Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

Penggambaran Data Garis Pantai dan Data Batimetri ke Dalam Lembar Lukis Teliti dengan Menggunakan Perangkat Lunak Caris GIS 4.5 (Studi Kasus Perairan Asembagus Situbondo) Santoso, Heri; Winarso, Gathot; Jantarto, Dwi; S. Mulyadi, Dikdik
Jurnal Hidropilar Vol. 1 No. 1 (2015): JURNAL HIDROPILAR
Publisher : Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1623.393 KB) | DOI: 10.37875/hidropilar.v1i1.21

Abstract

Proses penggambaran peta laut dilaksanakan dalam beberapa tahap (penggambaran lembar lukis lapangan, lembar lukis teliti, dan tahap kompilasi akhir hingga menjadi peta laut). Lembar lukis teliti merupakan lembar akhir pada proses penggambaran peta laut sebelum tahap kompilasi, dalam tahapan ini dilakukan penggambaran data hasil survei dengan rapi dan teliti (data telah diverifikasi). Dengan banyaknya jenis perangkat lunak penggambaran saat ini, menjadi alternatif bagi juru gambar dalam melaksanakan penggambaran peta laut. Setiap tahap dalam proses penggambaran peta laut dapat dikerjakan dengan menggunakan perangkat lunak yang berbeda. Kekurangan dari metode penggambaran dengan menggunakan perangkat lunak yang berbeda dapat menimbulkan perbedaan format data digital maupun bentuk simbol dari data gambar yang dihasilkan, sehingga perlu melakukan perubahan/penyesuaian format data digital dan bentuk simbol pada tahap penggambaran selanjutnya. International Hidrographic Organization (IHO) merupakan lembaga internasional yang berwenang mengatur dan mempublikasikan spesifikasi/aturan terkait masalah peta laut, merekomendasikan penggunaan Caris Gis 4.5 sebagai perangkat lunak dalam penggambaran peta laut. Dalam penulisan tugas akhir ini penulis mencoba mengoptimalkan penggunaan Caris Gis 4.5 dalam penggambaran data garis pantai dan data batimetri hingga menjadi lembar lukis teliti. Tujuan dari metode penggambaran dengan cara seperti ini agar proses penggambaran peta laut menjadi lebih efektif dengan menggunakan satu perangkat lunak saja.
Pengoperasian Perangkat Lunak Metoc untuk Memprediksi Angin dan Gelombang (Studi Kasus Perairan Utara Madura) Yonif Affan, Fajrin; Imam Fatoni, Khoirol; Winarso, Gathot; Surya Dharma, Candrasa
Jurnal Hidropilar Vol. 1 No. 2 (2015): JURNAL HIDROPILAR
Publisher : Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (439.785 KB) | DOI: 10.37875/hidropilar.v1i2.33

Abstract

Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan, maka segala aktivitas di laut menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Fenomena laut yang mempengaruhi efisiensi dan keselamatan di laut adalah gelombang tinggi, oleh karena itu diperlukan informasi tentang variasi dan karakteristik tinggi gelombang di perairan. Pemodelan di bidang meteorologi maritim merupakan salah satu usaha untuk menggambarkan kondisi fisik laut, baik kejadian yang telah terjadi (simulasi) maupun yang akan terjadi (prediksi). Salah satu model untuk menggambarkan kondisi laut tersebut adalah dengan perangkat lunak yang diberi nama "Meteorology and Oceanography" (METOC). Perangkat lunak ini menggambarkan prediksi gelombang yang dibangkitkan oleh angin maupun kondisi angin hingga 168 jam (7 hari) kedepan dan baik digunakan untuk perairan lepas pantai.
Ekstraksi Kedalaman Laut Menggunakan Data Spot-7 di Teluk Belangbelang Mamuju Arya, Arya; Winarso, Gathot; Sigit Kurniawan, Endro; Iwan Santoso, Agus
Jurnal Hidropilar Vol. 2 No. 1 (2016): JURNAL HIDROPILAR
Publisher : Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (847.008 KB) | DOI: 10.37875/hidropilar.v2i1.39

Abstract

Dinas Hidro-Oseabografi TNI AL merupakan salah satu lembaga yang memiliki tugas menyediakan Peta Laut untuk kepentingan keselamatan pelayaran. Salah satu unsur dalam Peta Laut adalah unsur kedalaman laut. Namun untuk memetakan seluruh wilayah Perairan Indonesia, membutuhkan tenaga, biaya dan keahlian yang sangat besar karena tingkat kesulitan yang tinggi dalam melaksanakan kegiatan pemetaan perairan laut. Teknologi penginderaan jauh memberikan peluang untuk pemetaan batimetri perairan dangkal secara efektif dan efisien, terutama di daerah yang memiliki tingkat perubahan kedalaman yang relatif cepat. Tulisan ini membahas apakah kedalaman laut bisa diekstrak dari data penginderaan jauh dan berapa ketelitiannya. Agar dapat dimanfaatkan dalam mendukung tugas Dishidros dalam menyediakan data Peta Laut. Sehingga pada penelitian ini dikaji tingkat ketelitian batimetri yang diekstrak menggunakan Data SPOT-7 dengan resolusi spasial 6 meter di Perairan Teluk Belangbelang Mamuju Sulawesi Barat. Data lapangan yang digunakan adalah data survei hidrografi untuk pendaratan amphibi di Teluk Belangbelang Mamuju. Metode yang dikaji dalam penelitian ini adalah metode yang dikembangkan oleh Kanno et al (2011) yang dikaji dari Metode Lyzenga (2006) yang terdiri dari 4 jenis yaitu Lyzengga (2006) murni (LYZ), KNW dengan pengembangan dari LYZ dengan penyeragaman asumsi pengaruh kolom air dan atmosfir, SMP yaitu dengan menambahkan regresi semi-parametrik, STR (Spatial Trend) dengan mengkoreksi faktor error pada koordinat pixel, dan TNP yaitu gabungan dari ketiga metode antara lain: KNW, SMP dan STR. Data batimetri hasil kelima metode dianalisa dengan menggunakan data lapangan dan dihitung orde ketelitian berdasarkan standar IHO-S44 yang terdiri dari orde spesial, orde 1A/1B, dan orde 2. Hasil analisa menunjukkan bahwa metode terbaik adalah metode STR dengan ketelitian kesalahan rata-rata paling kecil yaitu 1,14 meter namun bila menggunakan parameter kualitas data didapatkan metode TNP memiliki kualitas data paling baik dimana persentase terbanyak pada orde spesial, 1A/1B dan orde 2. Hasil terbaik dengan ketelitian hampir 70% pada keseluruhan data didapatkan melalui metode TNP pada orde 2. Begitu juga persentase terkecil yang tidak masuk orde ketelitian adalah metode TNP dengan nilai 30,32%. Ketelitian pendugaan kedalaman dengan metode STR untuk kedalaman <0 m adalah 0,11 m, 0 - 2 m adalah 0,25 m, 2,1 - 5 m adalah 0,68 m. Kedalaman maksimal yang dianalisa adalah 25 m yang diambil dari berbagai asumsi.
Pengolahan Data Multibeam Echosounder Menggunakan Perangkat Lunak Caris Hips and Sipsversi 9.0 Dengan Metode Cube Utomo, Teguh; Rexano B, Leonardo; Prayoga, Aditya; Winarso, Gathot
Jurnal Hidropilar Vol. 4 No. 1 (2018): JURNAL HIDROPILAR
Publisher : Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (890.282 KB) | DOI: 10.37875/hidropilar.v4i1.86

Abstract

Teknologi Multibeam Echosounder (MBES) mampu memberikan informasi dasar laut dalam bentuk 3D (tiga dimensi) sehingga dapat mempermudah dalam interpretasi terhadap bentuk topografi dan objek dasar laut.Penelitian ini menggunakan data survei batimetri peralatan MBES Kongsbergs EM 2040C di perairan Pramuka kepulauan Seribu. Proses pengolahan data batimetri MBES menggunakan perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 9.0 dengan metode CUBE yang mempunyai kelebihan dalam hal proses filtering atau pembersihan noise pada proses Subset Editor, dapat menghasilkan permukaan Surface yang lebih halus dibandingkan dengan metode Swath Angle. Dalampengolahan data MBES menggunakan perangkat lunak CARIS HIPS and SIPS 9.0 dengan metode CUBE ada persyaratan yang harus dipenuhi yaitu memasukkan nilaiTotal Propragated Uncertainty (TPU). Penulisan ini untuk mengetahui proses pengolahan data batimetri MBES menggunakan perangkat lunakCARIS HIPS and SIPS 9.0 dengan metode CUBE sampai export data.
Akuisisi Data Batimetri Menggunakan Citra Satelit Spot-7 Diperairan Teluk Halong Kota Ambon Ihlas, Ihlas; Winarso, Gathot; Iwan Santoso, Agus; Setiyadi, Johar
Jurnal Hidropilar Vol. 4 No. 1 (2018): JURNAL HIDROPILAR
Publisher : Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (458.714 KB) | DOI: 10.37875/hidropilar.v4i1.91

Abstract

Peta laut Indonesia dituntut harus selalu diperbaharui, namun pada kenyataannya tidak berjalan secara optimal bahkan sebagian peta laut belum diperbaharui sampai dengan saat ini. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka teknologi penginderaan jauh memberikan peluang besar untuk pemetaan batimetri perairan dangkal secara efektif dan efisien, terutama untuk daerah yang memiliki tingkat perubahan kedalaman secara cepat. Penelitian ini menggunakan data Citra Satelit Spot-7 dan Lembar Lukis Teliti (LLT) di perairan Teluk Halong Kota Ambon. Proses pengolahan data menggunakan metode Satellite Derived Bathymetry (SDB) yang dikembangkan Kano et al. (2011) mempunyai kelebihan dapat menganalisa suatu wilayah tanpa menyentuh atau berada di wilayah tersebut dengan rentang waktu yang relatif singkat. Tujuannya untuk mendapatkan seberapa besar tingkat ketelitian dan keakurasian data kedalaman laut hasil ekstraksi kedalaman laut dari citra satelit pada daerah Teluk Halong Kota Ambon. Dalam pengolahan data menggunakan metode SDB menunjukan bahwa Metode STR menghasilkan nilai korelasi tertinggi dibanding empat metode lainnya. Pada kedalaman 0 meter sampai dengan 2 meter memiliki ketelitian 0.21, pada kedalaman 2.1 meter hingga 5 meter memiliki ketelitian 0.23 meter, pada kedalaman 5.1 meter hingga 10 meter memiliki ketelitian 0.06 meter, dan pada kedalaman 10.1 meter hingga 20 meter memiliki ketelitian 0.08 meter.
ANALYSIS OF THE PENETRATION CAPABILITY OF VISIBLE SPECTRUM WITH AN ATTENUATION COEFFICIENT THROUGH THE APPARENT OPTICAL PROPERTIES APPROACH IN THE DETERMINATION OF A BATHYMETRY ANALYTICAL MODEL Setiawan, Kuncoro Teguh; Winarso, Gathot; Nuha, Muhammad Ulin; Hartuti, Maryani; Ginting, Devica Natalia BR; Emiyati, .; Azis, Kholifatul; Kusuma, Fajar Bahari; Asriningrum, Wikanti
International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences (IJReSES) Vol 18, No 2 (2021)
Publisher : National Institute of Aeronautics and Space of Indonesia (LAPAN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30536/j.ijreses.2021.v18.a3667

Abstract

The attenuation coefficient (Kd) can be extracted by an apparent optical properties(AOP) approach to determine marine shallow-water habitat bathymetry based on an analytical method. Such a method was employed in the Red Sea by Benny and Dawson in 1983 using Landsat MSS imagery. Therefore, we applied the Benny and Dawson algorithm to extract bathymetry in shallow marine waters off Karimunjawa Island, Jepara, Central Java, Indonesia. We used the SPOT 6 satellite, which has four multispectral bands with a spatial resolution of 6 meters. The results show that three bands of SPOT 6 data (the blue, green, and red bands) can produce bathymetric information up to 30.29, 24.63 and 18.58 meters depth respectively. The determinations of the attenuation coefficients of the three bands are 0.08069, 0.09330, and 0.39641. The overall accuracy of absolute bathymetry of the blue, green, and red bands is 61.12%, 65.73%, and 26.25% respectively, and the kappa coefficients are 0.45, 0.52, and 0.13.
Inherent Optical Properties Attenuation Coefficient Modelling for Optical Shallow Water in Kepulauan Seribu of Jakarta, Indonesia Setiawan, Kuncoro Teguh; Rosid, Mohammad Syamsu; Manessa, Masita Dwi Mandini; Suardana, A.A. Md. Ananda Putra; Adi, Novi Susetyo; Winarso, Gathot; Osawa, Takahiro; Asriningrum, Wikanti; Supardjo, Harsono
ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences Vol 29, No 2 (2024): Ilmu Kelautan
Publisher : Marine Science Department Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/ik.ijms.29.2.222-232

Abstract

Technology to obtain bathymetric information has become necessary considering the length of the coastline and the many islands owned by Indonesia. Measurement technology using multi-beam and single-beam echo sounders is still an alternative to producing bathymetric information. In shallow water, using echo sounders has constraints and limitations, such as being time-consuming, costly and prone to equipment damage. Remote sensing technology is an alternative to obtaining bathymetric information in shallow waters. Bathymetric modelling with analytical and semi-analytic models from satellites requires attenuation coefficients. Therefore, attenuation coefficient models are essential for satellite data. Attenuation coefficient studies using inherent optical properties (IOP) parameters have not yet been studied to determine Kepulauan Seribu bathymetry, Jakarta, Indonesia. The IOP modelling is determined by absorption and backscatter parameters. Chlorophyll-a Total influences these parameters: Total Suspended Matter (TSM) and Coloured Dissolved Organic Matter (CDOM). This study was performed to determine the attenuation coefficient model using multispectral remote sensing in the Kepulauan Seribu and applied five approaches to determining the attenuation coefficient via IOP: the Gordon, Kirk, Morel, Lee and Simon models. The five models' IOP attenuation coefficient results were compared to the in-situ attenuation coefficient value and evaluated. The results of IOP attenuation coefficient modeling of multispectral remote sensing based on the condition of local water parameters is Kd(λ) = 1.4369 ((a(λ) + b(λ)) / Cos θ) + 0.072. based on the modified Gordon method, The modelling results were obtained with an accuracy of 0.98 determination coefficient (R2) and 0.029 Root Mean Square Error (RMSE).
Estimation and Mapping Above-Ground Mangrove Carbon Stock Using Sentinel-2 Data Derived Vegetation Indices in Benoa Bay of Bali Province, Indonesia Suardana, A. A. Md. Ananda Putra; Anggraini, Nanin; Nandika, Muhammad Rizki; Aziz, Kholifatul; As-syakur, Abd. Rahman; Ulfa, Azura; Wijaya, Agung Dwi; Prasetio, Wiji; Winarso, Gathot; Dewanti, Ratih
Forest and Society Vol. 7 No. 1 (2023): APRIL
Publisher : Forestry Faculty, Universitas Hasanuddin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24259/fs.v7i1.22062

Abstract

Carbon dioxide (CO2) is one of the greenhouse gases that causes global warming with the highest concentration in the atmosphere. Mangrove forests can absorb CO2 three times higher than terrestrial forests and tropical rainforests. Moreover, mangrove forests can be a source of Indonesian income in the form of a blue economy, therefore an accurate method is needed to investigates mangrove carbon stock. Utilization of remote sensing data with the results of the above-ground carbon (AGC) detection model of mangrove forests based on multispectral imaging and vegetation index, can be a solution to get fast, cheap, and accurate information related to AGC estimation. This study aimed to investigates the best model for estimating the AGC of mangroves using Sentinel-2 imagery in Benoa Bay, Bali Province. The random forest (RF) method was used to classified the difference between mangrove and non-mangrove with the treatment of several parameters. Furthermore, a semi-empirical approach was used to assessed and map the AGC of mangroves. Allometric equations were used to calculated and produced AGC per species. Moreover, the model was built with linear regression equations for one variable x, and multiple regression equations for more than one x variable. Root Mean Square Error (RMSE) was used to assess the validation of the model results. The results of the mangrove forests area detected in the research location around 1134.92 ha, with an Overall Accuracy (OA) of 0.984 and a kappa coefficient of 0.961. This study highlights that the best model was the combination of IRECI and TRVI vegetation indices (RMSE: 11.09 Mg/ha) for a model based on red edge bands. Meanwhile, the best results from the model that does not use the red edge band were the combination of TRVI and DVI vegetation indices (RMSE: 13.63 Mg/ha). The use of red edge and NIR bands is highly recommended in building the AGC model of mangrove forests because they can increase the accuracy value. Thus, the results of this study are highly recommended in estimating the AGC of mangrove forests, because it has been proven to be able to increase the accuracy value of previous studies using optical images.
Aerosol optical depth (AOD) retrieval for atmospheric correction in Landsat-8 imagery using second simulation of a satellite signal in the solar spectrum-vector (6SV) Basith, Abdul; Nuha, Muhammad Ulin; Prastyani, Ratna; Winarso, Gathot
Communications in Science and Technology Vol 4 No 2 (2019)
Publisher : Komunitas Ilmuwan dan Profesional Muslim Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (475.45 KB) | DOI: 10.21924/cst.4.2.2019.122

Abstract

Atmospheric correction has been challenging task in digital image processing. It requires several atmospheric parameters in order to obtain accurate surface reflectance of objects within the image scene. One of the most crucial parameters required for accurate atmospheric correction is aerosol optical depth (AOD). AOD can be obtained by in-situ measurement or estimated from remote sensing observation. In this experiment, atmospheric correction was performed using second simulation of a satellite signal in the solar spectrum-vector (6SV) algorithm on Landsat-8 imagery in which AOD parameter was retrieved from surface reflectance inversion involving daily-global surface reflectance product of moderate resolution imaging spectroradiometer (MODIS). Furthermore, AOD retrieved from surface reflectance inversion was also validated using ground-based sun photometer observation data from aerosol robotic network (AERONET) station in Bandung, Indonesia. Our experiment shows the consistency between AOD from surface reflectance inversion and AOD from ground-based observation. Finally, 6SV was performed on Landsat-8 imagery to obtain the surface reflectance. We further compared surface reflectance of 6SV atmospheric correction and surface reflectance of Landsat-8 Level 2 product. The atmospherically corrected image also shared agreeable result with Landsat 8 Level-2 product.
Identifikasi Spesies Mangrove dengan menggunakan Metode Principal Component Analysis (PCA) pada Citra Landsat-8 di Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan, Indonesia Ginting, Devica Natalia Br; Faristyawan, Rizky; Safitri, Siti Nurulita Mutiara; Winarso, Gathot
Jurnal Kelautan Tropis Vol 27, No 2 (2024): JURNAL KELAUTAN TROPIS
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jkt.v27i2.22830

Abstract

Mangroves are coastal plants influenced by tidal cycles. One of the regions in South Sumatra Province with a mangrove ecosystem is Sembilang National Park. As a national park, this location is strategically positioned for research related to mangrove species. The utilization of the Principal Component Analysis (PCA) method is considered to enhance the capabilities of remote sensing data in mangrove mapping. However, its application has been limited to the mangrove level. The research objective is to identify mangrove species in Sembilang National Park using the PCA method by leveraging Landsat-8 image data acquired on September 9, 2019. Mangrove distribution is obtained through the Mangrove Vegetation Index (MVI) and vector data from Global Mangrove Watch. The image is then overlaid with field species data to obtain species spectral patterns. Additionally, the correlation between spectral band values and eigenvalues (PC) is analyzed to detect parameters correlated with eigenvalues. The research results show that PC values correlate with mangrove species and can be used for mangrove species identification. This is demonstrated by Bruguiera Gymnorrhiza species with canopy coverage of 60.8% and 62.46% at ST7 and ST8 having the same PC values, while mangroves with canopy coverage of 62.5% in different species have different PC values. Moreover, the PCA method can indicate two crucial factors in identifying mangrove species, namely vegetation and soil factors.  Mangrove merupakan tumbuhan pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut. Salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki ekosistem mangrove adalah Taman Nasional Sembilang. Sebagai taman nasional, lokasi ini sangat strategis untuk dilakukan penelitian terkait spesies mangrove. Pemanfaatan metode principal component analysis (PCA) dinilai mampu meningkatkan kemampuan data penginderaan jauh dalam pemetaan mangrove. Namun selama ini, pemanfaatan terbatas pada level mangrove. Adapun tujuan penelitian adalah mengidentifikasi spesies mangrove di Taman Nasional Sembilang menggunakan metode PCA dengan memanfaatkan data citra Landsat-8 yang diakusisi pada 09 September 2019. Sebaran mangrove diperoleh melalui indeks vegetasi mangrove (MVI) dan data vektor dari Global Mangrove Watch. Citra tersebut kemudian di overlay dengan data spesies lapangan untuk mendapatkan pola spektral species. Selain itu, korelasi nilai spektral band dan eigen (PC) dianalisis untuk mendeteksi parameter yang berkorelasi dengan nilai eigen. Hasil penelitian menunjukkan nilai PC memiliki korelasi dengan spesies mangrove dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies mangrove. Hal ini ditunjukkan spesies Bruguiera Gymnorrhiza dengan tutupan kanopi 60,8% dan 62,46% pada ST7 dan ST8 memiliki nilai PC yang sama serta mangrove dengan besaran tutupan kanopi 62,5% pada spesies nilai PC berbeda. Selain itu, metode PCA mampu menunjukkan dua faktor penting dalam mengidentifikasi spesies mangrove, yaitu faktor vegetasi dan tanah.