Claim Missing Document
Check
Articles

Found 39 Documents
Search

Penolakan Status Justice Collaborators Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Andi Narogong Oleh Hakim Tingkat Banding (Studi Perbandingan Putusan Nomor 100/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Jkt.Pst dan Nomor 5/Pid.Sus- TPK/2018/PT.DKI) Gilang Eka Pratama; Hibnu Nugroho; Rani Hendriana
Soedirman Law Review Vol 1, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2019.1.1.30

Abstract

Korupsi sebagai white collar crime dilakukan secara sistematis dan terorganisir yang sulit untuk dibongkar oleh aparat penegak hukum, oleh karenanya dibutuhkan sebuah metode untuk memberantasnya salah satunya yaitu dengan bantuan peran Justice Collaborator yang nantinya memperoleh reward berkat bantuannya terebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dapat tidaknya permohonan status Justice Collaborator ditolak oleh pengadilan tingkat Banding dan untuk mengetahui kesesuaian pertimbangan Hakim antara pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan tingkat Banding dalam mengabulkan dan menolak permohonan status Justice Collaborator terhadap SEMA No. 4 Tahun 2011 dan UU No. 31 Tahun 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan perbandingan, serta spesifikasi penelitian yaitu preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hakim Pengadilan Tinggi dalam Perkara Nomor 5/Pid.Sus-TPK/2018/PT.DKI dapat menolak status Justice Collaborator yang sudah dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena Pengadilan Tinggi tingkat Banding memiliki fungsi korektor. Terdapat perbedaan pertimbangan dari kedua putusan dalam hal ini Pengadilan Negeri hanya mempertimbangkan aspek yuridis dan sosiologis sedangkan Pengadilan Tinggi telah mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologi, dan filosofis.Kata kunci: Tindak Pidana Korupsi, Justice Collaborator, Banding
Pengungkapan Tindak Pidana Pemalsuan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) (Studi Di Polres Bogor) Muhammad Andrian Nugraha; Dwi Hapsari Retnaningrum; Hibnu Nugroho
Soedirman Law Review Vol 2, No 1 (2020)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2020.2.1.12

Abstract

Salah satu jenis kejahatan yang terjadi saat ini yaitu pemalsuan surat tanda nomor kendaraan (STNK). Tindak pidana pemalsuan STNK biasanya dilakukan oleh  lebih   dari   satu   orang  dalam   suatu   kelompok   dan   dilakukan   secara terorganisir,  yaitu sebagai pelaku pencurian kendaraan, penadah, dan pemalsu STNK hasil kejahatan. Dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan STNK diawali dengan proses penyelidikan lalu penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang- undang   ini   untuk   mencari   serta   mengumpulkan   bukti   yang   terjadi   guna menemukan tersangkanya.Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang menggunakan pendekatan yuridis sosiologis yang menggambarkan proses pengungkapan tindak pidana pemalsuan STNK di Polres Bogor. Spesifikasi dari penelitian ini adalah deskriptif. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian dengan cara mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan, sehingga pada akhirnya dapat diketahui proses pengungkapan dan hambatan tindak pidana pemalsuan STNK di Polres Bogor.Dalam penyidikan tersangka harus dianggap tidak bersalah sesuai dengan prinsip hukum atau “asas praduga tak bersalah” sampai diperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Seorang penyidik dalam hal pemeriksaan pendahuluan harus memperhatikan mengenai hak-hak tersangka di dalam pemeriksaan. Dari hasil penelitian ini menyebutkan bahwa pejabat penyidik di Polres Bogor dalam pemeriksaan pendahuluan pada tingkat penyidikan sudah menerapkan atau mengedepankan asas praduga tak bersalah sesuai  Penjelasan Umum butir 3c KUHAP. Keywords: Pemalsuan STNK, pemeriksaan pendahuluan, asas praduga tak bersalah.
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN TERHADAP ANGGOTA TNI DALAM PERSPEKTIF ASAS AQUSATOIR (Studi Di Denpom V/3 Malang) Dini Dwi Agustin; Hibnu Nugroho; Dessi Perdani Yuris Puspita Sari
Soedirman Law Review Vol 3, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2021.3.2.141

Abstract

Penegak hukum untuk mengungkapkan tindak pidana pembunuhan terhadapanggota TNI dalam Perspektif asas aqusatoir ini adalah dengan cara upayapengumpulan barang bukti dan alat bukti yang merupakan sarana pembuktianini berperan dan berfungsi pada saat penyidikan mulai melakukan tindakanpenyidikan dalam asas aqusatoir. Pada penelitian ini dilakukan dengan tujuanuntuk mengetahui pelaksanaan tindak pidana pembunuhan terhdap anggotaTNI dalam perspektif asas aqusatoir, khusus nya yang terjadi di wilayahDenpom V/3 Malang. Selain itu di tunjukan juga untuk mengetahui yangmenjadi hambatan bagi penyidik tindak pidana pembunuhan terhadapanggota tni dalam perspektif asas aqusatoir. Guna mencapai tujuan tersebutmaka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan YuridisSosiologis, Data Primer dan Data Sekunder yang terkumpul kemudian dioleh,dianalisis, dan disajikan menjadi satu kesatuan yang utuh. Berdasarkan darihasil penelitian ini menyatakan bahwa dalam pelaksanaan penyidikan tindakpidana pembunuhan terhadap anggota TNI dalam Perspektif asas aqusatoirdari pelaksanaan oleh Tempat Kejadian Perkara (TKP), dimulai dari adanyalaporan atau pengaduan dari seseorang yang mengetahuinya dalam bentuklisan ataupun dalam bentuk tertulis kepada polisi yang bertindak sebagaipenyidik dan diakhiri dengan penyerahan berita acara mengenai pelaksanaanpenyidikan dari pejabat penyidik yaitu Ankum kepada odituran dalam militer,serta pengembalian terhadap penyidik apabila ada kekurangan, persiapanpenanganan TKP, perjalanan menuju TKP, Tindakan Pertama di TempatKejadian Perkara (TPTKP), olah TKP yang terdiri dari pemotretan, pembuatsketsa, pengumpulan barang bukti penanganan korban, saksi, dan pelaku.Pengorganisasian olah TKP dan akhir penanganan TKP. Hambatan yangdihadapi penyidik yaitu polisi militer terbagi atas dua bagian yakni kendala dariluar penyidik berupa faktor penegak hukum, faktor waktu, faktor minimnya saran dan prasarana, dan kendala dari dalam penyidik yaitu faktor dari personil.Kata Kunci: Penyidikan, Asas Aqusatoir, dan Tindak Pidana Pembunuhan
PEMENUHAN HAK-HAK ANAK SEBAGAI KORBAN DALAM TINDAK PIDANA PENCABULAN PADA PROSES PENYIDIKAN PADA PERKARA PUTUSAN NOMOR: 1/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Pwt Yasinta Damayanti; Hibnu Nugroho; Dessi Perdani Yuris Puspita Sari
Soedirman Law Review Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2021.3.1.116

Abstract

Tindak Pidana Pencabulan terhadap anak merupakan suatu bentuk tindak pidana yang menyimpang dari norma kesusilaan yang ada di dalam masyarakat. Anak yang berkedudukan sebagai korban pencabulan sangat di rugikan karena selama ini hak-hak korban kurang mendapatkan perhatian.. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaiman pemenuhan hak-hak anak sebagai korban tindak pidana pencabulan pada proses penyidikan di dalam Putusan Nomor 1/Pid.Sus- Anak/2019/PN.Pwt dan juga untuk mmengetahui kendala penyidik dalam pemenuhan hak-hak anak korban tindak pidana pencabulan pada proses penyidikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaiman pemenuhan hak- hak anak sebagai korban tindak pidana pencabulan pada proses penyidikan di dalam Putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Pwt dan juga untuk mengetahui kendala penyidik dalam pemenuhan hak-hak anak korban tindak pidana pencabulan Pada Proses Penyidikan. Penelitian menggunakan metode yuridis Normatif dengan pendekatan deskriptif. Sumber data penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, buku literatur, jurnal ilmiah dan situs internet. Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk pemenuhan hak-hak anak korban dalam tndak pidana pencabulan dalam proses penyidikan yang terkait dengan Putusan Nomor: 1/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Pwt adalah penyidikan dengan suasana kekeluargaan, kerahasiaan identitas anak korban, pendampingan terhadap anak dalam membuat laporan, tidak menggunakan atribut kedinasan saat penyidikan, mendapat ruangan khusus, pemeriksaan korban di damping oleh orang tua, medapat bantuan pelayanan medis, melakukan konseling ke psikiater, mendapatkan informasi perkara. Adapun kendala yang di alami penyidik dalam pemenuhan hak anak korban yaitu edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan kesusiaaan karena dapat dilakukan pemenuhan di dalam masyarakat.Kata Kunci : Pemenuhan Hak-Hak Anak, Korban, Tindak Pidana Pencabulan, Penyidikan
Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Terhadap Perilaku Hakim Oleh Mahkamah Agung Achmad Mitftah Farid; Hibnu Nugroho; Dwi Hapsari Retnaningrum
Soedirman Law Review Vol 2, No 1 (2020)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2020.2.1.7

Abstract

Kekuasaan  kehakiman  merupakan  kekuasaan  yang  merdeka  dan  tidak dapat dicampuri oleh kekuasaan negara lainnya, karena itu akan memengaruhi nilai keadilan. Namun, kemerdekaan hakim tidak serta merta membuat hakim dapat berperilaku menyimpang, sehingga diperlukan adanya pengawasan terhadap perilaku hakim. Kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim dilakukan secara internal oleh Mahkamah Agung dan secara eksternal oleh Komisi Yudisial. Prinsipnya kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim berdasarkan kode etik dan  terhadap  penanganan  perkara  tetap  berada  di  tangan  Mahkamah  Agung sebagai  pemegang  kekuasaan  kehakiman.  Pengawasan  eksternal  diperlukan sebagai fungsi kontrol dalam lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun pada hakikatnya Komisi Yudisial bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Namun, pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bukan sebagai fungsi checks and balances pada lingkup kekuasaan kehakiman. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), dengan spesifikasi penelitian deskriptif. Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara, dengan metode analisis bahan hukum secara kualitatif. Penelitian dilakukan untuk menganalisis norma-norma hukum yang berkaitan dengan prinsip-prinsip negara hukum, pembagian kekuasaan, checks and balances, dan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pengawasan terhadap perilaku hakim oleh Mahkamah Agung memiliki dasar argumentasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, serta Undang- Undang  Mahkamah  Agung.  Pengawasan  terhadap  perilaku  hakim  dilakukan secara fungsional oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung yang memiliki tugas mengawasi lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, termasuk pejabat pengadilan dan para hakim, serta administrasi peradilan.Kata   kunci :  kekuasaan kehakiman, Badan Pengawasan  Mahkamah Agung, pengawasan terhadap perilaku hakim
Effectiveness of the Implementation of Pokmas Lipas in Supporting the Social Reintegration of Correctional Clients of Bapas Class II Purwokerto Ellesse, Karinna; Nugroho, Hibnu; Budiyono, Budiyono
Jurnal Idea Hukum Vol 10, No 1 (2024): Jurnal Idea Hukum
Publisher : MIH FH UNSOED

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.jih.2024.10.1.499

Abstract

Corrections are organized in an integrated manner between the supervisor, supervised, and community. Recognizing the important role of the community in supporting the social reintegration of correctional clients, the Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia issued the Decree of the Director General of Corrections Number: PAS-06.OT.02.02 2020 dated February 10, 2020, concerning the Guidelines for the Establishment of Pokmas Lipas at Bapas, which will become a partner and forum for community empowerment. The results showed that the effectiveness of the implementation of Pokmas Lipas in supporting the social reintegration of correctional clients of Bapas Class II Purwokerto has not been effective by looking at data on the number of active Pokmas Lipas and the number of clients who follow Pokmas Lipas is very small compared to the total number of clients of Bapas Class II Purwokerto. The obstacles faced are that there is no further regulation on the guidelines for the working mechanism of Pokmas Lipas, the number of Community Supervisors is not proportional to the number of clients and the coverage of a very large work area, and there is still a negative stigma from the community towards clients. Suggestions that can be given are that it is necessary to immediately form a Regulation of the Minister of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia concerning guidelines for the work mechanism of Pokmas Lipas, so that there are clear procedures in its implementation and increase the role of Community Supervisors in empowering Pokmas Lipas according to their respective levels.
State Officials Asset Disclosure: Evidence from China Widodo, Selamat; Nugroho, Hibnu; Raharjo, Agus; Prayitno, Kuat Puji; Zulhuda, Sony; Liu, Jie
Journal of Human Rights, Culture and Legal System Vol. 4 No. 1 (2024): Journal of Human Rights, Culture and Legal System
Publisher : Lembaga Contrarius Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53955/jhcls.v4i1.187

Abstract

This study examines the anti-corruption movement's effect on state officials' asset reporting in Indonesia and China. The purpose of this study is to explore the impact of asset reporting on the level of corruption in Indonesia and compare the impact of asset disclosure on the level of corruption in China. The method used in this study is the normative juridical method. In Indonesia, we found that the reporting of assets official assets anti-corruption movement shows that despite the obligation to make asset reports for state officials, the level of corruption in Indonesia is still high. In China, there is a decrease in corruption in asset disclosure, an essential instrument of wealth transparency, preventing conflicts of interest, and upholding ethical standards in both the public and private spheres. Asset disclosure serves as a deterrent to corruption, maintains public trust, and ensures that individuals in positions of responsibility act in the best interests of the public or stakeholders they serve, statistically decreasing corruption rates in China. This study provides evidence of anti-corruption benefits from an asset reporting perspective, which can be helpful for governments seeking to improve anti-corruption innovation.
Peran Advokat dalam Mewujudkan Peradilan yang Berintegritas Nugroho, Hibnu
Diktum: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 7 No. 1 (2019): Mei 2019
Publisher : Universitas Pancasakti Tegal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (725.556 KB) | DOI: 10.24905/diktum.v7i1.7

Abstract

Pembaharuan hukum selain sebagai pembaharuan dalam peraturan perundang-undangan juga ditujukan sebagai pembaharuan etika dan moral para penegak hukum sebagai pelaksananya, advokat sebagai penegak hukum mempunyai kedudukan mewujudkan peran sebagai penegak hukum berintegritas. Sebagai salah satu sub sistem penegak hukum, advokat mempunyai kedudukan yang sama untuk mewujudkan peran sebagai penegak hukum yang berintegritas dalam menjalankan profesinya serta bertindak profesional dalam ikut serta melaksanakan pembaharuan hukum di Indonesia. Walaupun dalam menjalankan profesinya advokat memiliki ciri yang khas berupa kemandirian namun demikian bukan berarti advokat tidak mampu untuk berperan dalam mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi. Oleh sebab itu penulisan ini akan memfokuskan diri pada pembahasan bagaimanakah peran serta advokat dalam ikut serta mewujudkan peradilan yang berintegritas di Indonesia. Tujuan penulisan ini untuk memetakan peran advokat dalam mewujudkan peradilan hukum yang berintegritas. Pendekatan penulisan menggunakan pendekatan normatif konseptual. Pengumpulan data menggunakan kepustakaan dari berbagai literatur hukum. Pengolahan data menggunakan triangulasi data. Advokat memiliki peran yang yang mewujudkan pembaharuan paradigma hukum di Indonesia karena profesi advokat berkait erat dengan proses penegakan hukum dari tingkat penyidikan hingga in kract (putusan hukum berkekuatan tetap). Untuk memaksimalkan peran advokat harus dimulai dari organisasi advokat yang mendorong semua anggotanya untuk secara nyata menjadi advokat yang berintegritas, dan berkualitas bukan sekedar melahirkan advokat top. Implikasi penulisan ini adalah sebagai upaya mendorong organisasi advokat mampu memegang teguh dan mewujudkan prinsip-prinsip anti korupsi yang meliputi akuntabilitas, transparansi, kewajaran, kebijakan, dan kontrol kebijakan untuk mencegah faktor eksternal penyebab korupsi.
Penolakan Status Justice Collaborators Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi Andi Narogong Oleh Hakim Tingkat Banding (Studi Perbandingan Putusan Nomor 100/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Jkt.Pst dan Nomor 5/Pid.Sus- TPK/2018/PT.DKI) Pratama, Gilang Eka; Nugroho, Hibnu; Hendriana, Rani
Soedirman Law Review Vol 1, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.slr.2019.1.1.30

Abstract

Korupsi sebagai white collar crime dilakukan secara sistematis dan terorganisir yang sulit untuk dibongkar oleh aparat penegak hukum, oleh karenanya dibutuhkan sebuah metode untuk memberantasnya salah satunya yaitu dengan bantuan peran Justice Collaborator yang nantinya memperoleh reward berkat bantuannya terebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dapat tidaknya permohonan status Justice Collaborator ditolak oleh pengadilan tingkat Banding dan untuk mengetahui kesesuaian pertimbangan Hakim antara pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan tingkat Banding dalam mengabulkan dan menolak permohonan status Justice Collaborator terhadap SEMA No. 4 Tahun 2011 dan UU No. 31 Tahun 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan perbandingan, serta spesifikasi penelitian yaitu preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hakim Pengadilan Tinggi dalam Perkara Nomor 5/Pid.Sus-TPK/2018/PT.DKI dapat menolak status Justice Collaborator yang sudah dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena Pengadilan Tinggi tingkat Banding memiliki fungsi korektor. Terdapat perbedaan pertimbangan dari kedua putusan dalam hal ini Pengadilan Negeri hanya mempertimbangkan aspek yuridis dan sosiologis sedangkan Pengadilan Tinggi telah mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologi, dan filosofis.Kata kunci: Tindak Pidana Korupsi, Justice Collaborator, Banding
English Englsih Berlian, Hangrengga; Hibnu Nugroho; Kuat Puji Prayitno; Budiyono; Heradhyaksa, Bagas
Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan Vol. 13 No. 1 (2025): Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan
Publisher : Magister of Law, Faculty of Law, University of Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/ius.v13i1.1579

Abstract

The coordination between the military and civilian justice systems in Indonesia in handling the joinder of parties in criminal cases continues to face various challenges. This study aims to evaluate the effectiveness of the joinder of parties mechanism in strengthening law enforcement by examining the roles of military prosecutors (JAMPIDMIL) and public prosecutors. The research adopts a normative legal approach, involving a qualitative analysis of the implementation of relevant laws and regulations. The findings indicate that although Presidential Regulation Number 15 of 2021 concerning JAMPIDMIL has facilitated greater integration between the military and civilian justice systems, procedural inconsistencies and limited resources hinder effective coordination. The prosecution process is further complicated by conflicting jurisdictional determinations between the two systems. These issues, along with a fragmented legal framework and complex procedures, make the theory of an Integrated Criminal Justice System difficult to implement optimally. To address these challenges, a comprehensive strategy is required, including the establishment of a special committee to draft Standard Operating Procedures (SOPs), regulatory reform, and the enhancement of human resource capabilities through targeted training. JAMPIDMIL must be empowered under strict supervision to prevent any misuse of authority. These measures are expected to improve efficiency, facilitate the transfer of cases between military and civilian courts, and enhance legal certainty in joinder cases. Despite regulatory progress, aligning the prosecution functions of military auditors and public prosecutors still demands continuous and concerted efforts to achieve higher standards of justice