Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Talaksana Perioperatif Pasien dengan Reseksi Arteriovenous Malformation Intrakranial Endah Permatasari; Bambang J. Oetoro; Syafruddin Gaus
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (475.07 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i1.28

Abstract

Tindakan pembedahan eksisi arteriovenous malformation (AVM) merupakan salah satu prosedur yang menantang di bidang neuroanestesia. Diagnosis AVM ditegakkan berdasarkan gejala klinis didukung pemeriksaan neuroradiologis. Untuk persiapan perioperatif pasien AVM yang optimal, ahli anestesi harus memahami patofisiologi AVM dan tatalaksananya. Terapi pada pasien AVM sangat tergantung pada ukuran diameter AVM dan lokasinya. Target utama dari operasi adalah memotong pasokan aliran darah ke AVM. Dengan tindakan reseksi AVM, bila AVM sudah dapat diidentifikasi maka pasokan aliran darah akan dihentikan dan dilakukan pengangkatan nidus. Pada kasus ini dilaporkan seorang wanita usia 19 tahun dengan nilai GCS 15, BB 59 kg, datang dengan keluhan sering sakit kepala semenjak 1 tahun sebelum masuk RS. Hasil angiografi otak menunjukan adanya gambaran AVM di lobus parietal kanan. Dilakukan tindakan reseksi AVM dan pembedahan berhasil dengan baik. Tidak timbul defisit neurologis pascabedah. Pascabedah pasien dirawat di ICU dan pindah keperawatan keesokan harinya.Perioperative Management Patient with Intracranial Arteriovenous Malformation ResectionArteriovenous malformation (AVM) resection is one of the most challenging procedures in neuroanesthesia. Right now, cerebrovascular surgery is frequently done. The diagnosis of intracranial AVM is based on clinical symptoms and is supported by neuroradiological examination. For optimal perioperative management of patients with intracranial AVM abnormalities, anaesthetist should understand the pathophysiology of the AVM disorder and its management. Therapy in AVM patients is highly dependent on the size of the AVM diameter and its location. The main target of surgery is to cut the blood supply to the AVM. In AVM resection, as soon as AVM can be identified, the blood supply will be stop anf the nidus will be remove. In this case report: a 19 year old woman, score GCS 15, 59 kg in weight cames with frequent headache since the previous years before entered the hospital. Brain angiographic results showed intracranial AVM features in the right parietal lobe. The patient underwent the AVM resection action and the operation was done successfully. No neurological deficit was found. Postoperative patients were admitted to the ICU and moved to the ward the next day.
Pengelolaan Kadar Gula Darah Perioperatif pada Pasien Diabetes Mellitus dengan Tumor Cerebellopontine Angle Dhania Anindita Santosa; Syafruddin Gaus; Bambang J. Oetoro; Siti Chasnak Saleh
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (405.746 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i1.25

Abstract

Prevalensi penyakit diabetes mellitus (DM) meningkat sangat cepat pada abad ke-21, terutama karena obesitas, penuaan dan kurangnya aktivitas fisik. International Diabetes Federation (IDF) menyatakan diperkirakan penderita DM menjadi 380 juta pada tahun 2025. Pasien dengan DM yang menjalani pembedahan mungkin sudah disertai dengan penyakit lain akibat DM. Episode hipoglikemia, hiperglikemia dan variabilitas kadar gula darah yang tinggi perioperatif memberikan risiko tingginya komplikasi perioperatif pada pasien. Seorang ahli anestesi memegang peranan penting dalam pengelolaan perioperatif pasien-pasien seperti ini, terutama pasien bedah saraf di mana otak sangat bergantung pada glukosa sebagai bahan bakar.  Seorang wanita usia 46 tahun dengan DM dan tumor cerebellopontine angle (CPA) menjalani pembedahan elektif eksisi tumor. Pembedahan dilakukan dengan anestesi umum intubasi endotrakeal dan berjalan kurang lebih sembilan jam. Tantangan selama periode perioperatif adalah menjaga kadar gula darah tetap dalam rentang target yang diinginkan untuk meminimalisir cedera sekunder pada otak yang dapat mempengaruhi luaran kognitif serta komplikasi perioperatif yang mungkin terjadi. Pascabedah pasien dirawat di ICU dengan bantuan ventilator dan dilakukan ekstubasi tiga jam pascabedah dengan kadar gula darah stabil dan tanpa sequelaePerioperative Glucose Control in Diabetic Patients with Cerebellopontine Angle TumorPrevalence of patients with diabetes mellitus (DM) increases rapidly in the 21st century, mainly due to obesity, aging and lack of physical activity. International Diabetes Federation (IDF) predicted that by the year of 2025, 380 million people will suffer from DM. Diabetic patients undergoing surgery might have other diseases caused by DM. Episodes of hypoglycemia, hyperglycemia and high perioperative glucose level put the patients into higher perioperative risks. Anesthesiologists play a key role in perioperative management in these patients, moreover in neurosurgery pastients, as brain is very glucose-dependent. A 46 year old diabetic woman with cerebellopontine angle (CPA) tumor underwent elective surgery of tumor removal. Surgery was done under general endotracheal anesthesia and lasted for nine hours. Challenges during perioperative period are to maintain glucose level within target range to minimize secondary injury to the brain which may influence cognitive outcome and other possible perioperative complications. Patient was taken care at the ICU post operatively with ventilator. Patient was weaned and extubated three hours later with stable glucose control and no sequelae.
Pascaoperasi Bedah Saraf: Kapan Ekstubasi, Kapan Ventilasi? Syafruddin Gaus
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (396.754 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i2.166

Abstract

Prinsip dasar tujuan anestesi pada bedah saraf adalah memudahkan pemeriksaan neurologik dini. Pemulihan yang cepat dari neuroanestesia dan ekstubasi dini sangat diinginkan pada semua kasus karena memungkinkan pemantauan klinis yang merupakan hal penting untuk mendeteksi komplikasi pascabedah. Ekstubasi trakea harus dilakukan dengan hati-hati serta mempertimbangkan risiko dan keuntungannya, yaitu: terlalu cepat sadar dari anestesi dapat memperburuk edema atau perdarahan otak sebagai akibat dari hipertensi berat dan ekstubasi pada pasien yang belum sadar penuh dapat menyebabkan hiperkapnia dan aspirasi. Setelah operasi yang tidak sulit, pasien biasanya pulih dari anestesi dengan perubahan metabolik dan hemodinamik minimal. Dengan demikian pemulihan dini dan ekstubasi di kamar operasi adalah metode yang lebih disukai apabila kesadaran prabedah relatif normal dan pembedahan tidak pada daerah otak yang penting atau manipulasi yang luas. Pada pembedahan yang sulit dan pasien tidak stabil, risiko ekstubasi dini harus dipertimbangkan keuntungannya. Namun selalu memungkinkan untuk membangunkan pasien tanpa ekstubasi untuk evaluasi neurologik dini yang diikuti dengan pemulihan anestesi dan ekstubasi yang tertunda. Jika ada keraguan apakah pasien akan diekstubasi, sedasi selama 1-2 jam memberikan waktu untuk mengoreksi hemodinamik dan gangguan metabolik. Pemulihan keadaran yang ditunda dan ekstubasi yang kemudian dilakukan di unit perawatan intensif (UPI) direkomendasikan untuk memperoleh stabilitas kardiovaskuler setelah prosedur intrakranial major. Tersedianya anestetika dan analgesia intravena dengan mula dan lama kerja sangat singkat dan obat-obat penghambat adrenergik telah memungkinkan untuk pulih sadar segera setelah pembedahan intrakranial. Pemantauan hemodinamik dan respirasi yang ketat adalah wajib dilakukan pada semua kasus dan skor GCS 8 telah ditetapkan sebagai prediktor berhasilnya ekstubasi. Postoperative Neurosurgery: When Extubation, When Ventilation? The principal elements to anesthetics goal to neurosurgery is facilitate an early neurologic assessment. Early recovery from neuroanesthesia and extubation to desirable to most cases because it allows clinical monitoring of the patients, which is essential to detect postoperative complications. Extubation of the trachea must be carefully considered in terms of risk and benefit that is: too rapid an emergence from anesthesia may lead to worsening of cerebral edema or cerebral hemorrhages as result of severe hypertension and extubation of a patient who not fully conscious may promote hypercapnia and aspiration. After uncomplicated surgery, patients generally recover from anesthesia with minimal metabolic and hemodynamic changes. Thus, early recovery and extubation in the operating room is the preferred method when the preoperative state of consciousness is relative normal and surgery does not involve critical brain areas or extensive manipulation. In the complicated or unstable patient, the risk of early extubation may outweigh the benefits. It is, however, often possible to perform a brief awakening of the patient without extubation to allow early neurological evaluation, followed by delayed emergence and extubation. If there is any doubt as to whether the patient should be extubated, a 1- to 2-hour sedation period allow time to correct hemodynamic and metabolic disturbances. A delayed emergence and later extubation in the intensive care unit (ICU) might be recommended to achieve better cardiovascular stability after major intracranial procedures. The availability of ultrashort intravenous anesthetic and analgetic agents and adrenergic blocking agents has added to the flexibility in the immediate emergence period after intracranial surgery. Close hemodynamic and respiratory monitoring are mandatory in all cases and GCS score 8 established a cutoff associated with a likelihood of successful extubation.
Ventilasi Mekanik yang Memanjang pada Pasien Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejang Pascatrauma Rr Sinta Irina; Bambang J Oetoro; Syafruddin Gaus
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.521 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i2.7

Abstract

Cedera kepala trauma masih merupakan masalah di seluruh dunia karena masih merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan dewasa. Akibat cedera primer bisa terjadi cedera sekunder yang akan mempengaruhi hasil luaran. Kejang merupakan salah satu komplikasi dari cedera kepala trauma berat. Kejadian kejang, demam, infeksi paru merupakan cedera sekunder yang akan mempengaruhi hasil luaran. Seorang laki-laki, 24 tahun, 50 kg dirujuk dari RSUD dengan penurunan kesadaran GCS E1M2V1, dari hasil scan kepala didapatkan  perdarahan intraserebral di frontal kanan/kiri dan parietal kanan, perdurahan subdural, perdarahan subarachnoid dan oedema serebri. Pasien segera diintubasi di UGD dan direncanakan evakuasi perdarahan dan dekompresi craniektomi. Setelah perawatan ke-2 pasien mengalami kejang yang cukup sering dan durasi lama sehingga proses penyapihan dari ventilator terhambat. Dan salah satu komplikasi pemakaian ventilator 48-72 jam adalah ventilator-associated pneumonia (VAP). Diberikan terapi antibiotik sesuai kultur dan penanganan bagi pemulihan paru. Pasien bisa lepas dari ventilator walaupun masih terpasang dengan tracheostomy.Prolonged of Mechanical Ventilation at Intensive Care Unit (ICU) in Patients with Severe Traumatic Head Injury with Post Traumatic SeizuresTraumatic head injury is still a worldwide problem as it is still one of the leading causes of death and disability in children and adults. As a result of a primary injury, a secondary injury will affect the outcome. Seizures are one of the complications of severe trauma head injury. Occurrence of seizures, fever, lung infections is a secondary injury that will affect the outcome. A man, 24 years old, 50 kg was referred from the RSUD with decreased awareness of GCS E1M2V1, from head scans obtained intracerebral hemorrhage on the right and left frontal and right parietal, subdural suburural, subarachnoid hemorrhage and cerebral edema. Patients are immediately intubated in the ER and planned evacuation of bleeding and craniectomy decompression. After the 2nd treatment the patient experienced frequent seizures and long duration so that the weaning process of the ventilator is inhibited. And one of the complications of ventilator use 48-72 hours is VAP (ventilator-associated pneumonia). Given appropriate antibiotic therapy for culture and treatment for lung recovery. Patients can escape from the ventilator although still attached with tracheostomy. 
Manajemen Neuroanestesi pada Sindrom Dandy Walker dengan Hiperkalemia Kulsum Kulsum; Rose Mafiana; Syafruddin Gaus
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 2 (2019)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2363.05 KB) | DOI: 10.24244/jni.v8i2.221

Abstract

Sindrom Dandy Walker termasuk hidrosefalus yang sangat jarang terjadi dengan insiden 1 kasus dari 65 kasus hidrosefalus berdasarkan penelitian profil hidrosefalus di RSUDZA Banda Aceh. Insiden di Indonesia sebanyak 50–60% kasus dari operasi bedah saraf. Kasus berikut seorang bayi laki-laki lahir prematur, umur 1 bulan, berat badan 3,5 kg, ukuran lingkar kepala 45 cm, muntah dan kejang. CT-Scan terdapat kista, kalium 7 mmol/l ditegakkan diagnosa sindrom Dandy Walker dengan hiperkalemia. Manajemen neuroanestesi dengan cara premedikasi dan pemasangan kateter intravena 24G dengan sevofluran via masker O2 100% setelah jalur vena terpasang, diberikan fentanil 10 mcg sebagai analgetik dan induksi propofol 10 mg. Rocuronium 3,5 mg sebagai fasilitas intubasi. Pemeliharaan anestesi dengan sevofluran dan oksigen. Ventilasi frekuensi nafas 30 x/menit dilakukan manual dan kemudian dengan ventilator TV 30 ml, I:E = 1:1,5, RR 30 kali per menit, FiO2 100%. Monitoring hasil frekuensi nadi 100 – 130 kali per menit, SpO2 100%, suhu afebris, CO2 30 mmHg. Simpulan: sindrom Dandy Walker kasus yang sangat jarang terjadi dan hidrosefalus sering bersamaan dengan hiperkalemia terjadi pada bayi prematur karena gangguan reaborbsi kalium dan terjadi perpindahan kompartemen dari intraseluler ke ekstraseluler sehingga kalium banyak di ekstraseluler, maka diperlukan manajemen neuroanestesi pediatrik yang adekuat. Neuroanesthesia Management in Dandy Walker Syndrome with HyperkalemiaAbstractDandy Walker syndrome including hydrocephalus which is a very rare case with the incidence of 1 case out of 65 cases of hydrocephalus based on a study of hydrocephalus profile at Zainal Abidin Hospital, Banda Aceh. The incidence of Dandy-Walker syndrome in Indonesia are about 50 - 60% cases from all of neurosurgical cases. The following case was a premature baby, 1 month old, weight 3.5 kg, head cicumference 45 cm, vomit and seizure. Cyst was found in the head CT scan and the potassium level of 7 mmol/l. The patient was diagnosed with Dandy-Walker Syndrome with hyperkalemia. Neuroanesthesia management by premedication and infusion using intravenous cathether 24G with sevoflurane and 100% O2 mask After succesful intravenous cathether, given fentanyl 10 mcg as analgesic and propofol 10 mg as induction. Rocuronium 3.5 mg as a facility for intubation. Maintenance of anesthesia with sevoflurane and oxygen. Respiratory rate 30 breaths per minute with ventilation that was done manually and then with TV on ventilator 30 ml, I: E = 1: 1.5, RR 30x/min, FiO2 100%. Monitoring pulse frequency results of 100–130 beats per minute, 100% SpO2, temperature afebrile, CO2 30 mmHg. Conclusions: Dandy-Walker Syndrome was a very rare case and hydrocephalus was often followed with hyperkalemia that occur in premature infants due to potassium reaboration disorder and the displacement of compartment from intracellular to extracellular so that potassium was abundant at extracellular, hence adequate pediatric neuroanesthesia management was needed.
Penatalaksanaan Anestesi untuk Tumor Neuroendokrin Syafruddin Gaus; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (711.938 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i3.172

Abstract

Tumor neuroendokrin sering ditemukan pada orang dewasa dengan angka kejadian 10%-15% dari seluruh neoplasma intrakranial dan tertinggi pada dekade ke 4 sampai ke 6 kehidupan. Penderita dengan tumor neuroendokrin mempunyai tantangan yang unik untuk dokter ahli anestesi karena peranan yang penting kelenjar hipofise pada sistem endokrin.Tantangan ini mulai saat pemeriksaan prabedah dan berlanjut selama operasi serta periode pascabedah. Banyak teknik anestesi dan obat anestesi yang dapat diberikan pada pembedahan tumor neuroendokrin. Pemilihan obat anestesi tergantung pada penyakit komorbititas penderita dan riwayat anestesi sebelumnya. Apabila diinginkan penderita cepat sadar untuk segera dilakukan pemeriksaan neurologik maka dapat digunakan obat-obat yang cepat dieliminasi (misalnya propofol dan remifentanil) atau anestetika inhalasi dengan kelarutan dalam darah yang rendah (misalnya sevofluran) merupakan pilihan yang rasional. Keberhasilan pembedahan dan penatalaksaan anestesi pada penderita tumor neuroendokrin memerlukan pendekatan multidisiplin dan sangat tergantung pada kualitas perawatan perioperatif. Anesthesia Management for Neuroendocrine TumorNeuroendocrine tumor is commonly in adult patient with incidence 10-15% in all of intracranial neoplasm and highest at 4th-6th of life decade. Patients with neuroendocrine tumor have an unique challange for anesthesiologist because the important role of pituitary gland in endocrine system. The challange came during preoperative, intraoperative and postoperative periode. Many of anesthesia technique and anesthetics can use for neuroendocrine tumors surgery. The choice of anesthetics depend on comorbid diseases and history of anesthesia previously. If needed fast emergens for neurological evaluation, it can be use drug with fast elimination (ex propofol and remifentanil) or inhalation anesthetic with low coefficient partition (ex sevoflurane) is rational choice. The successful surgery and anesthesia management for neuroendocrine patient need multidisipline approach and depend on the quality of postoperative care.
Manajemen Anestesi untuk Tindakan Vp-Shunt pada Bayi Sindrom Crouzon dengan Hidrosefalus Chrismas Gideon Bangun; Rose Mafiana; Syafruddin Gaus
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (508.983 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol8i1.211

Abstract

Sindrom Crouzon adalah sindrom dominan autosom yang ditandai dengan  trias yaitu deformitas tengkorak, anomali wajah, dan eksoftalmus. Sindrom Crouzon memiliki prevalensi 1: 60.000 kelahiran. Sindrom ini disebabkan sinostosis dini sutura koronal dan sagital yang mengakibatkan dismorfisme wajah. Pada anestesi pasien dengan sindrom Crouzon, harus dilakukan langkah-langkah untuk antisipasi dan persiapan penanganan jalan napas yang sulit. Pada kasus ini, seorang bayi 5 bulan dengan sindrom Crouzon datang dengan keluhan kepala membesar sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Dari CT-scan didapatkan hidrosefalus, dan dilakukan tindakan VP-shunt. Telah diantisipasi adanya kesulitan intubasi, maka dilakukan persiapan alat-alat termasuk bougie anak. Bougie tersebut kemudian ternyata sangat berguna saat dilakukan intubasi ulang karena ketidaksesuaian ukuran tube endotrakeal. Operasi VP-shunt berjalan dengan baik, pasca operasi dan anestesi pasien sadar baik, respirasi dan hemodinamik stabil dan kemudian  pindah ke ruang rawat biasa. Dalam penanganan pasien ini, antisipasi, peralatan difficult airway yang lengkap, rencana alternatif, serta pendekatan multidisiplin sangat diperlukan.Anaesthetic Management for VP-Shunt in Baby Crouzon syndrome with HydrocephalusCrouzon syndrome is an autosomal dominant syndrome characterized by triad of skull deformity, facial anomalies, and exophthalmos. Crouzon syndrome has a prevalence of 1: 60,000 births. This syndrome is characterized by early synostosis of coronal and sagittal sutures which leads to facial dysmorphism. In Crouzon syndrome, steps must be taken to anticipate and prepare for difficult airway handling.In this case, a 5-month-old baby with Crouzon syndrome presents with an enlarged head complaint 2 months before being hospitalized. CT scan showed hydrocephalus was, and VP-shunt action was planned. It is anticipated that there will be difficulty in intubation, so preparations for tools including child bougie were made. Bougie then turned out to be very useful because it had to be re-intubated because of the incompatibility of the size of the endotracheal tube. VP-shunt surgery works well, surgery and anesthesia were uneventful, then patient moved to the ward. Anticipation, complete difficult airway equipment and alternative plans, as well as a multidisciplinary approach are needed in handling these patients.
Penanganan Cedera Kepala Berat disertai Intoksikasi Alkohol Akut dengan Panduan Transcranial Doppler Paskaoperasi Ida Bagus Krisna J. Sutawan; Syafruddin Gaus; Bambang J. Oetoro
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (360.249 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i2.8

Abstract

Cedera kepala yang disertai dengan intoksikasi alkohol akut memerlukan suatu perhatian khusus selain karena nilai GCS yang digunakan untuk menggolongkan derajat beratny cedera kepala penilaiannya dipengaruhi oleh intoksikasi alkohol, juga karena pengaruh alkohol pada susunan saraf pusat. Transcranial doppler (TCD) dapat digunakan secara noninvasif untuk mengevaluasi aliran darah ke otak, tekanan intrakranial dan tekanan perfusi serebri. Panduan TCD membantu dalam pengambilan keputusan pada perawatan pascaoperasi. Seorang laki-laki 23 tahun dengan GCS E1V2M4, dari foto CT-scan didapatkan subdural hematoma lobustemporoparietal kanan yang menyempitkan sisterna ventrikel lateralis kanan dan deviasi midline sejauh 0,54 cm ke kiri. Pasien ditangani sesuai dengan standar prosedure operasional cedera kepala berat, operasi evakuasi hematoma dan kranietomi berjalan dengan lancar. Dua belas jam pascaoperasi pada pemeriksaan TCD didapatkan aliran darah dan tekanan intrakranial normal, sehingga pasien diextubasi dengan GCS 15 hanya dalam waktu 18 jam pascaoperasi.Management of Severe Head Injuri with Alcohol Intoxication guided by Pascaoperatif Transcranial DopplerHead injury associated with alcholol intoxication needs special concideration, not only because GCS which is used to classifying the severity of head injury is affected by alcohol intoxication, but also because of the effect of alcohol  to the central nervous system. Transcranial doppler (TCD) can be used noninvasifly to evaluate cerebral blood flow, intracranial pressure and cerebral perfusion pressure. TCD guidance helps in decision making on postoperative management. Twenty three years old male, GCS E1V2M4 , on a CT-scan image there is a subdural right lobustemporoparietal hematoma constricting the right ventricular lateral system and a midline deviation of 0.54 cm to the left. Patient was managed according to standart operational procedure for severe head injury, hematoma evacuation and craniectomy procedures went smoothly. Twelve hours postoperative, from TCD examination obtained normal blood flow and intracranial pressure, so patients were extubated with GCS 15 in just 18 hours postoperatively.
Cedera Medulla Spinalis Akibat Fraktur Vertebra Cervical 5 – 6 Syafruddin Gaus; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 4 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (539.902 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i4.180

Abstract

Cedera medulla spinalis akut merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan. Penyebab utama cedera medulla spinalis adalah trauma, dimana insidensinya pada laki-laki 5 kali lebih besar daripada perempuan. Laki-laki, 25 tahun, Berat Badan 50 kg, Tinggi Badan 160 cm. Pasien dikonsulkan ke Bagian Anestesi dengan paraplegia disebabkan karena fraktur vertebra C5-6 pro dekompressi dan stabilisasi posterior. Tanda vital: Tekanan Darah 120/60 mmHg; laju nadi 78 x/menit, reguler, kuat angkat; laju napas 18 x/menit, tipe abdominal; suhu afebris; dan VAS = 1/10. Penanganan cedera medulla spinalis, dimulai pada saat evaluasi awal, dimana terjaminnya jalan nafas menjadi prioritas utama, oksigenasi dan ventilasi yang adekuat, dan dilanjutkan dengan terapi untuk mencegah ataupun mengatasi komplikasi yang terjadi. Spinal Cord Injury Cause By Vertebra Cervical 5-6 FractureAcute spinal cord injury is common cause for weakness and morbidity. The primary cause of spinal cord injury is trauma, high incidency at man 5 time higher than woman. A man, 25 years old, body weight 50 kg, height 160 cm has been consulted to Department of Anesthesiology with paraplegia cause by vertebrae C5-6 fracture pro decompression and posterior stabilization. Vital sign: blood pressure 120/60 mmHg, heart rate 78/minute, regular, adequate volume, respiratory rate 18/minute, abdominal, temperature afebris, and VAS 1/10. The management of spinal cord injury, started in early evaluation, with the primary priority is airway, oxygenation, and adequate ventilation, and continuous with therapy for avoiding and treatment the complication.
Efek Anestesi Infiltrasi terhadap Intensitas Nyeri dan Kadar Interleukin-6 pada Pasca Seksio Sesarea Isbul Isbul; Muh. Ramli Ahmad; Syafruddin Gaus; Ratnawati Ratnawati; A.M. Takdir Musba; Charles Wijaya Tan
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 6 No 1 (2023): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v6i1.113

Abstract

Latar Belakang: Nyeri menjadi permasalahan yang sering dihadapi oleh wanita pascabedah seksio caesarea yang ditandai dengan meningkatnya kadar interluekin-6. Anestesi infiltrasi intraoperatif direkomendasikan pada seksio caesarea elektif sebagai manajemen nyeri.Tujuan: Menilai efek anestesi infiltrasi bupivakain isobarik 0,25% 50 mg pada luka insisi terhadap intensitas nyeri dan kadar IL-6 pada pascabedah seksio sesarea. Subjek dan Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan uji klinis acak tersamar ganda. Sampel terdiri atas 3 kelompok yaitu kontrol (B0), diberi anestesi infiltrasi bupivakain sebelum insisi (B1), dan diberi anestesi infiltrasi bupivakain setelah insisi dan sebelum luka ditutup (B2) dengan jumlah sampel masing-masing 8 orang. Data dianalisis menggunakan uji Anova, Kruskal Wallis dan paired t-test dengan tingkat kemaknaan α=0,05. Hasil: Skor nyeri berbeda signifikan antara kelompok anestesi infiltrasi dengan kontrol pada 8 jam pascabedah (p<0,05). Kadar interleukin-6 berbeda signifikan antara kelompok anestesi infiltrasi dengan kontrol dan antara anestesi infiltrasi sebelum dengan setelah insisi pada 4 jam pasca bedah (p<0,05). Anestesi infiltrasi sebelum insisi menurunkan kadar interleukin-6 lebih besar dibandingkan setelah insisi mulai dari 4 jam pascabedah seksio sesarea.Simpulan: Pemberian anestesi infiltrasi sebelum insisi dapat menurunkan kadar interleukin-6 lebih cepat dan lebih besar daripada setelah insisi dan juga mengurangi intensitas nyeri