Jama’ah Tabligh (JT), a global Islamic revivalist movement, has undergone an unprecedented internal conflict that disrupted nearly a century of organizational harmony. A major leadership rift divided the movement into two factions: the Nizamuddin-based Maulana Saad (MS) group and the Pakistan-based Syuro Alami (SA) faction led by Sheikh Abdul Wahab. Over time, distinct characteristics have developed between the two factions, becoming particularly evident in Parongpong, West Bandung, although similar patterns appear elsewhere. While JT has often been studied as a peaceful, apolitical missionary movement, few scholarly works have systematically examined the causes and local consequences of its internal division. This study addresses that gap by analyzing the impact of the schism between the MS and SA factions, focusing on Parongpong as a microcosm of the global split. Employing a historical method that includes heuristic, critical, interpretive, and historiographical stages, the study draws upon oral sources collected between 2015 and 2023 through informal interviews with JT members in West Java—particularly in Parongpong and Bandung—as well as written materials such as the Buku Musyawarah Halakoh and publications from tablighi-jamaat.com. The findings reveal that the conflict stems from divergent perspectives on leadership structures, spiritual allegiance (bai‘at), missionary strategies, and theological interpretation. The SA group, often more digitally engaged and scholarly, contrasts with the orally oriented and tradition-centered MS followers. The conflict has deeply affected JT’s internal social fabric and global outreach. In Parongpong, it manifests in disrupted religious routines and divided loyalties among members. The novelty of this study lies in linking a global religious schism to its localized sociological expressions, offering new insights into how spiritual authority is contested, negotiated, and redefined within transnational Islamic movements. These findings contribute to broader understandings of organizational dynamics and internal fragmentation in contemporary Islamic movements. Jama’ah Tabligh (JT), sebuah gerakan kebangkitan Islam berskala global, telah mengalami konflik internal yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mengguncang hampir satu abad tradisi keharmonisan organisasional. Perpecahan kepemimpinan yang signifikan membagi gerakan ini menjadi dua faksi: kelompok Nizamuddin yang dipimpin oleh Maulana Saad (MS) dan faksi Syuro Alami (SA) yang berbasis di Pakistan di bawah pimpinan Syaikh Abdul Wahab. Seiring waktu, kedua faksi ini menunjukkan perbedaan karakteristik yang mencolok, terutama di Parongpong, Bandung Barat, meskipun pola serupa juga tampak di wilayah lain. Meskipun JT selama ini banyak dikaji sebagai gerakan dakwah yang damai dan apolitis, hanya sedikit penelitian yang secara sistematis menelaah penyebab serta dampak lokal dari perpecahan internal tersebut. Penelitian ini mengisi kekosongan tersebut dengan menganalisis dampak perpecahan antara faksi MS dan SA, dengan fokus pada Parongpong sebagai cerminan mikro dari perpecahan global. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang mencakup tahapan heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Data diperoleh dari sumber lisan—yang dikumpulkan antara tahun 2015 hingga 2023 melalui wawancara informal dengan anggota JT di Jawa Barat, khususnya Parongpong dan Bandung—serta sumber tertulis seperti Buku Musyawarah Halakoh dan publikasi di tablighi-jamaat.com. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik ini berakar pada perbedaan pandangan mengenai struktur kepemimpinan, ikatan spiritual (bai‘at), metode dakwah, dan interpretasi teologis. Faksi SA, yang cenderung lebih aktif secara digital dan akademis, berbeda dengan pengikut MS yang lebih berorientasi pada tradisi lisan dan konservatif. Konflik ini berdampak mendalam terhadap struktur sosial internal dan jangkauan global JT. Di Parongpong, perpecahan tampak melalui terganggunya rutinitas keagamaan dan terbelahnya loyalitas anggota. Kebaruan penelitian ini terletak pada upayanya menghubungkan perpecahan keagamaan global dengan manifestasi sosiologis lokal, sehingga memberikan wawasan baru mengenai bagaimana otoritas spiritual diperdebatkan, dinegosiasikan, dan didefinisikan ulang dalam gerakan Islam transnasional. Temuan ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang dinamika organisasi dan fragmentasi internal dalam gerakan Islam kontemporer.