Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

TARI PANJI MASUTASOMA: MERAWAT KEBHINEKAAN, MEMUPUK TOLERANSI Ida Ayu Wayan Arya Satyani; I Wayan Diana Putra; I Wayan Adi Gunarta
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 2 (2022): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasionar Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Praktik intoleransi di Indonesia, berdasarkan data BPIB (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) cenderung menguat. Tari Panji Masutasoma diciptakan sebagai respon terhadap realitas tersebut. Bagaimana proses kreatifnya? Bagaimana tarian ini mengaktualisasikan nilai toleransi? akan menjadi pokok bahasan. Tujuan diciptakannya karya ini untuk merealisasikan proses kreatif yang mencerminkan sikap ber-Bhinneka Tunggal Ika, serta mampu menggelorakan semangat toleransi. Proses penciptaannya merujuk pada metoda penciptaan angripta sasolahan: ngrencana (persiapan), nuasen (ritual awal), makalin (pemilihan, persiapan materi, dan improvisasi), nelesin (merapikan, menata secara utuh), dan ngebah (pementasan perdana). Proses kreatifnya menggabungkan unsur tari Panji Gambuh gaya Budakeling dengan Burdah dan Rudat Saren Jawa. Tujuh penarinya wajib mapaguruan (berguru) kepada pinisepuh Gambuh dan saudara muslim di Desa Saren Jawa, Desa Budakeling, Karangasem. Mereka juga dituntut memiliki kemampuan multitalenta (ngraweg): menari, bermusik, dan berolah vokal. Dengan menempatkan Kakawin Sutasoma sebagai sumber teks, karya ini diharapkan berkontribusi dalam upaya memupuk toleransi dan merawat kebhinekaan bangsa Indonesia.
Tari Jaran Endut, dari Cerita Rakyat ke Tari Kontemporer Putu Gita Rahayu Putriandini; I Gusti Ngurah Sudibya; Ida Ayu Wayan Arya Satyani
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 1 No 1 (2021): Terbitan Pertama Bulan Juni
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/journalofdance.v1i1.823

Abstract

Jaran Endut Dance is a contemporary dance originating from the folklore of West Nusa Tenggara. Raising the history of the formation of Dusun Endut from the privilege of a horse. The idea of working on this work is the spirit of Jaran Endut in his long journey of helping the people of Pejarakan. The theme used is toughness. Toughness is manifested in the agility, dexterity, sharpness, and speed of the horse in moving. The creator felt challenged to bring an animal character; horse, into the human body. Visualizing the character of a horse requires agile body movements, expression and character deepening, so that the characteristics of the Jaran Endut dance can be conveyed. In addition, "silence" in Jaran Endut's work requires strong energy and physical strength so that the message can be conveyed properly. Humans do have to work hard, but silence is also important in order to choose the next step. The stages of manufacture use the Alma, M. Hawkins creation method, namely the exploration, improvisation, and forming. The structure of the dance work consists of sections 1, 2, and 3, with the form of a large group consisting of eight dancers who have close to compact body postures, thus showing the impression of moving. Accompanied by dance music in the form of MIDI by combining traditional and digital music so that the uniqueness of Jaran Endut I dance music appears. After this process has been running for 1 year, finally this work can be realized with the title of Jaran Endut (Motionless Horse)Keywords: Jaran Endut, Horse Character, Toughness
Perpaduan Bali dan Jazz dalam Teknik Jazli, Tari Studi dalam Kontemporer Putu Parama Kesawa Ananda Putra; I Gusti Ngurah Sudibya; Ida Ayu Wayan Arya Satyani
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 2 No 1 (2022): Terbitan Pertama Bulan Juni tahun 2022
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/journalofdance.v2i1.1579

Abstract

The Blend of Bali and Jazz in Jazli Techniques, Dance Studies in Contemporary Jazli's dance work is a contemporary dance whose idea departs from the creator's personal experience. The experience of studying Jazz dance and the love of Balinese dance made the creators want to raise the acculturation of motion as the theme of the work. Through this dance work, the creator wants to convey the creator's pride in Balinese dance which is very flexible, so that it can be combined with Jazz dance originating from the West. This work aims to offer a new artistic creativity at the Indonesian Institute of the Arts Denpasar, especially in the Dance Study Program in completing the final project. The study dance type was chosen to combine Jazz dance techniques and Balinese dance techniques, so as to find new movement techniques. The creator uses Jacqueline Smith's method as the basis for building Jazli dance works. This method is divided into four stages, called the construction method I, II, III, and IV. In addition to the combination of movement techniques, in the process of his work there is also a combination of music and fashion to represent elements of Jazz and Bali. The form of presentation of Jazli dance works is a group of seven dancers, three male dancers and four female dancers. Jazli's movement technique is the result of the discovery in this dance work. Jazli's movement technique is the creator's reflection on the dance techniques he has studied. The creator hopes that Jazli's dance works can be used as inspiration for the younger generation, and Jazli's movement techniques can develop in Bali. Keywords: Contemporary, Experience, Jazli, Acculturation
Transformasi Lirik Astu Gending Tunjang Grindem Dalam Wujud Karya Tari Kontemporer I Dewa Putu Kresna Riawan; Dyah Kustiyanti; Ida Ayu Wayan Arya Satyani
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 3 No 1 (2023): Terbitan Kesatu Bulan Juni tahun 2023
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/journalofdance.v3i1.2375

Abstract

Karya Tari Sângga merupakan tari kontemporer yang bersumber dari Gending Tunjang Rangda yaitu Gending Tunjang Grindem. Mengangkat arti liriknya yang berjudul Astu, mengandung arti penghormatan kepada Durga sebagai sosok ibu. Ide karya ini adalah Durga sebagai ibunya alam semesta dengan sifat-sifat yang beliau miliki.                 Tema yang digunakan adalah pemuliaan kepada ibu. Digunakannya tema ini sesuai dengan fenomena yang ada saat ini mengenai ibu, banyak ibu yang dilawan oleh anaknya bahkan ditelantarkan oleh anaknya sendiri. Pencipta juga menggunakan ragam gerak Tari Legong Lasem gaya Peliatan, Tari Bapang Gede Joged Pingitan gaya Batuan, dan ciri khas lukisan dari I Gusti Nyoman Lempad yang pencipta gabungkan dan kembangkan untuk menjadi ciri khas visual sosok Durga sebagai ibu alam semesta.                 Karya Tari Sângga didukung oleh dua orang penari putra yang diiringi musik tari penggabungan dari musik Tari Legong dan Gending Tunjang. Pencipta menggunakan tiga tahapan penciptaan oleh Alma M. Hawkins yaitu tahap penjajagan, tahap percobaan, dan tahap pembentukan. Adapun struktur karya tarinya dibagi menjadi bagian satu, dua, dan tiga. Melalui tiga tahapan ini, karya tari ini dapat terwujud dengan judul karya Sângga.   Kata Kunci: Sângga, Durga, Legong, Kontemporer.
Karya Tari Ngarepat: Sumber ide dan konsep Rejang Kapat di Desa Timbrah, Kabupaten Karangasem. Dipasatyadewi, Ni Luh; Sariada, I Ketut; Satyani, Ida Ayu Wayan Arya
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 4 No 2 (2024): Jurnal IGEL Vol 4 No 2 2024
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jijod.v4i2.3209

Abstract

This Ngarepat Dance work comes from rejang kapat in Timbrah Village, Karangasem Regency. One of the aims of the Ngarepat Dance work was created to educate the wider community about the processions or ceremonial rituals carried out by prospective kelihan dahe before becoming kelihan dahe. The kelihan dahe rejang kapat is a symbol of the four dedari, Dewe Dedari Agung, Dewe Dedari Suci, Dewe Dedari Kendran, Dewe Dedari Tohok. So it gets the title Ngarepat. Taken from two words ngarep which means foremost, Utama: he is the father. And Pat which means the word number four which refers to the word kapat which means the fourth Balinese month. To produce maximum work, assistance from supervisors and partners is needed. The partner chosen is Sanggar Paripurna, Sanggar Paripurna can provide shelter and guidance in the process of creating this dance work. The method used in this creation process is Angripta Sesolahan by I Kt. Suteja, in the book there are six methods for creating a work, namely planning, nuasen, makalin, lesin, ngebah and presentation. From this process, a form and form of work is produced, Ngarepat consists of 6 (six) female dancers, the make-up used is minimalist, the dress code uses wastra or cloth with the dominant color white as a symbol of purification and MIDI (musical instrument digital interface) music. . This work also gives rise to several novelties, one of which is the novelty of the movements obtained by the creator, such as the kapat movement, agem ngarepat and ngeyeg. The creator hopes that this work can be useful for the general public.
Megumi Chaksu: Sebuah Transformasi Kecantikan Sinar Matahari Dalam Bentuk Karya Tari Devi, Putu Rismayuni; Sariada, I Ketut; Satyani, Ida Ayu Wayan Arya
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 4 No 1 (2024): Jurnal IGEL Vol 4 No 1 2024
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jijod.v4i1.3391

Abstract

Tari Megumi Chaksu adalah sebuah tari kreasi baru dengan menjadikan Amaterasu, Dewi Matahari dalam Mitologi Jepang sebagai sumber kreatif penciptaan. Penata mencoba mentransformasikan mengenai akulturasi budaya antara Jepang dan Bali dengan mengimplementasikan sudut pandang penata dalam hal gerak, musik, tata rias, dan tata busana. Penciptaan Tari Megumi Chaksu menggunakan metode penciptaan Panca Sthiti Ngawi Sani yang dibuat oleh Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, MA. yang meliputi: Ngawirasa, Ngawacak, Ngarencana, Ngawangun, dan Ngebah. Tari ini dibawakan secara kelompok dengan karakter putri halus menggunakan 7 orang penari perempuan dengan struktur tari, bagian 1 menggambarkan kecantikan Amaterasu, bagian 2 menggambarkan sinar matahari yang dipancarkan oleh Amaterasu, dan bagian 3 menggambarkan pemujaan terhadap Amaterasu. Durasi karya ini adalah 11 menit dengan menggunakan pendekatan persandingan laras utama pada gamelan Semarandana yang dikolaborasikan dengan beberapa instrumen Jepang dan efek dari sample bunyi dengan media aplikasi Musical Instrumen Digital Interface (MIDI). Menggunakan tata rias dan tata  busana dari perpaduan antara Jepang dan Bali. Properti payung dan kipas panjang  led juga sangat berperan penting untuk mendukung kesuksesan dan menunjang estetika dari karya Tari Megumi Chaksu.
GELUNGAN PANJI DALAM KULTUR BALI, SEBUAH KAJIAN HERMENEUTIK ANTROPOLOGIS Satyani, Ida Ayu Wayan Arya; Trisnawati, Ida Ayu; Sudarta, I Gusti Putu; Sudirana, I Wayan
Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara Vol. 4 (2024): Prosiding Bali Dwipantara Waskita: Seminar Nasional Republik Seni Nusantara
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP ISI Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gelungan Panji adalah hiasan kepala tokoh Panji dalam seni pertunjukan dramatari Gambuh. Dibandingkan dengan bagian busana lainnya, gelungan Panji mendapat perlakuan istimewa dari masyarakat pemiliknya. Dihormati sebagai sungsungan, bergelar Ratu Panji atau Batara Panji Landung Shakti, ada juga cerita gelungan Panji niskala. Meski demikian, kajian mendalam mengenai gelungan Panji belum ditemukan. Tujuan penelitian ini, untuk menginterpretasi makna gelungan Panji melalui bahasan: Apa itu gelungan Panji? Mengapa mendapat perlakuan istimewa? Bagaimana bentuk, struktur, dan makna gelungan Panji? Penelitian ini menggunakan metoda interpretasi dalam teori hermeneutika antropologis menurut Clifford Geertz. Terdapat empat langkah operasional dalam metoda ini, yaitu: 1) menentukan objek (teks) dan komunitas etnis (penulis teksnya), 2) melakukan studi etnografi, 3) menuliskan, merefleksikan, memahami struktur makna, 4) pelukisan mendalam, menemukan struktur makna yang khas. Hasil penelitian bahwa keyakinan masyarakat Bali terhadap prinsip hulu teben; satyam-siwam-sundharam; dan taksu mengejawantah dalam perilaku memuliakan gelungan Panji. Desain gelungan Panji tersusun oleh sepuluh elemen utama yang mencerminkan keutamaan Panji. Panji merupakan karakter idaman masyarakat Nusantara dengan keutamaan fisik, mental, maupun spiritual sebagai seorang bangsawan. Bangsawan di era kini hendaknya dimaknai sebagai setiap individu yang mampu memenuhi tantangan zaman, berguna bagi setiap mahluk, memiliki kecerdasan spiritual serta kerendahhatian sebagaimana citra Panji.
Karya Tari Ngarepat: Sumber ide dan konsep Rejang Kapat di Desa Timbrah, Kabupaten Karangasem. Dipasatyadewi, Ni Luh; Sariada, I Ketut; Satyani, Ida Ayu Wayan Arya
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 4 No 2 (2024): Jurnal IGEL Vol 4 No 2 2024
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jijod.v4i2.3209

Abstract

This Ngarepat Dance work comes from rejang kapat in Timbrah Village, Karangasem Regency. One of the aims of the Ngarepat Dance work was created to educate the wider community about the processions or ceremonial rituals carried out by prospective kelihan dahe before becoming kelihan dahe. The kelihan dahe rejang kapat is a symbol of the four dedari, Dewe Dedari Agung, Dewe Dedari Suci, Dewe Dedari Kendran, Dewe Dedari Tohok. So it gets the title Ngarepat. Taken from two words ngarep which means foremost, Utama: he is the father. And Pat which means the word number four which refers to the word kapat which means the fourth Balinese month. To produce maximum work, assistance from supervisors and partners is needed. The partner chosen is Sanggar Paripurna, Sanggar Paripurna can provide shelter and guidance in the process of creating this dance work. The method used in this creation process is Angripta Sesolahan by I Kt. Suteja, in the book there are six methods for creating a work, namely planning, nuasen, makalin, lesin, ngebah and presentation. From this process, a form and form of work is produced, Ngarepat consists of 6 (six) female dancers, the make-up used is minimalist, the dress code uses wastra or cloth with the dominant color white as a symbol of purification and MIDI (musical instrument digital interface) music. . This work also gives rise to several novelties, one of which is the novelty of the movements obtained by the creator, such as the kapat movement, agem ngarepat and ngeyeg. The creator hopes that this work can be useful for the general public.
Karya Tari Bangkemaong Ade Pande Chana; I Wayan Sutirtha; Ida Ayu Wayan Arya Satyani
Jurnal IGEL : Journal Of Dance Vol 5 No 1 (2025): Jurnal IGEL Vol 5 No 1 2025
Publisher : UPT Pusat Penerbitan LP2MPP Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59997/jijod.v5i1.5651

Abstract

Abstract This study aims to explore and document the creation process of the dance piece Bangkemaong, inspired by the memande tradition and cultural heritage of the Pande community in Bali. Integrating elements such as movement concepts, choreography, costume design, musical accompaniment, and lighting design, this dance work seeks to create a cohesive and meaningful performance. The creation process draws upon the Angripta Sasolahan method proposed by I Kt. Suteja in his book Catur Asrama Pendakian Ritual Masyarakat Bali dalam Sebuah Karya Tari, involving stages of ngarencana (planning), nuasen (spiritual preparation), makalin, nelesin (choreographic development), and ngebah (evaluation and presentation). The ngarencana stage involves ideation and concept planning based on interviews with knowledgeable sources on the Pande tradition. Nuasen serves as spiritual preparation before entering makalin, where spontaneous movements are developed into strong and authoritative choreographic motifs. Musical accompaniment utilizes MIDI technology for rehearsal efficiency and adaptation to artistic needs, with composer Pande Ega contributing his heritage insights. Nelesin includes the adjustment of movements to music and refinement of choreographic motifs for consistency and dancer comfort. Ngebah marks the first performance for evaluation and final adjustments before the official presentation. The structure of Bangkemaong consists of four parts depicting panic, memande activities, fire symbolism, and weapon storage. Descriptions of makeup, costumes, and props reflect the character and identity of the Pande community, emphasizing the color red as a symbol of fire and strength. This research contributes to the development of Balinese dance art and provides deeper insights into the memande tradition and cultural heritage of the Pande community. Keyword: Bangkemaong, Pande, Catur Asrama
KARYA TARI “ANAK YANG TERTUNDA” Karyana, I Made Dendi Dwi; Suteja, I Kt.; Satyani, Ida Ayu Wayan Arya
Pendas : Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar Vol. 10 No. 03 (2025): Volume 10 No. 03 September 2025 In Proccess
Publisher : Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Pasundan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23969/jp.v10i03.30697

Abstract

Karya Tari Anak yang Tertunda merupakan refleksi atas kasus sosial dan medis mengenai kemandulan pria akibat penyakit varikokel. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran pria terhadap kesehatan reproduksi, dan anggapan tabu masyarakat menjadi urgensi penciptaan karya ini. Melalui pendekatan artistik dan refleksi personal studi kasus diatas pencipta transformasikan ke dalam karya seni tari kontemporer dengan rumusan masalah penciptaan: 1) Bagaimana proses kreatif penciptaannya, 2) Bagaimana wujud penciptaannya, 3) Apa pesan yang ingin disampaikan. Karya ini bertujuan mengedukasi dan mengkritisi rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kualitas sperma sebagai bagian dari tanggung jawab reproduksi. Proses penciptaan menggunakan metode angripta-sesolahan, yang melibatkan tahapan ngarencana, nuasen, makalin, nelesin, ngebah, dan presentasi. Dalam merealisasikan karya, digunakan tiga teori utama: teori Imaji dan Imajinasi oleh H. Tedjoworo sebagai dasar eksplorasi visual dan simbolik; teori Kreativitas dari Sternberg dan Lubart dalam Nur Iswantara sebagai panduan dalam membangun gagasan orisinal; serta teori Hermeneutika oleh Richard E. Palmer untuk menyampaikan pesan melalui interpretasi gerak. Gerak dalam karya ini merupakan elaborasi antara gerak keseharian, gerak tari Bali (ngelo dan ngotag), serta gerak hewan invertebrata seperti cacing, yang melambangkan karakteristik sperma. Karya ditampilkan pada panggung proscenium, melibatkan sembilan orang penari. Komposisi gerak disusun dalam bentuk duet, kelompok kecil, dan ensamble untuk menggambarkan dinamika tema. Sebagai penguat suasana, digunakan iringan musik elektronik Musical Intrument Digital Interface (MIDI) yang fleksibel dalam membangun nuansa emosional dan dramatik. Karya ini tidak hanya menghadirkan estetika visual, tetapi juga sebagai media penyadaran dan edukasi tentang kesehatan reproduksi pria kepada masyarakat luas, terutama generasi muda, melalui pendekatan seni pertunjukan kontemporer yang bermuatan lokal dan universal.