Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Urgensi Perumusan Perbuatan Memperdagangkan Pengaruh sebagai Tindak Pidana Korupsi Imentari Siin Sembiring; Elly Sudarti; Andi Najemi
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (191.126 KB) | DOI: 10.22437/ujh.3.1.59-84

Abstract

This article discusses the act of trading in influence as a form of corruption as regulated in the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) but has not been implemented into Indonesian criminal law even though it was ratified in 2006. Trading in influence is a form of trilateral relationship of corruption which involves at least three parties, namely an influential party, a party that has the authority, and an interest. This article concludes, the formulation of trading influence as a criminal act of corruption is urgent in three aspects. First, the regulation in national law is a form of transformation of UNCAC provisions that have been ratified. Second, several cases of corruption so far, as in the two cases discussed here, actually show a form of trading in influence, even though law enforcement is imposed with bribery. Third, efforts to impose actors of trading in influence with the bribery Article as so far, are actually limited to actors who are state administrators or civil servants; in the event that the actor is not part of the two, the subjective elements of bribery Article are not fulfilled. Therefore, in the future criminal law policy, it is necessary to accommodate the formulation of trading in influence as a criminal act of corruption, in this case offered through the revision of the Corruption Eradication Act. Abstrak Artikel ini membahas perbuatan memperdagangkan pengaruh sebagai salah satu bentuk korupsi sebagaimana diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) namun belum diimplementasikan dalam hukum pidana Indonesia meski telah diratifikasi pada 2006. Memperdagangkan pengaruh sebagai bentuk trilateral relationship merupakan bentuk korupsi yang melibatkan sedikitnya tiga pihak, yaitu pihak yang berpengaruh, pihak yang memiliki kewenangan, serta pihak yang memiliki kepentingan. Artikel ini menyimpulkan, perumusan perbuatan memperdagangkan pengaruh sebagai tindak pidana korupsi urgen dalam tiga hal. Pertama, pengaturannya dalam hukum nasional merupakan bentuk dari transformasi ketentuan UNCAC yang sudah diratifikasi. Kedua, beberapa kasus korupsi selama ini, sebagaimana dalam dua kasus yang dibahas di sini, sebenarnya menunjukkan adanya bentuk memperdagangkan pengaruh, sekalipun pada akhirnya dijerat penegak hukum dengan suap. Ketiga, upaya menjerat pelaku memperdagangkan pengaruh dengan Pasal tentang suap sebagaimana yang selama ini dikenakan, sesungguhnya terbatas pada pelaku yang merupakan penyelenggara negara atau pegawai negeri; dalam hal pelaku bukan bagian dari keduanya maka unsur subjektif dari Pasal suap tidak terpenuhi. Karena itu, dalam kebijakan hukum pidana ke depan, perlu diakomodasi perumusan memperdagangkan pengaruh sebagai tindak pidana korupsi, dalam hal ini didorong melalui revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindakan Diskresi Oleh Penyidik Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Polres Tanjung Jabung Barat Sahuri Lasmadi; Umar Hasan; Elly Sudarti
Jurnal Sains Sosio Humaniora Vol. 3 No. 2 (2019): Volume 3, Nomor 2, Desember 2019
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (453.894 KB) | DOI: 10.22437/jssh.v3i2.8118

Abstract

Penelitian ini dilatarbelakangi maraknya kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. KDRT merupakan jenis kekerasan yang memiliki sifat-sifat yang khas yakni dilakukan di dalam rumah, pelaku dan korban adalah anggota keluarga. Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk Menganalisis Penyelesaian Tindak Pidana KDRT Melalui Tindakan Diskresi di Polres Tanjung Jabung Barat; (2) Untuk Menganalisis Dasar Hukum Tindakan Diskresi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana KDRT; (3) Untuk Menganalisis Akibat Hukum Penerapan Tindakan Diskresi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana KDRT di Polres Tanjung Jabung Barat. Metode Penelitian: penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang didukung dengan data empiris. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Analisis bahan hukum dilakukan dengan cara menginterpretasi, menilai dan mengevaluasi undang-undang. Kesimpulan: (1) Penyelesaian pada tindak pidana KDRT sebanyak 14 kasus di Polres Tanjung Jabung Barat, diselesaikan penyidik dengan tindakan diskresi melalui mediasi yang lebih mengedepankan kemanfatan hukum; (2) Dasar hukum Tindakan Diskresi oleh Penyidik diatur pada Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf L dan ayat (2), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Surat Kapolri Nomor Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 Tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolusion. Tindakan Diskresi dilakukan melalui mediasi penal belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; (3) Akibat hukum penerapan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana KDRT adalah dapat menghapuskan status hukum tersangka pada diri pelaku. Saran: Untuk kepastian hukum perlu pembaharuan hukum tentang mediasi penal terhadap Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kewenangan Jaksa Melakukan Penyadapan Dalam Proses Peradilan Pidana Debby Jayanti; Usman Usman; Elly Sudarti
Jurnal Sains Sosio Humaniora Vol. 6 No. 1 (2022): Volume 6, Nomor 1, Juni 2022
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/jssh.v6i1.19735

Abstract

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia merupakan payung hukum terbaru di lingkup Kejaksaan Republik Indonesia. Berlakunya Undang-Undang Kejaksaan baru memperluas kewenangan jaksa melakukan penyadapan dalam proses peradilan pidana. Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan kewenangan Jaksa melakukan penyadapan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia; (2) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan tentang penyadapan di masa mendatang dalam perspektif pembaharuan hukum pidana. Metode penelitian: tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normative dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep .Analisis bahan hukum dilakukan dengan cara menginterpretasi, menilai dan membuat mengevaluasi undang-undang. Kesimpulan: Pengaturan kewenangan jaksa melakukan penyadapan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia belum diatur secara jelas, tidak detail, dan tidak terukur yang berakibat timbulnya ketidakpastian hukum, serta pengaturan tentang penyadapan di masa mendatang dalam perspektif pembaharuan hukum pidana harus diatur secara eksplisit dalam sebuah Peraturan Perundang-Undangan.
Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pelacuran Novri Ihda Mursyidah Tanjung; Elly Sudarti; Nys. Arfa
Jurnal Sains Sosio Humaniora Vol. 6 No. 1 (2022): Volume 6, Nomor 1, Juni 2022
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/jssh.v6i1.19736

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan mengenai tindak pidana pelacuran dalam prespektif hukum pidana serta mengetahui dan menganalisis mengenai kriminalisasi terhadap pelacur dan pelanggan pelacuran dalam prespektif kebijakan hukum pidana. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil dari penelitian ini adalah adanya kekosongan hukum dalam pengaturan mengenai tindak pidana pelacuran dalam hukum pidana Indonesia yang mana aturan yang sudah ada saat ini yakni Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP hanya mengatur mengenai pidana terhadap muncikari nya saja, sedangkan mengenai pelacur dan pelanggan pelacurannya belum diatur. Perlunya dibuat suatu aturan hukum yang mengatur mengenai semua pihak yang terlibat di dalam tindak pidana pelacuran ini agar tercapainya suatu keadilan dan kepastian hukum dan juga agar dapat mengurangi adanya pelacuran di Indonesia.
Pemidanaan Pelaku Tindak Pidana Korupsi Elvara Yolanda; Usman Usman; Elly Sudarti
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i2.18153

Abstract

This article aims to find out whether the decision number 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN Jkt.Pst. has met the formal and material requirements and whether the criminal sentence against the decision number 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN Jkt.Pst. has fulfilled the philosophy of punishment in corruption. This method used is normative juridical research methods. The result of this study are: This decision has fulfilled the formal requirements as stipulated in Article 197 Paragraphs (1) and (2) of the Criminal Procedure Code and the material requirements as stipulated in Article 183-185 of the Criminal Procedure Code. However, in this decision the philosophy of punishment in corruption is not fulfilled, this is because, not yet maximally the punishment imposed on Juliari P. Batubara. In the future, it is necessary to regulate the death penalty for perpetrators of corruption who commit corruption crimes during disasters, both during natural and non-natural disasters, so as to create legal certainty. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengetahui apakah putusan nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN Jkt.Pst. telah memenuhi syarat formil dan materil dan apakah penjatuhan pidana terhadap putusan nomor 29/Pid.Sus-TPK/2021/PN Jkt.Pst. telah memenuhi falsafah pemidanaan dalam tindak pidana korupsi. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini adalah putusan ini telah memenuhi memenuhi syarat formil sesuai yang diatur pada Pasal 197 Ayat (1) dan (2) KUHAP dan syarat materil sesuai yang diatur pada Pasal 183-185 KUHAP. Akan tetapi, dalam putusan ini tidak terpenuhinya falsafah pemidanaan dalam tindak pidana korupsi, hal ini dikarenakan, belum maksimalnya pidana yang dijatuhkan terhadap Juliari P. Batubara, untuk ke depan diperlukan pengatur ancaman pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi pada saat bencana, baik saat bencana alam maupun non alam, sehingga terciptanya kepastian hukum.
Restorative Justice as an Alternative for The Settlement of Corruption Crimes That Adverse State Finances in The Perspective of The Purpose of Conviction Sahuri Lasmadi; Elly Sudarti
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol. 9 No. 2: August 2021 : Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan
Publisher : Magister of Law, Faculty of Law, University of Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ius.v9i2.904

Abstract

This research was motivated by the rampant corruption crimes committed by state officials. The problem is that the restoration of the state’s financial losses due to the corruption crimes with the current system has not met a profitable solution. This research was doctrinal with a normative legal research method, which was a legal research method based on the statutory and conceptual approaches using analytical descriptive analysis. Settlement of corruption crimes concerning state financial losses is currently carried out through a criminal justice system that priorities a retributive justice approach so that it does not achieve the objective of punishment of un optimal returns to state financial losses. Therefore, a new settlement concept is needed. The concept of restorative justice focuses more on the settlement of criminal cases by emphasizing restoration to its original state, not retaliation. Restorative justice also fulfills the value of justice and legal benefits in order to meet the value of legal certainty. In the future, it is necessary to formulate specific regulations regarding the concept of restorative justice in resolving corruption crimes concerning losses on state finances.
Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Pelaku Tindak Pidana Korupsi Wahyu Noviacahyani; Elly Sudarti
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 3 No. 3 (2022)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v3i3.23585

Abstract

The development of corruption in Indonesia today has caused enormous state losses. Corruption crimes committed by Civil Servants must be prosecuted according to law. Corruption is categorized as an extraordinary crime. The crime committed by a prosecutor named Pinangki Sirna Malasari attracted the wider community because the criminal verdict handed down was too low and the act reflected justice. Based on the problems above, the authors draw the formulation of the problem as follows; First, what is the form of punishment imposed on perpetrators of corruption in Decision Number: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI? Second, what is the basis for the judge's consideration in imposing a sentence on Decision Number: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI? This writing uses a normative juridical research method due to the injustice of Decision Number: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI. The results of the study show that: 1) The form of punishment imposed on the defendant is imprisonment for 4 years and a fine of Rp. 600,000,000.00 and dismissal from his position as a Prosecutor. 2) The reasons that became the basis for the judge's consideration in Decision Number: 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI, namely: 1) That the defendant pleaded guilty and regretted his actions and had been dismissed from his profession as a prosecutor; 2) Whereas the defendant is a mother who has a child under the age of 4 years so that she deserves the opportunity to give love to her child; 3) Whereas the defendant as a woman must receive protection and be treated fairly; 4) That the defendant's actions were not carried out alone but involved other parties who were also responsible. Therefore, the author is of the opinion that there is injustice in Decision Number: 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI. namely the low number of criminal decisions handed down in the corruption case Abstrak Perkembangan korupsi di Indonesia sekarang ini menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil, mesti dilakukan penindakan sesuai hukum. Tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang luar biasa. Tindak pidana yang dilakukan oleh seorang Jaksa bernama Pinangki Sirna Malasari menarik masyarakat luas karena putusan pidana yang dijatuhkan terlalu rendah dan tindak mencerminkan suatu keadilan. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut; Pertama, Bagaimana bentuk pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI? Kedua, Apa dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap Putusan Nomor: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI? Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dikarenakan adanya ketidakadilan terhadap Putusan Nomor: 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI. Hasil penelitian menunujukkan bahwa: 1) Bentuk pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa yaitu, pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp600.000.000,00 dan pemecatan jabatan sebagai Jaksa. 2) Alasan yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor: 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI yaitu: 1) Bahwa terdakwa mengaku bersalah dan menyesali perbutannya serta telah dipecat dari profesinya sebagai Jaksa; 2) Bahwa terdakwa adalah seorang ibu yang mempunyai anak balita berusia 4 tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk memberi kasih sayang kepada anaknya; 3) Bahwa terdakwa sebagai wanita harus mendapat perlindungan dan diperlakukan secara adil; 4) Bahwa perbuatan terdakwa tidak diilakukan seorang diri melainkan melibatkan pihak lain yang turut bertanggungjawab. Maka dari itu, Penulis berpendapat bahwa ada ketidakadilan dalam Putusan Nomor: 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI. yaitu dengan rendahnya putusan pidana yang dijatuhkan dalam kasus korupsi tersebut
Ultra Petita Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan Chanifah Chanifah; Elly Sudarti; Nys. Arfa
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 4 No. 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v4i1.24075

Abstract

In the criminal realm there are no provisions that explicitly state the permissibility or inability of judges to decide beyond what is required. Where this indirectly becomes the limit of the judge in deciding the case. The panel of judges can pass a lower, equal or even higher decision than the public prosecutor's requisitor. Judges have freedom and independence in deciding cases, in this case it can be found in the trial facts that the thing that weighs on the defendant is that when the Panel of Judges is convinced that a sentence is higher than the demands of the Public Prosecutor, then in fact the sentence does not violate the criminal procedure law. So according to the author, the Ultra Petita decision of the panel of judges is in line with the provisions of laws and regulations because it does not at all go beyond the maximum legal limits set out in Article 285 of the Criminal Code. Abstrak Dalam ranah pidana tidak ada ketentuan yang menyatakan secara eksplisit mengenai kebolehan atau ketidakbolehan hakim dalam memutuskan melebihi apa yang diminta. Dimana hal tersebut secara tidak langsung menjadi batasan hakim dalam memutus perkara. Majelis hakim dapat menjatuhkan putusan lebih rendah, sama atau bahkan lebih tinggi dari rekuisitor penuntut umum. Hakim memiliki kebebasan dan indepedensi dalam memutus perkara, dalam kasus ini dapat ditemukan dalam fakta persidangan bahwa hal yang memberatkan terdakwa adalah ketika Majelis Hakim berkeyakinan untuk menjatuhkan pidana lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maka sebenarnya hukuman itu tidak melanggar hukum acara pidana. Sehingga menurut penulis, putusan Ultra Petita majelis hakim telah sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena sama sekali tidak keluar dari batasan maksimal hukum yang telah ditetapkan dalam Pasal 285 KUHP.
Pengaturan Suap Sektor Swasta Sebagai Salah Satu Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Audifirdha Meilytia; Elly Sudarti
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 4 No. 2 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v4i2.27538

Abstract

The purposes of this study are 1)To analyze and examine the regulation of bribery in private sector as one of the criminal acts of corruption in Indonesia. 2)To find out the urgency of bribery regulation in the private sector as one of the criminal acts of corruption in the perspective of criminal law reform. The result of this study argued that the regulation of bribery in Indonesia has not been regulated in the Corruption Act. Therefore, the Corruption Eradication Commission lacks the authority to handle corruption cases that occur in the private sector. Above all, in view of the urgency, Indonesia has been considered vital to make adjustments to legislation with the United Nations Convention Against Corruption to specifically regulate bribery occurring in the private sector. The author’s suggestion to law enforces 1)It is compulsory to ament the law by updating the Criminal Code and revising Law Number 13 of 1999 concerning Amendments to Law Number 20 of 2001 on Corruption Eradication. 2)Regulate the criminal act of bribery in the private sector to the greatest degree, in a persistent and an upright manner. Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah 1)Untuk menganalisis dan mengkaji pengaturan suap di sektor swasta sebagai salah satu tindak pidana korupsi di Indonesia. 2)Untuk mengetahui urgensi pengaturan suap di sektor swasta sebagai slaah satu tindak pidana korupsi dalam perspektif pembaharuan hukum pidana. Hasil penelitian ini dapat dikemukakan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana suap di Indonesia belum diatur di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki wewenang untuk menangani kasus korupsi yang terjadi di sektor swasta. Dan apabila dilihat dari urgensinya, Indonesia dianggap sudah sangat perlu melakukan penyesuaian peraturan perundang-undangan dengan United Nations Convention Against Corruption untuk mengatur secara khusus mengenai tindak pidana suap yang terjadi di sektor swasta. Saran penulis kepada para penegak hukum 1)Perlunya dilakukan pembaharuan hukum dengan melakukan pembaharuan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dsan merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2)Mengatur tindak pidana suap di sektor swasta secara maksimal, konsisten dan jujur.
Harmonisasi Sistem Pemidanaan dan Tujuan Pemidanaan Pada Tindak Pidana Korupsi Suap Elly Sudarti; Sahuri Lasmadi
Pandecta Research Law Journal Vol 16, No 1 (2021): June
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/pandecta.v16i1.27516

Abstract

Sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia belum dapat mencapai tujuan pemidanaan, baik dari sisi kerugian negara maupun dari sisi moralitas. Penelitian ini bertujuan: (1) Untuk menganalisis dan menemukan keselarasan sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap dengan tujuan pemidanaan menurut hukum pidanaIndonesia dan hukum pidana Malaysia; (2) Untuk menemukan formulasi ideal sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap dalam rangka mewujudkan tujuan pemidanaan. Metode penelitian menggunakan tipe yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan; konseptual; perbandingan dan pendekatan kasus. Kesimpulan dari Penelitian ini: (1) Sistem pemidanaan tindak pidana korupsi suap di Indonesia belum selaras dengan tujuan pemidanaan, karena pengaturan sistem perumusan sanksi pidana yang belum tepat dan belum  berdaya guna. Di Malaysia, sistem pemidanaan pada tindak pidana korupsi suap telah selaras dengan tujuan pemidanaan. Sistem pemidanaan yang lebih menitikberatkan pada pidana denda, Malaysia mendapatkan nilai lebih dari nilai kerugian yang menjadi perkara. (2) Sistem pemidanaan yang selaras dengan tujuan pemidanaan apabila pidana yang diberikan bisa menutupi kerugian yang ditimbulkan tindak pidana suap baik dari segi keuangan maupun dari segi moralitas. Sistem pemidanaan ke depan harus dirumuskan dengan penguatan pada pidana denda yang ditentukan berdasarkan besarnya nilai suap dikalikan minimal duakali atau maksimal limakali dalam pengaturan sistem pemidanaan di Indonesia yang akan datang.