Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Temuan Klinis dan Terapi Dini pada Anak dengan Sindrom Ramsay-Hunt Noerfani, Rahma Rafina; Budianti, Windy Keumala; Permatasari, Nadya Aninditha; Gifani, Fathya Nabila
Jurnal Kedokteran Meditek Vol 31 No 2 (2025): MARCH
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36452/jkdoktmeditek.v31i2.3497

Abstract

Introduction: Ramsay-Hunt syndrome is a complication of the varicellazoster virus that causes inflammation of the geniculate ganglion cranialnerve VII. This disease is a rare case in children. This case report aims tohighlight the importance of diagnosis, early examination, andappropriate therapy to prevent complications and poor prognosis. CaseIllustration: A 9 year-old girl presented with clear fluid-filled blisters inher left ear for four days before going to the hospital. Two days after thelesions came out, she complained of her face feeling tilted to the right,difficulty close her left eye, and the corner of her mouth being moredrawn towards the normal side. The left auricular helix fossa regionshowed a rash of multiple vesicles in groups containing clear fluid withan erythematous skin base, distributed unilaterally according to thedermatome. The patient was diagnosed with Ramsay-Hunt syndrome.She was treated with a combination of oral acyclovir andmethylprednisolone injections. Discussion: Antiviral therapy within 24–72 hours after the onset of the rash is very effective for healing of the rashand reducing the duration of pain. Corticosteroid as an antiinflammatory can reduce peripheral nerve damage and edema.Combination of corticosteroid with acyclovir for 7 days in herpes zosteraccompanied by facial paralysis is very effective in significantly reducingacute pain and reducing the risk of complications. Conclusion:The exactdiagnosis and combination of antiviral with corticosteroid therapy inchildren can be beneficial in reducing the duration of lesions and pain aswell as the risk of complications.
DERMATOMIOSITIS ANTI-MDA5: LAPORAN DUA KASUS SUATU ENTITAS DENGAN MANIFESTASI DAN PROGNOSIS BERAGAM Halim, P. Anthony; Hamdali, Christie; Pranathania, Andravina; Fitri, Eyleny Meisyah; Budianti, Windy Keumala; Novianto, Endi; Indrawati, Luh Ari
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 52 No 1 (2025): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v52i1.505

Abstract

Pendahuluan: Dermatomiositis anti-melanoma differentiation-associated protein 5 (DM-MDA5) adalah penyakit autoimun sistemik langka yang memiliki temuan klinis bervariasi dan banyak dipelajari dalam satu dekade terakhir. Subtipe tersebut umumnya bermanifestasi sebagai DM amiopatik atau hipomiopatik, sering disertai intersitial lung disease (ILD) berpotensi fatal. Dalam makalah ini, kami melaporkan untuk pertama kalinya di Indonesia, variasi gambaran klinis, radiologis, laboratorium, dan prognosis dua kasus DM-MDA5. Kasus: Pasien pertama, seorang perempuan 25 tahun dengan ruam kemerahan khas DM, kelemahan otot ringan, artralgia, dan alopesia. Pasien kedua, seorang perempuan 43 tahun dengan ruam kemerahan khas DM, ulserasi kulit, rambut rontok, kelemahan otot, nyeri sendi, dan sesak nafas. Diagnosis DM ditegakkan sesuai kriteria Sontheimer dan American College of Rheumatologist/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2017. Pada kedua pasien terdeteksi anti-MDA5 dengan titer positif kuat. Rontgen toraks dan CT scan menunjukkan ILD pada pasien kedua. Tata laksana kombinasi menggunakan kortikosteroid dan imunosupresan sistemik, kortikosteroid topikal, penghambat kalsineurin topikal, dan fotoproteksi ketat memperbaiki gejala klinis pada kedua pasien. Diskusi: Pasien DM-MDA5 dapat digolongkan menjadi beberapa fenotipe klinis sesuai temuan klinis dan laboratorium, dengan prognosis beragam terkait insidensi ILD. Kasus pertama memiliki prognosis baik, sedangkan kasus kedua cenderung memiliki prognosis sedang. Hingga kini, belum terdapat tata laksana spesifik DM-MDA5, tetapi terapi antifibrotik dapat bermanfaat pada kasus dengan ILD. Kesimpulan: Klinisi perlu mengenali subtipe DM ini karena memiliki manifestasi yang bervariasi namun cukup khas, dengan prognosis yang beragam. Evaluasi dan tata laksana dini secara multidisiplin pada pasien DM-MDA5 dapat mencegah progresivitas penyakit dan kematian akibat komplikasi.
TANTANGAN TATA LAKSANA PSORIASIS VULGARIS BERAT PADA PASIEN DENGAN SINDROM IMUNODEFISIENSI AKUISITA Ramadhani, Reinanda Marizki; Budianti, Windy Keumala; Fitri, Eyleny Meisyah; Ling, Michael Sie Shun; Hapsari, Windy Atika
Media Dermato-Venereologica Indonesiana Vol 52 No 2 (2025): Media Dermato Venereologica Indonesiana
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33820/mdvi.v52i2.519

Abstract

Pendahuluan: Prevalensi psoriasis dilaporkan meningkat pada pasien sindrom imunodefisiensi akuisita (SIDA). Tata laksana psoriasis vulgaris berat pada pasien SIDA merupakan tantangan tersendiri karena dibutuhkan pertimbangan terapi yang selektif untuk meminimalkan efek samping terutama pada kondisi imunokompromais. Pada kasus, dilaporkan resolusi komplit psoriasis vulgaris berat pada pasien SIDA. Laporan kasus: Seorang laki-laki 37 tahun mengeluh bercak merah bersisik tebal pada skalp, wajah, badan, dan kedua ekstremitas yang dirasakan memberat sejak 3 bulan lalu. Pasien memiliki riwayat SIDA namun putus obat. Pada regio skalp, wajah, badan, dan ekstremitas ditemukan plak eritematosa, multipel, skuama putih kering kasar berlapis, body surface area 46,5%, skor psoriasis area severity index 39,6. Pasien diberikan fototerapi narrowband UV-B (NB-UVB), obat anti retroviral (ARV), terapi topikal, serta tata laksana multidisiplin. Diskusi: Terdapat perbedaan alur tata laksana psoriasis vulgaris berat pada pasien SIDA. Lini pertama, penggunaan ARV, fototerapi, terapi topikal dengan keterlibatan multidisiplin. Lini kedua retinoid oral dan bila recalcitrant baru dipertimbangkan pemberian obat non biologik atau obat biologik secara hati-hati. Kesimpulan: Pemilihan tata laksana psoriasis vulgaris berat pada pasien SIDA memiliki alur berbeda karena harus sangat selektif dengan pertimbangan risiko dan manfaat yang sesuai. Terapi kombinasi fototerapi NB-UVB, terapi topikal, obat ARV, dan kerja sama multidisiplin memberikan resolusi komplit.