Abstrak Angkringan pada awalnya hanya eksis di Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta. Seiring waktu angkringan mulai menyebar ke berbagai kota di seluruh Indonesia termasuk Ponorogo. Angkringan merupakan salah satu bisnis kuliner yang mengalami perkembangan yang cukup signifikan di Ponorogo. Kajian ini menyoroti makna angkringan bagi masyarakat Ponorogo dengan menggunakan teori interaksonisme simbolik. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif data primer didapatkan dari tujuh informan yang dianggap merepresentasikan penjual dan pelanggan angkringan di Ponorogo. Temuan yang didapatkan adalah angkringan bagi masyarakat Ponorogo bukan hanya sebagai tempat makan dengan harga terjangkau/ekonomis, tetapi juga sebagai simbol interaksi sosial dan kebersamaan, egaliter, dan kebebasan. Keuntungan bukan semata-mata yang diutamakan oleh penjual angkringan. Dibuktikan dengan para penjual yang membiarkan para pelanggan duduk berjam-jam di angkringan walau hanya memesan beberapa menu. Penjual mengikhlaskan saja. Harga yang murah bukan semata-mata tujuan para pembeli, karena pada akhirnya secara akumulatif makan di angkringan juga dapat berbiaya sama, bahkan dapat melebihi biaya makan di tempat lain yang terlihat lebih mahal. Meski demikian pelanggan akan tetap ke angkringan, karena simbol yang melekat padanya. Pemilik angkringan dapat memanfaatkan hal ini untuk mengembangkan strategi pemasaran yang lebih efektif dan meningkatkan daya saing mereka di pasar kuliner di Ponorogo. Kata Kunci: Angkringan, Makna Simbolik, Ponorogo, Perspektif Ekonomi Abstract Angkringan initially only existed in the city of Yogyakarta and the city of Surakarta. Over time, Angkringan spread across various cities in Indonesia, including Ponorogo. Angkringan is one of the culinary businesses that has experienced significant development in Ponorogo. This study highlights the meaning of angkringan for the people of Ponorogo, using the theory of symbolic interactionism. Using qualitative research methods, primary data were obtained from seven informants who were considered to represent the sellers and customers of Angkringan in Ponorogo. The findings are that angkringan for the people of Ponorogo is not only an affordable/economical place to eat but also a symbol of social interaction and togetherness, egalitarianism, and freedom. Profit is not solely prioritized by angkringan sellers. This is evidenced by sellers who let customers sit for hours in Angkringan, even though they only order a few menus. Sellers simply let it go. Low prices are not the only goal of buyers, because in the end, accumulatively eating at angkringan can also cost the same, even exceeding the cost of eating in other places that look more expensive. Nevertheless, customers will still go to Angkringan because of the symbols attached to it. Angkringan owners can capitalize on this to develop more effective marketing strategies and increase their competitiveness in the culinary market in Ponorogo. Keywords: Angkringan, Symbolic, Ponorogo, Economy