Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Perbedaan Konsentrasi Levobupivakain Isobarik pada Blok Transverse Abdominis Plane terhadap Intensitas Nyeri dan Kadar Beta Endorfin pada Pasien Pasca Seksio Sesarea Prawira, Lienardy; Andi Muhammad Takdir Musba; Alamsyah Ambo Ala Husain; Syafruddin Gaus; Nur Surya Wirawan; Andi Adil
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.299

Abstract

Latar Belakang: Blok Tranversus Abdominis Plane (TAP) menjadi salah satu pilihan ketika ada kontraindikasi penggunaan morfin intratekal sebagai tatalaksana nyeri pasca seksio sesarea (SC). Konsentrasi anestesi lokal yang optimal untuk blok TAP hingga saat ini belum memiliki pedoman baku. Penelitian ini membandingkan pengaruh perbedaan konsentrasi levobupivakain isobarik 0,125% dan 0,25% pada blok TAP terhadap intensitas nyeri dan kadar beta endorfin dalam serum darah pasca SC. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain eksperimental menggunakan rancangan acak tersamar ganda. Populasi penelitian adalah pasien gravida yang menjalani SC elektif dengan anestesi spinal, kemudian dibagi secara acak melalui komputer menjadi kelompok kontrol (levobupivakain isobarik 0,25%) dan kelompok perlakuan (levobupivakain isobarik 0,125%). Analgetik pasca bedah kedua kelompok diberikan dexketoprofen intravena dan paracetamol oral. Intensitas nyeri pasca bedah dinilai dengan numerical rating scale (NRS) pada jam ke-2, 4, 6, 8, 12 dan 24. Kadar beta endorfin dalam serum darah diperiksa sebelum dilakukan blok, jam ke 8 dan 24 pascablok TAP. Waktu pertama rescue analgetik dan total konsumsi opioid 24 jam pasca bedah dicatat. Hasil: Tidak didapatkan perbedaan signifikan pada perbandingan nilai NRS pada jam ke-2, 4, 6, 8, 12 dan 24 antar kelompok (p>0,05). Perubahan kadar beta endorfin dalam serum darah tidak didapatkan perbedaan signifikan pada tiap waktu pengukuran per kelompok dan antar kelompok (p>0,05). Tidak didapatkan adanya rescue analgetik 24 jam pasca bedah. Simpulan: Blok TAP menggunakan anestetik lokal levobupivakain isobarik 0,125% dan 0,25% pada pasien pascapembedahan SC memiliki intensitas nyeri dan perubahan kadar beta endorfin yang sama.
Pengaruh Erector Spinae Plane Block (ESPB) dengan Stabilitas Hemodinamik dan Kadar Kortisol Serum pada Operasi Tulang Belakang Kristiono, Evan; Musba, A. M. Takdir; Salahuddin, Andi; Gaus, Syafruddin; Hisbullah; Rum, Muhammad
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 2 (2023): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i2.302

Abstract

Latar Belakang: Nyeri pada bedah vertebra sulit dikendalikan dengan anestesi umum sehingga regional anestesi berperan penting dalam mengurangi fluktuasi hemodinamik. Namun belum terdapat rekomendasi anestesi regional untuk pasien yang menjalani bedah vertebra. Teknik erektor spinae plane block (ESPB) memberikan agen anestetik lokal pada ramus posterior sebelum selama prosedur dimulai, telah terbukti memperbaiki kualitas nyeri dan hemodinamik pada pasien kasus kardiovaskular.Tujuan: Mengetahui efek ESPB terhadap hemodinamik dan kadar kortisol serum serta korelasinya pada pasien yang menjalani bedah vertebra.Subjek dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian experimental prospective dengan consecutive random sampling. Sampel terdiri dari kelompok GA ESP (kelompok dengan intervensi ESPB) dan GA (kelompok kontrol) dengan jumlah sampel masing-masing 30 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Penilaian tekanan darah sistolik, diastolik, laju nadi, pada saat sebelum, saat insisi bedah, dan saat pemasangan implant, jumlah anestetik volatil, jumlah opioid dan pengambilan darah untuk pemeriksaan konsentrasi kortisol serum sebelum, 2 jam setelah insisi bedah, dan 4 jam setelah insisi bedah. Data dianalisis menggunakan SPSS 25 untuk windows.Hasil: Laju nadi meningkat bermakna pada kelompok GA saat insisi (p=0,041), serta saat implantasi (p=0,012) dibandingkan prabedah. Tekanan darah sistolik saat insisi meningkat bermakna pada kedua kelompok (GA, p=0,005 ; GA ESP, p=0,001) dibandingkan sebelum prosedur dimulai. Tekanan darah diastolik pada kelompok GA mengalami penurunan bermakna saat implantasi (p=0,003) dibandingkan sebelum prosedur bedah. Kelompok GA ESP menggunakan using opioid (p=0,0001) and isoflurane (p=0,001) lebih rendah dibandingkan kelompok GA.Penurunan serum kortisol kedua kelompok ditemukan berbeda bermakna namun perubahan tersebut tidak berbeda antara kedua kelompok.Simpulan: Kelompok GA mengalami perubahan hemodinamik lebih bermakna dibandingkan kelompok GA ESP. Kebutuhan isofluran dan fentanyl lebih rendah pada kelompok GA ESP. Serum kortisol mengalami penurunan pada kedua kelompok namun tidak terdapat perbedaan antara kedua kelompok.
Perbandingan antara Anestesi Tanpa Opioid (ATO) dengan Anestesi Berbasis Opioid (ABO) Terhadap Kejadian Mual dan Muntah Pascabedah Mastektomi Radikal Modifikasi dan Lama Rawat di Unit Perawatan Pascaanestesi Winanda, Haris; Gaus, Syafruddin; Husain, Alamsyah Ambo Ala; Arif, Syafri Kamsul; Salahuddin, Andi; Adil, Andi
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 42 No 2 (2024): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v42i2.355

Abstract

Latar Belakang: Anestesi umum seimbang telah bergantung hampir secara eksklusif pada opioid untuk mengelola nosiseptif intraoperatif dan nyeri pascabedah. Anestesi tanpa opioid (ATO) sekarang mulai diminati sebagai strategi potensial dalam mengurangi penggunaan opioid perioperatif. Penggunaan ATO diketahui dapat menurunan konsumsi total opioid perioperatif dan penurunan lama rawat di Unit Perawatan Pascaanestesi (UPPA). Di Indonesia, belum ada penelitian mengenai pengaruh ATO pada pembedahan mastektomi radikal modifikasi (MRM) terhadap kejadian mual muntah pascabedah (MMPB) dan lama perawatan di UPPA. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ATO dengan anestesi berbasis opioid (ABO) pada pembedahan mastektomi radikal modifikasi (MRM) dan efeknya terhadap kejadian mual dan muntah pascabedah (MMPB) dan lama perawatan di UPPA.Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian uji acak tersamar tunggal. Sampel penelitian adalah pasien yang menjalani prosedur pembedahan MRM elektif di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo dan Rumah Sakit jejaring pendidikan. Sampel penelitian dibagi menjadi kelompok ABO dan kelompok ATO. Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke UPPA dan dicatat lama rawat dan kejadian mual dan muntah hingga 2 jam pascabedah.Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna lama perawatan di UPPA pada kedua kelompok (p=0,184).Terdapat perbedaan bermakna pada kejadian mual dan muntah pada kedua kelompok (p=0,044 dan p=0,02).Simpulan: Kejadian MMPB pada kelompok ATO lebih rendah dibandingkan dengan kelompok ABO.
Hubungan Konsentrasi Levobupivakain Isobarik 0,0625%, 0,125%, dan 0,25% pada Blok Fascia Iliaca Terhadap Skor Nyeri dan Rescue Analgesia Satya Nugraha, Eva; Salahuddin, Andi; Datu, Madonna Damayanthie; Gaus, Syafruddin; Ratnawati; Nurdin, Haizah
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 42 No 3 (2024): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v42i3.357

Abstract

Latar Belakang: Fraktur femur terbuka dapat ditangani dengan tindakan Open Reduction Internal Fixation (ORIF). Dibutuhkan analgesia yang adekuat pada periode pascabedah untuk efektivitas rehabilitasi dan mencegah komplikasi. Intervensi blok kompartemen fascia iliaca dapat dilakukan untuk manajemen nyeri pascabedah pada pasien operasi ORIF femur. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan konsentrasi obat levobupivakain isobarik 0,0625%, 0,125% dan 0,25% pada blok fascia iliaca terhadap skor nyeri dan kebutuhan rescue analgesia pascabedah. Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental, dengan rancangan acak tersamar ganda pada pasien ortopedi yang menjalani ORIF dengan metode consecutive sampling. Data yang diambil adalah skor nyeri pascabedah pada jam ke-4, 8, 12 dan 24 setelah blok fascia iliaca dengan menggunakan Numeric Rating Scale (NRS), serta jumlah kejadian pemberian rescue analgesia dalam 24 jam pascabedah. Uji normalitas data menggunakan tes Kolmogorov-Smirnov. Hasil: Pada 4 jam setelah tindakan blok fascia iliaca tidak ditemukan perbedaan pada ketiga kelompok. Terdapat perbedaan NRS yang signifikan pada jam ke 8 dengan nilai p= 0,037, serta pada jam ke-12 dan 24 jika dibandingkan pada ketiga jenis konsentrasi levobupivakain dengan nilai p < 0,001. Tidak terdapat perbedaan jumlah kejadian rescue analgesia yang signifikan jika dibandingkan pada ketiga jenis konsentrasi levobupivakain dengan nilai p = 0,111. Simpulan: Blok fascia iliaca dapat digunakan sebagai salah satu manajemen analgesia multimodal pada ORIF femur. Skor nyeri dan kebutuhan rescue analgesia lebih rendah pada kelompok levobupivakain 0,125% dan 0,25% dibandingkan 0,0625%.
Manajemen Anestesi pada Pasien dengan Tumor Regio Pineal yang Menjalani Kraniotomi Pengangkatan Tumor dengan Posisi Duduk Widiastuti, Monika; Bisri, Dewi Yulianti; Harahap, M Sofyan; Gaus, Syafruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 10, No 3 (2021)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (586.034 KB) | DOI: 10.24244/jni.v10i3.409

Abstract

Tumor regio pineal memiliki insiden 0.4-1% dari tumor intracranial. Lokasinya yang dalam, di antara kedua hemisfer otak, berdekatan dengan batang otak dan hipotalamus menjadi tantangan bagi bedah saraf. Operasi dengan supracerebellar approach dalam posisi duduk adalah pilihan terbaik untuk mencapai lokasi. Posisi duduk juga memfasilitasi lapang operasi yang optimal dengan retraksi cerebellum minimal. Posisi duduk membawa tantangan tersendiri untuk dokter anestesi, dengan segala kompleksitas saat memposisikan pasien dan risiko komplikasinya. Venous air embolism adalah pertimbangan utama yang jika tidak terdeteksi dan ditangani dapat menyebabkan kolaps kardiovaskular dalam waktu singkat. Pasien laki-laki berusia 38 tahun datang dengan keluhan nyeri kepala berat dan penglihatan kabur sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit. Hasil Magnetic Resonance Imaging menunjukkan adanya massa di regio pineal dengan edema perifokal, tanpa deviasi struktur midline. Pasien dilakukan kraniotomi pengangkatan tumor dalam posisi duduk. Operasi berjalan selama 10 jam dengan hemodinamika stabil dan tidak terjadi komplikasi, dalam anestesi umum dengan kombinasi intravena dan inhalasi. Prinsip ABCDE neuroanestesi, posisi duduk dan implikasinya, dan lokasi operasi yang sulit adalah pertimbangan-pertimbangan anestesi yang harus diperhatikan pada pasien ini. Evaluasi preoperasi yang baik, komunikasi dan koordinasi yang baik antara tim bedah dan anestesi sangat diperlukan untuk kelancaran dalam kraniotomi dalam posisi duduk.Anesthetic Management of Patient with Pineal Region Tumor Underwent Craniotomy Tumor Removal in Sitting PositionAbstractIncidence of pineal regio tumor is 0.4-1% of intracranial tumors. Its location which is buried between two cerebral hemispheres, close to brainstem and hypothalamus become a difficult challenge for the neurosurgeon. Surgery with supracerebellar approach in sitting position is the best method to access the lesion. Sitting position also facilitates the optimal visual field with minimal retractions. However, for anesthesiologist, sitting position is challenging since it has its own complexities during positioning the patient and the risk of complications. Venous air embolism is one of the main concern and if not detected early and treated appropriately would leads to cardiovascular collapse instantly. This is a case of a 38-year-old male with chief complaint of severe headache and blurred vision started 4 months before admission. The Magnetic Resonance Imaging showed a pineal region tumor with perifocal edema, without midline deviation. The patient underwent craniotomy tumor removal with sitting position. The procedure lasted for 10 hours and uneventful. The principle of ABCDE neuroanesthesia, sitting position and its implications, and difficult tumor location are some anesthesia considerations for this patient. A thorough preoperative evaluation, good communication and coordination between surgery and anesthesia team are needed for a smooth uneventful procedure performed in sitting position.