Bachnas, Muhammad Adrianes
Unknown Affiliation

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search
Journal : Indonesian Basic and Experimental Health Sciences

TWIN TO TWIN TRANSFUSION SYNDROME APA YANG DAPAT KITA LAKUKAN DI PERIFER? Bachnas, Muhammad Adrianes
Indonesian Basic and Experimental Health Sciences Vol. 12 No. 1 (2023): November
Publisher : Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.11594/ibehs.vol12iss1pp35-40

Abstract

PENDAHULUAN Twin-Twin transfusion syndrome (TTTS) merupakan tantangan tersendiri bagi perifer. Hingga saat ini Fetoscopic laser photocoagulation (FLP) baru tersedia satu di seluruh Indonesia, yaitu di RSAB Harapan Kita, Jakarta. Sementara menurut perhitungan rasio kejadian TTTS terhadap angka kelahiran di Indonesia, tidak kurang dari 3000 kasus TTTS terjadi pertahunnya. Artinya, 10 kasus perhari membutuhkan tindakan tersebut. Maka bila di satu senter layak mengerjakan maksimal 3 kasus maka dibutuhkan 3-4 senter fetoskopi di Indonesia. Sementara kita menunggu terbitnya senter fetoskopi selain RSAB Harapan Kita Jakarta, maka apa yang mungkin dan bisa kita lakukan? TUJUAN Memberikan gagasan manajemen TTTS untuk daerah perifer berbasis telaah literatur beserta telaah kasus serial yang ditangani. Metode: Serial Kasus HASIL Empat kasus TTTS terdiagnosis rata-rata pada minggu 26.5 kehamilan (dari 23 – 29 minggu). Satu kasus datang sudah dalam persalinan tanpa intervensi. Satu kasus dilakukan amnnioreduksi. Dua kasus dapat dilakukan 50% dilakukan septostomi dan amnioreduksi. Lama waktu dari intervensi sampai dengan bayi lahir 19.6 hari. Didapatkan 100% (8 bayi) lahir hidup, tetapi hanya 37.5% (3 bayi) yang dapat bertahan hidup. Dua bayi lahir dari ibu yang sama dengan usia kehamilan 36 minggu, sayang bayi resipien meninggal beberapa saat setelah dilahirkan. Pada kasus lain Satu bayi donor juga berhasil bertahan hidup pasca tindakan septostomi yang lahir pada usia 32 minggu sementara resipien meninggal pasca salin. Cara persalinan, 50% (2 kasus) pervaginam dan 50% (2 kasus) perabdominam. KESIMPULAN Tindakan pertama terpilih untuk TTTS adalah fetoskopi dan laser ablasi dengan angka keselamatan kedua janin lebih dari 90%, hanya saja dikarenakan fasilitas ini belum tersedia di RSUD Dr. Moewardi maka diambil pilihan kedua, yaitu melakukan septostomi dan amnioreduksi. Tindakan septostomy dapat mencegah kompresi tali pusat pada janin donor akibat oligohidramnion, sehingga mengurangi probabilitas kematian intrauterin. Tindakan amnioreduksi dilakukan simultan setelah septostomy dapat mengurangi dypsnea dan nyeri perut akibat overdistensi serta prematuritas. Timing septostomi dan amnioreduksi ternyata sangat menentukan untuk setidaknya dapat menolong salah satu janin.