Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

Praktik Monopoli Pada CV Indri Jati Furnitur di Pekanbaru Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Yetti; Cisilia Maiyori; Yelia Natassa Winstar
Jurnal Hukum Respublica Vol. 18 No. 1 (2018)
Publisher : Faculty of Law Universitas Lancang Kuning

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31849/respublica.v18i1.3955

Abstract

The purpose of this study: First, to explain the application of furniture production and marketing in CV Indri Jati Furniture in the perspective of antitrust law. Second, to analyze the legal consequences of furniture production and marketing applications on CV Indri Jati Furniture in the perspective of antitrust law. This type of research is sociological law, namely the monopolistic practice of CV Indri Jati Furniture in Pekanbaru based on Law no. 5 of 1999. The results of this study indicate that the application of furniture production and marketing at CV Indri Jati Furniture in the perspective of antitrust law is carried out in order to maintain company efficiency in production. However, the vertical integration in fact resulted in unfair business competition by creating competition barriers, as well as harming the community in this case, Karisma Jati Furniture and Rizki Jati Furniture. The legal consequences of a vertical integration agreement for business actors violating the provisions of Law No. 5 of 1999 is the imposition of sanctions for business actors in accordance with statutory provisions, namely administrative sanctions, principal penalties and additional crimes. If the vertical integration results in unhealthy business competition among business actors, the unavailability of access for business competitors to enter the market, a decrease in the quality of goods / products, a waste of money for companies, and no other choices for consumers to buy goods / products.
Analisis Hukum terhadap Daya Saing Produk Lokal Versus Impor Non Migas dari Tiongkok Yetti; Miftahul Haq; Dedy Felandry
Jurnal Hukum Respublica Vol. 20 No. 1 (2020): Jurnal Hukum Respublica
Publisher : Faculty of Law Universitas Lancang Kuning

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31849/respublica.v20i1.6273

Abstract

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah Implikasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 terkait UU No 5 Tahun 1999 terhadap daya saing produk lokal versus impor non migas dari Tiongkok dan akibat hukum nya . Metode penelitian ini dilakukan secara langsung dilapangan sesuai dengan jenisnya penelitian hukum sosiologis. Hasil penelitian diketahui bahwa impilikasi Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan untuk: setiap Penerima Barang per 1 (satu) hari; 1 (satu) kali pengiriman dalam waktu 1 (satu) hari, sepanjang nilai pabean atas keseluruhan narang kiriman tidak melebihi USD75.00 (tujuh puluh lima United States Dollar) dan akibat hukum nya aya saing produk lokal versus impor non migas dari Tiongkok adalah tidak berlakunya asas lex Superior de Rogat Lex Imperiori yang artinya secara hirarkhi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 yang hirarkhinya di bawah Undang-Undang mengalahkan undang-undang N0. 5 Tahun 1999.
TINJAUAN YURIDIS SAHNYA PERJANJIAN TERAPEUTIK DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN Rinaldi Syahputra; Sarina Uly; Armen Sosialisa Sihotang; Yetti
Humantech : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia Vol. 2 No. Spesial Issues 1 (2022): Humantech : Jurnal Ilmiah Multidisiplin Indonesia
Publisher : Program Studi Akuntansi IKOPIN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32670/ht.v2iSpesial Issues 1.1119

Abstract

This research aims to determine the therapeutic validity of a treaty based on the draft Civil Law, as well as how the legal protection for patients in a therapeutic agreement. In order for the results of this study can be used as either a doctor or patient understanding in knowing the rights and obligations to be performed by physicians and patients. Based on the results of research and discussion, it can be concluded that the agreement is an agreement Ispanning therapeutic verbintenis (based on business) so it was not the outcome, but a maximum effort to cure doctor patient who becomes the object of the agreement. Basic rights which are owned by the patient is the right to information in the medical consent includes the right to know of the condition of his illness, what action will be taken by the doctor, what is the procedure, what risks may arise from the action, alternative treatment besides medical treatment that would performed.
TANGGUNG JAWAB HUKUM PEMERINTAH TERHADAP KERUSAKAN JALAN YANG MENGAKIBATKAN KECELAKAAN Siregar, Solhani Guntur; Fahmi; Yetti
The Juris Vol. 8 No. 1 (2024): JURNAL ILMU HUKUM : THE JURIS
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/juris.v8i1.1271

Abstract

The purpose of this study is to analyze the Regulation of Government Legal Responsibility for Road Damage Resulting in Accidents Based on Law Number 22 of 2009 Concerning Traffic and Road Transportation, To analyze the Government's Legal Responsibility for Road Damage Resulting in Accidents Based on Law Number 22 of 2009 Concerning Traffic and Road Transportation. The method used is normative legal research, namely research based on applicable legal principles, in this case the research was conducted on the Government's Legal Responsibility for Road Damage Resulting in Accidents Based on Law Number 22 of 2009 Concerning Traffic and Road Transportation. Based on the results of the study, it is known that the Regulation of Government Legal Responsibility for Road Damage Resulting in Accidents Based on Law Number 22 of 2009 Concerning Traffic and Road Transportation that the Government is required to carry out road maintenance and repairs, provide warning signs during the repair process, and can be held legally accountable if proven negligent. However, the main challenge lies in the implementation in the field, where further efforts are still needed to ensure the safety and comfort of road users. Thus, it is expected that the government can be more serious in carrying out its responsibilities to reduce the risk of accidents due to road damage. Government's Legal Responsibility for Road Damage Causing Accidents Based on Law Number 22 of 2009 concerning Traffic and Road Transportation, the Government is required to carry out road maintenance and repairs, provide warning signs during the repair process, and can be held legally accountable if proven negligent. However, the main challenge is ensuring effective implementation in the field to reduce the risk of accidents due to road damage. It is expected that with the increased seriousness of the government in carrying out its responsibilities, the safety and comfort of road users can be more assured.
KEWENANGAN PENYIDIK POLRI DALAM PEMANGGILAN NOTARIS SEBAGAI SAKSI DALAM PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM Delfit; Yetti; Dewi, Sandra
Collegium Studiosum Journal Vol. 7 No. 2 (2024): Collegium Studiosum Journal
Publisher : LPPM STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/csj.v7i2.1392

Abstract

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ini mengatur bahwa untuk kepentingan proses peradilan, baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim dapat mengambil fotokopi minuta akta dan/atau memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh notaris, tetapi harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Pasal ini bertujuan melindungi notaris dalam menjalankan tugasnya agar tidak sembarangan dipanggil atau diminta dokumen terkait akta yang dibuatnya tanpa prosedur yang jelas. Namun, dalam praktiknya, terdapat masalah terkait dengan norma ini, di mana penyidikan terhadap notaris dapat terganggu atau tertunda karena proses perizinan dari MKN. Beberapa pihak menganggap proses ini bisa memperlambat penyidikan pidana, sementara pihak lain menganggap bahwa hal ini penting untuk melindungi independensi notaris. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaturan dan kepastian hukum kewenangan penyidik polri memanggil notaris sebagai saksi dalam perkara pidana, untuk menganalisis pengaturan yang ideal kewenangan penyidik polri memanggil notaris sebagai saksi dalam perkara pidana. Metode yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengaturan dan kepastian hukum kewenangan penyidik polri memanggil notaris sebagai saksi dalam perkara pidana bahwa pemanggilan notaris untuk memberikan keterangan atau menyerahkan protokol notaris dalam perkara pidana harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) atau Ketua Pengadilan Negeri. Kehadiran notaris sebagai saksi merupakan sesuatu yang penting terlebih jika MKN telah memberikan persetujuan atas pemeriksaan notaris karena meskipun salinan akta notaris merupakan representasi/perwakilan notaris yang membuatnya artinya dengan penyidik yang telah memegang salinan akta sudah cukup tanpa hadirnya notaris sebagai saksi akan tetapi hadirnya notaris dapat menjadikan semuanya jelas. Arti penting yuridis kehadiran notaris sebagai saksi di persidangan yaitu yang pertama memenuhi kewajiban sebagai warga negara baik dalam profesinya maupun pribadi karena pada dasarnya semua orang harus taat hukum tanpa terkecuali tidak ada yang kebal hukum atau memiliki hak imunitas begitu juga dengan notaris. Pengaturan yang ideal kewenangan penyidik polri memanggil notaris sebagai saksi dalam perkara pidana bahwa seharusnya mampu menjawab kebutuhan penegakan hukum secara efektif tanpa mengabaikan perlindungan terhadap notaris. Hal ini dapat dicapai melalui beberapa upaya perbaikan. Pertama, diperlukan sinergi yang lebih baik antara UUJN dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk memastikan prosedur yang lebih cepat dan sederhana tanpa mengurangi akuntabilitas. Kedua, MPD sebagai institusi yang berwenang memberikan persetujuan seharusnya memiliki pedoman operasional yang jelas dan tenggat waktu yang tegas dalam memberikan keputusan, sehingga tidak menghambat proses penyidikan.
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP SEDIAAN FARMASI YANG TIDAK MEMILIKI IZIN EDAR Amanda, Jelli Putra; Yetti; Dewi, Sandra
Collegium Studiosum Journal Vol. 7 No. 2 (2024): Collegium Studiosum Journal
Publisher : LPPM STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/csj.v7i2.1435

Abstract

Article 143 of Law Number 17 of 2023 on Health stipulates that: (1) Any individual who produces and/or distributes pharmaceutical preparations, medical devices, and household health supplies (PKRT) must obtain business permits from the Central or Regional Government in accordance with their authority, based on norms, standards, procedures, and criteria as stipulated by applicable laws and regulations. (2) Any individual who produces and/or distributes pharmaceutical preparations, medical devices, and PKRT that have obtained business permits but are proven to not meet safety, efficacy, and quality requirements shall be subject to administrative sanctions in accordance with laws and regulations in the field of business licensing. (3) Business permits as referred to in paragraph (1) do not apply to traditional herbal medicine (jamu) sellers, herbal medicine makers, and facilities for the production of specially used drugs. (4) Business licensing related to pharmaceutical preparations, medical devices, and PKRT as referred to in paragraphs (1) and (2) shall be carried out in accordance with applicable laws and regulations. The research method used is sociological legal research. Based on the research results in Pekanbaru, it was found that the regulation has not been implemented as expected. This is evident from the widespread presence of pharmaceutical products, including cosmetics and drugs, that do not have the required permits in the city. In the context of law enforcement against unlicensed pharmaceutical preparations, although the law provides a clear legal framework to regulate and supervise the circulation of drugs and cosmetics, significant challenges remain in effective monitoring and enforcement on the ground. Many drugs and cosmetics are circulated without distribution permits, posing potential risks to public health. Legal action against perpetrators who market illegal drugs or cosmetics must be carried out firmly and consistently, with appropriate penalties to create a deterrent effect and prevent the circulation of harmful illegal goods.
PENGEMBALIAN BARANG BUKTI PASCA PUTUSAN BERKEKUATAN HUKUM DI RUPBASAN RENGAT Imelda, Rezky; Yetti; Dewi, Sandra
Collegium Studiosum Journal Vol. 7 No. 2 (2024): Collegium Studiosum Journal
Publisher : LPPM STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/csj.v7i2.1446

Abstract

Rupbasan Kelas II Rengat sebagai salah satu UPT di bidang penyimpanan benda sitaan dan barang rampasan negara, memainkan peran penting dalam menjaga barang bukti yang diperoleh dari berbagai tindak kejahatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang mendalam mengenai tanggungjawab pengembalian barang bukti pasca putusan berkekuatan hukum tetap di Rupbasan Rengat, guna memastikan bahwa lembaga ini berfungsi dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Urgensi penelitian ini terletak pada kebutuhan untuk memperbaiki sistem pengembalian barang bukti pasca putusan berkekuatan hukum, agar dapat memaksimalkan sistem peradilan pidana. Selain itu, pengembalian barang bukti penting dilakukan guna memastikan keadilan bagi korban, serta mencegah potensi kerugian bagi negara. Metode yang dipergunakan adalah penelitian hukum sosiologis. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Implementasi pengembalian barang bukti pasca putusan berkekuatan hukum tetap di Rupbasan Rengat bahwa implementasi pengembalian barang bukti sering kali menghadapi kendala teknis dan administratif, terutama terkait keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur. Meskipun prosedur hukum telah ditetapkan melalui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pelaksanaannya memerlukan upaya yang konsisten untuk memastikan barang bukti dikembalikan kepada pihak yang berhak sesuai dengan putusan pengadilan. Pengawasan pengembalian barang bukti pasca putusan berkekuatan hukum tetap di Rupbasan Rengat bahwa pengawasan dalam proses ini juga memegang peranan penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Di Rupbasan Rengat, pengawasan internal dan eksternal perlu ditingkatkan agar setiap langkah dalam proses pengembalian barang bukti berjalan sesuai prosedur hukum. Namun, keterbatasan teknologi dan koordinasi antarlembaga masih menjadi hambatan yang perlu diatasi. Pertanggungjawaban pengembalian barang bukti pasca putusan berkekuatan hukum tetap di Rupbasan Rengat bahwa Rupbasan memiliki kewajiban penuh untuk menjaga barang bukti dalam kondisi baik selama penyimpanan dan memastikan barang tersebut dikembalikan sesuai dengan amar putusan pengadilan. Jika terjadi kerusakan atau kehilangan, tanggung jawab hukum dan moral harus ditegakkan.
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU DALAM TRANSAKSI KEUANGAN BERDASARKAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 01/POJK.07/2013 Yetti; Miftahul Haq; Dedy Felandry
Jotika Research in Business Law Vol. 1 No. 1 (2022): Januari
Publisher : Jotika English and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56445/jrbl.v1i1.25

Abstract

Klausula baku yang disebut eksonerasi adalah klausula yang membebaskan, membatasi, atau mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha, yang pada gilirannya akan memberatkan atau merugikan konsumen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Implikasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen terhadap perjanjian baku dalam transaksi keuangan adalah perjanjian baku masih dipraktikkan di bank dalam bentuk aplikasi formulir pembukaan rekening simpanan yang memuat klausula eksonerasi yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Akibat hukum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen terhadap perjanjian baku dalam transaksi keuangan adalah perjanjian baku yang mengandung klausula eksonerasi pada aplikasi formulir pembukaan rekening tabungan di bank secara yuridis dapat berakibat batal demi hukum.
IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM KERJASAMA ANTARA PT PERTAMINA HULU ROKAN DAN PT PATRA DRILLING CONTRACTOR DI KECAMATAN MANDAU KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU Dedy Felandry; Yetti; Miftahul Haq; Raihan Farras
Jotika Research in Business Law Vol. 1 No. 2 (2022): Juli
Publisher : Jotika English and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56445/jrbl.v1i2.51

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis Prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam rangka mewujudkan Asas Keadilan Dan Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perusahaan, untuk dapat dijadikan pedoman bagi Perusahaan dalam menjalankan operasionalnya. Hasil dari penelitian tentang Prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam rangka mewujudkan Asas Keadilan Dan Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perusahaan tersebut dapat dijadikan sebagai pijakan dasar dalam menjalankan roda perusahaan. Selain itu, rumusan tersebut dapat bermanfaat bagi pemangku kebijakan dalam rancangan Peraturan Perundang-undangan, dan peraturan-peraturan lainnya. Target khusus penelitian ini adalah terumuskannya bentuk Prinsip GCG dalam perusahaan terutama BUMN. Dan hasil penelitian yang didapat dijadikan sebagai evaluasi atas konsistensi antara idealisme peraturan perundang-undangan secara normatif dengan praktik yang dilakukan di lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis yang disebut juga penelitian hukum kepustakaan, yakni suatu metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka yang ada. Sumber data dalam penelitian ini Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Bahan Hukum Sekunder, yakni data yang berasal dari berbagai literatur, buku-buku teks, hasil penelitian, pendapat-pendapat ahli hukum, yang berkaitan dengan penelitian; Bahan Hukum Tertier, yakni data yang berfungsi sebagai pendukung data primer dan sekunder yang berupa kamus dan ensiklopedia.
PRINSIP STRICT LIABILITY PELAKU USAHA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN ASAS KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Yetti; Miftahul Haq; Dedy Felandry
Jotika Research in Business Law Vol. 3 No. 2 (2024): Juli
Publisher : Jotika English and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56445/jrbl.v3i2.151

Abstract

Prinsip Strict Liability Pelaku Usaha Dalam Rangka Mewujudkan Asas Keadilan Dan Kepastian Hukum Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, untuk dapat dijadikan pedoman bagi Pelaku Usaha Jasa dan juga masyarakat selaku konsumen terkait dalam proses Pertanggungjawaban atas produk barang dan atau jasa yang dihasilkan jika berdampak kerugian kepada konsumen, sampai dengan hari ini belum dapat dilaksanakan dikarenakan adanya beberapa faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk penerapan prinsip strict liability pelaku usaha dalam rangka mewujudkan asas keadilan dan kepastian hukum konsumen, dan faktor apakah yang menjadi penghambat dalam penerapan prinsip strict liability pelaku usaha dalam rangka mewujudkan asas keadilan dan kepastian hukum konsumen. Hasil dan pembahasan dari penelitian bahwa walaupun Indonesia telah memiliki Norma dasar penegakan hukum perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, namun seringkali perkara yang diajukan ke pengadilan umum/negeri masih mempergunakan ketentuan-ketentuan berdasarkan pasal-pasal yang terdapat dalam KUHPerdata. Hal ini mengindikasikan bahwa aparat penegak hukum belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang dalil-dalil hukum yang terdapat dalam UUPK untuk dapat dipergunakan sebagai dasar gugatan dalam perkara-perkara sengketa konsumen. Hal tersebut diperparah dengan belum adanya persepsi yang sama diantara atau sesama aparat penegak hukum terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sulitnya menemukan perkara perselisihan product liability dan strict liability di pengadilan Indonesia karena para pihak yang bersengketa lazimnya menggunakan mekanisme sengketa perdata umum dan bukan melalui lembaga penyelesaian perselisihan sengketa konsumen.