime that took place in the peninsular region of the Arabian peninsula, helped initiate the birth of conflict in Syria. On the one hand, there are also claims that this conflict was triggered by conflict between Shia-Sunni groups between the government involving the central figures Hafez al-Assad and Bashar al-Assad and the opposition groups. Therefore, the purpose of this research is to find out the historical background of the birth of the conflict in Syria and the extent of the main roles of Hafez al-Assad and Bashar al-Assad in the history of the conflict that occurred in Syria. This study used a literature review method with a descriptive analysis approach. The literature that discusses the Arab Spring and the history of the Syrian conflict is the main study material to answer the problem formulation in this paper. In the final stage, this research will present conclusions from the discussion and implications of the background causes of the conflict in Syria.