Claim Missing Document
Check
Articles

STATUS DAN BENTUK HUKUM BADAN KREDIT DESA SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (Bagian dari tesis yang berjudul Badan Kredit Desa Sebagai Lembaga Keuangan Mikro Untuk Mengembangkan Usaha Mikro) Elisabeth Pudyastiwi
Cakrawala Hukum: Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Vol 18, No 44 (2016): Majalah Ilmiah Cakrawala Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Wijayakusuma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51921/chk.v18i44.27

Abstract

Lembaga Keuangan Mikro (LKM)memuat 3 (tiga) elemen kunci, yaitu : Pertama,menyediakan beragam jenis pelayanankeuangan yang relevan dengan kebutuhan riilmasyarakat yang dilayani. Kedua, melayanikelompok masyarakat berpenghasilan rendah(masyarakat miskin menjadi pihakbeneficiaries utama). Ketiga, menggunakanprosedur dan mekanisme yang kontekstual danfleksibel, agar lebih mudah dijangkau olehmasyarakat miskin yang membutuhkanpelayanan1. Oleh karenanya menyebabkanLembaga Keuangan Mikro (LKM) menjadipilihan bagi masyarakat bawah karena memangmempunyai karakteristik yang “merakyat”,yaitu sesuai dengan irama kehidupan sehariharidan menggunakan prosedur yangsederhana, tidak sarat aturan dan cepat.Lembaga Keuangan Mikro di Indonesiadiawali dengan berdirinya Lumbung Desa (LD)pada tahun 1897 oleh Kelompok SwadayaMasyarakat, Lumbung Desa dan Bank Desainilah kemudian dikenal dengan nama BadanKredit Desa (BKD). Maksud didirikannyaBadan Kredit Desa (BKD) adalah untukmemberikan pelayanan kebutuhan kreditkepada penduduk desa sebagai pelaku ekonomimikro yang mempunyai usaha kecil-kecilan/mikro baik sebagai pedagang, petani ataupunyang, mempunyai penghasilan lain, denganmaksud agar mereka dapat mengembangkanusahanya dengan baik untuk keperluanproduksi maupun konsumsi. Sedangkan tujuandidirikannya Badan Kredit Desa (BKD) adalah:1. Mengurangi dan mengatasi praktek-praktekijon, pelepas uang/rentenir, gadai gelap dankegiatan lain yang serupa;2. mendorong pembangunan ekonomimasyarakat desa secara terarah danpenyaluran modal yang efektif;3. menciptakan pemerataan kesempatanberusaha bagi masyarakat desa dalamrangka usaha untuk meningkatkanpendapatan masyarakat yang berpenghasilanrendah;4. mendidik masyarakat untuk semangatmenabung sehingga terbentuk pemupukanmodal dari masyarakat.Dasar hukum berdirinya Badan Kredit
PENERIMAAN USAHA MIKRO TERHADAP PEMBERIAN KREDIT SECARA KELOMPOK Elisabeth Pudyastiwi
Cakrawala Hukum: Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Vol 19, No 1 (2017): Majalah Ilmiah Cakrawala Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Wijayakusuma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51921/chk.v19i1.9

Abstract

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahuipenerimaan usaha mikro terhadap sistempemberian kredit secara kelompok. Untukmencapai tujuan tersebut penulis menggunakanmetode pendekatan yuridis normatif, dengandiperoleh hasil bahwa Program sistem kreditkelompok tidak dapat dijadikan sandaran usahamikro untuk memperoleh pinjaman modal, hal inidisebabkan mereka tidak akan mampu memenuhipersyaratan yang diminta oleh pihak bank yaituthe five C of Credit terutama usaha mikro harustetap menyediakan agunan baik berupa hartakekayaan kelompok, barang bergerak maupuntabungan beku. Sebenarnya kendala kurangnyaatau tidak adanya agunan pada usaha mikro dapatdiatasi dengan berbagai cara, misalnya denganmenerapkan tanggung jawab renteng, ataupenjaminan sebagian oleh pemerintah, walaupunhal ini masih memerlukan kajian yang mendalam.Demikian pula dengan persyaratan untuk adanyapembukuan bagi kegiatan usaha mikro,persyaratan ini sulit dipenuhi oleh usaha mikro,karena sebagian besar usaha mikro dimiliki olehkeluarga yang berpendidikan rendah, padahalprogram perkreditan untuk usaha mikro dari bankpada hakekatnya merupakan pemerataanpemilikan aset dalam rangka memperkuat posisiusaha kelompok mikro agar dapat meningkatkanproduksi dan pendapatannya yang pada gilirannyadiharapkan dapat memperluas lapangan kerja.Kata Kunci: Usaha Mikro, ProgramKredit kelompok
Perkawinan Di Bawah Umur Dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Undang-Undang Perlindungan Anak Virna Atikasari; Eti Mul Erowati; Elisabeth Pudyastiwi
Cakrawala Hukum: Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Vol 22, No 2 (2020): Majalah Imiah Cakrawala Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Wijayakusuma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51921/chk.v22i2.115

Abstract

 ABSTRACT The objectives of this thesis are: to determine the arrangement of underage marriages with Law no. 1 of 1974 concerning Marriage and to determine the legal protection of children who are married under age in accordance with Law no. 23 of 2002 concerning child protection. The research method uses qualitative methods, normative juridical approach, descriptive analytical research specifications, secondary data collection with materials through literature review, analysis using normative qualitative methods, data presentation is presented in systematic descriptions. The practice of underage marriage needs to be considered and clearly defined, because there are more and more people in Indonesia who are married underage. The conclusions are: there is no legal synchronization, especially related to underage marriage according to Law Number 16 of 2019 concerning amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage with the Child Protection Law as statutory regulation in set a minimum age limit for the parties to marry. The Marriage Law has not yet been sanctioned for violators because there are regulations on marriage dispensation listed in article 7 paragraph 2 of Law Number 16 of 2019 concerning amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage, but in Law The Child Protection Law already has sanctions for violators. Second, the Child Protection Law has provided legal protection for children who are married under age, which is regulated in Article 78, Article 82 and Article 88 of the Child Protection Law. Keywords: Underage Marriage, Child Protection, Law no. 1 of 1974 concerning marriage, Law no. 23 of 2002 concerning child protection. Abstrak. Tujuan dari skripsi ini, yaitu untuk menentukan pengaturan perkawinan di bawah umur dengan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan untuk menentukan perlindungan hukum terhadap anak-anak yang melakukan perkawinan di bawah umur sesuai dengan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif, pendekatan yuridis normatif, spesifikasi penelitian deskriptif analitis, pengambilan data sekunder dengan bahan melalui kajian kepustakaan, analisis dengan metode kualitatif normatif, penyajian data disajikan dalam uraian-uraian yang tersusun secara sistematis. Praktik perkawinan di bawah umur perlu diperhatikan dan ditetapkan dengan jelas, karena ada lebih banyak lagi orang di Indonesia yang menikah di bawah umur. Kesimpulan yaitu : belum adanya sinkronisasi hukum terutama terkait dengan perkawinan di bawah umur menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai peraturan perundang-undangan dalam menetapkan batas minimum umur bagi pihak-pihak untuk melakukan perkawinan. Undang-Undang Perkawinan belum ada sanksi bagi yang melanggar karena ada peraturan tentang dispensasi perkawinan yang tercantum dalam pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, tetapi pada Undang-Undang Perlindungan Anak sudah ada sanksi bagi pelanggarnya. Kedua, Undang-Undang Perlindungan Anak sudah memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan perkawinan di bawah umur, yang diatur dalam Pasal 78, Pasal 82 dan Pasal 88 Undang-Undang Perlindungan Anak.Kata Kunci : Perkawinan Di Bawah Umur, Perlindungan Anak, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.   
PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM RESPONSIF Elisabeth Pudyastiwi
Cakrawala Hukum: Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Vol 20, No 1 (2018): Majalah Ilmiah Cakrawala Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Wijayakusuma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51921/chk.v20i1.2

Abstract

Masyarakat Indonesia yang mencapaiangka 200.000.000 (dua ratus juta) jiwabukanlah suatu jumlah yang kecil. Dari jumlahitu dapat dikatakan bahwa sebagian besar darimereka adalah konsumen yang buta akan hakhakmereka sebagai konsumen yang baik.Keadaan ini turut didukung oleh sistemperadilan Indonesia yang masih kurangmenguntungkan. Lahirnya Undang-undangNomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungankonsumen diharapkan dapat menciptakankegiatan usaha perdagangan yang fair yangtidak hanya bagi kalangan pelaku usaha,melainkan secara langsung untuk kepentingankonsumen, baik selaku pengguna, pemanfaatmaupun pemakai barang/jasa yang ditawarkanoleh pelaku usaha.Undang-undang perlindungan konsumenini bukanlah suatu undang-undang yangdianggap sanggup merangkum segalakeperluan dan kebutuhan konsumen akan suatusistem keadilan yang fair bagi mereka, namunsetidaknya undang-undang ini diharapkan akanmampu menjadi sumber atau acuan bagiperaturan perundangan-undangan lainnya yangada.Perlindungan konsumen merupakansuatu hal yang cukup baru dalam duniaperaturan perundang-undangan di Indonesiameskipun dengungan mengenai perlunyaperaturan perundang-undangan yangkomprehensif bagi konsumen tersebut sudahdigaungkan sejak lama. Praktek monopoli dantidak adanya perlindungan konsumen telahmeletakkan posisi konsumen dalam tingkatyang terendah dalam menghadapi para pelakuusaha (dalam arti seluas-luasnya). Tidak adanyaalternatif yang dapat diambil oleh konsumentelah menjadi suatu rahasia umum dalam duniaatau industri usaha di Indonesia. Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapipelaku usaha ini jelas sangat merugikankepentingan masyarakat. Pada umumnya parapelaku usaha ini berlindung dibalik perjanjianbaku yang telah ditandatangani oleh keduabelah pihak (antara pelaku usaha dankonsumen).
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TRANSAKSI PERBANKAN MELALUI INTERNET BANKING DI INDONESIA Elisabeth Pudyastiwi; Agoes Djatmiko
Jurnal Locus Delicti Vol 3 No 2 (2022): Oktober, Jurnal Locus Delicti
Publisher : Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/jld.v3i2.1612

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, menganalisis, transaksi perbankan melalui internet banking di Indonesia. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian bersifat yuridis normatif. Dalam pengumpulan data penelitian, dengan menggunakan bahan hukum sekunder berupa buku, jurnal, artikel, dan karya tulis lainnya, baik yang berasal dari media cetak maupun internet yang berhubungan dengan penelitian ini. Hasil penelitian menunjukan bahwa Internet banking merupakan salah satu pelayanan jasa bank yang memungkinkan nasabah untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi dan melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet. Transaksi perbankan melalui internet banking sampai saat ini belum diatur secara khusus dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Pengaturan mengenai transaksi perbankan melalui internet banking di Indonesia yang ada saat ini belum dapat menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak, baik pihak bank maupun nasabah. Upaya perlindungan hukum telah dilakukan oleh pemerintah, namun substansi-substansi dari peraturan-peraturan yang ada belum menunjukkan adanya upaya perlindungan hukum yang optimal bagi para pihak.
SOSIALISASI MARAKNYA PROSTITUSI ONLINE DI INDONESIA SOCIALIZATION ON THE RISE OF ONLINE PROSTITUTION IN INDONESIA Ikama Dewi Setia Triana; Eti Mul Erowati; Elisabeth Pudyastiwi
Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Media Ganesha Vol 4 No 1 (2023): Maret
Publisher : Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This community service aims to provide knowledge and prevent the rise of online prostitution in Indonesia. Online prostitution is a problem that really threatens the younger generation and changes the culture of Indonesian society. Apart from having a bad effect on changing a good legal culture, online prostitution can become addictive for users. It takes good legal awareness to understand the damages caused by online prostitution. There are similarities between prostitution and drug cases. Both of these cases provide legal action for both drug dealers and their pimps. What makes the difference is that in narcotics cases, the user can be free from criminal law action with the condition that they are required to carry out the rehabilitation process until they recover from their addiction to the drug. As for prostitution cases, prostitutes and their service users are exempt from criminal acts with the condition that they "only" have to report to the police. In this case, there is a possibility that prostitution perpetrators will repeat their actions because they feel protected, as long as there are no regulations governing them.
JURIDICAL REVIEW OF CHANGES TO THE DECISION OF THE CONSTITUTIONAL COURT IN THE 2024 GENERAL ELECTION CONTESTATION REVIEWED FROM THE PERSPECTIVE OF INDONESIAN CONSTITUTIONAL LAW Agoes Djatmiko; Elisabeth Pudyastiwi; Elly Kristiani Purwendah
Ganesha Law Review Vol 6 No 1 (2024): May
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/glr.v6i1.3411

Abstract

This article aims to analyze changes to the decision of the constitutional court in the 2024 general election contestation from the perspective of Indonesian constitutional law. This research uses a normative juridical research method with a type of approach, namely a statutory approach and a conceptual approach. The legal materials used are primary, secondary and tertiary legal materials, obtained by conducting literature studies. The research results show that factors that influence changes in the Constitutional Court's decisions will be taken into account, such as legal developments, social changes and political shifts that may occur over time. Through a review of constitutional law, this article will also consider the influence of constitutionalist thinking and human rights principles in the Constitutional Court's decisions regarding elections. This research pays attention to changes in the constitutional interpretation by the Constitutional Court and their impact on the electoral process.
Ecological and Social Justice as Basis on Marine Environment Protection and Preservation in The System of Indonesian Law Purwendah, Elly Kristiani; Djatmiko, Agoes; Erowati, Eti Mul; Triana, Ikama Dewi Setia; Pudyastiwi, Elisabeth
Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Vol 7, No 2 (2022): Juli 2022
Publisher : Universitas Negeri Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (166.865 KB) | DOI: 10.17977/um019v7i2p413-428

Abstract

This study aimed to determine ecological and social justice as the basis for protecting and preserving the marine environment in the Indonesian legal system. This research was empirical normative legal research. The subject of the study was the implementation of favourable legal provisions in every particular legal event that occurred in society to achieve the predetermined goals. If not careful in its application (still characterized by anthropocentrism), this political economy policy could conflict with the social ecology currently developing in Indonesia through the concept of a green economy and a blue economy. The characteristics of the socialism system in the political economy related to environmental justice after the amendment to the 45th Constitution began to shift in the era of globalization so that it began to respond to ecological modernization. However, due to colliding with the concept of socialism, the ecological justice system in the Indonesian legal system had the nuances of social-ecological justice. This concept would significantly affect the fairness of compensation for oil pollution by tanker accidents in Indonesia.
LEGAL REVIEW OF JUSTICE IN OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH PROTECTION Agoes Djatmiko; Elisabeth Pudyastiwi
Ganesha Law Review Vol 6 No 2 (2024): November
Publisher : Program Studi Ilmu Hukum, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23887/glr.v6i2.4168

Abstract

This study aims to determine how the implementing legal provisions and utilization of forest land conversion into plantations are oriented towards capitalism. This study uses a normative legal research method with the types of approaches, namely the legislative approach and the conceptual approach. The legal materials used are primary, secondary, and tertiary legal materials, obtained by conducting a literature study. The results of the study indicate that Occupational Safety and Health (OHS) is an integral part of the protection of workers' rights, aims to create a safe and healthy work environment, and prevent work accidents and occupational diseases. In the Indonesian context, OHS is regulated through various legal instruments such as Law Number 1 of 1970 concerning Occupational Safety, Law Number 13 of 2003 concerning Manpower, and other derivative regulations that explain the standards and guidelines for the implementation of OHS. In addition, Indonesia has also ratified a number of international conventions from the International Labor Organization (ILO) which emphasize the importance of OHS protection for every worker. However, in its implementation, OHS regulations in Indonesia still face various challenges that lead to injustice in the protection of workers. Workers in the formal sector, especially those working in large companies, tend to get better OSH protection because the companies have sufficient resources to comply with existing regulations. In contrast, workers in the informal sector and small and medium enterprises (SMEs) often face more vulnerable situations, where OSH protection is minimal or even non-existent.
Legal Protection for Online Shopping Business Receiving Fictive Orders With a Payment System on The Site or Cash on Delivery Apriyanti, Devi; Purwendah, Elly Kristiani; Muchtar, Wiwin; Pudyastiwi, Elisabeth
JUSTITIA JURNAL HUKUM Vol 6 No 2 (2022): Justitia Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30651/justitia.v6i2.17227

Abstract

ABSTRACT The implementation of buying and selling online provides many benefits to streamline time so that everyone can make buying and selling transactions wherever and whenever. However, in practice it raises several problems, such as on the Shopee shopping site with a payment system using the Cash On Delivery (COD) feature, there are obstacles that are detrimental to the seller. This obstacle is caused by consumers who do not have good intentions by disappearing suddenly when the goods arrive at the buyer's address so that the goods are not paid for and are forced to be sent back to the seller. This is clearly detrimental to the seller both in terms of material and immaterial. The focus of research in this thesis is to analyze the concept of consumer protection for Shopee sellers who implement the COD payment system. This study uses empirical juridical research methods using primary data located in Purwokerto. Data analysis techniques using qualitative methods. The results of the study show that good faith as a form of business actor's obligation to the Shopee Marketplace has been fulfilled, but there is an imbalance in the position of unilaterally canceling so that the business actor does not get his rights in the form of payment for goods. So the seller must bear the risk and the goods must be returned, and for the safety of the seller must bear the cost of resend so that COD becomes more expensive. This is referred to as the risk borne by the seller. Â