cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
Medicina
Published by Universitas Udayana
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Health,
Arjuna Subject : -
Articles 234 Documents
VALIDITAS DIAGNOSIS FINE NEEDLE ASPIRATION BIOPSY (FNAB) PADA TUMOR KELENJAR LUDAH Anda Tusta Adiputra, Putu; Tjakra Wibawa Manuaba, I.B.; Saputra, Herman
Medicina Vol 38 No 2 (2007): Mei 2007
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) memiliki nilai akurasi diagnostik yang tinggi pada tumor kelenjar ludah jinak maupun ganas yang akan menjalani pembedahan (lebih dari 80% pada literatur barat). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi validitas dari Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) sebagai alat diagnostik pada tumor kelenjar ludah dengan pemeriksaan histopatologi sebagai baku emas (gold standard). Jenis penelitian ini merupakan suatu uji diagnostik, yang dikerjakan mulai bulan September 2002 ? Mei 2006 terhadap 40 penderita yang secara klinis didiagnosis sebagai tumor kelenjar ludah. Dua kasus dikeluarkan dari penelitian oleh karena hasil FNAB tidak representatif. Pemeriksaan FNAB dilakukan sebelum operasi, kemudian dibandingkan dengan hasil histopatologi setelah operasi. Baik hasil FNAB maupun hasil histopatologi dikelompokkan ke dalam jinak ataupun ganas. Validitas ditentukan dari sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif dan akurasi. Dari 38 penderita tumor kelenjar ludah yang diteliti, setelah dianalisis didapatkan hasil sensitivitas 28,56%, spesifisitas 77,42%, nilai prediksi positif 22,22%, nilai prediksi negatif 82,76% dan akurasi 68,42%. FNAB sebagai prosedur diagnostik pada tumor kelenjar ludah di institusi kami memiliki sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi yang rendah. Saat ini FNAB belum dapat digunakan sebagai alat diagnostik satu-satunya pada tumor kelenjar ludah.
PERBANDINGAN VALIDITAS SISTEM SKORING ACUTE PHYSIOLOGICAL CHRONIC HEALTH EVALUATION II, SEQUENTIAL ORGAN FAILURE ASSESSMENT, DAN CUSTOMIZED SEQUENTIAL ORGAN FAILURE ASSESSMENT UNTUK MEMPERKIRAKAN MORTALITAS PASIEN NON-BEDAH YANG DIRAWAT DI RUANG PERAWATA Taofik, Stefanus; Subagiartha, I Made; Senapathi, Tjokorda Gde Agung
Medicina Vol 46 No 3 (2015): September 2015
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (188.79 KB)

Abstract

Penerapan sistem jaminan kesehatan nasional (SJKN) dalam pelayanan di ruang terapi intensif (RTI) mendorong pelayanan di RTI untuk lebih efektif dan efisien. Prediksi hasil perawatan penting baik secara administrasi ataupun klinis dalam manajemen RTI. Pasien non-bedah meskipun jumlahnya tidak banyak, namun memiliki angka mortalitas yang tinggi. Untuk mendapatkan sistem skoring yang baik dan mudah diterapkan dilakukan penilaian missing value, dan diskriminasi dari masing masing sistem skoring. Penelitian ini melibatkan 184 pasien non-bedah yang dirawat di RTI RSUP Sanglah Denpasar yang diambil secara retrospektif dari data tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2014. Semua pasien dilakukan penilaian APACHE II, SOFA, dan CSOFA. Uji analisis regresi logistik dilakukan untuk menilai pengaruh masing masing sub-variabel terhadap mortalitas, dan selanjutnya mencari cut off point dari analisis kurva ROC untuk mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing masing. Area under receiver operating characteristic (AuROC) pada acute physiological and chronic health evaluation II (APACHE II), sequential organ failure assessment (SOFA), dan customized sequential organ failure assessment (CSOFA) berturut turut didapatkan 0,892, 0,919, dan 0,9172. Missing value terbanyak didapatkan berturut turut pada SOFA, APACHE II, dan CSOFA sebesar 84,23%, 8,15%, dan 1,65%, dengan dominan sub-variabel hepar (bilirubin). Uji regresi logistik memperlihatkan sub-variabel neurologi, dan kardiovaskular memberikan hubungan bermakna terhadap mortalitas dengan RO 4,58, dan 2,24. Sub-variabel lain yang berpengaruh antara lain acute kidney injury (AKI), sepsis, dan penyakit kronis dengan RO 8,14, dan 3,89. Sistem skoring CSOFA lebih valid dalam memperkirakan mortalitas pasien di RTI RSUP Sanglah Denpasar, karena mempunyai nilai diskriminasi yang lebih baik dan missing value yang lebih sedikit dibandingkan dengan sistem skoring APACHE II dan SOFA. [MEDICINA 2015;46:145-51].Application of sistem jaminan kesehatan nasional (SJKN) in intensive care unit (ICU) service encourages ICU services for being more effective and efficient. Prediction of mortality is important either for administration or clinical in ICU management. Even non-surgical patient population is not large, but it has high mortality rate. To gain good and easy to used scoring system, we assessed missing value, and discrimination for all scoring system. This research enrolled 184 non-surgical patients in ICU of Sanglah Hospital restrospectively started from 1 st january to 31 december 2014. All patient assessed by acute physiological and chronic health evaluation II (APACHE II), sequential organ failure assessment (SOFA), and customized sequential organ failure assessment (CSOFA). Analytic logistic regression test was used to determine each sub-variable correlation with mortality, and then to gain cut off point of ROC analytical curve to get sensitivity and specificity. Area under receiver operating characteristic (AuROC) for APACHE, SOFA, and CSOFA were 0.892, 0.919, and 0.9172 consecutively. The missing value for SOFA, APACHE II, and CSOFA is 84.23%, 8.15%, dan 1.65%, which was dominated by bilirubin parameter. Logistic regression analysis shows sub-variable neurology, and cardiovascular respiration gave significant correlation with mortality with OR 4.58 and 2.24. Other significant subvariable were AKI and sepsis with OR 8.14 and 3.89. Customized sequential organ failure assessment scoring system is more valid than APACHE II and SOFA to predict mortality, because it had better discrimination value and less missing value. [MEDICINA 2015;46:145-51].
MUTASI K RAS PADA KARSINOGENESIS KANKER KOLOREKTAL Sriwidyani, Ni Putu
Medicina Vol 44 No 2 (2013): Mei 2013
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.446 KB)

Abstract

Karsinogenesis kanker kolorektal merupakan proses multi-step, melibatkan berbagai abnormalitasgenetik. Mutasi gen K RAS sering ditemukan pada tumor ini. K RAS adalah gen yang menyandi proteinK ras, suatu produk proto-onkogen yang merupakan komponen penting pada jalur pensignalan darireseptor permukaan sel untuk mengontrol proliferasi, diferensiasi, dan kematian sel. Kebanyakanmutasi terjadi pada kodon 12 dan 13 dari ekson 1. Protein K ras mutan akan menyebabkan aktivasipersisten dari banyak signal downstream dari pertumbuhan dan survival sel. Pemeriksaan adanyamutasi pada gen K RAS memegang peranan penting pada prognosis dan terapi dari kanker kolorektal.[MEDICINA 2013;44:97-100].
CASE REPORT KALLMANN SYNDROME IN A 14-YEAR-OLD BOY Anggraeni, Melisa; Arimbawa, Made; Suryawan, IW Bikin
Medicina Vol 44 No 1 (2013): Januari 2013
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1228.539 KB)

Abstract

Kallmann syndrome is a combination of hypogonadotropic–hypogonadism due to gonadotropine releasing hormone (GnRH) deficiency with anosmia or hyposmia. Magnetic resonance imaging (MRI) reveals hypoplasia or aplasia of the olfactory bulbs. The incidence is estimated at 1 in 10.000 and 50.000 males and females respectively. The main clinical features consists of the absence of spontaneous puberty, partial or total loss of the sense of smell (anosmia). In this case report, we describe a 14 year old boy with Kallmann syndrome who was refferred with delayed puberty and lack of smell function. Physical examination revealed Tanner stage I and proven anosmia from olfactory test. Laboratory test showed low titer of testosteron. Testicular ultrasonography (USG) revealed small testicles. Treatment of this particular patient was with a 25 mg of intramuscular testosterone injection and were then increased by 25 mg every two weeks. Proper management of patients with Kallmann syndrome usually allows them to attain normal reproductive health.
RAPIDLY PROGRESSIVE GLOMERULONEPHRITIS IN CHILDREN Eva, Floria; Nilawati, Gusti Ayu Putu
Medicina Vol 46 No 1 (2015): Januari 2015
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (234.045 KB)

Abstract

Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN) is a rare syndrome in children and one of the nephrologyemergency which needs special attention. Rapidly progressive glomerulonephritis  is determined bysymptoms and signs of glomerulonephritis (GN); edema, hypertension, gross hematuria, and rapid lossof renal function. Early diagnosis and appropriate treatment play a critical role in saving renal functionand preventing permanent glomerular damage. Diagnosis was made based on clinical and laboratoryfindings. We reported two cases of RPGN in an eleven year old boy and an eight year old boy. The patientcame  to  the pediatric outpatient clinic at sanglah hospital with chief complaint dark  ?cola colored?urine. Laboratory work up showed proteinuria, erythrocyturia, decrease of C3 and normal C4 complementlevel, increased serum urea and creatinine level and loss of renal function in a few days with glomerularfiltration  rate  decreased. Based  on  clinical  and  laboratory  findings,  the  patient was  diagnosed  asrapidly progressive glomerulonephritis. The patient was given methylprednisolone pulses for 3 days,followed  by  high  dose  oral methylprednisolone. Prognosis  of  the  patient was  good.  [MEDICINA2015;46:46-51].
KOREA SYDENHAM DAN KARDITIS TERSEMBUNYI PADA SEORANG ANAK PEREMPUAN USIA 9 TAHUN Widyanti, Putu Ayu; Gunawijaya, Eka; Sutriani, Dewi
Medicina Vol 43 No 1 (2012): Januari 2012
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (686.6 KB)

Abstract

Korea Sydenham adalah bentuk paling umum dari gerakan korea yang diperoleh pada masa kanak-kanak, dan  merupakan salah satu kriteria diagnostik utama demam rematik. Korea Sydenham ditandai dengan gerakan involunter yang menghilang saat tidur, ketidakstabilan emosional, dan hipotonia. Kasus adalah anak perempuan berumur 9 tahun dengan gerakan coreatic (gerakan involunter pada lengan dan kaki). Gerakan tersebut juga ditemukan pada lidah sehingga pasien sulit untuk berbicara. Pasien juga memiliki ketidakstabilan emosi, dan kelemahan otot. Riwayat trauma disangkal.  Pada pemeriksaan fisik ditemukan murmur di daerah apex jantung, holosistolik, derajat  2/6, meniup, dan menyebar sepanjang aksila. Pada echocardiography didapatkan  regurgitasi mitral moderat (MR) dan regurgitasi aorta (AR) karena karditis. Diagnosisnya adalah Korea Sydenham dan karditis. Pasien  diterapi dengan erythomicin 250 mg empat kali sehari selama 10 hari, dan eritromisin 250 mg oral dua kali sehari untuk profilaksis. Untuk terapi simtomatik diberikan haloperidol 2 mg dua kali sehari dan trihexyphenidil 0.5 mg tiga kali sehari. Respon terapi dan prognosis baik. (MEDICINA 2012;43:54-59).
Osmolalitas plasma sebagai alternatif acute physiologic and chronic health evaluation II untuk memprediksi mortalitas pada pasien kritis yang dirawat di Intensive Care Unit RSUP Sanglah Wardani, Ni Putu; Wiryana, Made; Suarjaya, Putu Pramana
Medicina Vol 47 No 1 (2016): Januari 2016
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (404.927 KB)

Abstract

Prediksi mortalitas bersifat esensial pada manajemen perawatan intensif. Acute Physiologic and Chronic Health Evaluation II merupakan sistem skor kompleks yang umum digunakan di Intensive Care Unit (ICU), sedangkan osmolalitas plasma merupakan salah satu sistem skor parameter tunggal yang diketahui dapat menjadi alternatif prediktor mortalitas di ICU. Tujuan penelitian untuk mengetahui besar nilai area undercurve (AUC), sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif dari kedua prediktor dan mengetahui adanya perbedaan bermakna dari nilai AUC kedua prediktor tersebut. Penelitian merupakan uji diagnostik metode cross sectional yang melibatkan 134 subjek. Uji diagnostik menggunakan kurva ROC dan tabel 2x2. Perhitungan data didapatkan nilai AUC osmolalitas plasma sebesar 75,9% (IK95% 67,7 sampai 84,3%), dengan cut off point 297 mOsm/kg, sensitifitas 70,0%, spesifisitas 79,7%. Tabel 2x2 menghasilkan NDP sebesar 79,0% (IK95% 66,8 sampai 88,3%), NDN 70,8% (IK95% 58,9 sampai 81%). Nilai AUC APACHE II sebesar 83,4% (IK95% 76,5 sampai 90,3%) dengan cut off point sebesar 24, sensitifitas 72,9%, spesifisitas 81,3%. Tabel 2x2 menghasilkan NDP 81,0% (IK95% 69,1 sampai 89,8%), NDN 73,2% (IK95% 61,4 sampai 83,1%). Analisis ROC didapatkan nilai P=0,19. Nilai AUC osmolalitas plasma tergolong level sedang (>70-80%), APACHE II tergolong level baik (>80-90%). Analisis ROC dengan P>0,05 menyatakan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kurva ROC kedua prediktor. Sekalipun osmolalitas plasma memiliki nilai diagnostik sedang, dibandingkan APACHE II dengan nilai diagnostik baik tetapi perbedaan nilai tersebut tidak bermakna sehingga osmolalitas plasma dapat digunakan sebagai alternatif APACHE II untuk prediktor mortalitas di ICU. Prediction of in-hospital mortality is essential for management of intensive care. Complex scoring system commonly used is APACHE II, meanwhile plasma osmolality is a single parameter scoring system that has known to be an alternative for mortality predictors in the Intensive Care Unit (ICU). The objective of this study was to determine the area undercurve (AUC) value, sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value for both predictors and to determine significant differences in AUC values in both scoring system. This was a diagnostic test with cross-sectional method that included 134 subjects. Diagnostic test using ROC curves and 2x2 tables. Result of plasma osmolality with AUC 75.9% (95%CI 67.7 to 84.3%). Cut off point was 297 mOsm/kg, sensitivity was 70.0%, and specificity was 79.7%. Two point two table with PPV 79.0% (95%CI 66.8 to 88.3%) and NPV 70.8% (95%CI 58.9 to 81%). The AUC for APACHE II was 83.4% (95%CI: 76.5 to 90.3%). Cut off point was 24, sensitivity was 72.9%, and specificity was 81.3%. Two point two table with PPV 81.0% (95%CI 69.1 to 89.8%) and NPV 73.2% (95%CI 61.4 to 83.1%). ROC analysis with P value=0.19. AUC values of plasma osmolality was at moderate level (>70 to 80%), APACHE II at good level (>80 to 90%). ROC analysis with P>0.05 states there was no significant difference between the ROC curves in both predictors. Although plasma osmolality has moderate diagnostic value, compared with APACHE II, with a good diagnostic value but the value differences was unsignificant thus plasma osmolality can be used as an alternative of APACHE II for mortality predictors in critically ill patients in the ICU.
FAKTOR RISIKO KEJADIAN LUAR BIASA HEPATITIS A DI SEKOLAH DASAR NEGERI SELULUNG DAN BLANTIH, KINTAMANI Aryana, I Gede Ketut; Sanjaya Putra, I Gusti Ngurah; Karyana, I Putu Gede
Medicina Vol 45 No 2 (2014): Mei 2014
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (225.668 KB)

Abstract

Hepatitis A terjadi secara sporadis dan epidemik di seluruh dunia, dengan kecenderungan untuk kambuh secara siklik. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bangli tahun 2012 dan awal 2013 terjadi kejadian luar biasa hepatitis A di Kintamani, Bangli. Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian luar biasa hepatitis A pada anak-anak sekolah dasar di Kintamani. Penelitian ini merupakan penelitian kasus-kontrol. Data kasus diambil dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Selulung dan Blantih, sedangkan kontrol dari SDN Sekaan, Kintamani. Penelitian dilaksanakan bulan April sampai Mei 2013. Analisis data dengan uji Kai-kuadrat, analisis bivariat dengan tingkat kemaknaan á=0,05, interval kepercayaan (IK) 95%, dilanjutkan analisis multivariat. Pemanfaatan jamban yang tidak baik bermakna secara statistik berhubungan dengan kejadian luar biasa hepatitis A dengan rasio odds 18,0 (IK95% 4,38 sampai 74,01), P<0,001. Pemanfaatan jamban yang tidak baik bermakna secara statistik sebagai faktor risiko kejadian luar biasa hepatitis A pada anak-anak sekolah dasar di Kintamani. [MEDICINA 2014;45:79-83]    
OBESITAS DAN DEFISIENSI BESI: BEBAN GIZI GANDA PADA SEORANG ANAK Sidiartha, I Gusti Lanang
Medicina Vol 44 No 1 (2013): Januari 2013
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1202.435 KB)

Abstract

Obesitas adalah kelebihan gizi, sedangkan de? siensi besi adalahkekurangan gizi. Kedua gangguan gizi ini menjadi masalah kesehatanglobal tidak hanya di negara sedang berkembang, namun juga di negarayang sudah maju. Prevalensi obesitas pada anak dilaporkan meningkatdari 4,2% tahun 1990 menjadi 6,7% tahun 2010 dan diperkirakan menjadi9,1% tahun 2020,1 sedangkan di Denpasar prevalensinya meningkat dari11% tahun 2002 menjadi 21,7% tahun 2010.2,3 Di lain pihak de? siensi besidengan/tanpa anemia dilaporkan berkisar antara 26-45%. Obesitasmaupun de? siensi besi berdampak buruk terhadap kesehatan anak.Obesitas bahkan dapat menyebabkan kematian pada usia muda,sedangkan de? siensi besi berhubungan dengan kemampuan motorikdan kecerdasan anak yang rendah.
Risk factors of neonatal mortality in sanglah hospital denpasar Lufyan, Reddy; Kardana, Made; Subanada, Ida Bagus
Medicina Vol 47 No 3 (2016): September 2016
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2538.963 KB)

Abstract

The neonatal mortality continues to be one of the global burden for both developed and developing countries. Information on neonatal mortality at international level is in great demand because it emerges as an increasingly prominent component of overall under-five mortality. Since causes of neonatal death vary by country and with the availability and quality of health care, understanding neonatal mortality in relation to these factors is crucial. This study aimed to acknowledge the characteristics and identify the related risk factors of neonatal mortality in Sanglah Hospital Denpasar. This study was a case control study performed in Sanglah Hospital Denpasar. Data was obtained from medical record and registry, analyzed as bivariate using chi-square test and multivariate by using logistic regression analysis model. This study involved 96 subjects for each case and control group. Bivariate analysis showed that asphyxia, low birthweight, major congenital anomaly, prematurity, respiratory distress syndrome, and sepsis were risk factors of neonatal mortality. Multivariate analysis showed that major congenital anomaly (OR 15.67; 95%CI 3.43 to 71.57), prematurity (OR 4.99; 95%CI 1.23 to 20.17), and respiratory distress syndrome (OR 34.90; 95%CI 12.79 to 95.26) were the most significant risk factors of neonatal mortality. In conclusion, neonatal mortality is still an important issue to be concerned seriously. Respiratory distress syndrome, major congenital anomaly, and prematurity were the most significant risk factors associated to neonatal mortality. Better understanding of the risk factors would increase the clinical awareness, develop, and improve better service for neonatal care to reduce neonatal mortality rate. Keywords: risk factor, neonatal, mortality