Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP KADAR FLAVONOID TOTAL EKSTRAK ETANOL DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon aristatus (BL) Miq) Eka Fitri Susiani; Any Guntarti; Kintoko Kintoko
BORNEO JOURNAL OF PHARMASCIENTECH Vol 1 No 2 (2017): Borneo Journal of Pharmascientech
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Borneo Lestari Banjarbaru

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Borneo Journal of Pharmascientech, Vol 01, No. 02, Tahun 2017 ISSN- Print. 2541 – 3651 ISSN- Online. 2548 – 3897 Research Article 1 PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP KADAR FLAVONOID TOTAL EKSTRAK ETANOL DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon aristatus (BL) Miq) THE INFLUENCE OF DRYING TEMPERATURE AGAINST FLAVONOID TOTAL EXTRACT ETHANOL LEAVES CUCUMBER SOUL (Orthosiphon aristatus (BL) Miq) Eka Fitri Susiani1, Any Guntarti2, Kintoko2* 1Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Borneo Lestari Banjarbaru 2Program Studi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta *Email:kkintoko77@gmail.com ABSTRAK Masyarakat Indonesia secara turun temurun memanfaatkan daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus (BL) Miq) sebagai obat untuk hipertensi dan batu ginjal karena efek diuretik yang dimilikinya, dan hal ini karena adanya kandungan flavonoid di dalamnya. Perbedaan suhu pengeringan simplisia kemungkinan besar akan memberikan pengaruh terhadap kadar flavonoid total yang terkandung dalam ekstrak etanol daun kumis kucing. Oleh sebab itulah maka perlu dilakukan penelitian agar dapat diketahui suhu pengeringan optimal simplisia daun kumis kucing untuk mendapatkan kadar flavonoid total tinggi. Suhu pengeringan yang digunakan adalah 30o C,50o C, dan 70o C dengan metode maserasi. Penetapan kualitatif flavonoid dilakukan secara KLT dengan uap amoniak, AlCl3, dan sitroborat. Sedangkan untuk penetapan kuantitatif kadar flavonoid total ditetapkan secara spektrofotometri visibel menggunakan pereaksiA1C13. Hasil yang didapat menunjukan kadar flavonoid total terbesar pada suhu pengeringan 30o C (37,25 ± 1,23) μg QE/mg ekstrak; suhu 50o C (33,30 ± 1,54) μg QE/mg ekstrak; suhu 70o C (31,15 ± 1,49) μg QE/mg ekstrak. Maka berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suhu pengeringan simplisia berpengaruh terhadap kadar flavonoid total dalam ekstrak etanol daun kumis kucing. Kata kunci: Kumis kucing (Orthosiphon aristatus (BL) Miq), Suhu pengeringan, Flavonoid total, Spektrofotometri visibel. Borneo Journal of Pharmascientech, Vol 01, No. 02, Tahun 2017 ISSN- Print. 2541 – 3651 ISSN- Online. 2548 – 3897 Research Article 2 ABSTRACT Kumis kucing (Onhosiphon aristatus (BL) Miq) is one of thousands of plants of medicinal plants in Indonesia and is often used for traditional medicine in community. Hereditary society use its leaves as a remeiy for hypertension d kidney stones because of its diuretic effect,due to to flavonoid content in it. The drying temperature differences are likely to have significant content of total flavonoids in the ethanol extract of leaves of kumis kucing. Therefore it is necessary to study the optimal drying temperature icumis icucing leaves to obtained the highest total flavonoid content. Drying temperatures tested were 30o C, 50o C, and 70o Cand the extraction method used were maceration. Qualitative determination of flavonoids by TLC carried out with ammonia vapor, A1C13, and sitroborat. The quantitative, analysis flavonoid content was determined by spectrophotometiy visible using A1C13 reagent. The results indicated the highest total flavonoid content in the drying temperatire of 30o C(37,25 ± 1,23) μg QE/mg extract, then 50o C (33,30 ± 1 ,54) μg QE/mg extract, and the smallest on the drying temperature 70o C (31 , 15± 1,49) μg QE/mg extract. Based on this research it could be concluded that drying temperature affected total flavonoids content in the ethanol extract of leaves of kumis kucing. Keywords: kumis kucing (Orthosiphon aristatus (BL) Miq), drying temperature, total flavonoids,visible spectrophotometry. Borneo Journal of Pharmascientech, Vol 01, No. 02, Tahun 2017 ISSN- Print. 2541 – 3651 ISSN- Online. 2548 – 3897 Research Article 3 PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati dan sumber daya alamnya. Dari 40.000 jenis flora yang ada di dunia, sebanyak 30.000 jenis dijumpal di Indonesia dan baru1.200 diantaranya yang dimanfaatkan dan diteliti sebagai obat tradisional (Anonim, 2007). Kumis kucing merupakan salah satu jenis tanaman obat yang sering digunakan untuk pengobatan tradisional. Baik secara empiris maupun klinis, kumis kucing bisa digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit, diantaranya batu ginjal. Daun kumis kucing merupakan tanaman obat yang mengandung senyawa flavonoid (Gunawan, dkk., 1996). Mengingat kegunaan flavonoid dalam pengobatan, maka perlu dilakukan penetapan kadar flavonoid total dalam daun kumis kucing. Dalam penelitian ini, dilakukan penetapan kadar flavonoid total menggunakan metode maserasi dengan variasi suhu pengeringan simplisia30° C, 50° C, dan 70° C. Dari penelitian mi diharapkan memperoleh suhu pengeringan simplisia daun kumis kucing optimal sehingga akan didapat kadar flavonoid total yang tinggi.Apabila suhu pengeringan terlalu rendah, maka waktu yang diperlukan akan sangat lama sehingga kemungkinan besar simplisia akan ditumbuhi kapang dan ini akan merusak kandungan zat aktif yang terkandung di dalamnya. Namun jika suhu pengeringan terlalu tinggipun dikhawatirkan akan mengakibatkan perubahan kimia pada kandungan senyawa aktifnya (Depkes RI,1985). Oleh sebab itulah pentingnya dilakukan penelitian pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar flavonoid total pada ekstrak etanol daun kumis kucing guna mengetahui suhu pengeringan yang paling tepat untuk mendapatkan kadar flavonoid total tertinggi pada simplisia daun kumis kucing. METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus (BL) Miq.) berbunga ungu, Etanol 96% p.a, Kuersetin p.a, n-Butanol p.a, Asam asetat p.a, AlC136H2O (E-Merck) dan Petroleum eter (teknis) Alat yang digunkaan yaitu Spektrofotometer UV-Vis (Pharmaspec I700, SHIMADZU), Rotary evaporator,oven, seperangkat peralatan gelas (Pyrex), bejana kromatografi, timbangan analitikHalogen Moisturizer Analyzer, mikropropipet, plate selulosa, pipa kapiler 5 μl dan alat penyemprot. Pembuatan Simplisia Daun kumis kucing dikeringkan pada suhu 30° C, 50° C, dan 70° Cmenggunakan oven sampai didapatkan simplisia yang benar-benar kering,ditandaidengan uji fisik yaitu kerapuhan simplisia pada saat diremas. Simplisia kemudiandiserbuk dengan menggunakan blender untuk selanjutnya ditetapkan kadar airnya dan diekstraksi. Borneo Journal of Pharmascientech, Vol 01, No. 02, Tahun 2017 ISSN- Print. 2541 – 3651 ISSN- Online. 2548 – 3897 Research Article 4 Pembuatan Ekstrak Ekstrak dibuat secara metode maserasi (1x24 jam) yang disertai dengan proses pengadukan menggunakan pengaduk elektrikselama 6 jam. Penyari yang digunakan adalah etanol 96% (1:10). Larutan hasil maserasi yang didapat kemudian disaring dan dipisahkan dari ampasnya sehingga diperoleh maserat. Proses remaserasi dilakukan sampai cairan penyari pada maserasi berwarna jernih. Saridipekatkan dengan cara diuapkan pada Rotary evaporator yang dilanjutkan dengan penguapan ekstrak di atas waterbath sampai terbentuk ekstrak kental. Identifikasi Senyawa flavonoid Dengan Metode KLT Larutan uji dibuat dengan cara mengencerkan ekstrak kental dalam etanol96%. Plate selulosa diaktivasi sebelum digunakan dengan cara dlpanaskan dalamoven pada suhu 105° C selama 1 jam. Larutan uji dalam jumlah tertentu kemudianditotolkan pada plate selulosa tersebut dengan kuersetin sebagai pembanding.Selanjutnya dielusi dengan fase gerak n-butanol: asam asetat: akuades (4:1:5). Bercak pada kromatogram diamati pada sinar UV λ254, UV λ366 nm dan sinar tampak. Kromatogram kemudian dianalisa dengan pereaksi uap amoniak, AlCl3, dansitrobrat, dengan dan tanpa cahaya tampak dan sinar UV λ366 nm. Penetapan Kadar Flavonoid Total Ekstrak etanol daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus (BL) Miq)ditimbang sebanyak 50,0 mg, ditambah dengan etanol hingga 10 ml.Diencerkan sampai absorbansi yang diperoleh masuk range antara 0,2-0,8 nm. Dari larutan tersebut diambil 2,00 ml ditambahkan 2,00 ml larutan AlCl3.6H2O 2%, diamkan pada waktu OT kemudian absorbansi dibaca padapanjang gelombang maksimum. Analisis Data Analisis data terlebih dahulu dilakukan dengan menggunakan metode kurvastandar, regresi linier y = bx + a dibuat berdasarkan data luas area dibawah kurva dankonsentrasi dari larutan standar daun kumis kucing.Analisis data dilanjutkan dengan menguji normalitas (Kolmogorov Smirnov) dan uji homogenitas (Levene Test) dengan taraf kepercayaan 95%. Apabila hasiluji normalitas dan homogenitas menunjukkan bahwa data terdistribusi normal dan homogen, maka analisis dilanjutkan dengan metode parametrik ANOVA dan uji PostHoc (uji Least Significant Difference (LSD)). HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Simplisia Sampel berupa daun kumis kucing diperoleh dari Sleman, Yogyakarta pada bulan Maret 2010. Usia tanaman ketika dipanen 2 bulan, dan bagian yangdiambil adalah bagian pucuk daun beserta 10 lembar daun di bawahnya. Secaraempiris bagian inilah yang digunakan Borneo Journal of Pharmascientech, Vol 01, No. 02, Tahun 2017 ISSN- Print. 2541 – 3651 ISSN- Online. 2548 – 3897 Research Article 5 masyarakat untuk pengobatan tradisional.Pengeringan daun kumis kucing dalam penelitian ini dilakukan pada 3 variasi suhu yaitu suhu 30o C, 50o C, dan 70° C.Pengeringan bahan tanaman bertujuan untuk menjaminkeawetan, mencegah tumbuhnya kapang dan jamur, menghilangkan air, mencegah terjadinya reaksi enzimatis, dan mempermudah pada saat simplisia akan dihaluskan menjadi serbuk (Depkes RI, 1985).Dalam proses pengeringan ini daun disusun tidak terlalu bertumpuk agar pengeringan berlangsung merata dan tidak terjadi face hardening, yakni bagian luar bahan sudah kering namun bagian dalamnya masih basah. Pada waktu dikeringkan, daun sering dibalik agar terjadi sirkulasi udara sehingga mempercepat pengeringan. Daun dikeringkan sampai mencapai titik kekeringan dengan ditandai kerapuhan, mudah patahnya daun yang dikeringkan, dan kadar air yang kurang dari 10% (Depkes RI, 1985). Lamanya proses pengeringan dari tiap suhu berbeda-beda. Pada Tabel 1 dapat dilihat lama pengeringan dan hasil penetapan kadar air pada masing-masing suhu pengeringan. Tabel 1. Lama Pengeringan dan Hasil Penetapan Kadar Air Simplisia Suhu Pengeringan Lama Pengeringan Kadar Air (%) ????̅ ± ????. ???? 30o C 45 jam 15 menit 6,01 ± 0,34 50o C 24 jam 10 menit 5,55 ± 0,22 70° C 10 jam 15 menit 5,08 ± 0,09 Borneo Journal of Pharmascientech, Vol 01, No. 02, Tahun 2017 ISSN- Print. 2541 – 3651 ISSN- Online. 2548 – 3897 Research Article 6 Berdasarkan analisis data dengan SPSS 16, nilai signifikansi α < 0,05 sehingga terdapat perbedaan yang bermakna pada ketiga suhu pengeringan dalampenetapan kadar air simplisia daun kumis kucing. Pembuatan Ekstrak Rendemen ekstrak dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Hasil Rendemen Ekstrak Sampel Bobot Simplisia (g) Bobot Ekstrak (g) Rendemen (%) 30o C 20,059 2,995 14,93 50o C 20,046 3,085 15,39 70° C 20,056 1,866 9,30 Hasil rendemen ini dapat dijadikan acuan dalam memperkirakan berapa jumlahsimplisia yang diperlukan untuk diekstraksi,agar didapatkan ekstrak sejumlahyang diinginkan. Uji Kualitatif Pada penclitian ini uji kualitatif dilakukan secara KLT dengan menggunakan fase gerak hasil orientasi BAW 4:1:5 (n-Butanol: Asam asetat:Air) fase atas dan fase diam selulosa. Pereaksi umum yang digunakan untuk uji kualitatif flavonoid yaitu uap amoniak, pereaksi sitroborat, dan pereaksi AlC13.Hasil uji kualitatif flavonoid dengan pembanding kuersetin dapat dilihat pada Gambar 1. Sebelum diuapi dengan amoniak,bercak sampel dilihat pada sinar UV366 memberikan warna hijau kekuningan, sedangkan pada sinar tampak dan Sinar UV254berwarna kuning lemah. Setelah diuapi dengan amoniak pada sinar UV366 bercak semua sampel memberi sedikit perubahan warna menjadi kuning kehijauan, sedangkan pada sinar tampak dansinar UV254 bercak sampel berwarna kuning yang lebih intensif dari warna kuning sebelumnya. Kemungkinan flavonoid yang terkandung dalam ekstrak etanol daunkumis kucing adalah jenis flavonol yang mengandung 3-OH bebas dan disertaiatau tanpa 5-OH bebas. Perubahan warna ini dikarenakan adanya pembentukan struktur kinoid (Robinson, 1995).Bercak sampel pada saat sebelum dansesudah disemprot sitroborat mengalami perubahan warna yang semula pada sinartampak berwarna kuning pucat menjadi kuning yang lebih terang, sedikitmemberikan perubahan warna pada sinar UV366, dan tetap kuning pada sinar UV254.Setelah disemprot dengan AlCl3 memberikan sedikit perubahan warna pada sinar UV366 menjadi lebihintensif, warna kuning pada sinar tampak dan UV254. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa flavonoid yang terkandung adalah flavonol yang mengandung3-OH bebas dan disertai atau tanpa 5-OH bebas. Untuk pereaksi AlCl3, terjadinya perubahan warna disebabkan oleh adanya pembentukan kompleks dengan senyawa flavonoid. Pembentukan kompleks ini akan menyebabkan pergeseran panjang gelombang ke arah batokromik. Gambar 1. Hasil Uji Kualitatif Flavonoid dengan Pembanding Kuersetin Keterangan cuplikan : a Kuersetin; b.Sampel suhu 300C; c. Sampel suhu 500C; d.Sampel suhu 700C Borneo Journal of Pharmascientech, Vol 01, No. 02, Tahun 2017 ISSN- Print. 2541 – 3651 ISSN- Online. 2548 – 3897 Research Article 7 Prinsipnya gugus hidroksi flavonoid akan bereaksi dengan AlCl3 membentuk kompleks kelat berwama kuning yang apabila gugus hidroksi tersebut berada pada posisi orthodihidroksi maka bersifat tidak stabil dalam suasana asam, sehingga jika direaksikan denganHCl akan mengalami pergeseran hipsokromik jika dibandingkan pada saat direaksikan dengan AlCl3. Namun jika gugus hidroksi berada pada posisi hidroksikarbonil, maka larutan bersifat stabil terhadap asam, sehingga ketika direaksikandengan HCl tidak terjadi pergeseran hipsokromik seperti halnya pada posisiortho dihidroksi (Mabry, dkk., 1970) Uji Kuantitatif Flavonoid Total Hasil penetapan kadar flavonoid total dalam ekstraksi etanol daun kumis kucing dengan variasi suhu pengeringan 30o C, 50o C, dan 70o C disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Hasil penetapan kadar flavonoid total dalam daun kumis kucing dengan tiga variasi suhu pengeringan Suhu Kadar Flavonoid (μg QE/mg ekstraksi) ????̅ ± ????. ???? (μg QE/mg ekstraksi) 300 C 37,25 37,25 ± 1,23 500 C 33,30 33,30 ± 1,54 700 C 31,15 31,15 ± 1,49 Ket: P95%, α , 0,05 Ekstrak etanol daun kumis kucing terbukti mengandung senyawa flavonoid. Adanya perbedaan kandungan flavonoid total dalam ekstrak daun kumis kucing pada tiga suhu pengeringan bukan dipengaruhi adanya kapang atau jamur, sebab daun dengan ketiga variasi suhu pengeringan mengandung kadar air kurang dari 10%, tetapi kemungkinan perbedaan itu dipengaruhi oleh adanya peningkatan kecepatan degradasi kimia. Kecepatan degradasi akan meningkat dengan adanya peningkatan suhu. Hal ini sangat terlihat pada warna daun kumis kucing yang berbeda pada masing-masing suhu pengeringan, yaitu saat pengeringan dengan suhu 30° C daun masih tampak dalam kondisi baik, tidak gosong seperti halnya daun pada suhu 70° C. Pada proses degradasi ini terjadi reaksi oksidasi yang memutus ikatan rangkap karbon terkonjugasi, hal inidisebabkan oleh adanya panas yang mengalir. Oleh sebab itulah, senyawa tersebuttidak bisa dibaca absorbansinya pada panjang gelombang yang telah ditetapkan. Sehingga akibatnya kadar flavonoid total dalam ekstrak etanol daun kumis kucing menjadi berkurang. Kadar flavonoid total pada ekstrak etanol daun kumis kucinghasil penelitian pada masing-masing suhu pengeringan 30°C, 50° C, 70° Cberturut-turut yaitu (37,25 ± 1,23) μg QE / mg ekstrak ; (33,30 ± 1,54) μg QB /mg ekstrak ; (31,15 ±1,49) μg QE / mg ekstrak. Jadi, suhu pengeringan 30° C inilah suhu yang optimal dengan kandungan flavonoid total yang paling besar. KESIMPULAN Borneo Journal of Pharmascientech, Vol 01, No. 02, Tahun 2017 ISSN- Print. 2541 – 3651 ISSN- Online. 2548 – 3897 Research Article 8 Suhu pengeringan daun kumis kucing dapat mempengaruhi kadar flavonoid total yang terkandung dalam daun kumis kucing.Suhu pengeringan 30°C merupakan suhu pengeringan yang optimal untuk mendapatkan ekstrak etanol daun kumis kucing dengan kadar flavonoid total paling banyak 37,25 ± 1,23 μg QE/mg ekstrak. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007, Tanaman Obat Asli Milik Masyarakat Bangsa dan Negara RIhttp://www.bmf.litbang.depkes.go.id/index2.php?option=content&do_pdf=1&id= 175diakses tanggal 13 Maret 2010 Depkes RI, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, 2-9,51, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Depkes RI, 1986, Sediaan Galenik, 4-31, Departemen Kesehatan RepublikIndonesia, Jakarta. Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, 7, Departemen RepublikIndonesia, Jakarta. Gunawan, D., Sudarsono, Agus P., Subagus W., Imono A. D., M.Dradjat, Samekto W., Ngatidjan,. 1996.Tumbuhan Obat, 90-95, Pusat PenelitianObat Tradisional UGM, Yogyakarta. Mabry, T.J, Markham, K.R., Thomas, M.B., 1970, The Systematic and identification of Flavonoid, 3-56, Springer-Verlag, New York, Helderberg-Berlin. Robinson,T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi Edisi keenam,191-216, Penerbit 1TB, Bandung.
Uji Aktivitas Antibakteri EkstrakEtanol dan Fraksi Batang Kuning (Fibraurea Tinctoria Lour) terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus Lusi Mardika Ariyanti; Supomo Supomo; Hayatus Sa’adah; Eka Siswanto Syamsul; Kintoko Kintoko; Hardi Astuti Witasari
JI-KES (Jurnal Ilmu Kesehatan) Vol 5, No 2 (2022): JI-KES (Jurnal Ilmu Kesehatan)
Publisher : STIKes Hafshawaty Pesantren Zainul Hasan Probolinggo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33006/ji-kes.v5i2.323

Abstract

Abstrak Akar kuning (Fibraurea tinctoria Lour) merupakan tumbuhan khas yang dapat dijumpai di Kalimantan serta biasa dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai obat gatal, penyakit kuning dan diare. Salah satu senyawa kimia yang terkandung dalam akar kuning adalah berberin yang berpotensi memiliki khasiat sebagai antidiabetes, antivirus, antibakteri dan antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk  mengetahui potensi tumbuhan Akar Kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) sebagai antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus dengan menggunakan metode disc diffusion. Ekstrak etanol difraksinasi dengan menggunakan pelarut n-heksan dan etilasetat, ekstrak dan fraksi yang telah didapat ditimbang dengan konsentrasi 2,5%, 5% dan 10%. Kontrol positif yang digunakan yaitu amoxicillin dan DMSO sebagai kontrol negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ektrak etanol dan fraksi akar kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) memiliki potensi untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Aktivitas zona hambat terbesar yang terbentuk pada ekstrak etanol yaitu pada konsentrasi 10% dengan diameter zona hambat 9,18 mm terhadap bakteri Escherichia coli dan 12,16 mm terhadap bakteri Staphylococcus aureus sedangkan fraksi batang akar kuning yang memiliki aktivitas antibakteri paling kuat terhadap bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yaitu fraksi sisa. Staphylococcus aureus memiliki sensitifitas lebih tinggi terhadap akar kuning (Fibraurea tinctoria Lour) dari pada bakteri Escherichia coli. Kata kunci  : antibakteri, akar kuning, berberin, Fibraurea tinctoria Lour. Abstract Akar kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) is typically plant that can be found in Kalimantan usually used by local people as itch medicine, jaundice and diarrhea. Berberin, one of the chemical compounds contained in the akar kuning, berberin has the potential to act as an anti-diabetic, antiviral, antibacterial, and anti-inflammatory. This study aimed to determine the activity of akar kuning as an antibacterial against Escherichia coli and Staphylococcus aureus using the disc diffusion method. Ethanol extract are fractionated using n-Heksan and Etilasetat solvents, the obtained of extract and fraction are weighed to 2,5%, 5% and 10%. Positive control antibacterial used amoxicillin and DMSO as negative control. The results showed that ethanol extracts and fraction of akar kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) are have potential to inhibited bacteria growth. The highest antibacterial activity that showed at 10% concentration of ethanol extract with diameter inhibition is 9,18 mm to Escherichia coli and 12,16 mm to Staphylococcus aureus while the fraction of akar kuning which has the stronger antibacterial activity to Escherichia coli and Staphylococcus aureus is the rest fraction. Staphylococcus aureus were more susceptible to akar kuning (Fibraurea tinctoria Lour.) extract and fraction than Escherichia coli.Keywords:           antibacterial, akar kuning, berberin, Fibraurea tinctoria Lour
PERSEPSI PASIEN HIPERTENSI TERHADAP KEAMANAN DAN EFEKTIFITAS OBAT TRADISIONAL UNTUK HIPERTENSI DI KABUPATEN BANYUMAS Aulia Rahman; Dyah Aryani Perwitasari; Kintoko Kintoko; Suwijiyo Pramono
Jurnal Sintesis: Penelitian Sains, Terapan dan Analisisnya Vol 1 No 2 (2020): Desember 2020
Publisher : Fakultas Sains, Teknologi, dan Analsisi Institut ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (485.651 KB)

Abstract

Hypertension is the biggest risk factor for cardiovascular disease which is the first caused of death in the world. Besides lifestyle modification and pharmacological therapy, hypertension can also be treated using traditional medicine. The use of traditional medicine can be influenced by characteristics and perceptions. The purpose of this study was to determine the patient's perception of traditional medicine for hypertension in Banyumas Regency. The research was conducted in April 2019, the subjects were hypertensive patients who become member of PROLANIS in Banyumas Regency. The research design used a cross-sectional study with a purposive random sampling. Perception was measured using a questionnaire with a Likert scale from strongly disagree to strongly agree (scale 1-5) then converted into a percent index score. There were 340 respondents who participated in this study. The majority of respondents were women (56.8%) aged 45-60 years old (52.4%), with secondary education (55.3%), working (85%) and having moderate income (52.6%) . Respondents have a good perception of the safety and effectiveness of traditional medicines for hypertension with an average percent index score of 68.53% for safety and an 67.38% for effectiveness
ETNOMEDICINE STUDY: KATUK LEAVES (SAUROPUS ANDROGYNUS (L.) MERR.) FOR BREAST MILK BOOSTER IN SUMBERAN NGESTIHARJO KASIHAN BANTUL Nur Idha Sri Budiarti; Kintoko Kintoko
International Journal of Islamic and Complementary Medicine Vol. 2 No. 2 (2021): International Journal Islamic Medicine
Publisher : International Islamic Medicine Forum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (268.844 KB) | DOI: 10.55116/IJIM.V1I1.21

Abstract

Breastfeeding is very important for optimal growth and development for babies. One of the efforts that can be done to increase breast milk production is by using traditional ingredients such as katuk extract (Sauropus androgynus (L.) Merr.). This study aims to determine form of the herb, processing method, usage method and the factors behind people using katuk leaves (Sauropus androgynus (L.) Merr.) for breast milk booster in Sumberan Ngestiharjo Kasihan Bantul. The research method used is descriptive qualitative observation. The sampling technique was snowball sampling through observation and in-depth interviews with informants who knew about the use of katuk plants to increase breast milk production in Sumberan Village, then the informants selected respondents to provide additional information. The results showed that the form of katuk leaves (Sauropus androgynus (L.) Merr.) was as a vegetable, brewed, encapsulated and blended to extract the starch. The processing method is cooked as a vegetable, made juice to drink, boiled for fresh vegetables and dried, its use by eating with a frequency of two times a day used during breastfeeding. The factors behind people using katuk leaves to increase breast milk production that is believed katuk leaves can increase breast milk production or breast milk boosters at low prices and easy to obtain. Katuk leaves (Sauropus androgynus (L.) Merr.) to increase breast milk production, which can be consumed as a vegetable by eating it with a frequency of two times a day during breastfeeding. The factors behind people using katuk leaves (Sauropus androgynus (L.) Merr.) that katuk leaves are believed to increase breast milk production.  
Inflammation and Wound Diabetic Kintoko Kintoko
JKKI : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia JKKI, Vol 7, No 3, (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/JKKI.Vol7.Iss3.art1

Abstract

No Abstract
The effectivity of ethanolic extract of binahong leaves (anredera cordifolia (tenore) steen) gel in the management of diabetic wound healing in aloxan-induced rat models Kintoko Kintoko; Astri Desmayanti
JKKI : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia JKKI, Vol 7, No 5, (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/JKKI.Vol7.Iss5.art9

Abstract

Background : Diabetes Mellitus (DM) is a disease that can be known by increasing a blood glucose level and caused many kinds of complications if it don't properly treatment, one of those complications is a diabetic ulcer. There are many types of treatments created to overcome the diabetic ulcer, but there are not effective yet. Therefore, ethanolic extract gel of binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steen) leaves is used to make a new innovation of diabetic ulcer treatment Objective : The objective of this research wasto know the concentration of antibacterial and anti-infection activity from ethanolic extract of binahong leaves as wound healing on diabetic ulcer and also to know the changeover of wound diameter. Methods : Binahong leaves were extracted with 96% ethanol by maceration. Then the extract was formulated to be gel product with the concentration of 10% and 30%. The gel product was administrated to diabetic rats which had been made ulcer wound by excision. The result of wound diameter and the percentage of wound healing were analyzed by One Way Anova and then continue analyzed by LSD (Least Significant Different) with significant level of 95%. Results : The result showed that binahong gel with concentration variation of 10% and 30% only affected the organoleptic and doesn't affect the homogeneity, pH, irritation, spreadability and consistency. The result of the effectiveness test of binahong leaves gel is 10% more effective to changeover of wound diameter but there is not significantlydifferent if compared with 30% gel of binahong leaves. Therefore, gel of binahong leavesof 10% is able to provide slightly effective than chloramphenicol™. Conclusion : The concentration of 10% and 30% of binahong gel were effectively usage for wound healing diabetic ulcer in rats.
Optimalisasi Produksi Fikosianin pada Sianobakteria Laut BTM 11 dan Uji Aktivitas Antioksidannya Baso Didik Hikmawan; Swastika Praharyawan; Kintoko Kintoko
JURNAL ILMU KEFARMASIAN INDONESIA Vol 20 No 2 (2022): JIFI
Publisher : Fakultas Farmasi Universitas Pancasila

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35814/jifi.v20i2.1198

Abstract

Phycocyanin (PC)-producing cyanobacteria has shown many pharmaceutical applications, the main one is the antioxidant properties. Biosynthesis of PC-producing cyanobacteria is affected by many factors like nitrogen availability and light intensity during cultivation. This study aims to analyze the optimum concentration of nitrogen and light intensity during the cultivation of PC biosynthesis of marine cyanobacteria BTM 11 and identify its antioxidant properties This study was an experimental laboratory method and the PC level was determined through the variation of sodium nitrate (NaNO3) as a source of nitrogen dissolved in media and using different light intensities. The most optimum nitrogen and light intensity values of PC were measured by its antioxidant activity by 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) free radical capture method. Data was analyzed by one-way ANOVA and the post-hoc Duncan to see whether p<0.05. The result showed that there was a significant difference in the PC level that was cultivated with the variation of NaNO3 concentrations. The highest PC level was observed in media containing 525 mg of NaNO3 and the optimum light intensity of 4500 lux. The result of the antioxidant activity assay showed that the BTM11’s PC’s antioxidant activity had its IC50 at 91.89 μg/mL and the IC50 of ascorbic acid was 2.39 μg/mL
Fractionation of a phenolic compound from water spinach (Ipomoea aquatica) herbs as anti-dandruff against Malassezia sp. Meta Damaharyuningtyas; Kintoko Kintoko; Endang Darmawan
Pharmaciana Vol 12, No 3 (2022): Pharmaciana
Publisher : Universitas Ahmad Dahlan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.535 KB) | DOI: 10.12928/pharmaciana.v12i3.21836

Abstract

 Dandruff is a scalp disorder caused by a fungus (Malassezia sp.). Water spinach (Ipomoea aquatica) contains phenolic compounds which has antifungal activity. The purpose of this research is to know the active fraction of Ipomoea aquatica herb which has antidandruff activity to against Malassezia sp. The study used true experimental design to antidandruff activity test. Fractionation used column chromatography which stationary phase with silica gel 60 powder and mobile phase with chloroform/methanol/acetyl acetate (8/2/0,1 v/v/v). In vitro antidandruff activity based on minimum inhibitory consentration (MIC) and minimum antifungal consentration (MFC) against Malassezia sp. of human dandruff isolate. The average of MIC and MFC among groups compared used Friedman test test (p≤ 0,05). The fraction 7 of water spinach (Ipomoea aquatica) herb have antidandruff activity against Malassezia sp. (MIC 125 µg/mL and MFC 250 µg/mL). Based on the results, fraction of water spinach (Ipomoea aquatica) herb have antidandruff activity against Malassezia sp. identified as phenolic compound.
Review on Ethnomedicinal and Potential Effect of Antibacterial Plants against Halitosis Kintoko Kintoko; Astri Desmayanti
Journal of Food and Pharmaceutical Sciences Vol 10, No 2 (2022): J.Food.Pharm.Sci
Publisher : Institute for Halal Industry and System (IHIS) Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jfps.4748

Abstract

Halitosis is an oral malodor condition in the oral cavity that comes from the breakdown of protein by anaerobic gram-negative and gram-positive bacteria. Some bacteria that are often found in cases of halitosis are Solobacterium moorei, Porphyromonas gingivalis, Tannerella forsythia, Fusobacterium nucleatum, Prevotella intermedia, Treponema denticola, dan Streptococcus mutans. Medicinal plants to treat various diseases have shown minimal side effects. Indonesia is one of the countries that has used plants as traditional medicine since ancient times. As many as 7,000 species of medicinal plants in Indonesia have been studied to address health problems. Among the medicinal plants that have been studied are Green Betel (Piper betle L.), Cinnamon (Cinnamomum zeylanicum), Star Anise (Illicium verum), Mint (Mentha piperita) dan Oregano (Origanum vulgare) which have been shown to cure various diseases. This review article describes the potential of plants as an antibacterial against halitosis. The purpose of this review is to provide an overview of ethnomedicine and the potential effects of antibacterial medicinal plants that can be used in cases of halitosis.
Components Analysis of Bioactive Essential Oil Combinations (Lavender, Lemon, and Cinnamon) by Gas Chromatography-Mass Spectrometry and their Activities against In Vitro Photoaging on Hairless Rat Dorsal Skin Hardi Astuti Witasari; Kintoko Kintoko; Warsi Warsi; Salsabila Ramadhan; Nadiya Utari; Tsania Taskia Nabila
Majalah Obat Tradisional Vol 27, No 2 (2022)
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/mot.74197

Abstract

The essential oil of lavender, lemon, and cinnamon (LaLC) combination is rich in antioxidants and potentially be used as an anti-wrinkle and strengthens the collagen tissue. Ultraviolet B (UVB) radiation is a free radical source that accelerates the aging process and reduces collagen production. This study aims to characterize the chemical components of each oil and determine the best combination as an anti-wrinkle substance. The test was conducted on twenty-four Wistar male rats (Mus musculus) that were divided into six experimental groups consisting of the normal (N), control (C), vehicle control (V), first treatment (T1), second treatment (T2), and third treatment (T3) groups. Each sample was rubbed upon, and the UVB irradiation was administered frequently to each subject. The embedded skin specimen was analyzed using a digital-capable microscope. Data were analyzed through the Kolmogorov-Smirnov normality test, one-way analysis of variance (ANOVA), and the post-hoc Tukey's Honest Significant Difference test. Lavender, lemon, and cinnamon essential oils contained each most significant component, which was linalool (41.46% peak area), dl limonene (44.74% peak area), and 2-propenal, 3-phenyl- (CAS) (53.89% peak area), respectively according to the Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) analysis. The T1 showed the best score of all parameters and did not show significant significance compared to the N group. In conclusion, the 1:1:3 combination of LaLC is better in preventing in vitro photoaging than other treatment groups.