Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

FATWA POLITIK NAHDLATUL ULAMA Kharlie, Ahmad Tholabi
Al Qalam Vol 22 No 1 (2005): January - April 2005
Publisher : Center for Research and Community Service of UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten-Serang City-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (844.046 KB) | DOI: 10.32678/alqalam.v22i1.1447

Abstract

Konstelasi politik Nasional terasa menghangat pada dekade 1950-an ketika muncul sebuah terminnlogi fiqih siyasah yang cukup kontroversial, yakni Waliy al-Amr Dharuriy bi al-Syawkah yang lebih kurang berarti ''pejabat tertinggi negara untuk sementara, dengan kekuasaan efektif Terminologi ini mulai muncual dan menjadi bahan pembicaraan publik pada saat Konfrensi Alim Ulama (3-6 Maret 1954)yang diprakarsai Nahdlatul Ulama (NU) dan Departemen Agama Republik Indonesia.Pada intinya, fatwa ini berisi dukungan terhadap Presiden Soekarno yang mendapal gugatan dari kelompok '1slam Radikal" terutama menyangkut keabsahan (kegitimasi) kepemimpinannya dilihat dari persfektif potik keagamaan (Islam). Tak pelak, fatwa ini menuai kritik politis-pejoratif dan pandangan­pandangan miring serta menuding NU sebagai kelompok oportunis. Mereka menganggap NU telah mencampuradukkan dan 'menjual' agama demi kepentingan politik kelompoknya.Secara sosiologis, fenomena ini menarik diamati. Sebab, disinyalisasi akan dapat ditemukan berbagai kenyataan kemasyarakatan_yang dimungkinkan menjadi latar sehinnga memicu munculnya fatwa (politik keagamaan) ini, dengan menampik (sejenak) tudingan yang menyebut adanya indikasi politis kalangan NU. Maka dari titik inilah, tulisan ini berangkat.
PERGUMULAN PEMIKIRAN MISTIKO FILOSOFI DI NUSANTARA ABAD 16-18 M Kharlie, Ahmad Tholabi
ALQALAM Vol 23 No 2 (2006): May - August 2006
Publisher : Center for Research and Community Service of UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten-Serang City-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1293.537 KB) | DOI: 10.32678/alqalam.v23i2.1498

Abstract

Proses islamisasi di Nusantara tidak dapat dilepaskan dari keberadaan ajaran dan praktik keberagamaan esoterik yang lazim disebut dengan tasawuf. Ajaran tasawuf, yang cenderung mistis itu, telah menunjukkan kemampuannya dalam menyelaraskan ajaran Islam lewat pranata-pranata budaya yang telah ada dan hidup dalam komunitas. Bahkan, sedemikian erat hubungan di antara keduanya (tasawuf dan islamisasi) sehingga dapat dikatakan bahwa Islam yang kali pertama dikenal di Nusantara adalah Islam (bercorak) tasawuf.Sejalan dengan itu, kehadiran Islam esoterik (terutama yang beraliran falsafi) di Nusantara ternyata menyisakan beberapa problem, mulai dari tataran wacana, ideologis, hingga politis. Paling tidak terdapat empat tokoh sufi yang menjadi pusat perhatian dan secara intens terlibat dalam pergumulan wacana mistiko filosofi, yakni Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Ranin, dan Abdurrauf al-Sinkili. Sedangkan isu sentral yang mencuat dan menjadi perdebatan publik berkepanjangan adalah seputar doktrin wahdah al-wujud atau wujudiyah.
KONTROVERSI ULAMA SEPUTAR KEDUDUKAN AL-ZIYADAH AL-NASHSH DAN DAMPAKNYA TERHADAP FIQH Kharlie, Ahmad Tholabi
ALQALAM Vol 21 No 101 (2004): May - August 2004
Publisher : Center for Research and Community Service of UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten-Serang City-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1334.774 KB) | DOI: 10.32678/alqalam.v21i101.1628

Abstract

Dalam lingkup kajian hukum Islam, fenomena perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan para ulama adalah lumrah terjadi, baik di kalangan ulama fikih (fuqaha') maupun ulama usu! jikih (ushulqyin). Disinyaalisasi, perbedaan­ perbedaan pendapat di ka!angan ulama itu tidak dipicu oleh salu atau dua latar belakang an sich. Salah salu hal yang memicu munculnya perbedaan pendapat dalam bidangjikih, misalnya, adalah persoalan perbedaan pemahaman (usul fikih) tentang konsep al-Ziyadah 'ala al-Nashsh.Kontroversi ulama dalam kaidah ini sangat berpengaruh terhadap pemikiran di bidang fikih. Ini dapat diamati dari  keragaman pemikiran fikih para ulama yang  dilatarbelakangi  dari  kaidah  tersebut.           Istilah al-Ziyadah ‘Ala al-Nashsh dalam kqjian disiplin ilmu usul ftkih agaknya, menurut hemat penulis, bukan termasuk terminologi yang mandiri dan sentral. Karena, dalam kitab-kitab usul fikih induk sekalipun, istilah tersebul tidak pemah menempati posisi pembahasan yang mandiri, komprehensif, dan integral. Namun, secara sederhana al-ziyadah 'ala al-nashsh berarti penambahan atas suatu teks (nash) yang berimplikasi secara hukum. Penambahan tersebut dapat bempa keterkaitan secara substansial (mustaqill), maupun berbeda secara diametral (ghayr al-mustaqill). Penambahan ini dilakukan oleh para ulama berdasarkan indikasi­ indikasi yang mereka tangkap dari berbagai teks.Secara umum penulis menemukan kenyataan bahwa tampaknya telah terjadi kontroversi yang 'telanjang' di kalangan ulama mengenai kedudukan al­ ziyadah 'ala al-nashsh, apakah berfungsi sebagai sebagai naskh atau berada dalam fungsi-fungsi lainnya. Dan, kontroversi ini, harus diakui, telah berimbas dan berpengaruh kuat terhadap hasil ijtihad mereka,yakni dalam wilayah fikih (furu’).
Metode Tafsir Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsîr Al-Manâr Kharlie, Ahmad Tholabi
TAJDID Vol 25 No 2 (2018): Islamic Studies
Publisher : Research and Development Institution, Darussalam Institute for Islamic Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (28.106 KB) | DOI: 10.36667/tajdid.v25i2.323

Abstract

Tafsîr al-Manar is one of the most popular exegesis of the Qur`anic studies. Al-Manar magazine, which contains this interpretation periodically, namely in the early 20th century, is widespread throughout the Islamic world and has an important role in enlightening thoughts and religious counseling. The influence of Sheikh Muhammad Abduh, along with his student, Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ, on the development of religious thought in the Islamic world, thus, cannot be underestimated.This article is a result of a previous study of the Qur’an exegesis method of the two prominent Muslim scholars, Muhammad Abduh and Muhammad Rashid Ridha. The study reveals two main conclusions, they are (1) personally both Muhammad Abduh and Muhammad Rashid Ridha are independent who have extensive, well-known, and versatile insight and knowledge, have personality traits that are steady, honest, brave, passionate, intelligent, determined, and a number of other advantages, like other leading commentator (2) Al-manâr book, with its superiorities, is well recognized as a monumental work that broadly contributes to the development of Islamic thought, particularly in modern exegesis field. In regard to exegesis of Qur’anic legal verses, though it is not a special legal book, Al-manâr is able to explain deeply and comprehensively the Qur’anic legal verses just like the other legal exegesis works.
Literatur Pembelajaran Fiqh di Pondok Pesantren Propinsi Banten Kharlie, Ahmad Tholabi
TAJDID Vol 26 No 1 (2019): Islamic Studies
Publisher : Research and Development Institution, Darussalam Institute for Islamic Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (0.272 KB) | DOI: 10.36667/tajdid.v26i1.320

Abstract

The tradition of yellow books is commonly associated with the pesantren tradition. It may become a differentiating factor when compared to other institutions. In the beginning of its emergence, learning process in pesantrens is usually limited to the materials of reading Qur’an (qirâ’ah al-Qur’ân) and worship law (fiqh ibadah). Nevertheless, due to the vast number of books penetrating to Banten, particularly initiated by Syeikh Nawawi al-Bantani, the study of Islamic law became more popular among scholars. As a result, there are many methods applied in learning process for yellow books. Furthermore, the discrepancy of education methods in pesantrens: traditional (salafi) and modern (khalafi), may lead to the emergence of the different uses of literature and methods. In salafi pesantrens, bandongan or sorogan method is mainly employed to read the conventional books, such as Fath al-Qarib, Fath al-Wahhab and Mahalli. On the other hand, khalafi pesantrens tend to develop Arabic as well as English skills as their assets to continue their study to upper education grades. In addition, salafi pesantrens mostly emphasize to study various normative books, such as Syafi’i’s work whereas khalafi pesantrens tend to be liberal and flexible, by reading Bidayah al- Mujtahid and Fiqh al-Sunnah.
ADMINISTRASI PERKAWINAN DI DUNIA ISLAM MODERN tholabi kharlie, ahmad
Jurnal Bimas Islam Vol 9 No 2 (2016): Jurnal Bimas Islam
Publisher : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (472.122 KB)

Abstract

Abstraksi Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, regulasi tentang pencatatan perkawinan mulai diberlakukan di negeri-negeri muslim mutakhir. Ada yang hanya sekadar menonjolkan aspek formalisme an sich tanpa berpengaruh terhadap substansi hingga pada tataran kriminalisasi yang menjatuhkan sanksi kepada para pelanggarnya, layaknya para pelaku kriminal.Meskipun demikian, dalam kajian fikih klasik, pembahasan tentang pencatatan perkawinan tidak dapat dijumpai dalam berbagai literatur. Pencatatan baru mencuat ketika perkembangan dunia kian kompleks dan problematika kehidupan umat manusia di muka bumi menjadi semakin rumit. Oleh karena itu, ketentuan hukum perkawinan positif yang berlaku di berbagai negeri muslim menyangkut pencatatan perkawinan ini merupakan lompatan pemikiran dalam diskursus hukum keluarga di dunia Islam mutakhir. Dalam arti kata lain, telah terjadi keberanjakan (point of departure) yang tidak hanya mengambil bentuk pengembangan format, namun lebih dari itu, pemberlakuan ketentuan pencatatan perkawinan telah mengantarkan hukum munakahât mencapai performa yang ideal dan patut diapresiasi.   Abstract Based on the demands of today, the regulation on registration of marriages started to be valid in some Muslim countries. There is only some highlight formalism aspects of an sich which has no effect on the substance at the level of criminalization which penalizing the offenders, like criminals. However, in the study of classical fiqh, the discussion about the registration of marriage can not be found in the literature. New registration appears when the world development more complex and problems of human life on the earth becoming complicated. Therefore, the positive marriage legal provisions applicable in various Muslim countries concerning the registration of marriage which is a leap of thought in the discourse of family law in the Islamic world. In the other words, there is point of departure which is not only take the development format, but more than that, the marriage registration provisions application has led munakahât to achieve ideal performance and should be appreciated.
Pengelolaan dan Pengawasan Dana Desa Babakan Dayeuh, Cileungsi, Bogor Latipah Nasution; Ahmad Tholabi Kharlie; Irfan Khairul Umam
JOURNAL of LEGAL RESEARCH Vol 1, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Sharia and Law State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jlr.v1i1.12824

Abstract

AbstractThis study aims to describe and analyze the management and utilization of village funds in Desa Dayeuh in terms of applicable laws and regulations. The aim is to find out what is the problem of ineffective village funds in Babakan Dayeuh Village. To achieve these objectives, researchers use legal research methods that are Normative and Empirical approaches. While the data collection techniques used in this study are field research and library research. Field research consists of observation, selection of information documents, and identification. Based on the results of this study indicate that the management and supervision of the Village Fund in Babakan Dayeuh Village has not been carried out according to applicable regulations, because village governments often ignore the rules that become a reference in managing Village funds such as; Regulation of the Minister of Disadvantaged Villages, Development and transmigration in the form of rules related to the Priority of Village Funds where the aim is that development in the village is directed according to the vision of the National Government.Keywords: Village Funds, Village Fund Management, Village Fund Supervision
Pre-Marriage Course in Indonesia and Malaysia Jamaluddin Faisal; Ahmad Tholabi Kharlie; Achmad Cholil
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 20, No 1 (2020)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v20i1.16188

Abstract

This study aims to compare the regulations of the Pre-Marriage Course and its implementation in Indonesia and Malaysia. Furthermore, this research seeks answers and a meeting point between the theory of maslahah and human rights in looking at the Pre-Marriage Course. This is a qualitative inquiry relying on a comprehensive literature study. The result indicates that the is no contradiction between the Pre-Marriage Course and the notion of mashalah and human rights. However, improvements and adjustment are still needed, which include sufficient infrastructures; professional organization; the commitment of future brides and grooms; as well as adequate financial supports. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk membandingkan aturan Kursus Pra-Nikah dan penerapannya di Indonesia dan Malaysia. Penelitian ini juga berupaya mencari jawaban dan menemukan titik temu antara teori maslahah dengan Hak Asasi Manusia dalam melihat Kursus Pra-Nikah. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menekankan pada kajian literatur secara komprehensif. Dari kajian tersebut,  ditemukan bahwa tidak ada pertentangan antara aturan dan praktik Kursus Pra-Nikah baik dengan teori maslahah maupun Hak Asasi Mansuia. Akan tetapi, masih ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan dan disesuaikan yaitu kecukupan infrastruktur, pelaksanaan yang profesional, komitmen dari calon pengantin, dan kecukupan dukungan finansial.
The Application of the Strict Liability Principle in The Indemnity Laws for Livelihoods in Indonesia; Analysis of The Supreme Court’s Decision Number 1794K/PDT/G/2004 Ahmad Tholabi Kharlie
Jurnal Cita Hukum Vol 8, No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v8i1.15000

Abstract

AbstractThis study is applied a descriptive-normative method which used to explain, describe, and analyze a particular event that is a proceeding submitted by the plaintiff against environmental pollution and damage, namely landslides on Mount Mandalawangi, using the concept of illegal acts The results of this study are: First, the compensation applied in the case of the Mount Mandalawangi landslide is based on the strict liability principle. The implication of the theory stated that the injured complainant is not required to prove the mistakes made by the defendant. Even if the defendant can prove that he is blameless, but there is a clear and proven impact of the loss in court, the defendant still obliged to pay for the compensation. Secondly, the Supreme Court's cassation decision is under the provisions of the prevailing laws and regulations in Indonesia, especially in the case of illegal acts, both confirmed in Article 1365 of the Civil Code (KUHPer) or regulated in the Protection Law and Environmental Management (UU-PPLH).Keywords: Environmental law, strict liability, claim for compensation, Supreme Court  Abstrak:Studi ini bersifat deskriptif-normatif. Studi ini akan menjelaskan, menggambarkan, dan menganalisis suatu peristiwa tertentu yaitu suatu peristiwa tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak penggugat yang terhadap pencemaran dan rusaknya lingkungan yaitu longsornya lahan di gunung Mandalawangi, dengan menggunakan konsep hukum perbuatan melanggar hukum. Adapun temuan dari studi ini adalah: Pertama, ganti kerugian yang diterapkan dalam kasus longsornya gunung Mandalawangi ini berdasarkan pada asas strict liability. Implikasi dari penggunaan teori tersebut, penggugat yang dirugikan tidak diharuskan untuk membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh tergugat. Bahkan, bilapun tergugat dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, namun ada dampak kerugian yang jelas dan dibuktikan di pengadilan, tergugat tetap memiliki kewajiban untuk membayar ganti kerugian tersebut. Kedua, putusan kasasi Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terutama dalam hal perbuatan melawan hukum, baik yang ditegaskan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) ataupun yang diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU-PPLH).Kata kunci: Hukum lingkungan, strict liability, gugatan ganti rugi, Mahkamah Agung Аннотация В данном исследовании применяется описательно-нормативный метод, который используется для объяснения, описания и анализа конкретного события, представляющего собой судебную тяжбу, представленную истцом в отношении загрязнения и нанесению ущерба окружающей среды, а именно дело о лавине на горе Мандалаванги, с использованием концепции закона неправомерного акта. Полученные результаты в этом исследовании: Во-первых, компенсация, применяемая в случае схода лавины на горе Мандалаванги, основана на принципе Strict Liability. Вовлечение теории гласилo, что потерпевший истец не обязан доказывать ошибки, допущенные ответчиком. Даже если ответчик может доказать, что он невиновен, но существует явное и доказанное влияние потери в суде, ответчик все же обязан выплатить компенсацию. Во-вторых, кассационное решение Верховного суда соответствует положениям действующего законодательства и нормативных актов Индонезии, особенно в случае неправомерного акта, которые подтверждены в статье 1365 кодекса Гражданского права (KUHPer) или регулируются Законом о Защите и Регулировании Окружающей Среды (UU-PPLH).Ключевые слова: экологическое право, Strict liability, Тяжба о компенсации, Верховный суд
Existence of Clemency as President Prerogative Right (Comparison Study of Indonesia with Countries of the World) Fathudin .; Ahmad Tholabi Kharlie
Jurnal Cita Hukum Vol 5, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v5i1.6574

Abstract

The debate about the existence of clemency as a prerogative of the president stems from the understanding that the rights is coming independently from the authority and without any branches of power. In this context, the comparative study of the constitutional norms in some countries in the world related to the norm of clemency is important to read the tendency of other countries about clemency rules. This study shows that the constitutional norm of countries in the world basically has the same tendency in the application of clemency by the president; there is involvement of other branches of power. Some constitutions of the world call the recommendation, hearing, information, consultation, advice, in accord, concurrence (approval) and others. The involvement of other branches of power in the grant of pardon does not mean reducing the authority of the president (prerogative), but it has become a tendency in almost all modern states to embrace the system of government power within the framework of public accountability. The term prerogative of the president (absolute) in practice is no longer absolute and independent. Perdebatan sepuar eksistensi grasi sebagai hak prerogatif presiden berpangkal pada pemahaman yang menyebut bahwa suatu hak disebut sebagai hak prerogatif presiden jika kewenangan yang lahir dari hak tersebut bersifat khusus dan  mandiri tanpa adanya keterlibatan cabang kekuasaan lain. Dalam konteks ini, kajian perbandingan terutama terhadap norma konstitusi di beberapa negara di dunia terkait dengan norma tentang grasi menjadi penting untuk memotret kecenderungan yang dimiliki negara-negara lain dalam hal pengaturan tentang grasi. Kajian ini menunjukan bahwa norma konstitusi negara-negara di dunia pada dasarnya memiliki kecenderungan yang sama dalam penerapan pemberian grasi oleh presiden, yakni ada keterlibatan cabang kekuasaan lain. Beberapa konstitusi negara-negara di dunia menyebut keterlibatan tersebut dengan menggunakan ragam istilah seperti recomandation, hearing, inform, consultation, advice, in accordance, conccurance (persetujuan) dan lain-lain. Adanya keterlibatan cabang kekuasaan lain dalam mekanisme pemberian grasi bukan berarti mereduksi kewenangan presiden (hak prerogatif), tetapi memang menjadi kecenderungan hampir di semua negara-negara modern untuk menganut sistem pemerintahan yang berusaha menempatkan segala model kekuasaannya dalam kerangka pertanggungjawaban publik, sehingga istilah hak prerogatif presiden (sacara mutlak) dalam prakteknya tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri. DOI: 10.15408/jch.v5i1.6574