Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Terapi Oksigen High Flow Nasal Cannula (Kanula Hidung Arus Tinggi) pada Pasien Kritis Covid-19 Kurnia, Dedy; Effendi, Rinal; Syahrul, Muhammad Zulfadli
Jurnal Pendidikan Tambusai Vol. 6 No. 1 (2022): April 2022
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Riau, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (546.147 KB)

Abstract

Wabah novel coronavirus (SARS-CoV-2) yang pertama kali ditemukan di China telah menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Manifestasi klinis yang muncul pada pasien dimulai dari asimptomatik sampai simptomatik gejala ringan dan berat. Pasien yang awalnya memiliki gejala ringan dan sedang yang dirawat diruangan biasa dapat berlanjut menjadi berat dan harus dipindakan ke rawatan yang lebih internsif dengan intubasi dan ventilator. Peningkatan kasus Covid-19 yang sangat cepat menyebabkan berkurangnya sarana dan prasarana penunjang seperti alat intubasi dan ventilator sehingga diperlukan terapi non mekanis yang dapat menurunkan penggunaan terapi mekanis sehingga angka morbiditas dan mortalitas dapat ditekan. Salah satu terapi oksigen non mekanis adalah high flow nasal cannula (HFNC). Literature review ini bertujuan untuk mengetahui manfaat dari terapi oksigen HFNC pada pasien kritis Covid-19. Metode yang digunakan pada literature review ini yaitu dengan kata kunci Medical Subject Headings (yaitu acute respiratory distress syndrome, covid-19, critically ill, high flow nasal cannula, hypoxemia). Dari hasil pencarian literasi menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan 25 jurnal yang digunakan dalam karya ini. Pada banyak penelitian menunjukkan bahwa penggunaan terapi HFNC direkomendasikan sebagai terapi pasien kritis Covid-19 untuk mengurangi angka kejadian pasien dilakukan intubasi dan lama rawatan ICU. Terapi memiliki keuntungan fisiologis pada tubuh manusia. Keberhasilan penggunaan HFNC dapat diukur dengan indeks ROX. Indeks ROX > 4,88 menjadi ukuran untuk menentukan keberhasilan penggunaan HFNC pada pasien kritis Covid-19.
Inflamasi pada Coronavirus Disease 2019 Dedy Kurnia; Rinal Effendi
In Proses
Publisher : Universitas Baiturrahmah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.827 KB)

Abstract

Latar Belakang: Desember tahun 2019, terjadi wabah pneumonia yang tidak diketahui penyebab pastinya. Wabah ini pertama kali ditemukan di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok. WHO secara resmi menamakan penyakit ini COVID-19.Pembahasan: Sars-CoV-2 merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen yang memiliki 4 protein. Virus ini menular melalui droplet nuclei. Virus memiliki 5 tahapan saat menginfeksi yang akan terjadi apabila virus berikatan dengan reseptor ACE-2. Proses inflamasi terjadi akibat pelepasan sitokin IL-1, IL-6, IL-10, TNF-a. Infeksi dimulai dari masa inkubasi sampai dengan terjadinya respon imun berlebihan yang menyebabkan hiperinflamasi pada paru yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya ARDS. berat kasusnya COVID-19 dibagi menjadi tanpa gejala, ringan, sedang, berat dan kritis.Kesimpulan: COVID-19 adalah penyakit infeksi pernapasan yang disebabkan oleh Sars-CoV-2 yang dapat menyebabkan hiperinflamasi. Infeksi COVID-19 dapat menimbulkan gejala ringan, sedang, berat atau bahkan kritis.
Tatalaksana Urosepsis: Sebuah Tinjauan Sistematis Muhammad Raihan Farrasky; Etriyel MYH; Rinal Effendi
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 2 No 4 (2021): Desember 2021
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jikesi.v2i4.506

Abstract

Latar Belakang: Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang disebabkan kegagalan homeostatis oleh respons tubuh yang tidak teratur dalam menghadapi infeksi sehingga mengancam jiwa. Hal ini menjadi ancaman diakibatkan angka harapan hidup bertambah sehingga terjadi peningkatan komorbiditas. Urosepsis adalah sepsis yang terjadi akibat infeksi pada urogenital, berupa respons inflamasi sistemik yang merupakan sekuele dari infeksi pada traktus urinarius, sering terjadi sebagai komplikasi lanjutan obstruksi, tumor saluran kemih, maupun stenosis dari saluran kemih juga pada tindakan invasif. Objektif: Kajian ini dilakukan untuk mengetahui tatalaksana dari kasus urosepsis. Metode: Penelitian ini merupakan tinjauan literatur sistematis. Pencarian dilakukan melalui empat pangkalan data, yaitu Pubmed, ScienceDirect, The Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL), dan Turning Research Into Practice (TRIP). Masing-masing dari hasil penemuan diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi diikuti pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA), yang disintesis dalam bentuk matriks data, yang sebelumnya telah dilakukan telaah kritis. Hasil: Terdapat 18 jurnal artikel/studi kualitatif maupun kuantitatif yang termasuk dalam tinjauan literatur sistematis ini. Ditemukan bakteri patogen yang paling umum mendasari kasus urosepsis adalah bakteri gram negatif. Berdasarkan kegiatan tinjauan literatur sistematis, tatalaksana urosepsis memiliki tiga konsep pengobatan, yaitu terapi penggunaan antimikroba, terapi eliminasi serta spesifik, serta terapi tambahan. Kesimpulan: Tatalaksana urosepsis sendiri masih terus berkembang dari tahun ke tahun, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut terutama pada studi dengan sifat kualitatif.
Description of Post Anesthetic Shivering (PAS) in Post Spinal Anesthesia Caesarean Section Tuffahati Naura Rafifa; Rinal Effendi; Aladin
Andalas Obstetrics And Gynecology Journal Vol. 8 No. 2 (2024)
Publisher : Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/aoj.8.2.763-774.2024

Abstract

Background: Post anaesthetic shivering (PAS) is a fasciculation of the face, jaw, or head or the occurrence of muscle hyperactivity so that the body can produce heat after anesthesia. Multiple factors can influence the incidence of PAS including age, sex, ASA physical status, body mass index, type of anesthesia, duration of surgery, room temperature, preoperative body temperature (<36,5⁰C), and type of surgery.  Objective : The purpose of this study was to describe the incidence of PAS in post-spinal anesthesia caesarean section patients at RSIA Siti Hawa Padang Method: This research is a descriptive observational study using accidental sampling technique and obtained a total sample of 52 patients Result: The result showed that 25 of 52 patients (48,1%) experienced PAS. Most PAS events were experienced by moderate grade (25%), the age group >35 years (60%), underweight body mass index (62,5%), ASA II status (52,2%), preoperative temperature in the hypothermia group (51,4%), postoperative temperature in the normothermia group (66,7%), and operation duration >30 minutes (57,1%) Conclusion: Most of the patients did not experience PAS and most of PAS experience was moderate grade.
TA CLONING PARTIAL ALBUMIN GENE AND ITS TEST FOR SUPPORTING PHARMACOGENOMIC DETECTION DEVELOPMENT Effendi, Rinal; Putri Kumala, Ajeng; Marti Abna, Inherni; Yurika, Oktri; Desriani, Desriani
Jurnal Pendidikan Matematika dan IPA Vol 15, No 3 (2024): September 2024
Publisher : Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/jpmipa.v15i3.85093

Abstract

DNA recombinant technology is a tool that could support thedevelopment of pharmacogenomic detection such as for CYP2D6 copy number detection application. The housekeeping gene was identified as an internal control alternative for the copy number of the CYP2D6 detection component. There are many kinds of housekeeping genes, including albumin. In this report, we have successfully TA-cloned partial albumin to support the development of CYP2D6 copy number detection. TA-cloning was successfully confirmed with white-blue methods in media LB + ampicillin + IPTG + X-Gal and with colony PCR methods. Further, we made a standard curve with this recombinant plasmid to evaluate albumin qPCR efficiency and showed high-efficiency qPCR 0,9914 (99%). Based on the CYP2D6 copy number developed, the test in this study showed low concordance with high reproducibility Long PCR, indicating that the nucleotide base area of albuminand CYP2D6 in this studywas not recommended for CYP2D6 gene multiplication detection.  
Terapi Oksigen High Flow Nasal Cannula (Kanula Hidung Arus Tinggi) pada Pasien Kritis Covid-19 Kurnia, Dedy; Effendi, Rinal; Syahrul, Muhammad Zulfadli
Jurnal Pendidikan Tambusai Vol. 6 No. 1 (2022): 2022
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Riau, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/jptam.v6i1.2829

Abstract

Wabah novel coronavirus (SARS-CoV-2) yang pertama kali ditemukan di China telah menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Manifestasi klinis yang muncul pada pasien dimulai dari asimptomatik sampai simptomatik gejala ringan dan berat. Pasien yang awalnya memiliki gejala ringan dan sedang yang dirawat diruangan biasa dapat berlanjut menjadi berat dan harus dipindakan ke rawatan yang lebih internsif dengan intubasi dan ventilator. Peningkatan kasus Covid-19 yang sangat cepat menyebabkan berkurangnya sarana dan prasarana penunjang seperti alat intubasi dan ventilator sehingga diperlukan terapi non mekanis yang dapat menurunkan penggunaan terapi mekanis sehingga angka morbiditas dan mortalitas dapat ditekan. Salah satu terapi oksigen non mekanis adalah high flow nasal cannula (HFNC). Literature review ini bertujuan untuk mengetahui manfaat dari terapi oksigen HFNC pada pasien kritis Covid-19. Metode yang digunakan pada literature review ini yaitu dengan kata kunci Medical Subject Headings (yaitu acute respiratory distress syndrome, covid-19, critically ill, high flow nasal cannula, hypoxemia). Dari hasil pencarian literasi menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan 25 jurnal yang digunakan dalam karya ini. Pada banyak penelitian menunjukkan bahwa penggunaan terapi HFNC direkomendasikan sebagai terapi pasien kritis Covid-19 untuk mengurangi angka kejadian pasien dilakukan intubasi dan lama rawatan ICU. Terapi memiliki keuntungan fisiologis pada tubuh manusia. Keberhasilan penggunaan HFNC dapat diukur dengan indeks ROX. Indeks ROX > 4,88 menjadi ukuran untuk menentukan keberhasilan penggunaan HFNC pada pasien kritis Covid-19.
Perbandingan Lama Rawatan Pasien Sectio Caesarea Metode ERACS dengan Metode Konvensional di RSIA Restu Ibu Padang Harbaindo, Shavira Quincy; Effendi, Rinal; Linosefa, Linosefa; Suharti, Netti; Rustini, Rini; Antonius, Puja Agung
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol. 5 No. 4 (2024): Desember 2024
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jikesi.v5i4.989

Abstract

Latar Belakang. Angka sectio caesarea yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun mendorong banyaknya potensi yang timbul untuk mengembangkan pelayanan, salah satunya dari aspek kecepatan pemulihan yang ditawarkan metode ERACS (Enhanced Recovery After Caesarean Surgery). Metode ERACS memiliki beberapa perbedaan dari metode konvensional, dan menurut penelitian terdahulu, metode ERACS menunjukan lebih banyak keunggulan yang dapat menguntungkan pasien, salah satunya dari segi lama rawatan. Objektif. Mengetahui perbandingan lama rawatan pasien sectio caesarea metode ERACS dengan metode konvensional di RSIA Restu Ibu Padang. Metode. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain kohort. Data diambil secara retrospektif dari rekam medik pasien sectio caesarea di RSIA Restu Ibu periode November-Desember 2021. Sampel berjumlah 67 pasien yang dipilih menggunakan total samplingberdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil. Frekuensi lama rawatan paling tinggi pada pasien sectio caesarea dengan metode konvensional adalah lebih dari atau sama dengan 3 hari, sedangkan lama rawatan pada metode ERACS menunjukan paling banyak pasien dirawat selama 2 hari. Hasil analisis dengan uji Chi-square pada perbandingan lama rawatan antara metode ERACS dengan metode konvensional di rumah sakit tempat penelitian menunjukan nilai p=0,002. Kesimpulan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) dari perbandingan lama rawatan antara metode ERACS dengan metode konvensional di RSIA Restu Ibu Padang.
Hubungan Tingkat Aktivitas Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik dengan Derajat Gangguan Fungsi Ginjal pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik Nabila, Fathiya Sarah; Miro, Saptino; Effendi, Rinal; Almurdi, Almurdi; Yulia, Dwi; Putra, Syandrez Prima
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol. 5 No. 2 (2024): Juni 2024
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jikesi.v5i2.1103

Abstract

Abstrak Latar Belakang: Evaluasi fungsi ginjal dan pemantauan aktivitas penyakit pada pasien lupus eritematosus sistemik (LES) diperlukan untuk mendeteksi penyakit LES secara dini. Penilaian aktivitas penyakit juga berperan penting dalam memandu pemberian terapi yang tepat agar memberikan hasil yang lebih baik. Objektif: Mengetahui hubungan antara tingkat aktivitas penyakit LES dengan derajat gangguan fungsi ginjal pada pasien LES. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross-sectional menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien LES di Departemen Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang. Teknik pengambilan sampel adalah consecutive sampling dengan total sampel 70 pasien LES. Analisis data dilakukan dengan menggunakan chi-squared test. Hasil: Terdapat 98,6% pasien berjenis kelamin perempuan, 48,9% pasien berada pada kelompok usia 17–25 tahun, rerata kadar serum kreatinin 1,756±3,3437 mg/dl, 65,7% pasien memiliki fungsi ginjal normal, 70% pasien memilliki tingkat aktivitas penyakit LES sedang, dan hasil uji statistik antara tingkat aktivitas penyakit LES dengan derajat gangguan fungsi ginjal pada pasien LES adalah menunjukkan nilai p=0,081. Kesimpulan: Mayoritas pasien berjenis kelamin perempuan, kelompok usia terbanyak yaitu usia 17 – 25 tahun, rerata kadar serum kreatinin 1,756±3,3437 mg/dl, mayoritas memiliki derajat fungsi ginjal yang normal, tingkat aktivitas penyakit LES sedang, dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat aktivitas penyakit LES dengan derajat gangguan fungsi ginjal pada pasien LES. Kata kunci: tingkat aktivitas penyakit, derajat gangguan fungsi ginjal, lupus eritematosus sistemik Abstract Background: Evaluation of kidney function and monitoring the disease activity in patients with systemic lupus erythematosus (SLE) are necessary for early detection of the SLE disease. Assessment of disease activity also plays an important role in providing a better therapy. Objective: This study aims to determine the relationship between SLE disease activity and the stages of kidney disease in SLE patients. Methods: This study is an analytical study with a cross-sectional approach using secondary data from the medical records of SLE patients in the Internal Medicine Department of Dr. M. Djamil Padang Hospital. The sampling technique is consecutive sampling with a total sample of 70 SLE patients. Data analysis was performed using chi-squared test. Results: There were 98.6% of the patients were female, 48.9% of the patients were in the age group of 17–25 years, the mean serum creatinine level was 1.756±3.3437 mg/dl, 65.7% of the patients had normal kidney function, 70% of the patients had a moderate level of LES disease activity, and the results of a statistical test between the level of activity of LES disease and the stages of kidney disease in SLE patients showed a value of p=0.081. Conclusion: The majority of patients were female, the largest age group was 17-25 years old, the average serum creatinine were 1,756±3,3437 mg/dl, majority of patients had a normal kidney function, had a moderate level of SLE disease activity, and there was no significant relationship between level of SLE disease activity and stages of kidney disease in SLE patients. Keyword: disease activity, stages of kidney disease, systemic lupus erythematosus
HUBUNGAN ASUPAN VITAMIN D DENGAN MEAN ARTERIAL PRESSURE (MAP) DAN PERINATAL OUTCOME PADA PREEKLAMSIA BERAT Fitriani, Indah; Yusrawati; Effendi, Rinal
SINERGI : Jurnal Riset Ilmiah Vol. 2 No. 3 (2025): SINERGI : Jurnal Riset Ilmiah, Maret 2025
Publisher : Lembaga Pendidikan dan Penelitian Manggala Institute

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62335/sinergi.v2i3.1063

Abstract

Preeclampsia as a multifactorial disease is associated with vitamin D deficiency. Vitamin D is known to have a potential effect on regulation of the immune system and blood pressure. Consequently, vitamin D deficiency have been linked to poor perinatal outcomes and mean arterial pressure (MAP). This study aims to determine the relationship between vitamin D intake and perinatal outcomes such as preterm pregnancy, birth weight, APGAR scores, and mean arterial pressure (MAP). Design of this study was observational analytic with cross-sectional approach. This study was conducted in the obstetrics and gynecology ward and the medical record department of RSUP Dr. M. Djamil Padang in May 2022 – December 2022. Total sample of this study was 60 pregnancy women with severe preeclampsia. This study found that 75% of mothers aged 20-35 years, 51.7% of high school education, 55% of BMI ≥ 30 kg/m2, 35% of multiparas, 58.3% intake of vitamin D <15 mcg. Statistical test results showed a significant relationship between vitamin D intake and birth weight [p=0.002;OR=8.396(2.279-30.924)], gestational age [p=0.010;OR=6.089 (1.648-22.497)], APGAR score minute 1 [p=0.035;OR=3.677 (1.230-10.986)], APGAR score minute 5 [p=0.035;OR=8.308(0.978-70.553)] and there was no relationship between vitamin D intake and mean arterial pressure (MAP). To conclude, vitamin D intake has a significant relationship with birth weight, gestational age, APGAR score and has no significant relationship with MAP
EVALUATION OF PAIN SCALE ON CIRCUMCISION PATIENTS UNDER LIDOCAINE HYDROCHLORIDE LOCAL ANESTHESIA Aulia Achmad, Baraz; Manela, Citra; Zulfiqar, Yevri; Hendriati; Effendi, Rinal; Myh, Etriyel
Indonesian Journal of Urology Vol 32 No 2 (2025)
Publisher : Indonesian Urological Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32421/juri.v32i2.924

Abstract

Objective: Evaluating the pain scale of circumcision patients under lidocaine hydrochloride local anesthesia. Material & Methods: An observational descriptive research was carried out on 30 children with a body weight of 20-29 kilograms from February 2023-April 2023. Circumcision was performed under 2 ampoules of 2% lidocaine as local anesthesia. Data consisted of pain onset measure using a stopwatch and the pain scale were obtained through the Wong-Baker Face Pain Rating Scale (WBFPRS), these variables were recorded when pain occurs post-local anesthesia effects ends. Results: The average onset of pain is 47.73 minutes with the fastest onset of pain was 20 minutes and the longest onset of pain was 72 minutes. The average pain scale as measured by the WBFPRS is 2.33. Conclusion: The average pain scale in this study was less than 3 which indicated that the pain felt did not interfere with activities. Keywords: Circumcision, pain, anesthesia, lidocaine.