Claim Missing Document
Check
Articles

Found 39 Documents
Search

Efektivitas Kejaksaan Negeri Purbalingga dalam Upaya Penegakan Hukum Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi Zainu, Danif; Nugroho, Hibnu; Budiyono, Budiyono
Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik Vol. 5 No. 6 (2025): (JIHHP) Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik
Publisher : Dinasti Review Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jihhp.v5i6.5143

Abstract

Kerugian yang dialami negara karena akibat pengelolaan keuangan negara dan telah diupayakan pengembaliannya melalui prosedur ganti kerugian berdasarkan hukum keuangan negara. Prosedur yang ditempuh berdasarkan hukum keuangan negara merupakan cara pengembalian keuangan negara sebagai akibat kerugian negara tanpa melalui peradilan. Tujuan penelitian ini yaitu mengetahui bagaimana  upaya penegakan hukum pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Purbalingga sudah efektif, dan bagaiamana hambatan-hambatan dalam upaya penegakan hukum pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi. Metode penelitian ini yaitu Yuridis sosiologis. Upaya Penegakan Hukum Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Dari Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Purbalingga belum Efektif, dikarenakan hukum yang diterapkan bagi pelaku hanya sebatas hukuman badan dan mengembalikan kerugian negara dan juga ditambah denda bagi sipelaku, cara demikian hanya efektif membuat para pelaku menjadi jera atau kapok, tapi tidak membuat calon korupsi semakin berkurang dan berhenti. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Kejaksaan Negeri Purbalingga dalam dalam upaya penegakan hukum pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi, antara lain adalah : 1) Minimnya Saksi-Saksi Yang Mendukung Pembuktian Perkara Tindak Pidana Korupsi. 2)Keterbatasan Sarana Dan Prasarana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3) Proses Audit Investigative/Penghitungan Kerugian Negara Oleh Pejabat Yang Berwenang Relative Lama.
Bridging Justice Systems: Asset Confiscation in Anti-Corruption Law and Islamic Jurisprudence Tedhalosa, Adhing; Nugroho, Hibnu; Raharjo, Agus; Syahputra, Azmi
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 59 No 1 (2025)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v59i1.1611

Abstract

Under Indonesia’s Anti-Corruption Law, asset confiscation is treated as a civil and in personam matter, further impeded by parliamentary opposition to the Asset Forfeiture Bill. This article examines deficiencies in Indonesia’s asset recovery framework through a comparative legal analysis with Islamic jurisprudence. Employing a critical–comparative approach, the study conducts a normative analysis of Law No. 20 of 2001 on Corruption Eradication, Law No. 8 of 2010 on Money Laundering, the Draft Asset Forfeiture Bill, and Law No. 1 of 2023 (the new Criminal Code), alongside Islamic legal sources. Anchored in the Islamic principle of radd al-maẓālim (the restitution of unjustly acquired wealth), the findings reveal that corruption encompasses both criminal and civil aspects. The study contends that the adoption of a non-conviction-based forfeiture mechanism—underpinned by a calibrated reverse burden of proof and robust judicial safeguards—could substantially improve Indonesia’s capacity for asset recovery. In practical terms, this research highlights the imperative of enacting comprehensive asset confiscation legislation as a fundamental component of Indonesia’s anti-corruption reforms.
Efektivitas Penegakan Hukum Tindak Pidana Peredaran Pupuk Tidak Terdaftar Di Wilayah Hukum Polda Jawa Tengah Tri Yulianta Nugraha; Nugroho, Hibnu; Wahyudi, Setya
Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik Vol. 4 No. 4 (2024): (JIHHP) Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik (Mei - Juni 2024)
Publisher : Dinasti Review Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jihhp.v4i4.1987

Abstract

Sektor pertanian merupakan pondasi dalam menjaga ketahanan pangan dan Pembangunan ekonomi di Indonesia. Maka untuk menjaga ketahanan pangan dengan upaya meningkatkan produktivitas pertanian berkelanjutan. Pupuk merupakan komponen penting dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian. Peredaran pupuk tidak terdaftar di masyarakat sangat berdampak terhadap penurunan produktifitas pertanian. Sehingga dari sudut pandang hukum, pemalsuan atau pengoplosan pupuk merupakan tindak pidana yang sangat merugikan masyarakat dan negara serta menimbulkan dampak negatif kerusakan lahan pertanian. Kasus pupuk tidak terdaftar terjadi di beberapa wilayah di Jawa Tengah. Penegakan hukum peredaran pupuk tidak terdaftar berdasarkan Pasal 73 dan Pasal 122 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. Ketentuan Undang-Undang tersebut juga mengamanatkan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk membantu penyidik Polri sehingga upaya penegakan hukum tindak pidana peredaran pupuk tidak terdaftar berjalan efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penegakan hukum tindak pidana peredaran pupuk tidak terdaftar di wilayah hukum Polda Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dengan analisis kualitatif. Diperoleh hasil penelitian bahwa: pertama, efektivitas penegakan hukum tindak pidana peredaran pupuk tidak terdaftar di wilayah hukum Polda Jawa Tengah belum efektif, karena masih adanya korban, belum adanya Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di wilayah Jawa Tengah atau SDM khusus, belum memiliki sarana prasana lengkap untuk pengujian sampel pupuk di wilayah Jawa Tengah, belum adanya sarana prasarana IT, dan belum efektifnya pengawasan pupuk Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Kedua, kendala dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Peredaran Pupuk Tidak Terdaftar di Wilayah Hukum Polda Jawa Tengah dapat dilihat dari faktor struktur hukum (legal structure) yakni belum adanya PPNS di Kabupaten/Kota, dan kultur hukum (legal culture) yakni masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat sehingga mudah menjadi korban peredaran pupuk tidak terdaftar di wilayah Polda Jawa Tengah.
Perlindungan Hukum terhadap Notaris yang diduga Melakukan Tindak Pidana (Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana Formil) Edi Mulyanto; Hibnu Nugroho; Budiyono
Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik Vol. 5 No. 1 (2024): (JIHHP) Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora dan Politik
Publisher : Dinasti Review Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38035/jihhp.v5i1.3150

Abstract

Hal ini penting untuk memahami bahwa notaris memiliki peran yang krusial dalam sistem hukum pidana. Mereka bertanggung jawab dalam membuat dan memvalidasi dokumen-dokumen hukum yang terkait dengan transaksi pidana, seperti akta perjanjian atau akta jual beli. Namun, dalam menjalankan tugasnya, notaris juga bisa terlibat dalam kasus-kasus pidana. Misalnya, jika notaris terlibat dalam pemalsuan dokumen atau pelanggaran hukum lainnya yang terkait dengan jabatannya. Dalam situasi seperti itu, notaris bisa menjadi tersangka dalam kasus pidana. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemeriksaan terhadap Notaris yang diduga melakukan tindak pidana dalam tahap penyidikan sesuai dengan UUJN dan Ketentuan yang mengatur perlindungan hukum Notaris yang diduga melakukan tindak pidana yang sekarang berlaku, sudah cukup mengatur tentang perlindungan hukum Notaris. Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian dengan metode pendekatan yuridis sosiologis (socio-legal approach). Proses pemeriksaan terhadap Notaris yang diduga melakukan tindak pidana dalam tahap penyidikan belum sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris, karena dalam proses pemeriksaan maupun pemanggilan Notaris tidak terdapat persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris sesuai dengan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris. Ketentuan yang mengatur perlindungan hukum bagi Notaris yang diduga melakukan tindak pidana selama ini masih dirasa kurang, karena dalam penerapannya belum terdapat harmonisasi antara peraturan satu dengan peraturan lainnya, terlebih dalam perlindungan hukum bagi Notaris yang diduga melakukan tindak pidana belum diatur secara rigid oleh peraturan perundang-undangan.
RULE BREAKING DALAM PENYIDIKAN UNTUK MENGHINDARI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH PENYIDIK Raharjo, Agus; Angkasa, Angkasa; Nugroho, Hibnu
Jurnal Dinamika Hukum Vol 13, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.jdh.2013.13.1.156

Abstract

Violence in the investigation of the suspects are still frequently performed by the investigator. This study aimed to explore the roots of violence committed by the investigator, the legal basis of the work of investigators and legal protections for suspects, and the use of a scientific investigation in the investigation. This research is a qualitative approach is normative and legal study of the law in action, is a social science that studies non-doctrinal and empirical. The results show several things. First, the investigation of violent behavior against the suspect can be found from the history of the police force who works relating to the police. Second, the investigator and the suspect had an investigation on the basis of legitimacy of national legislation and international. Third, does the rule breaking is possible in the investigation to face the deadlock in the investigation due to the behavior of suspects who do not want to give his testimony by using hypnotic techniques. Keywords: violence, investigation, suspect, rule breaking, hypnosis
Reconstruction of Legal Protection for Civil Servants as Whistleblowers in Eradicating Corruption Crimes in Indonesia Hariz, Austin Al; Nugroho, Hibnu; Ridwan, Ridwan
Journal of Law and Legal Reform Vol. 5 No. 3 (2024): Various Issues on Law Reform in Indonesia and Beyond
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jllr.v5i3.16334

Abstract

Corruption in Indonesia remains a pervasive and deeply entrenched issue, severely undermining public trust, hindering development, and destabilizing governance. Addressing corruption requires robust mechanisms, especially the protection of whistleblowers—particularly civil servants (Aparatur Sipil Negara, ASN)—who play a critical role in exposing corruption within public institutions. However, ASN whistleblowers face significant challenges, including retaliation, lack of legal protections, insufficient reporting channels, and limited incentives, which hinder their effectiveness and deter reporting. This study investigates the existing legal frameworks for protecting ASN whistleblowers, assessing their implementation and effectiveness, and proposing necessary reforms. Through qualitative legal research, including primary and secondary legal materials and interviews with key informants, the research identifies significant shortcomings in Indonesia's whistleblower protection laws. These gaps—such as inadequate safeguards, procedural inefficiencies, and limited institutional support—expose whistleblowers to retaliation, weakening anti-corruption efforts. The findings emphasize the urgent need for comprehensive legal reforms to enhance whistleblower protection, ensuring their safety, security, and empowerment. By filling this critical gap, the study contributes to strengthening Indonesia’s anti-corruption initiatives and highlights the essential role of whistleblowers in fostering transparency and accountability. This research calls for policymakers to prioritize whistleblower protection as a core component of the nation’s anti- corruption strategy, offering actionable recommendations to improve legal frameworks and institutional support. In doing so, it underscores the need for urgent reforms to combat corruption and promote a culture of accountability in Indonesia’s public sector.
Penerapan Asas Dominus Litis Dalam Penarikan Tuntutan Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Oleh Valencya Ardiani, Nurul Dessy; Nugroho, Hibnu; Maryono, Antonius Sidik; Miano, Muhammad Ryan Ramadhani
UNES Law Review Vol. 6 No. 1 (2023)
Publisher : Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v6i1.1016

Abstract

Penerapan asas dominus litis merupakan hal baru di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan penarikan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut tidak diatur dalam peraturan di Indonesia. Penelitian ini membahas mengenai dasar penarikan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh Valencya dan penerapan asas dominus litis dalam penarikan surat tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dilakukan oleh Valencya. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan pendekatan kasus (case approach), spesifikasi penelitian preskriptif analisis. Sumber data yang digunakan data primer dan data sekunder, data yang terkumpul disajikan dengan uraian yang sistematis dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundangan di Indonesia mengenai penarikan surat tuntutan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun hal tersebut dapat dilakukan oleh Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi yang mengendalikan perkara penuntutan di Indonesia. Jaksa Agung memiliki dasar hukum yaitu Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia untuk menerapkan asas oportunitas dalam suatu perkara serta penerapan hukum progresif.
RESPONSIVE LAW ENFORCEMENT IN HANDLING CIVIL- MILITARY JURISDICTION CASES IN INDONESIA Susanto Santiago Pararuk; Hibnu Nugroho; Agus Raharjo
Jurnal Locus Delicti Vol. 6 No. 2 (2025): Oktober, Jurnal Locus Delicti
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jld.v6i2.6227

Abstract

Handling Civil-Military Jurisdiction Cases (In Indonesian, it is called Perkara Koneksitas) is the resolution of participation offenses (deelneming) carried out jointly by those who are subject to the general court judiciary and the military justice judiciary. The handling of these cases is carried out by two judicial subsystems, namely general justice and military justice, which jointly resolve connection cases. However, the current law does not clearly regulate the handling of Civil-Military Jurisdiction Cases, so law enforcement officials deviate from the provisions for handling. This article examines the Responsive law enforcement in handling civil-military jurisdiction cases with the conclusion that handling Civil-Military Jurisdiction Cases is part of general justice and military justice. Since there are two courts competent to enforce the law in the handling of such cases, under the provisions of Articles 89 to 94 of the Code of Criminal Procedure, the handling of such cases is carried out jointly by the subsystem in general justice and the subsystem in military justice. Investigations by the Police, Prosecutors and Military Poms/Oditors, Prosecution by Prosecutors and Oditurs, Trial by Judges from the General Court and Military Justice in a balanced manner. Because the two courts have very different case handling cultures, and until now there are no clear rules governing the technique of handling cases in connection, where there are two procedural laws that apply.
LEGAL POLITICS OF CRIMINALIZATION AND DECRIMINALIZATION OF CRIMINAL ACTS OF CORRUPTION: A COMPARISON OF THE RULES OF PRABOWO, JOKOWI, AND SBY Dharma, Satria Nashuha; Nugroho, Hibnu
EKSEKUSI Vol 7, No 2 (2025): Eksekusi : Journal Of Law
Publisher : Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/je.v7i2.38278

Abstract

 ABSTRACTCorruption in Indonesia is an extraordinary crime with systemic impacts on governance and public welfare. This normative legal study analyzes the differences in focus and legislative frameworks of anti-corruption policy across the administrations of Presidents Joko Widodo and Prabowo Subianto. Under President Joko Widodo, anti-corruption efforts faced significant setbacks. The 2019 revision of Law No. 19 on the KPK was widely criticized for weakening the institution's independence. Further legislation, including the Omnibus Law on Job Creation and the 2023 Criminal Code (KUHP), introduced new corruption risks and created legal disharmony. These developments contributed to a decline in Indonesia's Corruption Perceptions Index (CPI), marking the Jokowi era with institutional weakening and controversial reforms. In contrast, the Prabowo Subianto administration presents an evolving orientation. Early policy narratives prioritize asset recovery through restorative justice and strengthening the roles of the Attorney General’s Office and the Police. However, concrete legislative reforms remain limited. While this approach suggests a potential for stronger deterrence, it also raises concerns that political compromise could lead to implicit decriminalization. Overall, Indonesia’s anti-corruption legal politics reflect a complex dynamic shaped by fluctuating political will and competing interests. The Jokowi era was defined by institutional erosion, while the Prabowo era confronts the dilemma of balancing asset recovery, institutional strengthening, and political stability. The study concludes that the effectiveness of future anti-corruption efforts will depend on consistent political will to establish strong, transparent, and public-oriented regulations.Keyword: Corruption, Legal Politics, Criminalization and Decriminalization, Corruption Eradication Commission (KPK), Anti-Corruption LegislationABSTRAKKorupsi di Indonesia digolongkan sebagai kejahatan luar biasa yang berdampak sistemik pada tata kelola pemerintahan dan kesejahteraan publik. Studi hukum normatif ini menganalisis perbedaan fokus dan kerangka legislatif antikorupsi antara masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto. Di bawah Joko Widodo, upaya antikorupsi mengalami pelemahan signifikan. Revisi UU KPK No. 19 Tahun 2019 dikritik karena melemahkan independensi institusi. Selain itu, legislasi seperti Omnibus Law Cipta Kerja dan KUHP 2023 dianggap menciptakan risiko korupsi baru dan ketidakharmonisan hukum. Perkembangan ini berkontribusi pada penurunan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia. Era Jokowi ditandai oleh pelemahan institusional dan reformasi yang kontroversial. Sebaliknya, administrasi Prabowo Subianto menampilkan orientasi yang berbeda. Narasi kebijakan awal menitikberatkan pada pemulihan aset melalui keadilan restoratif serta penguatan Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Meskipun reformasi legislatif konkret masih terbatas, pendekatan ini menyiratkan potensi deterensi yang lebih kuat. Namun, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran bahwa kompromi politik dapat mengarah pada dekriminalisasi implisit. Secara keseluruhan, politik hukum antikorupsi Indonesia mencerminkan dinamika yang kompleks, dibentuk oleh kemauan politik yang tidak stabil. Era Jokowi diwarnai erosi institusional, sementara era Prabowo menghadapi dilema untuk menyeimbangkan pemulihan aset, penguatan kelembagaan, dan stabilitas politik. Efektivitas upaya antikorupsi di masa depan sangat bergantung pada konsistensi kemauan politik untuk menciptakan regulasi yang kuat, transparan, dan berorientasi publik.Kata Kunci: Korupsi, Politik Hukum, Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Legislasi Antikorupsi.