Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum
Jurnal Kertha Wicara diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Udayana secara berkala1 bulanan. Jurnal ini adalah jurnal yang bertemakan Ilmu Hukum, dengan manfaat dan tujuan bagi perkembangan Ilmu Hukum, dengan mengedepankan sifat orisinalitas, kekhususan dan kemutakhiran artikel pada setiap terbitannya. Tujuan dari publikasi Jurnal ini adalah untuk memberikan ruang mempublikasikan pemikiran hasil penelitian orisinal, para akademisi yaitu mahasiswa maupun dosen yang belum pernah dipublikasikan pada media lainnya. Fokus dan lingkup penulisan (Focus & Scope) dalam Jurnal ini memfokuskan diri mempublikasikan artikel ilmiah hukum dengan topik-topik sebagai berikut: Hukum Acara Hukum Tata Negara Hukum Administrasi; Hukum Pidana; Hukum Internasional; Hukum Perdata Hukum Adat; Hukum Bisnis; Hukum Kepariwisataan; Hukum Lingkungan; Hukum Dan Masyarakat; Hukum Informasi Teknologi dan Transaksi Elektronik; Hukum Hak Asasi Manusia; Hukum Kontemporer.
Articles
1,078 Documents
PENGAJUAN GUGATAN GANTI RUGI MEREK TERKENAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2016
Novita Permata Sari;
Ni Luh Gede Astariyani
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 3 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Dalam perkembangannya merek terkenal banyak ditiru oleh masyarakat. Dalam realitanya pelanggaran merek terkenal sangat sering terjadi. Tujuan studi ini untuk mengetahui pengaturan terkait dengan pengajuan gugatan ganti rugi oleh pemilik merek. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan Perundang-Undangan. Hasil study ini menunjukan bahwa pemilik merek terkenal dapat mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pihak yang memalsukan mereknya berdasarkan Pasal 83 ayat 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 dengan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga, sesuai dengan persyaratan merek terkenal, yakni suatu merek sudah didaftarkan dibeberapa negara sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 21 huruf b Undang-Undang No. 20 Tahun 2016. Kata Kunci : Gugatan Ganti Rugi, Merek Terkenal
PENGATURAN TUKANG GIGI DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KESEHATAN
Nyoman Kinandara Anggarita;
Sagung Putri M.E Purwani
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 3 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tukang Gigi merupakan Prefensi dari Dokter Gigi. Perbedaan yang paling menonjol adalah, meskipun sama-sama terjun di ranah dental health, Tukang Gigi tidak memiliki Ijazah yang diakui dari Kementrian Kesehatan, akan tetapi memiliki kemampuan yang mumpuni dibidangnya. Hal itu nampaknya tidak menyurutkan antusiasme Masyarakat untuk menggunakan jasa seorang Tukang Gigi. Bahkan,tidak sedikit kasus bahwa si Tukang Gigi melakukan treatment Ortodontis kepada konsumennya.ortodonti merupakan cabang ilmu pengetahuan kedokteran khususnya tentang dentist, yang berhubungan langsung dengan permasalahan genetic gigi,estetika gigi,bentuk rahang dan wajah. Tujuan Penulisan Jurnal ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan dari Tukang Gigi berdasarkan Undang-Undang Kesehatan dikarenakan maraknya fenomena dimana tukang gigi bertindak diluar kewenangannya. Penulisan Jurnal ini menggunakan metode Penulisan Normatif yang berpatokan pada UU dan beberapa buku penunjang penulisan jurnal ilmiah ini. Sehingga hasil dari penulisan ini Berdasarkan PERMENKES 39/2014 seorang tukang gigi dalam pekerjaannya wajib mementingkan nilai keselamatan dan keamanan dengan cara memperhatikan material pembuatan gigi tiruan lepasannya. Untuk mempertegas pengaturan yang mengatur kewenangan tukang gigi, maka diperlukannya pengaturan baru tentang control atau pengawasan seperti Inspeksi dari Kementrian Kesehatan dan bagaimana mekanisme pengawasan tersebut. Tukang gigi yang melakukan pelayanan ortodontis merupakan pelanggaran huruf a Pasal 9 PERMEN KES/39/2014 sehingga,sanksi yang dapat di jatuhkan kepada tukang gigi berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Kata kunci : Tukang gigi, Ortodentis, hukum kesehatan.
Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Dalam KUHP dan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Ida Bagus Made Adi Suputra;
I Gusti Ngurah Parwata
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 9 No 12 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24843/KW.2020.v09.i12.p08
The purpose of this study is to provide knowledge about the regulation now and future abortion regulations in the context of Indonesian criminal law reform. In examining the problems in this research, normative legal research methods are used by reviewing the Criminal Code and the Health Law. The results of the analysis of this study indicate that the criminal act of abortion has been regulated in Indonesian positive law, but in this regulation there is a conflict of norms which results in inconsistency between law enforcement against abortion perpetrators according to the Criminal Code and Law No. Health Law, so it is necessary to reform Indonesian criminal law to achieve equality in law enforcement. Keywords: Crime, Abortion, Criminal Law Reform. Keywords: Criminal Act, Abortion, Criminal Law Reform
PELANGGARAN PRINSIP-PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI PASAR MODAL (STUDI KASUS PT BANK LIPPO Tbk)
Dewa Ayu Budiartini;
Dewa Gde Rudy;
Ni Putu Purwanti
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 1 No 01 (2012)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
One cause of the vulnerability of companies in Indonesia to economic shocks is the weakimplementation of good corporate governance. Good Corporate Governance (GCG) isbasically a concept concerning the corporate structure, division of labor, division ofauthority, sharing the burden of responsibility for each element of the corporate structure.Weak implementation of good corporate governance leads to crime and abuse in thecapital markets. Crimes and violations in the capital market is assumed to several reasons,namely blameworthiness, weakness apparatus that includes integrity and professionalismand regulatory weaknesses. Any company who is operating in the capital market shouldhave always follow the rules set by the market and the capital itself. It is necessary for thecreation of capital markets to protect the interests of investors in investment activities inthe capital market.
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP KASUS PERDAGANGAN ANAK DI WILAYAH HUKUM POLDA BALI
Gede Yudha Wedantara;
T. I. P. Astiti
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 01, No. 05, November 2013
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
The protection of children's rights as a victim of child trafficking should be moreattention, which means that there needs to be special attention, consideration, and careand special commission of special protection for children. Based on these conditions, itis necessary to know how the implementation of child protection laws against childtrafficking criminal cases. The method used is the juridical methods empiricallyexamine how the law works in society. So later, the implementation of the law againstthe occurrence of a case can be seen.
SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA
I Gst. Ayu Stefani Ratna Maharani;
Ida Bagus Putra Atmadja
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 04, No. 03, September 2015
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Jurnal ini berjudul Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) di Indonesia. Permasalahan yang dibahas dalam jurnal ini adalah bagaimanakah sanksi pidana perdagangan orang yang diatur di dalam KUHP serta bagaiamanakah kaitannya dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Metode yang digunakan adalah metode normatif yang menggunakan norma konflik, dikarenakan adanya perbedaan dalam penjatuhan sanksi pidana yang tercantum di dalam Pasal 297 KUHP dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Penjatuhan sanksi terhadap tindak pidana perdagangan orang dasarnya bukan hanya semata-mata pada KUHP saja namun juga harus mengacu pada undang-undang tindak pidana khusus seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN PELAPOR PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Made Yulita Sari Dewi;
Nyoman Mas Ariyani
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 05, No. 03, April 2016
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Tulisan ini berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Pelapor Pada Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, di dalam penulisannya menggunakan metode hukum normatif yaitu dengan menganalisis beberapa peraturan perundang-undangan yang ada, dan berbagai literatur terkait perlindungan hukum mengenai saksi serta pelapor tindak pidana korupsi di Indonesia. Tulisan ini akan membahas mengenai apa itu korupsi dan penyebabnya serta perlindungan hukum bagi saksi dan pelapor yang melaporkan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Tujuan dari tulisan ini adalah agar masyarakat mengetahui bahwa adanya suatu perlindungan hukum bagi siapa saja mereka yang melaporkan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Kesimpulan dari tulisan ini saksi dan pelapor mendapatkan suatu perlindungan hukum baik perlindungan bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang diatur dalam beberapa perundang-undangan yaitu pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Surat Edaran Mahlamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama di dalam perkara tindak pidana tertentu.
PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ORANG MISKIN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Putu Chahya Wahyudi;
Ida Bagus Wyasa Putra
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 06, No. 04, Oktober 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat merupakan kewajiban negara dalam rangka penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Hal mana perlindungan HAM merupakan salah satu ciri negara hukum termasuk pula negara Indonesia. Bantuan hukum secara cuma-cuma berhak diberikan kepada orang atau kelompok orang miskin untuk memberikan akses yang sama bagi golongan miskin untuk memperoleh keadilan di bidang hukum. Bantuan hukum kepada masyarakat miskin diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Beranjak dari latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang ingin dibahas adalah mengenai kriteria miskin yang menjadi parameter pemberian bantuan hukum serta bagaimana hak pelaku memperoleh bantuan hukum cuma-cuma dalam sistem peradilan pidana. Tujuan dari kajian ini adalah demi menciptakan kepastian hukum dalam pemberian bantuan hukum terhadap pelaku tindak pidana yang miskin. Metode yang digunakan dalam pembahasan adalah normatif dengan bahan hukum yang diolah dan dianalisis dengan deskriptif analisis. Adapun simpulan dari pembahasan ini adalah kriteria dalam frase miskin belum jelas sehingga menimbulkan kerancuan dalam penerapannya. Simpulan kedua bahwa bantuan hukum cuma-cuma terhadap pelaku pidana yang tergolong miskin tidak menyeluruh. Hanya pelaku yang diancam dengan minimal 5 tahun penjara yang diberikan bantuan hukum cuma-cuma.
KUALIFIKASI PIHAK KETIGA DALAM PENGAJUAN GUGATAN PENGHAPUSAN MEREK DI INDONESIA
I Gusti Ngurah Bagus Girindra GM;
I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol. 07, No. 02, Maret 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Penghapusan merek terdaftar dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan diatur pada Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU tentang Merek dan Indikasi Geografis) dengan alasan bahwa merek yang terdaftar tersebut tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan, tetapi secara khusus mengenai kualifikasi pihak ketiga yang dapat mengajukan gugatan penghapusan merek tidak ditentukan dengan jelas dalam peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan norma kabur yang membingungkan pada tataran pelaksanaannya. Tujuan dari penelitian hukum ini adalah untuk mengetahui kualifikasi pihak ketiga dalam pengajuan gugatan penghapusan merek dalam perpektif UU tentang Merek dan Indikasi Geografis. Penelitian hukum ini dilaksanakan dengan menggunakan metode yuridis normatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini disajikan dalam suatu laporan yang bersifat diskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya disparitas penafsiran oleh hakim mengenai kualifikasi pihak ketiga yang dapat mengajukan gugatan penghapusan merek. Pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 82/Merek/2008/PN.Niaga.Jkt.Pst menyatakan bahwa siapa saja boleh menjadi pihak ketiga dalam penghapusan merek asalkan mampu membuktikan merek tersebut memenuhi syarat untuk dihapuskan, sedangkan dalam Putusan Nomor 60/Pdt.Sus/Merek/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst hakim tidak menerima gugatan yang diajukan oleh pihak ketiga karena diajukan oleh salah satu pemegang sahamnya, yang seharusnya diwakili oleh organ dari Badan Hukum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU tentang Pers). Dengan adanya disparitas penafsiran tersebut sudah seharusnya dilakukan pengaturan khusus dan/atau penambahan penjelasan mengenai kualifikasi pihak ketiga dalam pengajuan penghapusan merek di Indonesia. Kata Kunci : Kualifikasi, Pihak Ketiga, Gugatan Penghapusan Merek.
Mekanisme Sertifikasi Sebagai Proses Awal Pemeriksaan Dalam Pengajuan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)
I Wayan Didik Prayoga;
Anak Agung Gede Agung Dharmakusuma
Kertha Wicara : Journal Ilmu Hukum Vol 8 No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Salah satu pengaturan yang fundamental dalam proses pengajuan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) adalah terkait proses awal pemeriksaan (sertifikasi) yang bertitik tolak dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Proses sertifikasi ini penting untuk menentukan gugatan yang akan diajukan telah memenuhi persyaratan gugatan perwakilan kelompok. PERMA No. 1 Tahun 2002 secara khusus tidak memberikan penjelasan atas hal tersebut, sehingga dalam pelaksanaannya kemudian berpotesi menimbulkan kebingungan akibat ketidakjelasan pengaturan khususnya bagi segenap elemen penegak hukum terkait. Tujuan penulisan jurnal hukum ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme sertifikasi sebagai proses awal pemeriksaan dalam pengajuan gugatan perwakilan kelompok. Penelitian hukum ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan sekunder yang dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini disajikan dalam satu laporan yang bersifat deskriptif analitis. Ditinjau dari berbagai putusan pengadilan di tingkat pertama terdapat ketidakseragaman penerapan mekanisme sertifikasi. Pada tahun 2013 Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 036/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Lingkungan Hidup yang memuat mengenai mekanisme sertifikasi. Adapun mekanisme sertifikasi yang dimuat dalam BAB II dimulai pada tahapan pemeriksaan surat kuasa dan ijin pengacara sampai pada hakim mengeluarkan keputusan untuk menerima atau menolak gugatan perwakilan kelompok yang diajukan. Meskipun sudah ada pengaturan mengenai mekanisme sertifikasi, namun perlu dibuatkan pengaturan baru yang secara khusus mengatur sertifikasi dan SK KMA tersebut dapat dijadikan rujukan sementara hingga lahirnya ketentuan tersebut. Kata Kunci: Mekanisme, Sertifikasi, Gugatan Perwakilan Kelompok.