Claim Missing Document
Check
Articles

Found 38 Documents
Search

LEGAL OPINI ATAS PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR 13/PID.SUS-TPK/2018/PN MEDAN, TANGGAL 19 APRIL Gultom, Maidin
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 1 Nomor 1
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (696.192 KB) | DOI: 10.54367/fiat.v1i1.910

Abstract

Article 12 a PTPK Law only applies to State Employees and State Administrators. Article 12 a PTPK Law basically regulates the actions of civil servants or state administrators that are contrary to their duties or obligations. The convict Sujendi Tarsono alias Ayen is not a Civil Servant or a State Administrator. The person concerned is as an entrepreneur as Director of PT Ada Mobil / Owner Ada Jadi Mobil. In connection with the description above, the possibility that occurs is the occurrence of errors in persona and Error in Objecto, meaning that the wrong person and the wrong object that was decided to convict Sujendi alias Ayen. In my opinion, the defendant SUJENDI TARSONO alias AYEN can be categorized as Also Participating in this case Telling Doing (Middelijk daders). Forcing to do is someone who wishes to do something criminal, but does not do it himself, but rather tells others to do it. The person who ordered it uses someone else (ie the person who was told) to realize his intention. The main requirement (characteristic) of ordering to do is that the person who is told to be must be a person who cannot be accounted for legally (according to Criminal Law). The reasons are as follows: a. Because of criminal exemptions. b. Because one element of the crime was not fulfilled, for example the element of error (intentional), which is related to the intention (as a subjective element) in the occurrence of the crime. Those who do what is wrong (menrea) while those who do have no mistakes. The liability of the person who ordered it to do is limited to the act carried out by the material maker (the person ordered).
INDIKATOR KESETARAAN GENDER DAN ISU-ISU GENDER DI BIDANG PENDIDIKAN Gultom, Maidin
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 1 Nomor 2
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5410.642 KB) | DOI: 10.54367/fiat.v1i2.1149

Abstract

Gender adalah konstruksi sosial maupun kultural yang dilekatkan oleh masyarakat pada laki-laki dan perempuan. Misalnya perempuan lemah lembut, penyayang, sabar dan tekun. Sedangkan laki-laki tegas, berwibawa, tidak cengeng dan sebagainya. Pembedaan gender ini kemudian diperkuat pula dengan mitos dan pembagian kerja seksual yang berlaku bagi masing-masing jenis kelamin. Misalnya perempuan lebih sesuai untuk memilih jurusan sastra, sosial atau ekonomi sedangkan laki-laki lebih cocok masuk jurusan teknik. Perempuan lebih cocok menjadi sekretaris, laki-laki lebih cocok bekerja di lapangan (hutan, lepas pantai, dan lain-lain). Bila sebuah keluarga memiliki dana terbatas untuk menyekolahkan anak-anaknya, prioritas akan diberikan kepada anak laki-laki untuk melanjutkan sekolah. Anak perempuan diharapkan dapat menerima ini karena ”setinggi-tingginya perempuan sekolah, nantinya akan ke dapur juga.” Perbedaan-perbedaan gender dikarenakan banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosio kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Meniadakan diskriminasi tersebut di atas, kita membutuhkan kesetaraan gender (gender equality) atau pandangan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki akses dan kesempatan yang sama di segala bidang. Kesetaraan gender bukan berarti perempuan harus menjadi sama dengan laki-laki, karena secara kodrati perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Kesetaraan gender lebih berarti negara melakukan tindakan untuk memberikan kesempatan dan hak yang sama bagi laki laki dan perempuan.
PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN RINGAN DI KEJAKSAAN NEGERI MEDAN Gultom, Maidin; Manalu, Sahata
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 4 Nomor 1 Tahun 2023
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pendekatan Restorative Justice sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di Kejaksaan Negeri Medan dan mengetahui hambatan yang timbul dalam upaya pendekatan Restorative Justice terhadap tindak pidana penganiayaan ringan di Kejaksaan Negeri Medan. Data primer yang digunakan diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasipidum) Kejaksanaan Negeri Medan. Data sekunder adalah studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, mempelajari, menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan yang ada serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Bahan yang telah terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif yuridis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pihak Kejaksaan Negeri Medan sudah dapat menangani perkara tindak pidana penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP dengan menggunakan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, tetapi masih ada juga sebagian perkara yang tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan. Tidak tercapai kesepakatan antar pihak yang terlibat antara Pelaku dan Korban disebabkan pidana ini berhubungan dengan kejahatan terhadap jiwa. Karena Restoratif Justice dapat terwujud ketika tercapai kesepakatan antar pihak yang terlibat (Pelaku, Korban dan Mediator). Jika korban dan pelaku tidak mencapai kesepakatan maka, perkara selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan. Hambatan yang timbul dalam upaya pendekatan Restorative Justice terhadap tindak pidana penganiayaan ringan, antara lain susahnya memberikan arahan kepada pihak korban agar menyelesaikan perkara di tingkat Kejaksaan saja, selain itu adanya keinginan dari korban untuk melanjutkan perkara sampai proses peradilan sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku. Selain itu ada juga hambatan dari Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dalam peraturan ini tidak ada pasal yang mewajibkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus menghentikan kasus secara Restorative Justice. Hambatan lainnya yang dihadapi yaitu faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana, faktor pelaku dan korban serta faktor kebudayaan.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PENGANIAYAAN ANTAR NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN TANJUNG GUSTA MEDAN Gultom, Maidin; Daeli, Nevasiwa
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 4 Nomor 2 Tahun 2024
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan serta upaya yang dilakukan petugas untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana penganiayaan yang dilakukan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara langsung dengan Bapak Sahat Parsaulian Sihombing, A.Md.P, S.H. selaku kasi BIMPAS di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan. Sedangkan data sekunder berupa bahan-bahan kepustakaan dan peraturan perundang-undangan mengenai yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang menjadi penyebab terjadinya penganiayaan yang dilakukan narapidaa di Lemabaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan yaitu faktor over capacity (kelebihan kapasitas), faktor ekonomi, faktor kurangnya pengendalian diri, dan faktor lemahnya sistem keamanan. Untuk menanggulangi terjadinya hal tersebut ditempuh melalui upaya preventif dan upaya represif. Upaya preventif merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga kemungkinan akan terjadinya tindak pidana penganiayaan terjadi. Sedangkan upaya represif merupakan upaya yang dilakukan pada saat atau setelah terjadinya tindak pidana penganiayaan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman dan sanksi.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI PERANTARA/KURIR DALAM TRANSAKSI NARKOBA Gultom, Maidin; Silitonga, Holong TM
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 5 Nomor 2 Tahun 2025
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Narkoba merupakan obat yang sangat berbahaya ketika banyak lapisan masyarakat menyalahgunakannya. Jadi tidak hanya individu yang menyalahgunakan barang tersebut, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan merasakan konsekuensi dari penyalahgunaan barang tersebut. Dalam menerapkannya, pemerintah tampaknya tidak melakukan upaya terbaiknya untuk mencegah penyebaran narkoba ilegal. Karena itu, tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak telah menjadi kurir dalam sindikat pengedaran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab hukum atas pelanggaran pidana serta konsekuensi hukum yang akan diterima oleh anak yang bekerja sebagai kurir narkotika.Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya dari penyalah gunaan narkoba, serta menjadi saran bagi pemeintah agar bisa bekerja lebih keras lagi dalam penanganan penyalahgunaan narkotika di Indonesia
LEGAL OPINI ATAS PUTUSAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR 13/PID.SUS-TPK/2018/PN MEDAN, TANGGAL 19 APRIL Gultom, Maidin
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 1 Nomor 1
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (696.192 KB) | DOI: 10.54367/fiat.v1i1.910

Abstract

Article 12 a PTPK Law only applies to State Employees and State Administrators. Article 12 a PTPK Law basically regulates the actions of civil servants or state administrators that are contrary to their duties or obligations. The convict Sujendi Tarsono alias Ayen is not a Civil Servant or a State Administrator. The person concerned is as an entrepreneur as Director of PT Ada Mobil / Owner Ada Jadi Mobil. In connection with the description above, the possibility that occurs is the occurrence of errors in persona and Error in Objecto, meaning that the wrong person and the wrong object that was decided to convict Sujendi alias Ayen. In my opinion, the defendant SUJENDI TARSONO alias AYEN can be categorized as Also Participating in this case Telling Doing (Middelijk daders). Forcing to do is someone who wishes to do something criminal, but does not do it himself, but rather tells others to do it. The person who ordered it uses someone else (ie the person who was told) to realize his intention. The main requirement (characteristic) of ordering to do is that the person who is told to be must be a person who cannot be accounted for legally (according to Criminal Law). The reasons are as follows: a. Because of criminal exemptions. b. Because one element of the crime was not fulfilled, for example the element of error (intentional), which is related to the intention (as a subjective element) in the occurrence of the crime. Those who do what is wrong (menrea) while those who do have no mistakes. The liability of the person who ordered it to do is limited to the act carried out by the material maker (the person ordered).
INDIKATOR KESETARAAN GENDER DAN ISU-ISU GENDER DI BIDANG PENDIDIKAN Gultom, Maidin
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 1 Nomor 2
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54367/fiat.v1i2.1149

Abstract

Gender adalah konstruksi sosial maupun kultural yang dilekatkan oleh masyarakat pada laki-laki dan perempuan. Misalnya perempuan lemah lembut, penyayang, sabar dan tekun. Sedangkan laki-laki tegas, berwibawa, tidak cengeng dan sebagainya. Pembedaan gender ini kemudian diperkuat pula dengan mitos dan pembagian kerja seksual yang berlaku bagi masing-masing jenis kelamin. Misalnya perempuan lebih sesuai untuk memilih jurusan sastra, sosial atau ekonomi sedangkan laki-laki lebih cocok masuk jurusan teknik. Perempuan lebih cocok menjadi sekretaris, laki-laki lebih cocok bekerja di lapangan (hutan, lepas pantai, dan lain-lain). Bila sebuah keluarga memiliki dana terbatas untuk menyekolahkan anak-anaknya, prioritas akan diberikan kepada anak laki-laki untuk melanjutkan sekolah. Anak perempuan diharapkan dapat menerima ini karena ”setinggi-tingginya perempuan sekolah, nantinya akan ke dapur juga.” Perbedaan-perbedaan gender dikarenakan banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosio kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Meniadakan diskriminasi tersebut di atas, kita membutuhkan kesetaraan gender (gender equality) atau pandangan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki akses dan kesempatan yang sama di segala bidang. Kesetaraan gender bukan berarti perempuan harus menjadi sama dengan laki-laki, karena secara kodrati perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Kesetaraan gender lebih berarti negara melakukan tindakan untuk memberikan kesempatan dan hak yang sama bagi laki laki dan perempuan.
PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN RINGAN DI KEJAKSAAN NEGERI MEDAN Gultom, Maidin; Manalu, Sahata
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 4 Nomor 1 Tahun 2023
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pendekatan Restorative Justice sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di Kejaksaan Negeri Medan dan mengetahui hambatan yang timbul dalam upaya pendekatan Restorative Justice terhadap tindak pidana penganiayaan ringan di Kejaksaan Negeri Medan. Data primer yang digunakan diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasipidum) Kejaksanaan Negeri Medan. Data sekunder adalah studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, mempelajari, menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan yang ada serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Bahan yang telah terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif yuridis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pihak Kejaksaan Negeri Medan sudah dapat menangani perkara tindak pidana penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP dengan menggunakan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, tetapi masih ada juga sebagian perkara yang tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan. Tidak tercapai kesepakatan antar pihak yang terlibat antara Pelaku dan Korban disebabkan pidana ini berhubungan dengan kejahatan terhadap jiwa. Karena Restoratif Justice dapat terwujud ketika tercapai kesepakatan antar pihak yang terlibat (Pelaku, Korban dan Mediator). Jika korban dan pelaku tidak mencapai kesepakatan maka, perkara selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan. Hambatan yang timbul dalam upaya pendekatan Restorative Justice terhadap tindak pidana penganiayaan ringan, antara lain susahnya memberikan arahan kepada pihak korban agar menyelesaikan perkara di tingkat Kejaksaan saja, selain itu adanya keinginan dari korban untuk melanjutkan perkara sampai proses peradilan sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku. Selain itu ada juga hambatan dari Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dalam peraturan ini tidak ada pasal yang mewajibkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus menghentikan kasus secara Restorative Justice. Hambatan lainnya yang dihadapi yaitu faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana, faktor pelaku dan korban serta faktor kebudayaan.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PENGANIAYAAN ANTAR NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN TANJUNG GUSTA MEDAN Gultom, Maidin; Daeli, Nevasiwa
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 4 Nomor 2 Tahun 2024
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan serta upaya yang dilakukan petugas untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana penganiayaan yang dilakukan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara langsung dengan Bapak Sahat Parsaulian Sihombing, A.Md.P, S.H. selaku kasi BIMPAS di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan. Sedangkan data sekunder berupa bahan-bahan kepustakaan dan peraturan perundang-undangan mengenai yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang menjadi penyebab terjadinya penganiayaan yang dilakukan narapidaa di Lemabaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta Medan yaitu faktor over capacity (kelebihan kapasitas), faktor ekonomi, faktor kurangnya pengendalian diri, dan faktor lemahnya sistem keamanan. Untuk menanggulangi terjadinya hal tersebut ditempuh melalui upaya preventif dan upaya represif. Upaya preventif merupakan tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga kemungkinan akan terjadinya tindak pidana penganiayaan terjadi. Sedangkan upaya represif merupakan upaya yang dilakukan pada saat atau setelah terjadinya tindak pidana penganiayaan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman dan sanksi.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJADI PERANTARA/KURIR DALAM TRANSAKSI NARKOBA Gultom, Maidin; Silitonga, Holong TM
Fiat Iustitia : Jurnal Hukum Volume 5 Nomor 2 Tahun 2025
Publisher : Universitas Katolik Santo Thomas Medan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Narkoba merupakan obat yang sangat berbahaya ketika banyak lapisan masyarakat menyalahgunakannya. Jadi tidak hanya individu yang menyalahgunakan barang tersebut, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan merasakan konsekuensi dari penyalahgunaan barang tersebut. Dalam menerapkannya, pemerintah tampaknya tidak melakukan upaya terbaiknya untuk mencegah penyebaran narkoba ilegal. Karena itu, tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak telah menjadi kurir dalam sindikat pengedaran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab hukum atas pelanggaran pidana serta konsekuensi hukum yang akan diterima oleh anak yang bekerja sebagai kurir narkotika.Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya dari penyalah gunaan narkoba, serta menjadi saran bagi pemeintah agar bisa bekerja lebih keras lagi dalam penanganan penyalahgunaan narkotika di Indonesia