Claim Missing Document
Check
Articles

Found 52 Documents
Search
Journal : Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Awake Craniotomy: Pengalaman dengan Dexmedetomidin Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 3 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3580.765 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i3.120

Abstract

Awake craniotomy (AC) menggunakan anestesi lokal dan sedasi termonitor untuk mengambil tumor intrakranial yang mengenai eloquent cortex merupakan teknik yang telah diterima. Teknik ini memungkinkan dilakukan pemetaan intraoperatif yang memfasilitasi reseksi tumor secara radikal dan meminimalkan morbiditas dengan mempertahankan jaringan yang berfungsi. Kebutuhan pemetaan cortex adalah untuk menggambarkan fungsi otak, seperti bicara, sensoris, dan motoris dengan tujuan untuk mempertahankannya selama dilakukan reseksi. Obat yang diberikan harus dapat memberikan level sedasi dan analgesi yang adekuat untuk mengangkat tulang, tapi tidak mempengaruhi testing fungsonal dan elektrokortikografi. Prosedur sama dengan kraniotomi standar, tapi dengan satu perbedaan-pasien sadar penuh selama pemetaan korteks dan reseksi tumor. Pasien mampu bicara dan bergerak normal. Pasien tidak selalu bangun selama pembedahan, tapi tidur dalam 12 jam pertama dan atau setelah reseksi tumor. Tidak ada rasa sakit selama sadar. Sasaran anestesi adalah pasien nyaman, mampu tidak bergerak selama pembedahan, sadar dan kooperatif saat pemetaan korteks yang dapat dicapai dengan: 1) persiapan pasien yang adekuat, 2) lingkungan nyaman, 3) pemberian sedatif analgesik yang tepat, 4) selalu berkomunikasi dengan pasien, dan 5) cepat diterapi bila ada komplikasi. Dexmedetomidine adalah suatu a2 adrenoceptor agonist spesifik dengan efek sedatif, analgesik, anesthetic sparring effect, bangun bila distimulasi, efek proteksi otak, tidak adiksi, tidak menekan respirasi. Pasien yang diberikan dexmedetomidin bisa tersedasi dan nyaman tapi mudah dibangunkan dan mentoleransi AC yang berlangsung lama.Awake Craniotomy: Experience with DexmedetomidineAwake craniotomy (AC) using local anesthesia and monitored sedation in intracranial tumor removal involving eloquent cortex has been considered as an acceptable technique. It allows intraoperative mapping that facilitates radical tumor resection while minimizing morbidity by preserving functional tissue. Anesthesia for intracranial procedure requiring patient cooperation present a challange to the anesthesiologist. The need for cortex mapping is to describe brain function, such as verbal, sensoric and motoric aiming for maintain its function during resection. The administered drugs should provide an adequate level of sedation and analgesia for bone flap removal, but must not interfere with functional testing and electrocorticography. The procedure is very similar to a standard craniotomy, but with one difference-the patient is fully awake during cortical mapping and tumor resection. Patient is able to talk and move normally. The patient should not awake during surgery, but is in deep sleep for the first 1-2 hours and/or after tumor resection. There will be be no pain during conscious time. The goal of anesthesia is patients comfort, able to stay immobile on OR table during the procedure, and is alert and cooperative to comply with cortical mapping. These goals can be accomplished by 1) adequate preparation of the patients, 2) a comfortable environment, 3) appropriate administration of right analgetic and sedative medication, 4) conduct ongoing communication, 5) perform rapid treatment to any complications. Dexmedetomidine is a highly spesific a-2 adrenoceptor agonist with sedative, analgesic, anesthetic sparring effect, awake if stimulated, brain protection with no addiction effect nor suppress ventilation. Patients treated with dexmedetomidine will be sedated, comfortably but is easily aroused to tolerate a prolonged awake craniotomy.
Pengelolan Perioperatif Stroke Hemoragik Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.334 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i1.81

Abstract

Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoidhemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alkohol, neoplasma, atau angiopati amiloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan adanya sakit kepala, mual, muntah, kejang dan defisit neurologik fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada : 1) pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya.Perioperative Management of Hemorrhage StrokeHemorrhagic stroke is devastating disease and only 30% patients survive in 6 months after event. The common cause of intracranial hemorrhage are subarachnoid hemorrhage (SAH) from aneurysm, bleeding from arteriovenous malformation (AVM) or intracerebral hemorrhage. Intracerebral hemorrhage common correlation with hypertension, anticoagulant therapy, or other coagulopathi, drug and alcohol addict, neoplasm, or amyloid angiopathi. Mortality in 30 days is 50%. Outcome for hemorrhagic stroke worst than ischemic stroke with mortality arround 10-30%. Hemorrhagic stroke typically presents with headache, nausea, and vomiting as well as seizure and focal neurological deficits. Neurological dysfunction variated between headache untill coma. Early treatment focused on: 1) hemodynamic and cardiac, 2) airway and ventilation, 3) neurological function evaluation and the needed intracranial pressure monitoring or ventricular drainage or both.
Cedera Medulla Spinalis Akibat Fraktur Vertebra Cervical 5 6 Gaus, Syafruddin; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (539.902 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i4.180

Abstract

Cedera medulla spinalis akut merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan. Penyebab utama cedera medulla spinalis adalah trauma, dimana insidensinya pada laki-laki 5 kali lebih besar daripada perempuan. Laki-laki, 25 tahun, Berat Badan 50 kg, Tinggi Badan 160 cm. Pasien dikonsulkan ke Bagian Anestesi dengan paraplegia disebabkan karena fraktur vertebra C5-6 pro dekompressi dan stabilisasi posterior. Tanda vital: Tekanan Darah 120/60 mmHg; laju nadi 78 x/menit, reguler, kuat angkat; laju napas 18 x/menit, tipe abdominal; suhu afebris; dan VAS = 1/10. Penanganan cedera medulla spinalis, dimulai pada saat evaluasi awal, dimana terjaminnya jalan nafas menjadi prioritas utama, oksigenasi dan ventilasi yang adekuat, dan dilanjutkan dengan terapi untuk mencegah ataupun mengatasi komplikasi yang terjadi.Spinal Cord Injury Cause By Vertebra Cervical 5-6 FractureAcute spinal cord injury is common cause for weakness and morbidity. The primary cause of spinal cord injury is trauma, high incidency at man 5 time higher than woman. A man, 25 years old, body weight 50 kg, height 160 cm has been consulted to Department of Anesthesiology with paraplegia cause by vertebrae C5-6 fracture pro decompression and posterior stabilization. Vital sign: blood pressure 120/60 mmHg, heart rate 78/minute, regular, adequate volume, respiratory rate 18/minute, abdominal, temperature afebris, and VAS 1/10. The management of spinal cord injury, started in early evaluation, with the primary priority is airway, oxygenation, and adequate ventilation, and continuous with therapy for avoiding and treatment the complication.
Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Epidural Hemorrhage bersama dengan Operasi Fraktur Cruris Terbuka Subekti, Bambang Eko; Oetoro, Bambang J.; Rasman, Marsudi; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2135.461 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol6i1.38

Abstract

Cedera kepala merupakan masalah kesehatan utama, pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Epidural Hemorrhage (EDH) adalah salah satu bentuk cedera kepala yang sering terjadi. Epidural Hemorrhage umumnya terjadi karena robeknya arteri dan menyebabkan perdarahan di ruangan antara duramater dan tulang tengkorak. Kejadian cedera kepala ini biasanya juga dikuti dengan cedera di bagian tubuh lain yang juga memerlukan tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala saat ini difokuskan pada stabilisasi pasien dan menghindari gangguan intrakranial ataupun sistemik sehingga dapat menghindari cedera sekunder yang lebih buruk. Seorang laki-laki, 20 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran, fraktur femur tertutup dan fraktur cruris terbuka karena kecelakan lalu lintas. Setelah resusitasi dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju pernapasan 12 x/menit (reguler), tekanan darah 130/85 mmHg, laju nadi 78 x/menit (reguler). Pada pasien dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematoma dan debridement pada luka yang terbuka dengan anestesi umum dan dengan memperhatikan prinsip neuroanestesi selama tindakan bedah berlangsung.Anesthetic Management for Evacuation of Epidural Hemorrhagealong with Surgery Open Fracture CrurisHead trauma is a major health problem and considered as the leading cause of disability and death worldwide. Epidural Hemorrhage (EDH) is commonly seen in head trauma. Epidural Hemorrhage usually occurs due to ripped artery that coursing the skull causing blood collection between the skull and dura. The incidence of head trauma is usually followed by injuries in other body parts that require surgery.Head trauma management is currently focusing on patients stability and prevention the intracranial and haemodynamic instability to prevent the secondary brain injury. A 20 years old male patient, admitted to the hospital with decreased level of consciousness, closed fracture femur and open fracture cruris after traffic accidents. On examination, no airway obstruction found, respiratory rate was 12 times/min (regular), blood pressure 130/85 mmHg, heart rate 78 bpm (regular). Patient was managed with emergency hematoma evacuation and debridement of wounds under general anesthesia and with continues and comprehensive care using neuroanesthesia principles.
Ambang Hemoglobin pada Cedera Otak Traumatik Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 3 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2059.871 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i3.73

Abstract

WHO mendefinisikan anemia bila konsentrasi Hb12g/dL pada wanita dan 13 g/dL pada laki-laki. Anemia merupakan salah satu komplikasi medikal yang paling sering pada pasien sakit kritis, termasuk pasien dengan kelainan neurologik. Kira-kira 2/3 pasien mempunyai kadar Hb12 g/dL pada saat masuk ke ICU, dan kemudian terjadi penurunan 0,5 g/dl/hari. Transfusi PRC memelihara hematokrit dan kapasitas pembawa oksigen, tapi dihubungkan dengan peningkatan resiko infeksi, gagal multiorgan termasuk gagal nafas, kejadian tromboembolik, dan kematian. Penelitian telah menunjukkan bahwa untuk kebanyakan pasien sakit kritis, tidak ada keuntungan untuk mempertahankan konsentrasi hemogloblin yang lebih tinggi.Disamping penemuan pada pasien sakit kritis, diketahui bahwa konsentrasi Hb serendah 7 g/dL tidak dapat ditolerir pada pasien dengan cedera otak traumatik berat maka indikasi transfusi bila Hb7g/dL. Penelitian telah menunjukkan tidak ada perbedaan dalam mortalitas atau mendukung suatu hubungan antara transfusi dengan lebih buruknya outcome. Mempertahankan konsentrasi Hb sekitar 9-10g/dL adalah suatu strategi terapi yang telah lama dilakukan untuk memperbaiki oksigenasi otak pada pasien dengan cedera otak traumatik. Kemungkinan efek menguntungkan lain dari mempertahankan konsentrasi Hb yang lebih tinggi adalah untuk menghindari peningkatan tekanan intrakranial yang dipicu oleh anemia dan untuk memberikan tekanan darah yang lebih tinggi serta tekanan perfusi otak yang lebih baik. Simpulan adalah anemia berat dan transfusi RBC bisa mempunyai pengaruh pada outcome klinis, transfusi restriksif aman dan sering dianjurkan, indikasi transfusi bukan dari kadar Hb tapi dari sinyal otak misalnya brain tissue oxygen tension dan regional cerebral oxygen saturation.Hemogloblin Treshold in Traumatic Brain InjuryWHO defined anemia as a Hb concentration 12 gr/dL in women and 13 g/dL in men. Anemia is one of the most common medical complication in critically ill patient, including patient with neurologic disorder. About 2/3 patient have Hb concentration 12 g/dL at the time of ICU admission with subsequent decrement of about 0.5 g/dL per day. PRC transfusion improve hematocrit and oxygen carrying capacity, but have correlation with increase infection risk, multiorgan failure including respiratory failure, thromboembolic event and death. The study show that for common critically ill patient, no benefit to keep Hb concentration in higher level. Beside in critically ill patient, Hb concentratrion as low as 7 g/dL can be tolerir in severe traumatic brain injury and indication for transfusion if Hb7g/dL. Study show that no different in mortality or support a relation between transfusion and worst outcome. Keeping Hb concentration arround 910g/dL is a strategy therapy to improve brain oxygenation in traumatic brain injury patient. The possibility othe advantageus in higher Hb concentration is to avoid increase ICP cause by anemia and to increase blood pressure and better cerebral perfusion pressure.The conclusion is severe anemia and RBC transfusion have some effect in clinical outcome, restrictive transfusion safe and advisable, transfusion indication not only from Hb level but from brain signaling ec brain tissue oxygen tension and regional cerebral oxygen saturation.
Penurunan Kadar Glutamat pada Cedera Otak Traumatik Pascapemberian Agonis Adrenoseptor Alpha-2 Dexmedetomidin sebagai Indikator Proteksi Otak Prihatno, MM Rudi; Harahap, M. Sofyan; Akbar, Ieva B; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (380.859 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i2.138

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Dexmedetomidin untuk kasus-kasus neurotrauma masih kontroversi, antara yang setuju dan menolak. Dexmedetomidin sebagai agonis adrenoseptor ?2 memiliki beberapa keuntungan dalam kaitannya dengan kemampuannya sebagai neuroprotektan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek neuroproteksi dari dexmedetomidin yang dilihat dari pengaruhnya terhadap penurunan kadar glutamat.Subjek dan Metode Penelitian single blind randomized controlled trial dilakukan pada 16 orang yang datang ke IGD RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dengan cedera otak traumatik dengan GCS ?8 pada MeiDesember 2013. Subjek dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok dexmedetomidin dan NaCl 0,9%. Pembedahan dilakukan dalam rentang waktu 9 jam pascatrauma. Pemeriksaan kadar glutamat dengan menggunakan metode ELISA. Analisis data menggunakan uji-t dan uji Mann-Whitney.Hasil: Kelompok yang mendapatkan dexmedetomidin menunjukkan bahwa pemberian dexmedetomidin 0,4 ?g/kgBB/jam secara kontinyu, menunjukkan penurunan kadar glutamat yang diukur mulai dari awal perlakuan hingga jam ke-24 sebanyak 27,9% (p=0,025), dari jam ke-24 hingga jam-72 sebanyak 9,6% (p=0,208), serta dari awal perlakuan hingga jam ke-72 sebanyak 57,1% (p=0,036). Kelompok yang tidak mendapatkan dexmedetomidin mengalami peningkatan kadar glutamat.Simpulan: Pemberian dexmedetomidin 0,4 ?g/kgBB/jam dapat menurunkan kadar glutamat pada pasien cedera otak traumatik dengan GCS ? 8.Decreased Level of Glutamate after Administration of Dexmedetomidine (Alpha-2 Adrenoreceptor Agonist) as Neuroprotective Indicator in Traumatic Brain InjuryBackground and Objective: The usage of Dexmedetomidine in neurotrauma cases is still controversial, between the pros and cons. Dexmedetomidine as ?2-adrenoceptor agonist has several benefits in concomitant with its properties as neuroprotector. This study aims to evaluate the neuroprotection effect of dexmedetomidine based on the decline in glutamate level.Subject and Method: This single blind randomized controlled trial was done in 16 TBI patients with GCS ? 8, recruited from May-December 2013. Subjects were equally divided into 2 groups: dexmedetomidine and 0.9% NaCl group. Surgery was performed within 9 hours post TBI. Glutamate level was examined using ELISA method. Data were analyzed using t-test and Mann-Whitney test.Result: This study showed that glutamate levels in patient who received continuous intravenous dexmedetomidine 0.4 mcg / kg / h were decreased, starting from baseline to 24 h (27.9%, p=0.025), 24 to 72 h (9.6%, p= 0.208) and baseline to 72 h (57.1%, p= 0.036). All patients in NaCl 0.9% group experienced an increase in glutamate level.Conclusion: Administration of dexmedetomidine 0.4 mcg/kg/h in TBI patient with GCS ? 8 could decrease glutamate level.
Pengelolaan Anestesi pada Perdarahan Intrakranial Akibat Stroke Hemoragik Lalenoh, Diana Christine; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (317.83 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i4.182

Abstract

Perdarahan Intraserebral /Intra cerebral haemorrhage (ICH) terjadi pada sekitar 20 orang dalam 100.000 populasi per tahunnya. Tipikal pasien stroke hemoragik adalah sepuluh tahun lebih muda dari pasien stroke iskemik. Mayoritas lokasi perdarahan ICH adalah subkortikal dan lebih 50% dari perdarahan intraserebral spontan terjadi dalam ganglia basalis. Populasi yang beresiko tinggi adalah pria, usia lanjut, serta ras Afrika, Amerika, dan Asia. Stroke merupakan satu diantara sekian banyak situasi klinik yang memerlukan proteksi sistem saraf optimal. Obat-obatan seperti Barbiturat, Etomidat, Propofol, Isofluran, Metilprednisolon, Tirilazad mesylat, Nimodipin, Nikardipin, dan Mannitol sering digunakan untuk proteksi jaringan saraf. Pada laporan kasus ini dilaporkan keberhasilan penanganan anestesi pada penderita pria, 41 tahun, berat badan 60 kg, dengan diagnosis Perdarahan Intrakranial/ICH parietal kiri dengan edema ec stroke hemoragik. Pasien menjalani tindakan kraniotomi untuk evakuasi bekuan darah yang durante operasi ditemukan pada percabangan arteri serebri media kiri (arteri Talamostriata). Tekanan darah awal saat masuk kamar operasi adalah 214/142 mmHg, laju nadi 92 kali/menit, laju napas 28 kali/menit, suhu 360C. Glasgow Coma Scale / GCS E1 V1 M4. Sesudah tiga setengah jam operasi selesai dan pasien ditransfer ke Intensive Care Unit / ICU. Sesudah enam hari pasien dipindahkan ke ruangan. Penanganan anestesi untuk perdarahan intrakranial karena stroke hemoragik adalah sangat penting untuk menerapkan prinsip dasar neuroproteksi baik secara farmakologik maupun non farmakologik, di samping penanganan untuk hipertensi emergensi.Anesthesia Management in Intracranial Haemorrhagic Because of Haemorrhagic Stroke Intra cerebral haemorrhage (ICH) burdens approximately 20 in 100,000 people every year. The typical hemorrhagic stroke patient is ten years younger than the ischemic stroke patient. Most ICH bleeds are subcortical and over 50% of spontaneous intracerebral hemorrhages occur in the basal ganglia. Populations at greatest risk include men, the elderly and African American, and Asian. Stroke is one of among clinical situations where protecting the central nervous system is a priority. Drugs such as barbiturates, etomidate, propofol, isoflurane, methylprednisolone, tirilazad mesylate, nimodipine, nicardipine, and mannitol are used for protecting the nervous tissue. Here we report successful anesthetic management in male, 41 yrs old, 60 kgs body weight, diagnose was left parietal Intra Cranial Haemorrhage (ICH) with oedema ec Haemorrhage stroke. Undergoing Craniotomy procedure to evacuate blood clot in left median cerebral artery (Thalamo Striata artery). Blood pressure was 214 / 142 mmHg, HR 92 x / m, RR 28 x /m ,core temperature 360 C. GCS E1 V1 M4. After undergoing 3 hours and 30 minutes anesthesia for craniotomy was ended, patient transfer to ICU. After 6 days patient was transfer to ward. Anesthesia managementi in Intracranial Bleeding ec Haemorrhagic Stroke is very important for basic brain rescucitation perioperatively with pharmacological and non pharmacological strategies, besides principle management of hypertensive emergencies.
Efek Proteksi Otak Erythropoietin Fuadi, Iwan; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2678.354 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i2.109

Abstract

Eritropoietin (EPO) adalah hormon ginjal yang berfungsi mempertahankan jumlah eritrosit. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa EPO adalah molekul multifungsi yang dihasilkan dan digunakan oleh berbagai jaringan. Selain eritropoiesis. EPO juga terlibat pada respon biologis kerusakan jaringan akut dan subakut. Eritropoietin tidak hanya berperan dalam eritropoiesis tetapi juga memiliki efek proteksi otak dengan merangsang protein of repair, mengurangi eksitotoksisitas neuron, mengurangi inflamasi, menghambat apoptosis neuron dan merangsang neurogenesis dan angiogenesis pada penelitian eksperimental cedera iskemia, hipoksia dan cedera toksik. EPO juga memperbaiki outcome neurologik dan fungsi mental. Ditemukannnya EPO dan reseptor EPO (EPOR) di organ-organ dan jaringan non eritroid menunjukkan EPO mempunyai fungsi yang lain. Produksi ekstrarenal dari EPO ditemukan pada binatang pengerat dewasa dan pada manusia dengan severely anemic anephric masih ditemukan kadar EPO walau sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi sintesa ekstrarenal dari EPO. Berbagai jenis sel pada sistem saraf pusat memproduksi EPO dan mengkespresikan EPOR. Mekanisme kerja EPO dapat mempengaruhi berbagai langkah dalam kaskade kematian sel. EPO dapat mencegah kematian sel neuron eksitotoksik yang diakibatkan oleh berbagai reseptor glutamat agonis juga melindungi sel neuron dari toksisitas yang diakibatkan oleh kainate, NMDA dan AMPA. EPO dapat melawan efek sitotoksik dari glutamat, meningkatkan ekspresi enzim-enzim antioksidan, mengurangi pembentukan radikal bebas, memperbaiki aliran darah serebral, mempengaruhi pelepasan neurotransmiter, dan meningkatkan angiogenesis. EPO tidak hanya berfungsi dalam proses eritropoiesis tetapi juga mempunyai efek protektor otak. Jalur proteksi otak dari EPO memang masih belum jelas tetapi penelitian-penelitian menunjukkan terdapat perbaikan dari otak baik secara klinis maupun laboratoris setelah pemberian EPO.Brain Protection Effect of ErythropoietinErythropoietin (EPO) has been viewed solely as a renal hormone with a specialized role in maintaining adequate numbers of erythrocytes. However, recent studies have revealed that EPO is a multifunctional molecule produced and utilized by many tissues. In addition to erythropoiesis, EPOs other key roles involve the acute and sub acute biological responses to tissue damage. Studies showed that EPO stimulates proteins of repair, diminishes neuronal excitotoxicity, reduces inflammation, inhibit neuronal apoptosis and stimulates both neurogenesis and angiogenesis. EPO also improved neurological outcomes and mental function. The discovery of EPO and EPOR (erythropoietin receptor) in many non-erythroid organs and tissues suggested that EPO has other roles. Extrarenal production of EPO found in adult rodents and in humans. Different cell types in the nervous system produce EPO and express EPOR. EPO mechanism influence every step in cascade of neuronal cell death. EPO prevents excitotoxic neuronal cell death caused by glutamate receptor agonists that protect neuron from toxicity from kainate, NMDA and AMPA. EPO can resist cytotoxic effect of glutamate, increased antioxidant enzymes expression, reduce free radical formation, repair cerebral blood flow, influence release of neurotransmitter dan angiogenesis. EPO function not only in erythropoiesis but also in brain protection. The brain protection pathway of EPO remains unclear but clinical and laboratory studies showed that good result.
Penatalaksanaan Anestesia pada Pasien Cretin dengan Hipopituitarisme Sekunder Akibat Kraniofaringioma Rahardjo, Theresia Monica; Fuadi, Iwan; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (349.422 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i3.177

Abstract

Kraniofaringioma adalah tumor sela dan parasela, yang merupakan 6-10% tumor otak pada anak-anak. Gejala umum merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala, muntah dan gangguan penglihatan. Disfungsi endokrin yang nyata merupakan gambaran umum kraniofaringioma akibat lokasi tumor terhadap kelenjar hipotalamus dan pituitari. Fisik pendek ditemukan pada 50-86% pasien dengan laju pertumbuhan subnormal dan pubertas yang terlambat. Seorang laki-laki, umur 20 tahun, pasien kretin dengan hipopituitarisme sekunder menjalanicraniotomy tumor removal dan penempatan omaya shunt. Dia memiliki riwayat sakit kepala sejak 13 tahun yang lalu disertai dengan gangguan penglihatan yang dimulai dari mata kiri dan saat ini dia buta. Dia juga menderita kegagalan pertumbuhan dan pubertas yang terhambat, memiliki fisik seorang anak laki-laki, dengan tinggi badan 140 cm dan berat badan 40 kg. Dia memiliki TSHs yang meningkat dengan T3 dan fT4 yang normal, LH dan FSH yang menurun, prolaktin yang normal, hormon pertumbuhan yang normal rendah dan kortisol yang menurun. Teknik anestesia yang digunakan adalah anestesia umum. Induksi dengan fentanyl, pentotal, lidocaine dan vecuronium dengan kombinasi N2O/O2 dan isoflurane. Rumatan anestesi dengan isoflurane dan kombinasi O2/udara. Pernapasan pasien dikontrol dengan dosis inkremental vecuronium untuk mempertahankan relaksasi. Mannitol dan furosemide diberikan untuk menurunkan tekanan intrakranial. Operasi berlangsung selama 5 jam. Setelah 5 hari di ICU, pasien dapat kembali keruangannya di Kemuning. Masalah pasien ini adalah peningkatan tekanan intrakranial, disfungsi endokrin dan kemungkinan kesulitan jalan napas akibat bentuk tubuh yang kecil. Kortikosteroid sebagai terapi penggantian hormonal diberikan sebelum operasi. Dosis obat anestesi disesuaikan dengan berat badan. Intubasi menggunakan laryngoscope blade dan endotracheal tube dengan ukuran lebih kecil. Selama operasi dihindari pemakaian nitrous oxide, digunakan konsentrasi rendah anestesi inhalasi dan penggunaan dominan anestesi intravena. Pemantauan post operatif dilakukan di ICU dengan memperhatikan kemungkinan komplikasi hormonal seperti diabetes insipidus dan hiponatremia selain pengelolaan nyeri post operatif. Pasien dengan penyakit pituitari, dalam kasus ini kraniofaringioma, disertai dengan disfungsi endokrin dan pertumbuhan abnormal, membutuhkan penatalaksanaan preoperatif, intraoperatif dan postoperatif yang sangat teliti. Kerjasama yang baik antara bagian anestesi, bedah dan endokrinologi dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pada penyakit ini.Anesthesia Management In Cretin Patient With Hypopitutarism Secondary Of CraniopharyngiomaCraniopharyngioma is a sellar and parasellar tumor, which accounts to 6-10% of childhood brain tumors. Common symptoms are signs of increase intracranial pressure, like headache, vomiting and visual dysfunction. A significant endocrine dysfunction is an usual feature of craniopharyngioma due to the proximity of the tumor to hypothalamus and pituitary gland. Short statue found in 50-86% patient with subnormal growth rates and delayed puberty. A male, 20 yrs cretin patient with hypopituitarism secondary of craniopharyngioma had a craniotomy tumor removal and placement of omaya shunt. He had a history of headache since 13 yrs ago accompanied by visual disturbance, started from his left eye, now he is totally blind. He also suffered from growth failure and delayed puberty, has a physic of a boy regardless his age as 20 yrs old adult, with height 140 cm and weight 40 kg. He has an elevated TSHs but normal T3 and fT4, a decreased LH and FSH, a normal prolactin, a normal but low growth hormon and a decreased cortisol. Anesthetic technique used was general anesthesia. Induction was done with fentanyl, pentotal, lidocaine and vecuronium with a mixture of N2O/O2 and isoflurane. Anesthesia was maintained with isoflurane and a mixture of O2/air. Patient was in controlled breathing with an incremental dose of vecuronium to maintaine the relaxation. Mannitol and furosemide were given to reduce intracranial pressure. The procedure took about 5 hours. After 5 days ICU stayed, the patient was referred back to his room at Kemuning. The problems in this patient are a raised of intracranial pressure, an endocrine dysfunction and a possibility of airway difficulty related to his short statue. Corticosteroid as hormone replacement therapy was given before the operation. Based on his short statue, induction dose of anesthetic agents were adjusted and smaller laryngoscope blade and endotracheal tube were used for intubation. Avoidance of nitrous oxide, low concentration of volatile agent and dominant used of intravenous anesthetic agent were applied during the operation. Post operative monitoring was done in ICU with specific concern of hormone complications like diabetes insipidus and hyponatremia beside post operative pain control. Patient with pituitary disease, in this case craniopharyngioma, accompanied by endocrine dysfunction and abnormal growth, need a very careful treatment from preoperative, intraoperative to postoperative period. A good management and cooperation between anesthesiologist, surgeon and endocrinologist can reduce the morbidity and mortality in this kind of disease.
Penatalaksanaan Anestesi Untuk Kliping Ruptur Aneurisma Serebral Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (404.294 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i2.88

Abstract

Aneurisma cerebral merupakan suatu kelainan vaskuler intraserebral, dengan angka kejadian sekitar 5% dari jumlah populasi pada usia 45-60 tahun. Perdarahan subarachnoid (Subarachnoid Hemorrhage /SAH) merupakan gejala serius dari aneurisma yang ruptur dengan angka kejadian berkisar antara 10-15 kasus per 100.000 populasi. Aneurisma yang pecah ulang atau iskemia merupakan masalah utama pada pengelolaan perioperatif pasien dengan aneurisma serebral. Seorang wanita berusia 73 tahun, berat badan 80 kg dengan aneurisma sakuler dari arteri vertebralis kanan bagian proksimal dari arteri sereberal posterior inferior (Posterior Inferior Cereberal Artery /PICA) dengan gambaran SAH, GCS 7, tekanan darah 200/160 mmHg, nadi 100 x/ menit, respirasi 18 x/permenit dengan Kriteria Hunt and Hess III-IV. Dilakukan intubasi dan penanganan tekanan darah di Unit Gawat Darurat dan pasien dirawat di ICU. Di ICU pasien diventilasi, dengan sedasi propofol 1 mg/kgBB/jam, diberikan perdipine 0,5 mg/kg BB/menit, dan pasien dapat diekstubasi hari ke-10 setelah perawatan di ICU. Operasi dilakukan pada perawatan hari ke 17, dengan keadaan prabedah GCS 13, tekanan darah 160/80 mmHg, nadi 90 x/menit, respirasi 14 x/menit SpO2 100% dengan binasal canul, dan direncanakan dilakukan kliping aneurisma. Dipasang alat pantau tekanan darah non-invasif, EKG, SpO2, dan urine kateter. Pasien tanpa premedikasi, induksi dengan propofol, fentanyl, lidokain, dan fasilitas intubasi dengan rocuronium 0,9 mg/kg BB. Rumatan anestesi dengan Sevofluran - Oksigen 40% - propofol kontinyu 1-3 mg/kg/jam - vecuronium 0,1 mg/kgBB/jam. Pemasangan arteri line setelah induksi anestesi. Untuk pengaturan tekanan darah sebelum dan saat kliping temporari dan permanen dengan nitrogliserin titrasi. Pascabedah pasien dipindahkan ke ICU, tidak diekstubasi, dan dilakukan ventilasi mekanis selama 24 jam, dan dirawat selama 12 hari, dengan mendapatkan terapi hipertensi dengan menaikkan tekanan darah maksimal 20% dari nilai dasar. Pasien di pindahkan ke ruangan GCS 15, Tekanan darah 140/90 mmHg, Nadi 80x/menit, respirasi 12x/menit SpO2 100%. Komplikasi pada post operasi aneurisma adalah hidrocephalus, rebleeding, kejang dan vasospasme. Adanya penurunan kesadaran pascabedah terutama disebabkan karena menurunnya aliran darah otak akibat vasospasme. Pencegahan dan penanganan kemungkinan terjadinya komplikasi ini dapat memperbaiki luaran pasien. Penatalaksaanaan preoperasi, intraoperatif dan postoperatif yang benar dapat memperbaiki luaran pasien.Anesthesia Management For Clipping Cerebral Aneurysm RuptureCerebralaneurysm is considered an intra cerebrovascular structural dysfunction, with the incidence rate around 5% of total 45-60 years of age population. Subarachnoid Hemorrhage (SAH) is considered a serious symptom of ruptured aneurysm and the incidence rate is around 10-15 cases per 100.000 human population. Re-ruptured or ischemia are the main problems in perioperative management of patient with cerebral aneurysm. A 73-year-80 kg BW female with saculler aneurysm on the right vertebral artery proximal to Posterior Inferior Cereberal Artery (PICA) and the appearance of subarachnoid haemorrhage (SAH), GCS 7, blood pressure 200/160 mmHg, heart rate 100 beats/minute, respiration rate 18 beats/minute with the Hunt and Hess Criteria III-IV was admitted to the hospital. Performed intubation and hypertension management at the emergency ward and the patient was treated at the ICU. At the ICU, the patient was on ventilator, sedated using propofol 1 mg/kgBW/hr, perdipine 0,5 mg/kgBW/minute, and the patient was extubated on the day-10 after ICU treatment. The surgery was performed on the day-17, and the presurgery descriptions were GCS 13, blood pressure 160/80 mmHg, heart rate 90 beats/minute, respiration rate 14 beats/minute, SpO2 100% with oxygenation using binasal canule, and the patient was scheduled for aneurysm clipping. A non-invasive monitor was installed for blood pressure, ECG, SpO2 and urine foley catheter was also installed. The patient was without premedication, inducted using propofol, fentanyl, lidocain, and facilitate intubation with rocuronium 0,9 mg/kgBW. Anesthetic maintenance using Sevoflurane - oxygen 40% - propofol continuously 1-3 mg/kgBW/hr - vecuronium 0,1 mg/kgBW/hr. Installation of arterial line was performed right after anesthetic induction. Nitrogliserin titration was used to manage blood pressure before and during temporary and permanent clipping. After surgery, the patient was transferred to ICU, unextubated, and was on mechanical ventilator for 24 hr, being treated for 12 days, and received hypertension therapy by increasing the blood pressure 20% maximum from the baseline. The patient was then transferred to the inpatient ward at GCS 15, blood pressure 140/90 mmHg, heart rate 80 beats/minute, respiration rate 12 beats/minute, and SpO2 100%. Complications that may occur at the post aneurysm surgery were hidrocephalus, re-bleeding, seizure and vasospasm. The awareness decline post surgery may due to the decreasing of intra cerebral blood circulation due to vasospasm. Anticipation and management the possibility of those complications may determine the patients outcome. The correct management of pre-surgery, intrasurgery and post surgery will improve the patient outcome as well.
Co-Authors , Rizki , Suwarman - Irwan, - A. Himendra Wargahadibrata A. Muthalib Nawawi Agus Junaidi Aini, Quratul Akbar, Ieva B Alifahna, Muhammad Rezanda Andie Muhari Barzah, Andie Muhari Ardi Zulfariansyah Arief Kurniawan Bambang Suryono, Bambang Christanto, Sandhi Christanto, Sandhi christiana, monica Dedi Fitri Yadi Dewi Yulianti Bisri Diana C. Lalenoh, Diana C. Diana Lalenoh Erias, Muhammad Erwin Pradian Ezra Oktaliansah Firdaus, Riyadh Firdaus, Riyadh Fithrah, Bona Akhmad Fithrah, Bona Akhmad Fitri Sepviyanti Sumardi Giovanni, Cindy Giovanni, Cindy Hamzah, Hanzah Hermawanto, Agung Hindun Saadah, Hindun Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan Ieva B. Akbar Ike Sri Redjeki Indrayani, Ratih Rizki Iwan Abdul Rachman Iwan Fuadi Jasa, Zafrullah Khany Kusuma Harimin, Kusuma Laksono, Buyung Hartiyo Lalenoh, Diana Christine Lalenoh, Diana Christine Limawan, Michaela Arshanty M. Dwi Satriyanto M. Erias Erlangga, M. Erias M. Sofyan Harahap Mariko Gunadi Martinus, Fardian Martinus, Fardian MM Rudi Prihatno, MM Rudi Muh. Rumli Ahmad Muhamad Adli Boesoirie, Muhamad Adli Muhammad Habibi Ningsih, Diana Fitria Ningsih, Diana Fitria Noer Rochmah, Elly Nugraha, Ade Aria Nugraha, Ade Aria Nuryanda, Dian Oetoro, Bambang J. Oetoro, Bambang J. Okatria, Ahmado Pontjosudargo, Fransiska Ambarukmi Priyadi, Hendri Putri, Andika C. Putu Pramana Suarjaya Radian Ahmad Halimi Rahmadsyah, Teuku Rahordjo, Sri Rasman, Marsudi Rasman, Marsudi Reza Widianto Sudjud Rose Mafiana Rovina Ruslami, Rovina Ruby Satria Nugraha Ruli Herman Sitanggang Saleh, Siti Chasnak Saleh, Siti Chasnak Saputra, Tengku Addi Saputra, Tengku Addi SATRIYAS ILYAS Septiani, Gusti Ayu Pitria Soefviana, Stefi Berlian Sri Rahardjo Stella, Angela Subekti, Bambang Eko Subekti, Bambang Eko Suryaningrat, IGB Susanto, Bahtiar Sutanto, Sigit Sutanto, Sigit Suwarman Suwarman, Suwarman Suwarman, S Suwarman, S Syafruddin Gaus Thayeb, Srilina Theresia C. Sipahutar Theresia Monica Rahardjo Uhud, Akhyar Nur Widiastuti, Monika - Wirawijaya, Dear Mohtar Wirawijaya, Dear Mohtar Wirawijaya Wullur, Caroline Wullur, Caroline Yunita Susanto Putri Zaka Anwary, Army