cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Bina Mulia Hukum
ISSN : 25287273     EISSN : 25409034     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Mulia Hukum (JBMH) adalah jurnal ilmu hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan Maret dan September. Artikel yang dimuat pada Jurnal Bina Mulia Hukum adalah artikel Ilmiah yang berisi tulisan dari hasil penelitian dan kajian analitis kritis di bidang hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 253 Documents
THE LEGAL CAPACITY IN CONTRACT FOR MEDICAL TREATMENT (THE COMPARATIVE STUDY BETWEEN INDONESIAN LAW, DUTCH LAW, AND ENGLISH LAW) Sri Ratna Suminar; Yoni Fuadah Syukriani; U Sudjana; Efa Laela Fakhriah
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 1 September 2020
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i1.7

Abstract

This article aims to determine the criterion of legal capacity of a patient in a contract for medical treatment and the legal consequences of a contract for medical treatment made by a minor. This article uses a normative juridical research method with a law approach and the data sources used are obtained from literature studies and document studies, and study results showed that there is a similar criterion for determining whether a patient is competent or not in giving consent for medical treatment between Indonesian law and Dutch law that is based on a legally fixed age. However, based on Dutch law, the age of legal capacity to consent for medical treatment differs from the age of legal majority. Meanwhile, English law uses mixed approaches to determine a minor capacity in giving consent for medical treatment that is based on the age and competence of a minor. Furthermore, according to Indonesian Law, a contract for medical treatment made by minors is voidable, whereas according to Dutch Law and also English Law any contract for medical treatment made by minors is legally binding.
DIMENSI ETIS SEBAGAI PENGUATAN SYARAT MENJADI PIMPINAN KPK Nasrullah Nasrullah
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.8

Abstract

ABSTRAK Para pimpinan KPK yang memiliki integritas, kemampuan, dan rekam jejak yang mumpuni akan mempengaruhi eksistensi dari lembaga KPK itu sendiri, namun dari sejarahnya, beberapa pimpinan akhirnya harus diberhentikan dengan tidak terhormat, karena menghadapi proses hukum. Oleh karena itu, sebelum diangkat menjadi pemimpin, seorang calon harus mengedepankan kesadaran etis saat mendaftar sebagai pemimpin. Penelitian ini bertujuan mengurai lebih lanjut tentang dimensi etis sebagai penguatan syarat menjadi Pimpinan KPK. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yang berfokus pada pengkajian norma-norma peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek permasalahan. Teknis analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis Hermeneutik dan Interpretasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa KPK dalam menjalankan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dicapai dengan penguatan dimensi etis. Adapun dimensi etis yang dimaksudkan terdiri dari perspektif yuridis, religius, dan indigenous peoples yang mesti hidup pada kepribadian setiap pimpinan KPK. Dilain sisi, diperlukan peranan Pansel untuk mengeksplorasi Pasal 29 huruf f dan huruf g UU No. 19 Tahun 2019, mengingat dua butir tersebut berkaitan erat terhadap prilaku etis calon pemimpin KPK di masa lalu. Dengan dasar kesimpulan tersebut, disarankan kepada aktor-aktor yang memiliki semangat dan niatan mulia dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, perlu memiliki kesadaran etis sebelum mendaftarkan dirinya sebagai calon pimpinan KPK. Kata kunci: dimensi etis; indigenous peoples; komisi pemberantasan korupsi; religius. ABSTRACT KPK commissioners who have integrity, capability, and track records will influence the existence of the KPK itself. However, from its history, several commissioners had to be dishonorably dismissed because they were faced with legal processes. Therefore, before being appointed as a leader, a candidate must prioritize ethical awareness when registering as a leader. This study aims to further parse the ethical dimension as a reinforcement of the requirements to become a KPK Commissioner. This research uses a normative approach that focuses on studying the legal and regulatory norms associated with the object of the problem. The technical analysis used in this study is the Hermeneutic and Interpretation analysis methods. The results showed that KPK commissioners in carrying out the task of preventing and eradicating corruption can be achieved by strengthening the ethical dimension. The ethical dimension in question consists of juridical, religious, and indigenous peoples perspectives that must be embodied in the personality of each KPK commissioner. On the other hand, the selection committee needs to examine more specifically related to Article 29 letter f and letter g of Law no. 19 of 2019, considering that two points are closely related to the ethical behavior of candidates for KPK leadership in the past. It is recommended that actors who have high enthusiasm and intentions in eradicating corruption need to have ethical awareness before registering to become a candidate for KPK commissioner. Keywords: ethical dimensions; corruption eradication commission; indigenous peoples; religious.
LANDASAN DOKTRINER HAK GUGAT PEMERINTAH TERHADAP KERUGIAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Dona Pratama Jonaidi; Andri G Wibisana
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 1 September 2020
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i1.9

Abstract

ABSTRAKMeskipun hak gugat pemerintah atas kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup telah menjadi hal yang lazim dewasa ini, namun di Indonesia landasan doktriner gugatan pemerintah tersebut masih jarang diperbincangkan. Dengan menggunakan metode penelitian hukum doktrinal, penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis landasan teoretis hak gugat pemerintah. Berdasarkan kajian analisis atas peraturan dan putusan pengadilan yang berlaku, serta melakukan perbandingan dengan doktrin-doktrin yang berlaku dalam tradisi common law, tulisan ini menemukan bahwa gugatan pemerintah telah diajukan dalam beberapa dasar teoretis yang berbeda, antara lain: i) pemerintah sebagai wali lingkungan hidup; ii) kerugian negara; dan iii) konsekuensi tanggung jawab negara terkait lingkungan hidup. Selain itu, hak gugat pemerintah di Indonesia memiliki karakteristik yang serupa dengan yang ditemukan dalam doktrin public trust dan doktrin parens patriae. Kemiripan ini membawa pada konsekuensi hukum bahwa gugatan pemerintah atas pencemaran harus ditujukan semata-mata untuk memulihkan lingkungan hidup yang mengalami kerusakan/pencemaran.Kata kunci: doktrin; hak gugat pemerintah; kerugian lingkungan hidup. ABSTRACTDespite the government’s right to sue for environmental damage is a common practice in various countries nowadays, in Indonesia the theoretical basis of it is rare to be discussed. Using a doctrinal-research, this article analyzes the government’s right to sue with prevailing laws and court rulings and compares it to several common law doctrines. This article finds the government’s right to sue in Indonesia is based to three different theories, including: i) the government as a trustee of public natural resources; ii) state’s damage; and iii) the tail of state’s responsibility. In addition, the government’s right to sue also shares similar characteristics found in the public trust doctrine and parens patriae doctrine. The similarities bring about the legal basis that the government’s suit against pollution should primarily aim at restoration.Keywords: doctrine; environmental damage; government’s right to sue.
PENERAPAN KEBIJAKAN SUBSIDI PERIKANAN INDONESIA BERDASARKAN PENGATURAN SUBSIDI PERIKANAN WTO Wulan Suci Putri Yanti Ismail
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.10

Abstract

ABSTRAK Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan subsidi perikanan untuk mendorong berkembangannya Industri perikanan karena sektor ini bersumbangsih terhadap pembangunan nasional. Hingga kini, Indonesia merupakan anggota WTO dan dalam persetujuan WTO melarang pemberian subsidi, selain itu subsidi perikanan dapat menyebabkan menipisnya stok ikan hingga kerusakan biota laut. Hal ini tidak sejalan dengan program PBB yaitu Sustainable Development terkait perikanan berkelanjutan, maka implementasi kebijakan subsidi perikanan dapat menimbulkan permasalahan. Untuk menjawab permasalahan tersebut dalam penulisan ini akan difokuskan pada bagaimana pengaturan subsidi perikanan wto kemudian melihat apakah relevansi subsidi perikanan dan sustainable development nantinya dapat menjawab permasalahan terkait apakah penerapan Kebijakan Subsidi Perikanan di Indonesia dapat dibenarkan dalam sistem WTO. Metode Penelitian yang digunakan hukum normatif (Normative law research) dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan yang dianalisis secara kualitatif. Hasil menunjukkan bahwa Implementasi subsidi perikanan di Indonesia tidak melanggar ketentuan perdagangan Internasional karena Indonesia yang hingga saat ini masih mendeklarasikan sebagai negara berkembang berakibat tetap berlakunya ketentuan mengenai S&DT. Adanya pejaminan bahwa implementasi kebijakan tersebut telah sesuai dengan manajemen efektif dalam penyalurannya, meskipun masih ada beberapa kendala namun tentu saja Indonesia akan terus berbenah. Kebijakan agar pemberian subsidi perikanan tidak bertentangan dengan perikanan berkelanjutan dan tujuan Indonesia sebagai poros maritime dunia dapat dicapai. Subsidi perikanan bukanlah penyebab utama menipisnya stok ikan dunia, menispisnya suatu sumber daya alam kelautan bisa saja dikarenakan adanya perubahan iklim sehingga dapat meningkatkan suhu air dan menurunkan konsentrasi oksigen terlarut dan pH air yang mengakibatkan kematian pada ikan. Kata kunci: perdagangan internasional; subsidi perikanan; sustainable development. ABSTRACT The Indonesian government issued a fisheries subsidy policy to encourage the fishery industry development because this sector contributes to national development. Indonesia is still a member of the WTO and in the WTO agreement prohibits subsidies, besides fishery subsidies can cause the depletion of fish stocks and damage marine life. Rather, this is not in line with the UN Sustainable Development program especially sustainable fisheries, so the implementation of the fisheries subsidy policy can cause problems. This research is aimed at answering this problem, in this paper will focus on several descriptions, namely How the WTO system arranges Fisheries Subsidies and then find out whether the Relevance of Fisheries Subsidies and Sustainable Development, then can answer the problem related to whether the implementation of the Fisheries Subsidy Policy in Indonesia can be justified in the WTO system. This research uses normative law (Normative law research method) subsequently the data will collect by literature study techniques and will be analyzed qualitatively. The result of the reseach shows that the implementation of fisheries subsidies in Indonesia does not violate the provisions of international trade since, the given status of Indonesia as a ‘developing country’ effects in the validity of the provisions of S&DT. The existence of a guarantee that the implementation of the policy is in accordance with effective management in its distribution shows that despite of some obstacles needs to be overcomed, Indonesia will strive to continue to improve. Policies on fisheries subsidies is in line with sustainable fisheries and Indonesia's goals as the world's maritime fulcrum. Fishery subsidies are not the main cause of depletion of world fish stocks, considering the factor climate change which causes increase on water temperature and decrease of dissolved oxygen concentration plus the acidity (pH) of the water. All of which results in fish transience. Keywords: international trade; fisheries subsidies; sustainable development.
KEPASTIAN HUKUM DAN PERLINDUNGAN HUKUM DALAM SISTEM PUBLIKASI PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA Desi Apriani; Arifin Bur
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.11

Abstract

ABSTRAK Indonesia menganut sistem publikasi negatif dalam kegiatan pendaftaran tanah, dimana negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat. Hal ini sekilas menggambarkan kondisi tidak dijaminnya kepastian hukum dalam kegiatan pendaftaran tanah, sehingga banyak pihak yang menginginkan agar pemerintah mengganti kebijakan pendaftaran tanah kearah Stelsel Positif. Penulis tertarik mengkaji lebih lanjut dengan tujuan agar didapatkan pemahaman secara filosofis tentang sistem publikasi pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada dasarnya sistem publikasi negatif yang dianut Indonesia bukanlah sistem publikasi yang tidak menjamin kepastian hukum. Hal ini karena sistem publikasi negatif tersebut tidak berlaku untuk selamanya, tetapi hanya berlaku selama 5 tahun. Sistem publikasi negatif di Indonesia tetap menganut unsur positif, dimana pemerintah akan menjamin kebenaran data yang disajikan setelah 5 tahun tanah didaftarakan. Pembatasan tersebut justru bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik tanah sejati, sehingga dimungkinkan adanya gugatan oleh pihak yang merasa berhak dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkanya sertipikat secara sah. Secara filosofis, system ini sangat sesuai dengan nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dimana tanah harus diperoleh dengan itikad baik, diduduki secara nyata dan memeliharanya. Lebih lanjut ketentuan tersebut disempurnakan oleh hukum pertanahan nasional yaitu dengan mendaftarakan hak, untuk memperoleh kepastian dan perlindungan hukum. Sebaiknya pihak yang merasa berhak atas tanah, benar-benar menguasai tanahnya secara nyata, menjaga dan melakukan pendaftaran hak, sehingga perlindungan dan kepastian hukum diperoleh meskipun dengan stelsel negatif. Kata kunci: kepastian hukum; pendaftaran tanah; perlindungan hukum; sistem publikasi. ABSTRACT Indonesia adheres to a negative publication system in land registration activities, where the state does not guarantee the accuracy of the data presented in the certificate. This at first glance illustrates the condition where legal certainty is not guaranteed in land registration activities, so that many parties want the government to change the land registration policy towards a positive system. The author is interested in further research with the aim of obtaining a philosophical understanding of the land registration publication system prevailing in Indonesia. This research is a normative legal research using secondary data. The results of the analysis show that basically the negative publication system adopted by Indonesia is not a publication system that does not guarantee legal certainty. This is because the negative publication system is not valid forever, but is only valid for 5 years. The negative publication system in Indonesia still adheres to a positive element, where the government will guarantee the correctness of the data presented after 5 years of registration of the land. This restriction aims to provide legal protection for the true land owner, so that it is possible for a claim by parties who feel they are entitled to within 5 years of the legally issued certificate. In this way, legal certainty as the objective of land registration is achieved. Philosophically, this system is in accordance with the legal values that live in society, where land must be obtained in good faith, occupy it in real terms and maintain it. This provision is further enhanced by the national land law, namely by registering rights to obtain legal certainty and protection. It is better if those who feel entitled to land really control their land in real terms and register the rights, so that protection and legal certainty are obtained even with a negative system. Keywords: land registration; legal certainty; legal protection; publication system.
TELAAH ATAS MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERTANAHAN Ida Nurlinda
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 1 No. 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 1 September 2016
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakRancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan perlu dibentuk karena pemanfaatannya belum dapat memakmurkan rakyat Indonesia sesuai amanat UUD 1945. Untuk itu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai peraturan dasar pertanahan perlu dilengkapi dengan peraturan lain, pada tataran bentuk dan level yang kurang lebih sama. Dengan demikian, RUU Pertanahan dak dimaksudkan untuk menggankan UUPA, namun bersifat lex specialis dari UUPA yang bersifat lex generalis. Untuk itu perlu dikaji materi muatan yang perlu diatur dalam RUU tersebut agar selaras dengan UUPA. Pendekatan yuridis normaf digunakan untuk menyusun kajian ini. Analisis atas peraturan dan bahan pustaka dilakukan secara juridis kualitaf dengan menggunakan metode penafsiran hukum sistemas. Materi muatan RUU Pertanahan harus menekankan pada pengaturan pemilikan, dan penggunaan tanah yang lebih mengutamakan keadilan agraria, yang dapat memperkecil mbulnya konflik/sengketa agraria. Keadilan agraria adalah kondisi dimana dak ada penumpukan pemilikan dan penggunaan tanah pada seseorang atau korporasi. Oleh karenanya materi muatannya harus mengacu dan selaras dengan UUPA, Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 dan Putusan-putusan Mahkamah Konstusi tentang penafsiran hak menguasai negara, sebagai hasil dari upaya pembaruan agraria. Hal ini penng, karena untuk keharmonisan sistem hukum, RUU Pertanahan harus menjadi subsistem yang integral dari sistem hukum agraria nasional.Kata kunci: sistem hukum agraria, reforma agraria, keadilan agraria. AbstractThe dra arcles on land law needs to be established for its use has not been able to prosper the people of Indonesia as mandated by the 1945 Constuon. For the Basic Agrarian Law (BAL) as a basic rule the land needs to be equipped with a regulaon, at the level of the shape and approximately the same level. Thus, the dra arcles on land law is not intended to replace the BAL. It is a special rule (lex specialis), while the BAL is a general rule (lex generalis). For it is necessary to study the substance that needs to be regulated in the dra arcles on land law in order to align with the Law. The normave juridical approach used to develop this study. Analysis of the regulaons and library materials is done by qualitavely juridical approach, using systemac legal interpretaon. The substance of dra arcles on land law should emphasize on the seng of ownership, and use of land priorize agrarian jusce, which can reduce conflict/dispute agrarian. Agrarian jusce is a condion where there is no buildup of ownership and use of land in a person or corporaon. Therefore, the charge materials should refer to and aligned with the Basic Agrarian Law, the Legislave Act No. IX/MPR/2001 and Decisions of the Constuonal Court regarding the interpretaon of the right of control of the state, as a result of agrarian reform efforts. This is importantbecause, for the harmony of the legal system, the dra arcles of land law should become an integral subsystem of the naonal system of agrarian law.Keywords: agrarian law system, agrarian reform, agrarian Jusce.
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM TINDAK PIDANA PERZINAAN PADA MASYARAKAT KUTAI ADAT LAWAS Rosdiana Rosdiana; Ulum Janah
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 1 September 2020
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i1.14

Abstract

ABSTRAKKesadaran akan penyelesaian melalui peradilan formal umumnya masih dirasakan kurang memberikan keadilan bagi korban, seringkali masih menyimpan ketidakpuasan korban atas sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku oleh pengadilan. Oleh karenanya, penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian delik adat secara musyawarah mufakat dalam bentuk perdamaian adat masih menjadi primadona dalam menyelesaikan delik adat. Penyelesaian antara pelaku dan korban secara kekeluargaan ataupun melalui peradilan adat merupakan penyelesaian dengan mencari keadilan hakiki. Penelitian ini dilakukan dengan metode sosiologis. yaitu penelitian studi empiris, penelitian yang berorientasi pada aspek hukum dan aspek non hukum yakni mengkaji dan menganalisis bekerjanya hukum dalam masyarakat dengan penerapan restorative justice dalam tindak pidana perzinaan pada Masyarakat Kutai Adat Lawas. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelesaian tindak pidana perzinahan pada Masyarakat Kutai Adat Lawas menerapkan konsep restorative justice, yang model penyelesaiannya ditentukan oleh ketua adat, atau melalui peradilan adat. Keadilan restoratif ini diterapkan dalam penyelesaian tindak pidana perzinahan sebagai upaya untuk memulihkan penderitaan yang dialami korban dan untuk memperbaiki keseimbangan masyarakat. Sanksi bagi pelaku zina bukan sanksi fisik tetapi sanksi berupa pengganti kerugian atau denda yang dikenakan atas perbuatan yang dilakukan. Jika kejadian perselingkuhan terjadi selama 3 (tiga) kali dan yang melakukan orang yang sama maka menggunakan hukum positif yaitu hukum pidana.Kata kunci: adat; perzinahan; restorative justice. ABSTRACTThe awareness of settlement with formal justice mostly does not offer satisfactory towards the victim, often times the victim still holds grudge and does not satisfied with the punishment given to the perperator. Therefore, the settlement of offense consetuede with restorative justice is the pre-eminent choice to solve the problem. The settlement between the perperator and the victim with kinship or customary court is really essential. This research is using sociology methods, that is an empirical study oriented towards legal & non legal aspects which is examine & analyze the work of law within the society with the application of restorative justice in criminal act of adultery in the Society of Kutai Adat Lawas. The result of the the research is to show that settlement of criminact act of adultery in Society of Kutai Adat Lawas apply the restorative justice, that the solving model is determined by the chief of the society, or customary justice. This restorative justice applied to solve the criminal act of adultery in attempt to console the victim and the harmony of the society. The penalty for the adultery perparator is not a physical punishment but with a fine worth of the criminal that has been done. If the same person did an affair 3 times, then the y use the positive punishment which is the criminal law.Keywords: adultery; customary; restorative justice.
PERLINDUNGAN KORBAN MELALUI KOMPENSASI DALAM PERADILAN PIDANA ANAK: - Hafrida Hafrida; Helmi Helmi
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 1 September 2020
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i1.16

Abstract

ABSTRAKArtikel ini bertujuan untuk menganalisis konsep perlindungan korban melalui kompensasi dalam peradilan pidana anak sebagai wujud tanggungjawab negara. Peradilan Pidana Anak di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 mengedepankan penyelesaian perkara anak melalui keadilan restoratif yang memberikan perlindungan yang seimbang antara perlindungan pelaku anak melalui diversi dan perlindungan korban tindak pidana anak. Diversi yang memberikan perlindungan yang seimbang antara pelaku dan korban ini merupakan pembaharuan dalam hukum pidana anak yang berkeadilan untuk semua pihak (Victim-offender oriented). Keterlibatan korban/keluarganya dan pelaku/keluarganya sangat menentukan berhasil atau tidaknya diversi dalam penyelesaian perkara anak. Posisi pelaku/keluarganya dan korban/keluarganya adalah sejajar. Kepentingan kedua belah pihak harus sama dan seimbang. Perlindungan korban melalui kompensasi merupakan wujud tanggungjawab negara terhadap warga negara yang menjadi korban tindak pidana. Kondisi empirik menurut data Badilum MA menunjukan rendahnya keberhasilan diversi (4%), kegagalan diversi ini penyebab utamanya adalah tidak tercapainya kesepakatan ganti kerugian karena kesepakatan diversi hanya diserahkan sepenuhnya pada kesepakatan pelaku dan korban. Disinilah menunjukan bahwa negara abai terhadap perlindungan korban, seharusnya ketika negara melindungi kepentingan pelaku anak melalui diversi maka seharusnya negara juga menjamin perlindungan korbannya melalui kompensasi, sehingga ke depan diharapkan tingkat keberhasilan diversi akan semakin baik. Kata kunci: kompensasi; korban tindak pidana; peradilan pidana anak; perlindungan korban. ABSTRACT This article aimed to analyze the concept of victim protection through compensation in juvenile criminal justice as a form of state responsibility. Juvenile Criminal Court in Indonesia through Law Number 11 of 2012 prioritizes the settlement of juvenile cases through restorative justice providing balanced protection between juvenile offenders through diversion and protection for victims of juvenile crimes through reform of juvenile criminal law that is just for all parties (victim-offender oriented). The involvement of the victim and his family and the perpetrator and his family will greatly determine the success or failure of diversion in solving juvenile cases. The position of the perpetrator and his family and the victim and his family are equal. The interests of both parties should be equal and balanced. Protection of victims through compensation is a form of state responsibility towards citizens who are victims of criminal acts. The empirical condition according to Badilum's data showed the low success of diversion (4%). The failure of this diversion is the main cause of the failure to reach an agreement for compensation because the diversion agreement is only left to the agreement of the perpetrator and victim. This showed that the state was ignorant of victim protection. When the state protects the interests of juvenile through diversion, the state should also guarantee the protection of the victims through compensation. Hence, the success rate of diversion will hopefully be better in the future. Keywords: compensation; juvenile criminal court; victims of crime; victim protection.
PENERAPAN PRINSIP UTI POSSIDETIS JURIS DALAM PENETAPAN BATAS DARAT INDONESIA DAN TIMOR LESTE Yanto Melkianus Paulus Ekon
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i2.18

Abstract

Abstrak Indonesia dan Timor Leste menetapkan batas darat dalam Provisional Agreement on the Land Boundary, 2005 berdasarkan prinsip uti possidetis juris, yang dimaknai batas negara baru harus mengikuti batas wilayah dari negara yang pernah mendudukinya dan tidak dapat dikesampingkan oleh prinsip hak menentukan nasib sendiri. Namun, batas darat yang ditetapkan dalam Persetujuan Sementara itu, tidak dapat memuat batas darat secara definitif sebab masih terdapat 4 (empat) segmen batas yang tidak dapat disepakati, yakni segmen Noelbesi-Citrana, Manusasi-Subina dan Mota Malibaka. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis alasan-alasan kegagalan Indonesia dan Timor Leste menyelesaikan batas darat dan menjelaskan prinsip hukum yang tepat diterapkan dalam penetapan batas di 4 (empat) segment tersebut. Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel ini adalah penelitian normatif. Hasil penelitian dapat dibuktikan bahwa Indonesia-Timor Leste gagal menetapkan batas darat di 4 (empat) segmen batas itu karena kelemahan dari prinsip uti possidetis juris yang mewajibkan negara baru untuk mengikuti batas yang ditetapkan oleh negara kolonial terdahulu. Oleh karena itu, prinsip hukum yang tepat untuk diterapkan adalah prinsip uti possidetis juris yang dimaknai kembali mencakup batas kerajaan terdahulu yang diakui dan terpelihara oleh masyarakat adat secara turun temurun. Kata Kunci: perbatasan negara bagian; perjanjian batas negara bagian; uti possidetis juris Abstract Indonesia and Timor Leste set land boundaries in the Provisional Agreement on the Land Boundary 2005 based on the principle of uti possidetis juris, which means that new state boundaries must follow the territorial borders of the country that was once occupy it and cannot be overridden by the principle of self-determination.However, the land boundaries defined in the Provisional Agreement cannot contain land boundaries definitively because there are still 4 (four) boundary segments that cannot be agreed upon, namely the Noelbesi-Citrana, Manusasi-Subina and Mota Malibaka segments.This study aims to analyze the reasons for the failure of Indonesia and Timor Leste to resolve land boundaries and explain the appropriate principles applied in the determination of boundaries in the 4 (four) segments. This type of research used in writing this article is normative research.The results of this study can be proven that Indonesia-Timor Leste failed to establish land boundaries in the 4 (four) boundary segments because of the weakness of the uti possidetis juris principle which obliged the new country to follow the boundaries set by the previous colonial state.Therefore, the right legal principle to apply is the principle of uti possidetis juris which is re-interpreted to include the boundaries of the previous kingdom which were recognized and maintained by indigenous peoples from generation to generation. Keywords: states borders; states boundary agreements; uti possidetis juris
PEMBARUAN REGULASI SEKTOR JASA KEUANGAN DALAM PEMBENTUKAN BANK WAKAF DI INDONESIA Nun Harrieti; Lastuti Abubakar
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 1 September 2020
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23920/jbmh.v5i1.31

Abstract

ABSTRAKBank wakaf dapat didefinisikan sebagai Lembaga Keuangan Syariah yang menjalankan aktivitas wakaf uang termasuk dalam proses penghimpunan, pendayagunaan, dan pendistribusiannya dalam rangka memanfaatkan harta benda wakaf berupa uang sesuai dengan fungsinya untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Bank wakaf dapat menjadi salah satu solusi dalam mengoptimalkan pengelolaan wakaf uang agar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat termasuk di Indonesia. Saat ini, pengelolaan wakaf uang melibatkan perbankan syariah sebagai lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang. Menarik untuk dikaji bagaimanakah pembaruan regulasi sektor jasa keuangan dalam pembentukan bank wakaf di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Pembaruan regulasi sektor jasa keuangan dalam pembentukan bank wakaf di Indonesia adalah dengan melakukan perubahan perundang-undangan terkait wakaf uang yang khususnya meliputi Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Wakaf beserta peraturan pelaksanaannya. Sebaiknya pembaruan regulasi tersebut dilakukan dengan membentuk forum koordinasi antar lembaga-lembaga terkait meliputi Kementrian Agama, BWI, OJK, BI, dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), terutama terhadap ketentuan-ketentuan yang berkaitan langsung dengan pengelolaan wakaf uang di Indonesia dengan membuat aturan khusus mengenai bank wakaf sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Wakaf yang sudah diperbarui yang memuat aturan secara terperinci mengenai operasional bank wakaf. Kata kunci: bank wakaf; perbankan Syariah; regulasi; wakaf ABSTRACTA waqf bank can be defined as a Sharia Financial Institution that carries out the money waqf activities, including in the process of collecting, utilizing and distributing in the context of utilizing the waqf properties in the form of money in accordance with their function for worship interest and also to develop the public welfare. Waqf Bank can be one of the solutions in optimizing money waqf management in order to improve the welfare of the people including in Indonesia. Currently, the management of money waqf involves Sharia Banking as a Sharia Financial Institution that receives money waqf. It is interesting to investigated how is the renewal of financial service regulation within the establishment of waqf banks in Indonesia. This research was engaging a normative juridical research method with descriptive analytical research specifications. Renewal of financial services sector regulations within the establishment of waqf banks in Indonesia is by doing the amendment which related to money waqf in particular that covering the Sharia Banking Act and Waqf Act together with the implementing regulations. It is recommended that the renewal of the regulation is conducted by establish a coordinating forum between relevant institutions which includes Ministry of Religion, BWI, OJK, BI and Sharia National Economics and Finance (KNEKS), especially regarding the provisions which relating directly to the money waqf management in Indonesia by making a specific regulation about waqf banks as implementing regulations of the Sharia Banking Law and updated Waqf Law which accommodate a detailed regulations regarding waqf banks operations. Keywords: regulation; sharia banking; waqf; waqf bank.

Page 10 of 26 | Total Record : 253


Filter by Year

2016 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 9 No. 1 (2024): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 9 Nomor 1 September 2024 Vol. 8 No. 2 (2024): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 8 Number 2 March 2024 Vol. 8 No. 1 (2023): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 8 Nomor 1 September 2023 Vol. 7 No. 2 (2023): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 7 Number 2 March 2023 Vol. 7 No. 1 (2022): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 7 Nomor 1 September 2022 Vol. 6 No. 2 (2022): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 6 Nomor 2 Maret 2022 Vol. 6 No. 1 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 6 Nomor 1 September 2021 Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021 Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 1 September 2020 Vol. 4 No. 2 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 4 Nomor 2 Maret 2020 Vol 4, No 2 (2020): VOL 4, NO 2 (2020): JURNAL BINA MULIA HUKUM Vol. 4 No. 1 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 4 Nomor 1 September 2019 Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019 Vol 4, No 1 (2019): JURNAL BINA MULIA HUKUM Vol 3, No 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018 Vol. 2 No. 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2 Nomor 2 Maret 2018 Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 2 No. 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2 Nomor 1 September 2017 Vol. 1 No. 2 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 2 Maret 2017 Vol 2, No 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 1, No 2 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 1 No. 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 1 September 2016 Vol 1, No 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum More Issue