Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Borobudur

Minyak Atsiri untuk Konservasi Cagar Budaya Berbahan Batu Tahap II Sri Wahyuni; Winda Diah Puspita Rini; Bambang Kasatriyanto; Al Widyo Purwoko; Basuki Rachmat
Borobudur Vol. 11 No. 1 (2017): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v11i1.167

Abstract

Lumut kerak/lichen merupakan salah satu mikroorganisme yang dapat mengakibatkan kerusakan dan pelapukan pada Cagar Budaya berbahan batu. Bahan kimia AC 322 selama ini merupakan satu-satunya bahan yang digunakan untuk mengatasi permasalahan lumut kerak yang menempel pada permukaan batu. Oleh sebab itu perlu dicari bahan alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi lumut kerak/lichen. Pengembangan metode dan teknik konservasi berbahan tradisional mulai banyak dikembangkan. Bahan tradisional banyak sekali ditemui di alam. Salah satunya adalah minyak atsiri yang dapat digunakan sebagai pestisida alami untuk mengatasi permasalahan lumut kerak/lichen. Pada tahun 2014, Balai Konservasi Borobudur bekerjasama dengan Universitas Islam Indonesia dalam rangka penanganan lumut kerak menggunakan minyak atsiri. Minyak atsiri yang digunakan dalam penelitian adalah minyak atsiri cengkeh, minyak biji pala dan minyak serai wangi.Tahun 2015 juga dilakukan kajian terhadap penggunaan minyak atsiri nilam, temulawak, dan terpentin untuk menghambat pertumbuhan lumut kerak pada Cagar Budaya batu andesit. Percobaan yang telah dilakukan pada tahun 2014 dan 2015 hanya terbatas pada pengujian daya hambat pertumbuhan jamur. Mengingat lumut kerak merupakan simbiosis antara jamur dan alga, maka perlu dilakukan uji coba minyak atsiri untuk menghambat pertumbuhan mikroalga. Kajian lanjutan pada tahun 2016, dilakukan pengujian minyak atsiri sebagai bahan untuk menghambat pertumbuhan sel mikroalga. Minyak atsiri yang digunakan adalah minyak atsiri temulawak, nilam, pala dan cengkeh. Metode percobaan pengujian efektitasminyak atsiri untukmenghambat pertumbuhan sel mikroalga dilakukan secara mikroskopis dengan melihat perubahan morfologi perubahan warna kloroplas dalam durasi waktu 0, 3, 5, 7, 10, 15 hari dan dilakukan pengamatan jumlah mortalitas sel mikroalga durasi waktu 0, 3, 15 hari. Pengamatan terhadap parameter perubahan morfologi warna kloroplas atau peluruhan warna kloroplas secara mikroskopis dilakukan dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x. Sedangkan penghitungan kerapatan sel, mortalitas sel mikroalga dapat dilakukan dengan menggunakan metode kamar hitung Improved Neubauer. Variasi konsentrasi minyak atsiri adalah 10%, 20%, 30%, 40% dan 50%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa keempat minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan sel mikroalga dengan tingkat keefektifan temulawak > pala > nilam >cengkeh. Minyak atsiri temulawak konsentrasi 20% dengan waktu pengujian 15 hari menunjukkan daya hambat yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan sel mikroalga dengan mortalitas sel sebesar 63,31%.
Kondisi Saluran Drainase Candi Borobudur dan Konsep Penanganannya Leliek Agung Haldoko; Wahyudi Wahyudi; Basuki Rachmat; Al Widyo Purwoko
Borobudur Vol. 13 No. 1 (2019): Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur
Publisher : Balai Konservasi Borobudur Magelang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33374/jurnalkonservasicagarbudaya.v13i1.203

Abstract

Candi Borobudur merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang juga telah diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia. Pada pemugaran kedua (1973-1983) telah dibuat sistem drainase untuk menyalurkan air melalui pipa-pipa yang berada dalam tubuh candi hingga ke bak kontrol dan berakhir pada sumur peresapan. Kondisi sistem drainase Candi Borobudur tentunya akan mengalami penurunan fungsi seiring berjalannya waktu. Hasil kajian menunjukkan saluran filter layer terdapat banyak endapan tanah/pasir yang menghambat aliran air keluarnya air dari dalam bukit Candi Borobudur. Akan tetapi endapan material pada saluran filter layer bukan berasal dari tanah bukit tetapi dari endapan pada saluran drainase bawah lantai yang terbawa masuk. Selain itu sebagian besar filter layer dalam kondisi rusak dan beberapa yang lain belum dapat diidentifikasi kondisinya. Meskipun filter layer dalam kondisi rusak tetapi fungsinya sebagai lapisan penyaring masih bekerja baik. Endapan tanah/pasir pada saluran drainase bawah lantai akan mengganggu kelancaran aliran air pada saluran ini yang dikarenakan posisi dasar saluran drainase menjadi lebih tinggi dan membuat dasar saluran menjadi rata/ kemiringannya berkurang. Pada saluran drainase halaman-lereng, tidak adanya aliran air yang terukur pada saluran drainase Selatan 2 (S2) dan Timur (T) mengindikasikan adanya permasalahan pada kedua saluran drainase tersebut yaitu terjadinya kebocoran saluran. Untuk mengoptimalkan monitoring geohidrologi dilakukan perubahan metode monitoring filter layer dari yang sebelumnya dengan mengukur debit dan kekeruhan air yang keluar dari bukit dan melewati filter layer, menjadi monitoring menggunakan videoscope untuk mengamati gambaran visual filter layer. Selain itu menghentikan monitoring muka air tanah melalui pipa inklinometer karena sebagian besar pipa inklinometer memiliki ujung bawah pipa tertutup sehingga data yang didapatkan tidak valid. Pada akhirnya dari data-data yang didapatkan, kecil kemungkinan airtanah bukit Candi Borobudur akan meluap dan menekan struktur Candi Borobudur. Borobudur Temple is one of Indonesia’s cultural heritage site that has been enlisted as World Heritage. In its second restoration (1973-1983), new drainage system was installed to flow water using concrete pipes inside the temple structure to control tank, to be directed to infiltration well. Over time, the efficiency of this system is decreasing. The study shows that filter layer channels contain much soil/sand sediments that clog the water running outside from the temple structure. The sediments come not from hill soil, but was carried to the channel from under the temple floor. Some filter layers are confirmed to be damaged, while others are still unidentified. However, the damaged filter layers still function well. The soil/sand sediments on drainage channel under the floor would disturb the flow of the water because the elevation for water to be able to run off would be compromised. In the courtyard-slope drainage channel, no water volume can be calculated in channel South 2 (S2) and East (T); indicating that there is a leakage in the channel. To optimize the geohydrology monitoring in Borobudur Temple, a change in monitoring methodology is needed to evaluate the effectiveness of filter layers from assessing the water discharge and turbidity of water coming out from the hill to controlling the condition of filter layer channels using videoscope through visual imagery. Measurement of ground water level using inclinometer pipe is not valid because most of the pipes are closed off at their far end. From the data gathered, it is less possible for the ground water in the hill of Borobudur Temple to overflow and push the structure of Borobudur Temple.