Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Kedudukan dan Kewenangan Bawaslu Kota Bekasi Dalam Penanganan Pelanggaran Administrasi Dihubungkan Dengan Penegakan Keadilan Pemilu Safarin Novarizal; Hotma P. Sibuea; Rahmat Saputra
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 18 No. 1 (2024): KRTHA BHAYANGKARA: APRIL 2024
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/krtha.v18i1.1630

Abstract

Norma Pasal 462 UU No 7 Tahun 2017 menegaskan bahwa KPU tidak memiliki alasan untuk menolak putusan Bawaslu yang menjadi kewenangan Bawaslu, namun sebenarnya keputusan dan rekomendasi Bawaslu tidak sera-merta dilaksanakan KPU, karena adanya Perbedaan tafsir hukum atas UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan dengan alasan kepentingan hukum yang lebih luas. Terdapat perbedaan/disparitas antara keputusan Bawaslu dengan pelaksanaan keputusan Bawaslu yang menjadi kewenangan KPU pada tataran praktik, sehingga sanksi administratif yang bersifat reparatoir tidak dapat dilaksanakan. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas penegakan keadilan pemilu. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis kedudukan dan kewenangan Bawaslu di Kota Bekasi dalam penanganan pelanggaran administrasi Pemilu dan menganalisis penanganan pelanggaran administrasi Pemilu terkait dengan penegakan keadilan Pemilu, sehingga dapat dijadikan sebagai solusi untuk meningkatkan efektifitas dan kualitas penanganan pelanggaran. Penelitian ini didasarkan pada beberapa teori, diantaranya: teori demokrasi yang menjelaskan bagaimana Pemilu merupakan bentuk kedaulatan rakyat, teori keadilan Pemilu, dan teori kewenangan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sebanyak dua putusan pelanggaran penyelenggaraan Pemilu di Kota Bekasi hasil dari proses penanganan pelanggaran administrasi Pemilu. Sejatinya sanksi yang dijatuhkan bersifat reparatoir yakni mengembalikan kondisi semula sebelum terjadi pelanggaran. Namun, karena eksekutor pelaksana putusan tersebut ada pada kewenangan KPU, maka keputusan Bawaslu belum efektif ditindaklanjuti.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menguji Peraturan Perundang-Undangan Dewi, Intan Permata; Sinaulan, R. Lina; Sibuea, Hotma P.
J-CEKI : Jurnal Cendekia Ilmiah Vol. 4 No. 3: April 2025
Publisher : CV. ULIL ALBAB CORP

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/jceki.v4i3.8332

Abstract

The establishment of the Constitutional Court is an important milestone in the history of the struggle for reform in Indonesia, which marks the commitment of the Indonesian people to prioritize the principles of justice, supremacy of law and respect for human rights. In practice, the Constitutional Court has a very significant role in maintaining the stability and balance of the constitutional system in Indonesia. The Constitutional Court has the authority to decide on judicial review of the 1945 Constitution, decide disputes over the authority of state and decide disputes regarding the results of general elections. Thus, the Constitutional Court is at the forefront in maintaining the sanctity of the constitution and upholding constitutional democracy in Indonesia. The authority of the Constitutional Court in reviewing laws against the 1945. As mandated by statutory regulations.
THE INDONESIAN MEDICAL DISCIPLINE HONOUR COUNCIL (MKDKI) AS THE DEVELOPMENT OF A MEDICAL DISPUTE RESOLUTION MODEL IN THE PERSPECTIVE OF DEMOCRATIC LAW Nur Husein Amrah; Hotma P. Sibuea; Ika Dewi Sartika Saimima
Bhayangkara Law Review ##issue.vol## 1 ##issue.no## 1 (2024): June 2024
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/1fqb4j20

Abstract

Law Number 17 of 2023 concerning health has regulated the position of MKDKI in resolving medical disputes. The MKDKI's authority in the Health Law has been expanded to relate to violations of doctor's discipline, enforcing decisions regarding unlawful acts that can be subject to criminal sanctions, and enforcing accountability for actions/deeds that cause civil harm to patients. Based on this authority, MKDKI is similar to an institution that acts on the principles of fast, simple and low-cost justice. To study the MKDKI model, normative juridical research or doctrinal research is used. The study that will be discussed concerns the interpretation of the legal principles of law enforcement regarding alleged medical malpractice which contains violations of criminal law. The results of the research state that the MKDKI's authority, which is based on the process of resolving medical disputes using the principles of fast, simple and low cost, is less effective. Supreme Court Decision Number: 890K/Pid.Sus/2017 is an example of a legal solution that actually harms doctors. It is necessary to transform MKDKI into a strong institution, with a pattern of resolving medical disputes using fast, simple and low-cost principles. A medical dispute resolution model based on the principles of fast, simple and low cost will only emerge if a Medical Court is established. MKDKI as Medical Justice aims at enforcing acts that violate criminal law and enforcing responsibility for actions/deeds that cause civil harm. The MKDKI's independence, such as independent judicial power, to the MKDKI's objection filing system which adopts an appeals filing system within the judiciary, further emphasizes the need to transform the MKDKI as a judicial institution.
Kewenangan Penyidik dan Penuntut Umum KPK untuk Melakukan Perampasan Aset Terdakwa yang Belum Diputus oleh Pengadilan dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi Pangihutan, Timothy; Sibuea, Hotma P.; Sugeng, Sugeng
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 4 No. 5 (2024): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/innovative.v4i5.13113

Abstract

This research aims to describe the weaknesses in the regulation of asset confiscation in criminal acts of corruption in cases of defendants who have not yet received a court decision and to describe the regulation of asset confiscation of the assets of a defendant in a criminal act of corruption who dies before a decision is made in terms of the principle of separation of powers. The research method used is a normative approach method. Based on the research results, the weakness of the regulation of confiscation of assets in criminal acts of corruption in cases of defendants who have not received a court decision lies in the regulation of confiscation of state losses which is not regulated in the Corruption Crime Law, so that it is then misinterpreted as if it cannot be confiscated. Furthermore, the regulation of asset confiscation of the assets of a corruption defendant who dies before a verdict is reached must be regulated in the Corruption Crimes Law, meaning that the Corruption Eradication Commission can confiscate state losses based on the Corruption Eradication Committee investigator as prosecutor.
TINDAK PIDANA MENGHALANG-HALANGI TUGAS PENGAWAS KETENAGAKERJAAN TERHADAP PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF KEADILAN Setiawan, Ferry; Sibuea, Hotma P.; Atmoko, Dwi
Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online) Vol. 4 No. 1: Jurnal Cahaya Mandalika
Publisher : Institut Penelitian Dan Pengambangan Mandalika Indonesia (IP2MI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36312/jcm.v4i1.2189

Abstract

Kebijakan dasar dalam hukum ketenagakerjaan adalah melindungi pihak yang lemah, dalam hal ini pekerja/buruh, dari kesewenang-wenangan majikan/pengusaha yang dapat timbul dalam hubungan kerja dengan tujuan memberikan perlindungan hukum dan mewujudkan keadilan sosial. Keberadaan pengawasan ketenagakerjaan merupakan bentuk perlindungan pihak lemah, dalam melakukan dalam penegakan khusus pidana selama ini belum optimal dalam perspektik keadilan. Sanksi pidana ringan sehingga masih saja bentuk pelanggaran- pelanggaran dari perusahaan. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah bersifat Yuridis Normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual dan kasus. Teknik pengumpulan data sekunder dan teknik analisa data dengan deskriptif analitis. Hasil penelitian optimalisasi tindak pidana di bidang ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan dibedakan dalam bentuk kejahatan dan pelanggaran. Subjek yang diancam pidana terdiri atas pengawas ketenagakerjaan dan pengusaha. Hal ini tidak dimungkinkan sanksi tersebut dijatuhkan saksi yang bersifat komulatif dengan redaksi “pidana penjara dan/atau denda”, tetapi bersifat alternatif dengan redaksi “pidana penjara atau denda”, juga tidak menganut sanksi minimal dan sanksi maksimal khusus. Nominal hukuman kurungan selama -lamanya 3 bulan atau denda yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) hanya sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah) yang tidak relevan untuk digunakan masa sekarang. Putusan tindak pidana ringan terhadap perusahaan dikhawatirkan tidak membuat efek jera bagi perusahaan, karena sistem pengenaan saksi pidana kurang memenuhi rasa keadilan yang bermartabat, karena memakai sistem alternatif (atau), yaitu saksi pidana ringan atau denda yang nominalnya sudah tidak relevan lagi untuk masa sekarang. Sehingga sanksi pidana ketenagakerjaan akan lebih bisa mewujudkan keadilan yang bermartabat apabila memakai sistem pidana penjara 1 tahun dan paling banyak 2 tahun dan nominal denda seperti nominal denda dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang besarnya paling sedikit Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
PRAKTEK PROFESI APOTEKER DALAM PERSPEKTIF ASAS NEGARA HUKUM Kurniawan, Arif; Sibuea, Hotma P.; Atmoko, Dwi
Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online) Vol. 4 No. 3 (2023): Jurnal Cahaya Mandalika
Publisher : Institut Penelitian Dan Pengambangan Mandalika Indonesia (IP2MI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36312/jcm.v4i3.2190

Abstract

Profesi Apoteker adalah salah satu profesi tenaga kesehatan yang diakui oleh undang-undang untuk melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana kompetensi dan kewenangannya. Kompetensi Apoteker diperoleh melalui pendidikan profesi serta mendapatkan sertifikasi kompetensi dari asosiasi. Kewenangan Apoteker didapatkan apabila mempunyai Surat Tanda Registrasi pada Departemen Kesehatan dan mendapatkan Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) atau Surat Izin Kerja (SIK) dari Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. Legalitas pekerjaan kefarmasian hanya diatur dalam pasal 108 Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun undang-undang ini masih bersifat umum dan sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman saat ini. Pada praktiknya Profesi Apoteker kurang mendapatkan perhatian serius dari otoritas sehingga profesi ini terkesan mendapatkan diskriminasi bahkan rentan untuk dikriminalisasi.Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui secara spesifik mengenai legalitas Praktik Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian sebagaimana diatur dalam Pasal 108 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta untuk mendapatkan legalitas bagi Profesi Apoteker dalam menjalankan seluruh aspek pekerjaan kefarmasian sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Metode penelitian adalah yuridis normatif Metode penelitian yuridis atau hukum normatif yakni penelitian yang meneliti bahan-bahan pustaka sebagai bahan yang sudah didokumentasikan. Pendekatan (pemahaman) dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), metode pendekatan konsep (conceptual approach), metode pendekatan kasus (case approach).Saat ini kelompok tenaga kesehatan yang telah mempunyai undang-undang tersendiri sebagai dasar hukum profesinya baru ada 3 (tiga) kelompok, yaitu : Tenaga Medis (dokter, dokter gigi, dokter hewan) dalam menjalankan praktiknya diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Profesi Perawat menjalankan pekerjaannya dengan landasan Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan dan Profesi Bidan dalam menjalankan keahliannya berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Kebidanan. Sementara untuk Profesi Apoteker belum mempunyai peraturan khusus setingkat undang-undang yang mengatur mengenai keahlian dan kewenangannya dengan lebih terang benderang dan terperinci.