Penggunaan nama pinjaman oleh warga negara asing (WNA) untuk memperoleh kepemilikan tanah di Indonesia dikenal sebagai praktik nominee agreement. Praktik ini kerap dianggap sebagai strategi untuk menghindari pembatasan hukum yang melarang WNA memiliki tanah dengan status hak milik. Keabsahan hukum dari perjanjian semacam ini menimbulkan perdebatan, terlebih dalam kaitannya dengan kasus hukum No: 144/PDT/2021/PT DPS yang turut ditelaah pada penelitian ini, termasuk konsekuensi dari kepemilikan tanah oleh WNA akibat perjanjian yang tidak sah. Penelitian ini memakai pendekatan yuridis normatif, dengan menelaah kasus konkret serta ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Untuk menganalisis permasalahan, digunakan teori perjanjian dan teori kepastian hukum. Temuan dalam studi ini mengindikasikan bahwa perjanjian nominee tergolong sebagai bentuk pelanggaran hukum, karena bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) yang secara tegas membatasi hak milik tanah hanya bagi WNI. Selain itu, perjanjian semacam ini mengandung unsur penyimpangan tujuan yang menunjukkan adanya niat tidak baik dari para pihak. Akibat hukum dari praktik tersebut adalah pembatalan hak atas tanah yang diperoleh secara tidak sah, dan pengembalian status tanah tersebut kepada negara. Dengan demikian, perjanjian nominee dinyatakan tidak sah karena tidak memenuhi unsur sahnya perjanjian, khususnya terkait dengan tujuan yang dibenarkan oleh hukum.