Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

Transformasi Unsur Fisik Pembentuk Sumbu di dalam Alun-Alun Terhadap Kompleks Pemerintah di Jawa Malonda, Ayesha Aramita; Kusliansjah, Yohanes Karyadi
RUAS (Review of Urbanism and Architectural Studies) Vol 16, No 1 (2018)
Publisher : RUAS (Review of Urbanism and Architectural Studies)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2921.345 KB) | DOI: 10.21776/ub.ruas.2018.016.01.4

Abstract

In the past, Alun-alun is united with the Keraton complex and present in an axis. The physical elements which forms an axis in Alun-alun are the two banyan trees that form the orientation towards the government complex (Keraton). As the development progresses, Alun-alun is revitalized to adjust current cultural conditions and to improve the quality of the Alun-alun's hall as the city's identity. This research aimed to determine the representation of physical elements which formed an axis in Alun-alun towards the government complex. Habraken's theory on the physical order was considered adequate to dissect the physical elements which formed Alun-alun and lead to the conclusion of this research. Matters that needs to be identified to reach the interpretation stage were identifying levels in nominal classes, namely major arteries, roads, building elements, partitioning, furniture, bodies and utensils. The results indicated that the axis of Alun-alun towards the current government complex was indicated by the physical form of locating the furniture in one axis, forming the pathways, the hardening of soil at the main entrance area and the addition of gates inside Alun-alun. The conclusion of this research was that in the past, the axis of Alun-alun towards the government complex was formed by the belief and symbolic meanings of its cultural life. Currently the axis was formed from the physical element of complementary facilities or infrastructure of economic and social activities as a representation of the axis in Alun-alun towards the government complex.
EVALUASI PENATAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK INTERAKSI SOSIAL DI RUSUNAWA KOTA CIMAHI Histanto, Enrico Nirwan; Kusliansjah, Yohanes Karyadi
ARTEKS Jurnal Teknik Arsitektur Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30822/artk.v2i2.146

Abstract

Kota Cimahi pada awalnya merupakan salah satu bagian dari Kabupaten Bandung, dengan pesatnya pertumbuhan akhirnya ditetapkan sebagai kota administratif pada 29 Januari 1976, selanjutnya menjadi kota otonom pada tanggal 21 Juni 2001. Cimahi saat ini menjadi salah satu kawasan pertumbuhan Kota Bandung di bagian Barat. Jumlah penduduknya saat ini adalah 561.386 jiwa, dengan pertumbuhan rata-rata 2,12% per tahun (sumber: database kependudukan Kota Cimahi tahun 2014).Ruang Terbuka Hijau (RTH) di beberapa kota di Jawa Barat mengalami penurunan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut berdampak pada penurunan kualitas lingkungan hidup perkotaan dan menimbulkan masalah perkotaan seperti terjadinya bencana banjir, khususnya pada musim penghujan, peningkatan pencemaran udara, dan berkurangnya indeks kebahagiaan kota akibat minimnya ruang terbuka yang tersedia untuk interaksi sosial.Kesamaan konfigurasi penataan tapak dalam hal ini kesamaan tipologi penyusunan massa bangunan, jumlah penghuni dan sasaran penghuni yaitu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) kedua rusunawa Kota Cimahi, yaitu Cibeureum dan Leuwigajah menarik untuk diteliti manakah yang lebih efektif penataan RTH dan pemanfaatannya serta faktor-faktor penentu apa sajakah yang berperan.Dalam pengelolaan, pemeliharaan dan pemanfaatan RTH rusunawa memang tanggung jawab utama pengelola rumah susun, dalam hal ini pemerintah Kota Cimahi, namun perlu keterlibatan semua penghuni dalam merawat dan menjaga kebersihannya, khususnya dalam membuang sampah pada tempatnya dan menggunakan sarana yang disediakan dengan bertanggung jawab.Kata kunci: RTH, rusunawa, penataan tapak Title: Evaluation of Arragement and Use of Green Open Space in Cimai City’s Rusunawa Cimahi City was originally one part of Bandung Regency, with rapid growth finally established as an administrative city on January 29, 1976, then became autonomous city on June 21, 2001. Cimahi currently become one of the growth areas of Bandung in the West. The current population is 561,386, with an average growth of 2.12% per year (source: population database of Cimahi City 2014).Green Open Space (RTH) in several cities in West Java has decreased both in terms of quality and quantity. This has the effect of reducing urban environmental quality and causing urban problems such as floods, especially in the rainy season, increasing air pollution, and decreasing urban happiness index due to the lack of open space available for social interaction.The similarity of the configuration of the arrangement of the site in this case the similarity of the typology of building mass composition, the number of occupants and the target of the residents of low income (MBR) of the two rusunawa Cimahi City, namely Cibeureum and Leuwigajah interesting to examine which is more effective the arrangement of green space and its utilization and the determinants what's playing.In the management, maintenance and utilization of the flats RTH is the main responsibility of apartment managers, in this case the Cimahi Municipal Government, but the involvement of all residents in maintaining and maintaining cleanliness, especially in disposing of waste in place and use the facilities provided responsibly. Keywords: RTH, rusunawa, arrangement of site
NILAI ARSITEKTUR DALAM PENGGOLONGAN PELESTARIAN BANGUNAN KOLONIAL STUDI KASUS : GEDUNG KARESIDENAN BOGOR Citra Eka Putri; Yohanes Karyadi Kusliansjah; Harastoeti Dibyo Hartono
Riset Arsitektur (RISA) Vol 6 No 02 (2022): RISET ARSITEKTUR "RISA"
Publisher : Department of Architecture, Faculty of Engineering Parahyangan Catholic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/risa.v6i02.5724.111-127

Abstract

Abstract - The Bogor Karesidenan Building is one of the colonial architectural heritage buildings located around the Bogor Palace and Botanical Gardens. Registered as one of the cultural heritage buildings of the 24 buildings that have been determined by the Mayor of Bogor based on PERMENBUDPAR NO. PM.26/PW.007/MKP/2007. This building is located in a government and service trade area, causing many modern buildings to be built around the Bogor Karesidenan Building in line with the development of Bogor City. Changes that exist in cultural heritage buildings as a form of adaptation to these developments cannot be avoided, especially in existing colonial heritage buildings. There has not been a classification in the Bogor City Regional Regulation, so efforts to maintain the authenticity of cultural heritage buildings will be difficult where class classification is very important in the context of building conservation. One of the efforts that can be done to prevent these changes is to determine the classification of preservation in the Bogor Karesidenan Building. This study aims to identify and analyze the shape of the architectural visual and spatial character by looking at the shape of the elements in the building to determine the classification of building preservation. This research is a form of qualitative research using descriptive data analysis methods, comparative methods to compare the forms of existing building elements and classification methods to determine the classification of building preservation. From the results of a descriptive analysis of the spatial elements and visual elements of the building, the Bogor Karesidenan Building is included in the Class A building, because the assessment of the authenticity of the building is more dominant than the assessment of changing elements. This research is only limited to architectural values ​​that become architectural data, as for determining this building to be classified as a cultural heritage building, a similar academic study is needed from other aspects related to structural, mechanical and electrical data and environmental planning. Keywords: preservation, classification, cultural heritage, Bogor Karesidenan Building
TRANSFORMASI ARSITEKTUR KOTA PADA ELEMEN KANAL KOTA BANJARMASIN - KALIMANTAN SELATAN Karyadi Kusliansjah
Research Report - Engineering Science Vol. 2 (2011)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (59.243 KB)

Abstract

Kota Banjarmasin merupakan ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan yang menjadi salah satu dari 10 kota gementte yang dikembangkan pemerintahan kolonial Belanda. Kota Banjarmasin terkenal sebagai kota air, dengan sebutan “kota seribu sungai”. Kota tumbuh pada tepi sungai Barito dan dibelah menjadi dua bagian oleh sungai Martapura yang. Sejumlah anak sungai bermuara kepada kedua sungai ini. Kelandaian sebagian permukaan kontur tanah menyebabkan bentuk aliran sungai berliku-liku dari hulu hingga ke hilirnya. Hal ini secara fisik-spasial mempengaruhi pembentukan lingkungan binaan baik arsitektur maupun perkembangan arsitektur kotanya. Kondisi fisik kota berada 0,16 m di bawah permuka air laut, mengakibatkan pasang laut masuk membanjiri kawasan kota, khususnya menjadi rutin pada kawasan tepian sungai. Upaya mengatasi permasalahan ini sudah tercatat sejak lama pada peta kota tahun 1700-1945. Era pemerintahan kolonial Belanda tahun 1890, Kota Banjarmasin dikembangkan sebagai kota Kanal, yaitu elemen parit kota yang dibangun untuk memperlancar dan mempercepat pengaliran air sungai (disebut Anjir dalam bahasa Banjar). Sejumlah kanal dibangun dan diantaranya ada 10 kanal ditempatkan dikawasan pusat kota, yang merupakan sodetan pada lekukan sungai atau meluruskan aliran sungai. Dari penelitian sebelumnya ditemukan 5 tipe ragam kanal yang di kembangkan pada pusat Kota Banjarmasin.Sejarah kota mencatat perkembangan pesat pola fisik maupun pola sosial Kota Banjarmasin. Sejumlah faktor telah mempengaruhinya, baik internal, seperti kebijakan politik, ekonomi, sosial-budaya maupun faktor pengaruh eksternal pada hulu dan hilir sungainya. Secara fisik-spasial kota telah mengalami transformasi arsitektur kota sepanjang sejarahnya hingga kini. Transformasi arsitektur kota masa sekarang cenderung merubah wajah kota air jauh menjadi serupa tatanan kota darat, terutama pada lingkungan tepian sungai dan kanal Kota Banjarmasin. Sungai maupun kanal kota cenderung menjadi backyard bangunan ditepiannya yang tumbuh rapat, menyempit dan mengganggu fungsi daya dukung pengaliran airnya. Akibat logis kawasan kota menjadi langganan banjir genangan bila pasang naik.Penelitian ini merupakan upaya akademik merekam pengaruh transformasi arsitektur kota tersebut, yang bertujuan untuk:1.Mengkaji tentang faktor penyebab transformasi arsitektur kota pada elemen kanal Kota Banjarmasin yang dikembangkan era pemerintahan kolonial Belanda dan kondisinya sekarang.2.Mempelajari dan mengali informasi tentang sistem elemen kanal Kota Banjarmasin yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda.3.Mengkaji permasalahan yang ditimbulkan dari transformasi arsitektur Kota Banjarmasin sekarang.4.Mengusulkan pertimbangan solusi bagi masukan perkembangan kebijakan tata ruang arsitektur Kota Banjarmasin.Cakupan hasil penelitian ini berguna untuk memperluas wawasan arsitektur kota tepian air [urban waterfront], dan bermanfaat sebagai informasi untuk pengembangan perencanaan/perancangan arsitektur.maupun arsitektur kota sungai.Studi figur-ground terhadap transformasi kota dan arsitektur kota kanal menjadi dasar pendekatan teoritikal penelitian ini. Metode penelitian berbasis pada kualitatif- interpretatif sejarah kota. Untuk membaca transformasi arsitektur kota, lokasi penelitian dilakukan pada elemen kanal-kanal kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang direncanakan selesai selama 5-6 bulan,Keywords: Transformasi Arsitektur kota, Elemen kanal kota, kota Banjarmasin - Kalimantan Selatan
STRUKTUR PESISIR (WATERFRONT) KOTA CIREBON - JAWA BARAT Studi Kasus:Telaah Morfologi kawasan Pesisir Kelurahan Panjunan, Lemahwungkuk, Kasepuhan, Kasunean - Kota Cirebon. Karyadi Kusliansjah; Adam Ramadhan
Research Report - Engineering Science Vol. 1 (2013)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7568.712 KB)

Abstract

Tujuannya penelitian ini berupaya mengkonseptualisasikan struktur kota lama danpengembangan struktur baru pesisir kota Cirebon di masa sekarang. Penelitian ini, mengkaji strukturkota(jalan,sungai,kanal,pantai) sebagai bagian morfologi pembentuk kota Cirebon danmenstrukturisasikan pola pengembangan kawasan pesisir kota ini sebagai waterfront city.Peran kota Cirebon sekarang sebagai ibukota kabupaten Ciebon di Jawa Barat. Kota inidilintasi oleh jalur Pantura dan berbatasan dengan Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengkadan Kabupaten Kuningan dan Propinsi Jawa Tengah. Letak kota secara geografis pada koordinat108° 33´ BT dan 6° 42´ LS. sebagai dataran rendah dengan luas wilayah pantai ±3.810 Ha.Sedimentasi telah menambah luas wilayah administrasi kota, diperkirakan hingga menjadi ± 75 ha.Sejarah mencatat kota ini telah dikenal dari 622 tahun lalu sebagai kota bandar terbukasampai kekawasan Asia Tenggara dengan pelabuhan Muara Jati di pesisir pantai laut Jawa danmenjadi pusat kerajaan dan penyebaran Islam terutama di wilayah Jawa Barat (1479).Morfologi kota Cirebon tidak terlepas dari perkembangan peran ketiga Kesultanan di kotaini, yaitu: Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman, dan Kesultan Kaceribonan. Pengaruhperdagangan antar bangsa hingga kolonial Belanda (1596) turut menentukannya, maupun intervensikekuasaan yang merubah status pemerintahan kota Cirebon dari disahkannya menjadi GemeenteCheribon (1926), dirubah menjadi Kota Praja (1957), kemudian ditetapkan sebagai Kotamadya(1965) hingga sekarang menjadi Kota Cirebon.Pertumbuhan terencana struktur kota lama signifikan terjadi di era penjajah Belanda, yangmengintervensi struktur awal berbasis lintasan-lintas lokal tradisional. Pembangunan jaringan jalanDe Groote Postweg (1808-1811) dan jalur kereta api menghubungkan beberapa kota di pulau Jawajuga melintas kota Cirebon. Kebijakan ini memicu peran kota menjadi kota transit dan berpengaruhpula bagi pertumbuhan industri dan perdagangannya. Peran pelabuhan Cirebon masa sekarangsangat penting mendukung kota-kota di Jawa Barat, disamping adanya jalan Pantura yangmelintasinya, menjadikan peran Cirebon berkembang sebagai kota dagang, kota transit dan kotawisata kesejarahan. Dinamika perkembangan ini menuntut tersedianya ruang penunjang bagikebutuhan kota yang terpadu dengan struktur kota lama.Permasalahan fisik spasial kota di era kebijakan otonomi daerah masa sekarang adalahkendala luas kota Cirebon, yang dibatasi oleh wilayah kabupaten tetangganya maupun pesisir lautJawa. Akibatnya peluang perkembangan tata ruang kota perlu dikonsepkan secara vertikal dan atauhorisontal kearah laut, yaitu mengembangkan potensi dan strukturisasi dataran rendah pesisir yangterbentuk oleh sedimentasi.Diperlukan beberapa penelitian yang memberi dasar kelayakan pelaksanaan konsepsi diatas,diantaranya adalah penelitian struktur (urban path)pesisir kota ini, pada sample kawasan KelurahanPanjunan, Lemahwungkuk, Kasepuhan, Kasunean - Kota Cirebon. Penelitian morfologi kota inidilaksanakan pada bulan Agustus–Desember 2012 dan menjadi bagian dalam roadmap penelitianurban architecture waterfront di Indonesia. Metoda penelitian ini berbasis kualitatif- interpretatif.Hasil penelitian ini bermanfaat bagi tatar akademik untuk memperluas wawasan lokalitas arsitekturkota tepian air [urban waterfront], menggali informasi dan kontribusi bagi tataran praktek untukpengembangan pembangunan kota Cirebon menuju New Waterfront City di masa depan.Keywords: Elemen Urban Path, Struktur dan Arsitektur Kota, Pesisir Kota, Cirebon
ADAPTASI KOLAM PAKAR TAHURA IR. H. DJUANDA SEBAGAI ARENA RUANG PUBLIK KOTA BANDUNG Karyadi Kusliansjah; Giosia Pele Widjaja; Yosua Wiranata; Muhammad Riyan
Research Report - Engineering Science Vol. 1 (2014)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3909.353 KB)

Abstract

Penelitian ini mengkaji kebutuhan dan potensi Tahura Ir.H.Djuanda maupun kota Bandung agar terjadi adaptasi dan peningkatan kualitas tata ruang lingkungan yang ekologis secara sinergis; antar kedua kepentingan tersebut dalam batas-batas yang memungkinkan sesuai peraturan konservasi hutan lindung. sebagai wadah penelitian untuk pengembangan kepentingan ilmu pengetahuan dan pendidikan lingkungan hidup (eco learning), hingga wisata alam bagi masyarakat luas.Potensi Tahura Ir.H.Djuanda sebagai kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas 529 hektar terletak di Utara kota Bandung, secara spesifik mempunyai koleksi tanaman hutan campuran dengan berbagai macam keanekaragaman hayati, serta menyimpan sejarah peradaban manusia sejak jaman Sunda Purba. Tahura ini memiliki peranan penting dalam mendukung kualitas ruang terbuka hijau(RTH) dan sumberdaya air (30% dari kapasitas kebutuhan) bagi pelayanan Kota Bandung.Kebutuhan Tahura adalah peningkatan kualitas layan dan pengelolaan potensinya sebagai sumberdaya alami bagi wilayah kota Bandung, wilayah Kabupaten Bandung maupun Kabupaten Bandung Barat. Balai Tahura Ir.H.Djuandapun selaku pengelola telah mencanangkan pencitraan baru di semua sektor pada tahun 2014-2018; dengan mengikutsertakan peran masyarakat dan pihak akademisi secara kemitraan, untuk melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di kawasan buffer zone maupun outter zone Tahura.Sedangkan kebutuhan yang menjadi salah satu kendala dihadapi kota Bandung adalah kekurangan arena ruang publik alami, yang dapat menyediakan wadah kegiatan refreshing bagi warga kota maupun pendatang; sekaligus bermanfaat untuk membangun wawasan tentang lingkungan alam.Tahura Ir. H. Djuanda dapat dijadikan pilihan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan tetap berpegang pada prinsip peraturan yang ada. Salah satu objek potensial yang berada di dalam kompleks Tahura Ir. H. Djuanda adalah Kolam Pakar; yang luasnya hampir 1 hektar dan sekarang berfungsi sebagai kolam pengendapan lumpur untuk air sungai Cikapundung yang menunjang PLTA Bengkok. Kondisi kualitas ruang kolam pakar sekarang jauh dari kualitas yang diharapkan dalam pencitraan baru Tahura Ir. H. Djuanda. Melalui kegiatan ini, Kolam Pakar yang kualitasnya tercemar akan diteliti kondisi dan kelayakannya untuk dijadikan suatu arena ruang publik bagi warga Kota Bandung, melalui pendekatan sejarah kawasan dan SWOT Lingkungan.Keywords: Adaptasi, Kolam Pakar Tahura Ir. H. Djuanda, Arena Ruang Publik, Kota Bandung
JALAN DAN SUNGAI, KANAL SEBAGAI ELEMEN PEMBENTUK STRUKTUR KOTA SUNGAI BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN Karyadi Kusliansjah
Research Report - Engineering Science Vol. 1 (2012)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (24947.707 KB)

Abstract

Penelitian ini mengkaji jalan dan sungai, kanal sebagai elemen utama pembentuk struktur kota sungai Banjarmasin - Kalimantan Selatan. Secara geografis kota Banjarmasin terbentuk dari sedikitnya 25 buah“pulau” kecil yang dipisahkan oleh banyak sekali sungai sehingga “kota seribu sungai” menjadi sebutan bagi kota yang telah berusia 486 tahun ini. Kota ini tumbuh dan berkembang di tepi sungai besar Barito dan terbelah menjadi dua bagian oleh sungai Martapura serta sejumlah anak sungai lainnya yang bermuara pada kedua sungai ini. Kondisi fisik kota berada 0,16 m di bawah muka air laut, dan rutin tergenang akibat pengaruhi pasang surut (pasut), oleh gaya hidrodinamik sungai Barito. Konteks alam ini secara fisik-spasial mempengaruhi pembentukan lingkungan binaan baik arsitektur maupun perkembangan arsitektur kota sungai ini. Bentuk struktur kota Banjarmasin, tidak terlepas dari kehadiran sungai dan jalan sebagai elemen utama pembentuknya. Namun kini kota Banjarmasin telah menunjukkan gejala perubahan orientasi dalam perkembangan struktur kotanya dari karakter “kota sungai” menjadi “kota darat” seperti pada umumnya kotakotadi Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk (1).Menemukenali unsur, bentuk dan pola dasar (generic) struktur kota Banjarmasin yang ditentukan oleh jalan dan sungai sebagai unsur utama pembentuknya, (2).Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya perubahan orientasi perkembangan struktur kota serta (3).Bagaimana pengaruh jalan dan sungai sebagai elemen pembentuk struktur kota terhadap arsitektur kota Banjarmasinpada umumnya. Penelitian tentang struktur kota Banjarmasin ini dilakukan melalui pendekatan urban morfologi dengan metoda kualitatif-interpretatif. Kajian struktur kota Banjarmasin ini dilakukan melalui tinjauan historis, morfologis dan tipologis. Temuan dari penelitian ini adalah: (1).Pola dasar (generic) struktur kota, dapat diidentifikasikan dengan mengenali ”konstitusi” dari ”elemen dasarpembentuknya” (basic type). (2).Sekurangnya ada 4 faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan orientasi struktur kota, (3).Jalan dan sungai menentukan perbedaan dan kompleksitas struktur kota, dan ruang bagi arsitektur kota, Temuan dari hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi dunia akademik yaitu memberikan kontribusi untuk memperluas wawasan arsitektur kota sungai (urban riverside) maupun dunia praktek yaitu sebagai informasi dan tool untuk penyusunan konsepsi pengembangan perencanaan / perancangan arsitektur maupun arsitektur kota sungai yang mengkondisikan citra sinergis antara urban path space dan urban place. Keyword: Jalan dan sungai, Struktur kota, Banjarmasin.
KONSEP PERANCANGAN INFRA STRUKTUR KOLAM PAKAR TAHURA IR. H. DJUANDA SEBAGAI ARENA RUANG PUBLIK KOTA BANDUNG (ECO LEARNING WATER PARK) Karyadi Kusliansjah; Giosia Pele Widjaja; Amirani Ritva; Kage Priatna
Research Report - Engineering Science Vol. 2 (2015)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2593.723 KB)

Abstract

Penelitian ini merupakan kelanjutan keikutsertaan peran Universitas Katolik Parahyangan sebagai pihak akademisi dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat secara kemitraan bersama Balai Tahura Ir.H.Djuanda dan Yayasan Sahabat Lingkungan Hidup. Pengabdian ini berguna mendukungpencitraan baru Tahura di semua sektor layanan dan kualitas tata ruang sarana Tahura baik bagi kepentingan Tahura Ir. H. Djuanda pada tahun 2014-2018,dan merupakan bagian dari rencana jangka panjang tahun 2014-2044 menuju World Heritage Tropic Forest Park, berbasis eco learning. Kajianini mengambil objek Kolam Pakar yang merupakan kolam endapan lumpur yang berada di kawasan pintu masuk utama Tahura Ir.H.Djuanda, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas tata ruang lingkungan Tahura dengan buffer zone maupun outter zone-nya secara sinergis. Melalui metodaSWOT dan pendekatan teoritikal keseimbangan dan eko arsitektur, pencitraan baru digagas memperhatikan batas-batas yang memungkinkan secara peraturan konservasi hutan lindung,penyelenggaraan pendidikan lingkungan alam (eco learning), maupun sebagai arena ruang publik yang ikonik bagi kepentingan masyarakat luas khususnya bagi kota Bandung dan sekitarnya. Hasil penelitian ini berhasil merumuskan konsep dan kriteria perancangan infra struktur Kolam Pakar Tahura Ir. H. Djuanda sebagai arena ruang publik kota Bandung (Eco Learning Water Park); beserta rekomendasi yang berguna untuk pihak terkait melakukan pembangunan, pengelola kolam danlingkungannya.Kata Kunci: Pencitraan Baru, Kolam Pakar, Water park kota, Tahura Ir. H. Djuanda Bandung.
Evaluation of arragement and use of green open space in Cimahi City’s Rusunawa Enrico Nirwan Histanto; Yohanes Karyadi Kusliansjah
ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur Vol 2 No 2 (2018): ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur | Januari 2018 ~ Juni 2018
Publisher : Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Katolik Widya Mandira

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1406.054 KB) | DOI: 10.30822/arteks.v2i1.44

Abstract

Cimahi City was originally one part of Bandung Regency, with rapid growth finally established as an administrative city on January 29, 1976, then became autonomous city on June 21, 2001. Cimahi currently become one of the growth areas of Bandung in the West. The current population is 561,386, with an average growth of 2.12% per year (source: population database of Cimahi City 2014). Green Open Space (RTH) in several cities in West Java has decreased both in terms of quality and quantity. This has the effect of reducing urban environmental quality and causing urban problems such as floods, especially in the rainy season, increasing air pollution, and decreasing urban happiness index due to the lack of open space available for social interaction. The similarity of the configuration of the arrangement of the site in this case the similarity of the typology of building mass composition, the number of occupants and the target of the residents of low income (MBR) of the two rusunawa Cimahi City, namely Cibeureum and Leuwigajah interesting to examine which is more effective the arrangement of green space and its utilization and the determinants what's playing. In the management, maintenance and utilization of the flats RTH is the main responsibility of apartment managers, in this case the Cimahi Municipal Government, but the involvement of all residents in maintaining and maintaining cleanliness, especially in disposing of waste in place and use the facilities provided responsibly.
Hilangnya karakter pedestrian shopping street Jalan Tunjungan akibat transformasi Surabaya sebagai Kota Metropolitan Anneke Clauvinia Patriajaya; Yohanes Karyadi Kusliansjah
ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur Vol 4 No 1 (2019): ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur | Juli 2019 ~ Desember 2019
Publisher : Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Katolik Widya Mandira

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1446.274 KB) | DOI: 10.30822/arteks.v4i1.81

Abstract

The loss of pedestrian shopping street characters in Jalan Tunjungan due to the transformation of Surabaya as a Metropolitan City In general, there are centers of commercial activity in a city. Through the patterns of development of commercial activities, a pedestrian shopping street typology which prioritizes pedestrians in its pattern and activity system was born. Jalan Tunjungan Surabaya represents this typology well because it was developed to be a pedestrian-based shopping area in Gemeente government era. Along with the development of Surabaya, the uniqueness of the urban artefact of Tunjungan area is transformed and being dominated by multi-storey buildings and Jalan Tunjungan became a city axis. The uniqueness of Jalan Tunjungan which was able to attract tourists is endangered due to the demands of Surabaya's economic development. Through a synchronic-diachronic approach with qualitative-descriptive methods, this study aims to identify patterns, types, and systems that create the physical-spatial characteristics of pedestrian shopping street in Jalan Tunjungan that has remained adapted and lost due to the transformation of Surabaya as a metropolitan city. Through comparative analysis, the findings conclude that the only thing remains is the linearity pattern of the building structure, while the type of road is adapted into one-way avenue with planned lane division and the addition of on-site parking system. Building types is adapted into commercial buildings. The characteristics of the arcades in some buildings are lost, the transportation system removes the passenger stop, the bridge is no longer being used, and the pedestrian pattern is disrupted due to the pattern of traffic. Jalan Tunjungan, which used to prioritize the experience of shopping by walking, has been degraded to a shopping street area. © 2019 Anneke Clauvinia Patriajaya, Yohanes Karyadi Kusliansjah