cover
Contact Name
Rahmat Sewa Suraya
Contact Email
mhat_suraya@yahoo.co.id
Phone
+6285395828765
Journal Mail Official
lisani.tradisilisan@uho.ac.id
Editorial Address
Kampus Hijau Bumi Tridharma Universitas Halu Oleo, Gedung Fakultas Ilmu Budaya Lantai II, Jl. H.E.A. Mokodompit, Kelurahan Kambu, Kecamatan Kambu, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara
Location
Kota kendari,
Sulawesi tenggara
INDONESIA
LISANI : Jurnal Kelisanan Sastra dan Budaya
Published by Universitas Halu Oleo
ISSN : 26139006     EISSN : 26224909     DOI : https://doi.org/10.33772/lisani
Jurnal ini berisi tentang hasil penelitian, artikel ilmiah, makalah ilmiah dalam bidang kelisanan dalam bidang sastra dan budaya di Indonesia. Jurnal ini terbuka untuk para peneliti dan para penulis yang berminat dalam kajian tradisi lisan khususnya kelisanan dalam budaya dan sastra di Indonesia.
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024" : 9 Documents clear
Makna Simbolik Tradisi Were Baru Setelah Panen Suku Bugis di Desa Puu Waeya Kecamatan Mata Oleo Kabupaten Bombana Jalil, Abdul; Suraya, Rahmat Sewa; Nurtikawati, Nurtikawati
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2973

Abstract

Tradisi Were Baru adalah tradisi pascapanen padi yang dilaksanakan oleh Suku Bugis di Desa Puu Waeya, Kecamatan Mata Oleo, Kabupaten Bombana. Tradisi ini memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat, namun sebagian warga mulai meninggalkannya akibat kurangnya pemahaman terhadap maknanya. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan proses pelaksanaan tradisi Were Baru serta menganalisis makna simbolik alat dan bahan yang digunakan. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce dan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan tradisi Were Baru melibatkan tiga tahapan utama: persiapan, pelaksanaan, dan penutupan. Selain itu, setiap benda yang digunakan, seperti bangkung (parang), uring (periuk), penne (piring), dupa, beras, telur, kemenyan, bumbu dapur, dan lauk pauk, memiliki makna simbolik yang merefleksikan nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat Bugis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pelestarian tradisi Were Baru sebagai bagian dari warisan budaya lokal.
Tradisi Pengobatan Katampu (Patah Tulang) pada Masyarakat Muna di Desa Kembar Maminasa Kecamatan Maginti Kabupaten Muna Barat ulmi, ulmi; Syahrun, Syahrun; Samsul, Samsul
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2974

Abstract

Tradisi pengobatan Katampu (patah tulang) merupakan praktik penyembuhan tradisional yang dilakukan masyarakat Muna, khususnya di Desa Kembar Maminasa, dengan memanfaatkan obat-obatan alami. Pengobatan ini dilakukan oleh bhisa/sando dalam menangani pasien dengan kondisi patah tulang. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan proses pelaksanaan pengobatan Katampu, (2) mengidentifikasi alasan masyarakat memilih pengobatan tradisional, dan (3) menjelaskan pola pewarisan tradisi ini di Desa Kembar Maminasa, Kecamatan Maginti, Kabupaten Muna Barat. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Informan dipilih secara purposive, dan data dianalisis melalui tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengobatan Katampu terdiri dari beberapa tahapan, yakni: (1) persiapan alat dan bahan, seperti minyak urut, air hangat, kunyit, kapur, serai, daun bakung, pelepah pinang, dan tali; (2) pelaksanaan, meliputi kompres, pembaluran ramuan, pembungkusan dengan pelepah pinang, dan pemberian air doa. Alasan masyarakat memilih pengobatan ini meliputi kemudahan akses, biaya yang ekonomis, serta penggunaan bahan alami yang minim efek samping. Pewarisan tradisi Katampu dilakukan secara langsung dalam lingkup keluarga, sehingga memastikan kelangsungan praktik ini antar generasi.
Eksistensi Tradisi Duata pada Masyarakat Bajo di Desa Langara Bajo Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten Konawe Kepulauan Minarsih, Minarsih; Baka, Wa Kuasa; Saputri, Shinta Arjunita
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2975

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis eksistensi Tradisi Duata pada masyarakat Bajo di Desa Langara Bajo serta strategi masyarakat dalam mempertahankan tradisi tersebut. Metode penelitian dalam pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik penentuan informan menggunakan metode purposive. Data dianalisis melalui tahap pengumpulan, reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penelitian ini menggunakan teori fungsionalisme Emile Durkheim yang menyatakan bahwa eksistensi diartikan sebagai keberadaan kebudayaan bagi masyarakat dan bahwa unsur-unsur tersebut saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tradisi Duata di Desa Langara Bajo tetap eksis, meskipun mengalami perubahan pada beberapa indikator seperti agama, teknologi, infrastruktur, dan lingkungan. Strategi masyarakat dalam mempertahankan tradisi Duata meliputi pelaksanaan pengobatan Duata di tempat terbuka atau di darat dengan cakupan yang lebih luas, peran aktif Sandro atau dukun dalam memimpin proses pengobatan dan mendorong pelestarian tradisi, serta memperkenalkan tradisi Duata kepada masyarakat luas melalui komunikasi lisan yang dilakukan oleh masyarakat Bajo. Penelitian ini menunjukkan bahwa Tradisi Duata tetap menjadi identitas penting bagi suku Bajo di tengah perubahan sosial dan budaya
Tuturan Tari Mangaru di Desa Nepa Mekar Kecamatan Lakuko Kabupaten Buton Tengah Sartika, Sartika; Niampe, La; Marhini, La Ode; Sardiin, La Ode Muhammad
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2977

Abstract

Tari Mangaru menggambarkan keberanian para lelaki yang berperang di masa lampau. Tarian ini menampilkan dua orang laki-laki yang berperan sebagai pejuang di medan perang. Keduanya menjadi elemen penting dalam pertunjukan karena merepresentasikan semangat dan suasana pertempuran. Dalam pertunjukan Tari Mangaru, keris digunakan sebagai alat utama. Sebagai tarian yang melambangkan keberanian, penggunaan senjata seperti keris menjadi unsur wajib bagi setiap penari. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Tari Mangaru di Desa Nepa Mekar, dengan fokus pada: (1) fungsi dan makna Tari Mangaru; (2) pola pewarisan tradisi lisan Tari Mangaru di Desa Nepa Mekar, Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton Tengah. Informan dalam penelitian ini ditentukan melalui metode purposive. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan empat tahapan, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi dan makna Tari Mangaru bagi masyarakat Desa Nepa Mekar, Kecamatan Lakudo, adalah sebagai simbol kesatria atau laki-laki perkasa. Tari Mangaru merupakan tarian perang yang awalnya digunakan untuk melawan penjajah yang berusaha menguasai wilayah Buton. Namun, saat ini Tari Mangaru difungsikan sebagai sarana hiburan dan penyambutan tamu dalam berbagai acara adat. Pewarisan Tari Mangaru dilakukan oleh tokoh adat melalui beberapa metode, di antaranya: (1) sosialisasi dan (2) pelatihan kepada generasi muda.
Pewarisan Tari Pajogi Pada Masyarakat Desa Patuno Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi Iman, Nur; Suraya, Rahmat Sewa; Marhini, La Ode
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2978

Abstract

Tari Pajogi merupakan tarian tradisional yang berasal dari masyarakat Desa Patuno, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi. Tarian ini dilaksanakan sebagai bentuk hiburan bagi masyarakat setempat. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui bentuk pertunjukan Tari Pajogi pada masyarakat Desa Patuno, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi; dan 2) Mengetahui cara pewarisan Tari Pajogi pada masyarakat Desa Patuno, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi. Penelitian ini menggunakan beberapa konsep, yaitu konsep tradisi lisan, konsep pewarisan, konsep tari tradisional, dan konsep Tari Pajogi. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Data dikumpulkan melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi, kemudian dianalisis melalui tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tari Pajogi merupakan salah satu tarian hiburan di masyarakat Desa Patuno, Kecamatan Wangi-Wangi. Pertunjukan Tari Pajogi biasanya dilakukan oleh 3 hingga 6 penari. Tarian ini terdiri dari tiga gerakan utama, yaitu: 1) Gerakan Umba Peku-Peku, 2) Gerakan Biasa, dan 3) Gerakan Mangu-Mangu. Pewarisan Tari Pajogi di Desa Patuno dilakukan melalui dua cara, yaitu: 1) Pewarisan formal, yang dilakukan melalui pertunjukan dalam perlombaan kebudayaan dan acara perpisahan sekolah; dan 2) Pewarisan nonformal, yang dilakukan melalui pertunjukan pada acara adat seperti Karia serta lingkungan keluarga, di mana orang tua yang memiliki pengetahuan tentang Tari Pajogi mengajarkannya kepada anak-anak mereka.
Pola Pewarisan Tolea Pabitara pada Suku Tolaki di Desa Sambeani Kecamatan Abuki Kabupaten Konawe S, Aknal; Koodoh, Erens Elvianus; Saputri, Shinta Arjunita
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2979

Abstract

Tolea Pabitara merupakan salah satu jabatan tradisional dalam struktur adat suku Tolaki yang masih diterapkan di Desa Sambeani. Jabatan ini memiliki peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Namun, mengingat mayoritas Tolea Pabitara di desa ini berasal dari kalangan orang tua, diperlukan regenerasi untuk memastikan keberlanjutan peran tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi syarat menjadi Tolea Pabitara, menganalisis fungsinya, dan memahami pola pewarisannya dalam masyarakat suku Tolaki. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa syarat menjadi Tolea Pabitara meliputi garis keturunan, pemahaman terhadap adat istiadat, kemampuan berbahasa adat, dan keaktifan dalam kegiatan sosial. Fungsi Tolea Pabitara mencakup peran sebagai juru bicara dalam perkawinan, mediator saat terjadi penundaan perkawinan, serta fasilitator penyelesaian konflik. Pola pewarisan Tolea Pabitara di Desa Sambeani melibatkan proses pengkaderan dan pelatihan yang berkesinambungan.
Tradisi Wandile Pada Masyarakat Wolio di Desa Lambusango Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton Sari, Putri Purnama; Suraya, Rahmat Sewa; Marhini, La Ode
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2980

Abstract

Tradisi Wandile merupakan tradisi khas masyarakat Lambusango yang secara khusus dilaksanakan untuk anak pertama. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan dan makna yang terkandung dalam tradisi Wandile. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan dokumentasi, yang dianalisis melalui proses reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pelaksanaan tradisi Wandile terdiri atas tiga tahapan: (1) tahap persiapan, meliputi penentuan hari baik serta persiapan alat dan bahan; (2) tahap pelaksanaan, yang berlangsung di rumah pelaku tradisi dan dipimpin oleh bisa (dukun); dan (3) tahap akhir, yaitu pembacaan doa selamat. Tradisi Wandile memiliki makna simbolis di setiap tahapannya, yakni sebagai upaya menjauhkan anak yang diwandile dari hal-hal buruk menurut kepercayaan masyarakat Lambusango. Hingga saat ini, tradisi Wandile masih dilestarikan dan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Lambusango.
Falia Nokoangkafio Berkebun pada Masyarakat Muna di Desa Kontunaga Kecamatan Kontunaga Yusrifani, Yusrifani; Suraya, Rahmat Sewa; Saputri, Shinta Arjunita
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2981

Abstract

Falia Nokoangkafio merupakan pantangan yang berlaku dalam masyarakat Muna, khususnya saat berkebun. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan bentuk-bentuk ungkapan Falia Nokoangkafio saat berkebun dalam masyarakat Muna di Desa Kontunaga, Kecamatan Kontunaga, Kabupaten Muna; dan (2) memahami makna dari ungkapan tersebut. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Roland Barthes dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis melalui proses pengumpulan, reduksi, penyajian, dan verifikasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa bentuk Falia Nokoangkafio saat berkebun yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat Muna, yaitu memuji tanaman jagung, memanjat pagar kebun, berlari-lari dalam kebun, melangkahi alat tugal jagung, dan menangis di dalam kebun. Setiap bentuk Falia Nokoangkafio memiliki makna simbolis yang diyakini oleh masyarakat sebagai konsekuensi dari tindakan atau ucapan tertentu saat berkebun. Keyakinan ini merefleksikan nilai-nilai budaya lokal masyarakat Muna yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Makna Ungkapan Adat Melamar dalam Proses Menikah (Fenagho Tungguno Karete) pada Masyarakat Muna di Desa Katobu Kecamatan Wadaga Kabupaten Muna Barat Saban, Rahmat; Samsul, Samsul; Marhini, La Ode; Rihu, Agus
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 7 No 2 (2024): Volume 7 No 2, Desember 2024
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v7i2.2982

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna ungkapan adat melamar dalam proses pernikahan (feenagho tungguno karete) pada masyarakat Desa Katobu, Kecamatan Wadaga, Kabupaten Muna Barat. Penelitian ini secara khusus mendeskripsikan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam adat melamar serta makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling, yaitu memilih informan yang dianggap mengetahui secara mendalam adat melamar. Analisis data dilakukan melalui tahapan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adat melamar dalam masyarakat Muna dikenal dengan istilah feenagho tungguno karete, yang secara harfiah berarti "menanyakan penjaga pekarangan." Proses penyampaian adat ini dilakukan dalam forum atau pertemuan adat menggunakan bahasa Muna antara delegasi pihak pelamar dan pihak yang dilamar. Adat ini memiliki makna simbolik, di mana kata tungguno menyimbolkan seseorang yang menjaga, merawat, atau mengikat/melamar, sedangkan karete menyimbolkan pekarangan tempat bunga berada, yang menjadi simbol seorang gadis. Proses adat melamar terdiri dari tiga tahapan, yaitu musyawarah (rompu), membawa janji (deowa too), dan melamar secara resmi (fofeena).

Page 1 of 1 | Total Record : 9