Articles
99 Documents
Eksistensi Teori Hukum Inklusif dalam Sistem Hukum Nasional
Asriadi Zainuddin
Jurnal Al Himayah Vol. 2 No. 1 (2018): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1046.352 KB)
Teori hukum Inklusif merupakan teori yang dibangun dengan tradisi kebebasan berfikir secara akademik, khususnya dalam kreatifitas dan inovasi hukum. Sebagai ilmu pengetahuan maupu hukum sebagai alat atau pedoman yang berfungsi mengatur, memfasilitasi paraparat penegak hukum dan memelihara serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, secara pribadi, kolektif baik untuk kebutuhan material maupun in materil atau spiritual. Keberadaan Teori hukum Inklusif sebagai bagian dari tatanan sosial yang ada di samping norma agama, kesusilaan dan kesopanan, pada dasarnya berfungsi untuk melindungi dan mengintegrasikan (menggabungkan dan menyelaraskan) kepentingan-kepentingan anggota masyarakat yang ada. Suatu teori baru dalam wacana akademik tidak sekedar hadir sebagai anti-thesis ketidakpuasan atau kelemahan terhadap berbagai teori lainnya. Dalam tulisan ini beberapa hal yang akan diorientasikan untuk mengkaji tentang hubungan antara teori hukum Inklusif dengan pembangunan hukum nasional yang saat ini sedang di kembangkan dan hubungan antara teori hukum Inklusif dengan pembentukan hukum nasional yang berbasis pancasila.
Pembangunan Masyarakat Sejahtera Berdasarkan Pancasila
Betha Rahmasari
Jurnal Al Himayah Vol. 2 No. 1 (2018): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1095.488 KB)
Realisasi pembangunan masyarakat tersebut dilihat sebagai salah satu bentuk proses perubahan sosial. Perubahan sosial berlangsung secara terus menurs dari waktu ke waktu baik direncanakan atau tidak. Perubahan sosial dengan demikian, merupakan sesuatu yang wajar dan alamiah dan dialami setiap masyarakat. Oleh karena perubahan sosial merupakan basis pemahaman realitas pembangunan masyarakat tersebut maka berbagai prinsip, teori dan kecenderungan umum proses perubahan sosial dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena perkembangan atau pembangunan masyarakat ini. Dalam persektif hukum, reinterprestasi pancasila penting dilakukan karena antara pancasila, hukum dan realisasi empiris kehidupan bernegara hukum senantiasas terjalin hubungan erat, timbal balik dan tidak terpisahkan. Pancasila sebagai sistem nilai yang bersifat abstrak merupakan fondasi (roh) hukum positif, sementara hukum positif terwujud sebagai konkritisasi dari sistem nilai agar mudah dioperasionalkan dalam kehidupan sehari-hari; dan realitas empiris merupakan hasil (produk) pelaksanaan hukum positif tersebut. Apabila bangsa Indonesia dewasa ini merasakan adanya permasalahan dalam kehidupan bernegara hukum, maka untuk memahami dan membenahinya secara utuh haruslah melihat kepada tiga komponen tersebut secara mendalam, dilandasi kejernihan hati, keceradasan akal dan wawasan kebangsaan. Dalam hal pengembangan daerah sesuai karakteristik dan keunggulannya perlu mendapatkan perhatian yang lebih intens. Sentara bisnis diharapkan merata dan tidak hanya terpusat di ibu kota Negara ataupun jawa saja. Keadilan dan pemerataan dengan sistem piramida akan terwujudkan, dikarenakan daerah akan memperoleh kesempatan luas untuk mengembangkan wilayahnya.
Reformulasi Alasan-Alasan Perceraian dalam Hukum Keluarga Perspektif Sosiologi Hukum
Dedi Sumanto
Jurnal Al Himayah Vol. 2 No. 1 (2018): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tulisan ini membahas tentang peralihan agama sebagai alasan-alasan perceraian. Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif melalui studi kepustakaan. Peralihan agama merupakan penyebab batalnya perkawinan dalam tinjauan hukum Islam. Sementara itu UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 (k) sebagai kaidah hukum menyatakan bahwa peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Berdasarkan Pasal Pasal 116 (k) bahwa murtad bukan sebab putusnya perkawinan, akan tetapi ketidakrukunan rumah tangga yang menjadi sebabnya. Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam sebagai materi hukum terapan belum mengakomodasi tentang peralihan agama sebagai batalnya/gugurnya perkawinan. Hal ini bisa diamati bahwa, peralihan agama menyebabkan fasakh nya perkawinan dalam perspektif hukum Islam, sedangkan dalam KHI Pasal 116 (k) yang menjadi barometernya adalah ketidakrukunan rumah tangga sehingga salah satu pasangan suami isteri melapor kepada pengadilan. Jika murtad tidak menyebabkan percekcokan maka perkawinan tetap berjalan. Tentu ini menimbulkan kejanggalan hukum, untuk itu perlu mereformulasi alasan-alasan perceraian di KHI, dengan mengubah pasal 116 (k) menjadi “peralihan agama (murtad) menyebabkan batalnya (fasakh) perkawinan secara otomatis”.
Ontologi Hukum Islam
Desi Asmaret
Jurnal Al Himayah Vol. 2 No. 1 (2018): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1261.458 KB)
Tulisan ini mengungkap kebenaran tentang realitas hukum Islam dan ruang lingkupnya. Pemahaman secara ontologis berarti membahas kebenaran suatu fakta secara mendalam. Ontologi hukum Islam di sini adalah objek kajian hukum Islam atau bagian-bagian yang terdiri dari kajian pembidangan hukum Islam dan kajian geografis hukum Islam. Pemahaman tentang ontologi hukum Islam ini menjadi bahasan yang sangat menarik karena berawal dari perbedaan penafsiran tentang syariat dan fikih. Meskipun kedua-duanya merujuk pada sumber yang sama yakni al-Qur’an dan Sunnah. Pertanyaan mendasar dalam penelitian ini adalah apakah hukum Islam tersebut sama dengan syariat dan fikih? Bagaimanakah ruang lingkup (ontologi) atau objek kajian hukum Islam? Pembahasan ini menggunakan metodologi risearch pustaka dengan pendekatan kualitatif. Yakni mengumpulkan data-data melalui jurnal-jurnal, buku-buku teks, karya ilmiyah dan sumber- sumber yang relevan, melakukan analisis dan menarik kesimpulan. Tulisan ini menemukan bahwa sebenarnya hukum Islam adalah suatu istilah dalam bahasa Indonesia (yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Islamic law), sering dipakai untuk dua pemahaman yaitu fikih dan syariat. Jika hukum Islam dipahami dengan makna syariat maka cenderung bersifat absolut, sebaliknya bila hukum Islam dipahami dengan makna fikih, maka berarti hukum Islam adalah jabaran dari syari’at. Hukum Islam dalam makna syari’at mengatur segala aspek kehidupan meliputi aqidah (keyakinan), ubudiyah (ibadah), akhlak (perilaku), dan muamalah (kemasyarakatan). Sedangkan hukum Islam dalam makna fikih dapat dirangkum dalam dua kategori besar yaitu fikih ibadah dan fikih mu’amalah (fikih al-‘Adah). Dari segi fikih mu’amalah inilah objek kajian pembidangan hukum Islam ini berkembang menjadi berbagai macam pembidangan yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan ummat.
Menelisik Pesan Sosial Poligami dalam KHI
Dikson T. Yasin
Jurnal Al Himayah Vol. 2 No. 1 (2018): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1171.157 KB)
Perkawinan poligami tidak dilakukan berdasar pada alasan-alasan yang ditentukan oleh perundang-undangan, melainkan karena alasan-alasan lain termasuk untuk pemenuhan kebutuhan biologis saja. Seseorang bisa saja membuat alasan dengan menganggap pasangannya tidak mampu memberikan kepuasan batin. Padahal dalam praktiknya melakukan pernikahan poligami tidak mudah, hal ini dikarenakan banyaknya persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi seorang suami sebelum melakukan poligami. Islam menberikan syarat yang sangat ketat apabila hendak melakukan pernikahan poligami, yakni harus bersifat adil, apabila tidak mampu maka hal ini diharamkan dan jumlah istri yang diperbolehkan untuk dinikahi maksimal empat orang saja, dengan catatan apabila yang sanggup dipenuhi oleh sang suami hanya tiga orang istri maka haram baginya menikah dengan empat orang istri. Jika ia hanya sanggup memenuhi hak dua orang istri maka haram baginya menikah dengan tiga orang istri. begitu juga apabila khawatir berbuat zalim dengan menikahi dua orang istri, maka haram baginya untuk melakukan poligami. Untuk syarat poligami banyak terjadi perdebatan mengenai masalah ini, mulai dari masyarakat, cendikiawan, para akademisi, termaksud para ulama, ada yang pro dan ada kontra. Salah satu yang kontra terhadap syarat poligami adalah Musdah Mulia ia menyatakan bahwa “terjadi ketidak-seimbangan syarat yang ada di dalam KHI terutama pada pihak perempuan/istri yang mana sangat melemahkan posisi sang istri. Hal ini dikarenakan apabila istri tidak mau memberikan izin poligami pengadilan dapat menetapkan pemberian izin hal ini tertera dalam Pasal 59 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Berkenaan dengan hal ini, maka dua hal yang menjadi temuan peneliti, Pertama. Norma hukum poligami dalam KHI menunjukan bahwa pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan tersebut lebih dimaksudkan untuk bersifat umum, abstrak dan berlaku terus menerus atau dengan kata lain norma pasal poligami yang terdapat pada Kompilasi Hukum Islam bersifat peraturan perundang-undangan (regelingen) dan bukan bersifat penetapan (beschiking). Kedua. Putusan hakim tentang poligami dengan menggunakan ketentuan pasal Kompilasi Hukum Islam dikarenakan KHI dipandang sebagai fikih khas Indonesia yang merupakan hasil ijma para ulama Indonesia dan sesuai dengan masyarakat muslim Indonesia. Disamping itu KHI merupakan hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat muslim Indonesia. Dengan hal ini para hakim Pengadilan Agama hampir tidak pernah menyampingkan ketentuan yang ada dalam KHI untuk memutuskan perkara Poligami.
Maqasid Al-Syariah Menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem dalam Hukum Islam)
Retna Gumanti
Jurnal Al Himayah Vol. 2 No. 1 (2018): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1107.941 KB)
Pemikiran Jasser Auda diawali dengan adanya kritik terhadap Usul Fiqh yaitu pertama, Usul al-Fiqh terkesan tekstual dan mengabaikan tujuan teks, kedua,. Klasifikasi sebagian teori usul al-Fiqh mengiring pada logika biner dan dikotomis, ketiga. Analisa usul al-fiqh bersifat reduksionis dan atomistik, selain itu Jasser Auda pun mengkritik Maqasid klasik yang terjebak pada kemaslahatan individu sehingga tidak mampu menjawab permasalahan dunia yang terjadi, maka oleh Jasser Auda cakupan dan dimensi teori maqasid klasik diperluas agar dapat menjawab tantangan-tantangan zaman kekinian. Jasser Auda menjadikan teori sistem sebagai pendekatan dalam hukum Islam, dan membangun seperangkat kategori dengan menggunakan 6 fitur sistem yaitu sifat kognitif (cognitive nature), saling keterkaitan (interrelated), keutuhan (wholeness), keterbukaan (openess), multi-dimensionalitas (multi-dimentionality) dan kebermaknaan (purposefulness).
Gender Harmony dalam Pembangunan Ketahanan Keluarga
Herlina Herlina
Jurnal Al Himayah Vol. 2 No. 1 (2018): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (956.625 KB)
Isu gender masih menjadi perdebatan penting dalam struktur masyarakat negara-negara berkembang. Negara berkembang menjadi pusat perdebatan karena biasanya negara-negara ini masih kental dengan sifat ketradisionalannya terutama masalah peran perempuan dan laki-laki. Fakta inilah yang menjadi perhatian pemerintah terhadap penyelesaian masalah pemberdayaan kaum perempuan yang semakin lama semakin serius agar tercapai adanya gender harmony dan keadilan gender dalam keluarga. Pembangunan keluarga menjadi salah satu isu pembangunan nasional dengan menekankan pada pentingnya penguatan ketahanan keluarga. Tulisan ini berdasarkan keilmiahan dengan menggunakan literatur/ kepustakaan (library reserach). Berdasarkan tingkat eksplanasinya maka penelitian ini termasuk deskriptif. Ditinjau dari pengukuran dan analisis data penelitian maka penelitian ini tergolong kualitatif yang menyatakan data dalam bentuk verbal dan dianalisis. Gender harmony tidak hanya berdampak kepada keluarga, tetapi juga kepada masyarakat, bangsa dan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang didasari kasih sayang. Pentingnya komunikasi dan kesepakatan awal dari interaksi dalam keluarga adalah langkah awal mewujudkan keluarga yang harmonis. Gender harmony selalu berorientasi pada solusi dari perbedaan pendapat, pola pikir dan keragaman latar belakang melalui toleransi dan asas kebersamaan untuk kepentingan bersama. Gender harmony menempatkan keluarga sebagai elementer dengan pergerakan pada empat aspek proses yakni akses, oppurtunities, benefit dan control. Melalui kemitraan dan relasi gender yang harmonis dapat merencanakan dan melaksanakan manajemen sumberdaya keluarga sehingga anggota keluarga mempunyai pembagian peran dalam berbagai aktifitas dalam rangka menjembatani permasalahan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga yang berkeadilan dan berkesetaraan gender. Gender harmony merupakan spirit dan motivasi bagi gerakan perempuan di Indonesia
Konstruksi Yuridis Adanya Masyarakat Hukum Adat dalam Pendekatan Sosiologi Hukum
Dedi Sumanto
Jurnal Al Himayah Vol. 1 No. 2 (2017): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1122.097 KB)
Tulisan ini menjelaskan perdebatan konseptual tentang apa yang dimaksud sebagai Masyarakat Hukum Adat dalam konteks hukum Indonesia. Definisi tersebut telah diatur di dalam peraturan perundangan-udangan. Batasan definisi tersebut masih mensyaratkan pengakuan Negara. Definisi atau konsep tentang masyarakat hukum adat menjadi penting untuk diatur dalam undang-undang, dalam rangka memberi penguatan terhadap pengakuan dan perlindungan atas hak- hak masyarakat hukum adat, terutama ketika mereka mengakses sumber daya alam dalam negeri ini dalam kaitannya dengan sosiologi hukum yang berlaku di Masyarakat.. Metode yang diganakan dalam tulisan ini Library Researchdalam Kajian Yuridis Normatif, Hasilnya adalah lebih tepat jika kedua penilaian terhadap nilai-nilai dan dalam pola-pola yang objektif (impersonal) dan efektif (utilitarian), ketimbang yang sifatnya primordial, seremonial atau tradisional. dikenakan pada Masyarakat Tradisional dan dan tidak terhadap Masyarakat Adat.
Asas Kebebasan Berkontrak dalam Pelaksanaan Perjanjian Baku (Standart Contract) Ditinjau Dari Teori Inklusif dalam Pembangunan Hukum Indonesia Yang Berkeadilan
Retna Gumanti
Jurnal Al Himayah Vol. 1 No. 2 (2017): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1053.786 KB)
Tulisan menelaah lebih lanjut mengenai Mazhab Tamsis yang mengedepankan teori Inklusif yang memiliki makna sebagai sistem norma, sistem kelembagaan, sistem nilai budaya, sistem keagamaan, serta sistem fakta berfungsi sebagai pedoman sebagai manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk tercapainya ketertiban sosial dan kedamaian hidup untuk dapat mempertahankan kehornatan atau martabat pribadi dan keluarga, suku bangsa dan agama, serta memfasilitasi peran aparat penegak hukum yang berwibawa sehingga keadilan hukum dapat terselenggara bilamana pembuat undang-undang melahirkan peraturan yang baik dan benar, pemerintah mematuhi hukum yang baik dan benar, proses penyelesaiannya didalam maupun luar pengadilan. Asas kebebasan berkontrak dalam pelaksanaan perjanjian baku seringkali menjadi alasan pembenar bagi pelaku usaha kepada konsumen sehingga menimbulkan ketidakadilan, asas kebebasan berkontrak dalam pelaksanaan perjanjian baku di benarkan dalam Kitab Undang Undang Perdata (Burgelijke Wetboek) yang mana setiap orang dapat melakukan atau tidak melakukan perjanjian dengan siapapun dan dalam bentuk dan isi yang yang disepakati kedua belah pihak, yang mengandung arti bahwa isi perjanjian bebas ditentukan oleh kedua belah pihak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Implementasi Mediasi dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
Febri Handayani;
Syafliwar Syafliwar
Jurnal Al Himayah Vol. 1 No. 2 (2017): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1294.065 KB)
Mahkamah Agung sebagai penyelenggara peradilan tertingi di Indonesia telah menggagas beberapa metode untuk mempersingkat proses penyelesaian sengketa di pengadilan namun dapat memberikan hasil yang lebih optimal. Salah satu gagasan yang cukup progresif antara lain dengan mengoptimalkan lembaga mediasi pada perkara-perkara perdata. Pengadilan Agama telah menerapkan mediasi pada setiap perkara yang yang bersifat contensius, tidak terkecuali perkara perceraian. Meskipun ketentuan tentang mediasi telah diatur, dalam kenyataan dilapangan belum berjalan dengan maksimal, pelaksanaan upaya perdamaian melalui mediasi hanya berupa formalitas di persidangan jika mediasi tidak dilaksanakan dengan iktikad baik, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara. Hal ini dikarenakan tujuan mediasi adalah untuk mencapai kata sepakat kedua belah pihak antara suami dan istri dengan berpedoman pada tujuan perkawinan yaitu terciptanya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, selain terhindar dari perceraian yang merupakan perbuatan yang di bolehkan namun dibenci Allah SWT. Agar proses mediasi lebih optimal dan berhasil menemukan kata mufakat dan berdamai, hakim mediator Pengadilan Agama melakukan upaya-upaya agar mediasi berhasil. Keberhasilan mediasi dapat dilihat dari efektifitas pelaksanaan mediasi yang bertumpu pada upaya dan profesionalitas hakim mediator dalam melaksanakan proses mediasi (keahlian di bidang hukum formil dan hukum materil, dan juga keahlian di bidang psikologi), Mediasi dilakukan diruangan tertutup agar tidak diketahui oleh orang lain, melakukan kaukus, Memberikan solusi bagi permasalahan yang mereka hadapi dan Hakim mediator harus tampil sebagai sosok teman dan sosok penengah yang tidak berpihak pada salah satu pihak.