Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PENYULUHAN HAK DAN KEWAJIBAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI SMP TUNAS HARAPAN NUSANTARA BEKASI Sekti, Binastya Anggara; Lisasih, Nin Yasmine; Erzed, Nixon; Wahyudi, Endik; Rahmahani, Adhining Prabawati; Ahmad, Ahluddin Saiful; Wasahua, Idris; Antara, Nyoman Putra; Harris, Freddy; Alfiana, Rita; Fitria, Annisa
Jurnal Pengabdian Masyarakat AbdiMas Vol 11, No 01 (2024): Jurnal Pengabdian Masyarakat Abdimas
Publisher : Universitas Esa Unggul

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47007/abd.v11i01.8356

Abstract

Penyuluhan hak dan kewajiban anak adalah upaya edukatif yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran anak-anak mengenai hak-hak mereka dan tanggung jawab yang harus mereka patuhi dalam masyarakat. Program ini penting untuk memastikan bahwa anak-anak memahami perlindungan hukum yang tersedia bagi mereka serta kewajiban yang harus dipenuhi untuk mendukung tatanan sosial yang harmonis. Pengabdian masyarakat ini bermaksud untuk memberikan pendidikan mengenai hak dan tanggung jawab anak yang berhadapan dengan hukum. Anak-anak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana seringkali tidak paham akan hak mereka serta kewajiban yang harus ditaati. Penyuluhan ini dirancang agar meningkatkan tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang hal ini, untuk memastikan adanya perlindungan hukum yang lebih baik bagi anak-anak. Beberapa metode digunakan dalam penyuluhan ini antara lain presentasi, diskusi interaktif, dan studi kasus yang relevan. Hasil dari penyuluhan menunjukkan bahwa ada peningkatan besar pada pemahaman anak-anak tentang hak-hak dan tugas-tugas ketika mereka dipertemukan dengan hukum. Juga, penelitian ini menekankan tentang pentingnya peran orang tua, guru, dan otoritas dalam membantu anak sepanjang proses hukumnya. Diharapkan jika hasil dari pengajaran ini dapat dijadikan sebagai panduan bagi acara-acara serupa di masa depan untuk menciptakan sistem peradilan yang adil dan efisien bagi anak-anak.
KEBIJAKAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KORPORASI Wasahua, Idris
Lex Jurnalica Vol 21, No 3 (2024): LEX JURNALICA
Publisher : Lex Jurnalica

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47007/lj.v21i3.8685

Abstract

AbstractThis research aims to examine three aspects of criminal policy in cases of corruption committed by corporations, as regulated in Law No. 31 of 1999, as amended by Law No. 20 of 2001 on the Eradication of Corruption Crimes. These aspects are: First, criminal policy regarding acts of corruption that can be held accountable to corporations. Second, criminal policy concerning the system of corporate criminal liability in corruption cases. Third, criminal policy related to criminal sanctions that may be imposed on corruption offenses committed by corporations. This research uses normative juridical research methods.  This research produces the following conclusions: First, acts of corruption that can be committed and made accountable to corporations include all corruption offenses regulated in Chapter II of the Anti-Corruption Law, where the legal subject of the offense includes the element of "Any person." Second, the corporate criminal liability system in corruption offenses consists of fault-based liability, the Identification Theory, and the Vicarious Liability Theory. Third, the criminal sanctions that may be imposed for corruption offenses committed by corporations are as follows: for corporations, the principal penalty imposed is a fine, with the maximum penalty increased by one-third; for officers, the principal penalties include the death penalty, life imprisonment, fixed-term imprisonment, or fines as specified in each article on corruption offenses, as well as additional penalties as stipulated in Article 18, paragraph (1) of the Anti-Corruption Law.Keywords: criminal policy, criminal acts of corruption, corporations AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk meneliti tigas aspek kebijakan pidana dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  (UU PTPK) yakni: Pertama, kebijakan pidana terkait tindak pidana korupsi  yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap korporasi. Kedua, kebijakan pidana terkait sistem pertanggungjawaban pidana korporasi  dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, kebijakan pidana terkait sanksi pidana  yang dapat dijatuhkan terhadap  tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif.  Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan berikut:  Pertama, tindak pidana korupsi yang dapat   dipertanggungjawabkan terhadap  korporasi adalah semua tindak pidana korupsi yang diatur dalam Bab II UU PTPK yang subyek hukum pelaku tindak pidananya memuat unsur “Setiap orang”.  Kedua, Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam  tindak pidana korupsi  terdiri dari  pertanggungjawaban pidana berdasarkan pada  kesalahan (liability based on fault),   teori  Identification,  dan teori Vicarious Liability,   Ketiga, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap  tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi adalah terhadap korporasi dijatuhi pidana pokok berupa denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga), dan terhadap pengurus dijatuhi pidana pokok, baik pidana mati, pidana penjara seumur hidup, pidana penjara untuk waktu tertentu, pidana denda, yang  ketentuan tentang penjatuhannya sebagaimana disebutkan dalam setiap pasal pidana korupsi, serta  pidana tambahan yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) UU PTPK.Kata kunci : kebijakan pidana, tindak pidana korupsi, korporasi
KAJIAN MALPRAKTIK DITINJAU DARI KETIDAKTERSEDIANNYA FASILITAS PENANGULANGAN HIV DI RUMAH SAKIT BERDASARKAN KUHP DAN HUKUM KESEHATAN SERTA PIHAK YANG BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP MALPRAKTIK Lisasih, Nin Yasmine; Wasahua, Idris
Lex Jurnalica Vol 22, No 2 (2025): LEX JURNALICA
Publisher : Lex Jurnalica

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47007/lj.v22i2.9706

Abstract

AbstrackThis research aims to examine malpractice in terms of the unavailability of HIV treatment facilities based on the Criminal Code, Law Number 44 of 2009, Law Number 36 of 2009, Minister of Health Regulation No. 21 of 2013 and Minister of Health Regulation No. 12 of 2020 and who is responsible if malpractice occurs in the hospital. The results of the research indicate that the unavailability of HIV treatment tools in hospitals can be called malpractice because based on the Indonesian Minister of Health Regulation Number 21 of 2013 concerning HIV and AIDS Prevention Article 41 number (4) states that every hospital of at least class C must be able to diagnose, treat and care for RSUD according to the provisions in the referral system. The result of the unavailability of HIV treatment facilities resulted in the death of the baby in this case because the baby's mother had to wait to be referred to the Regional General Hospital which took 10 hours and 15 minutes so that the baby died in the womb because it did not receive proper treatment. Apart from that, regarding responsibility, the one that contributed the most to the criminal act in this case was Kartika Husada Hospital because that hospital did not have HIV treatment facilities.Keywords: malpractice, HIV, responsibility AbstrakPenelitian ini berujuan untuk mengkaji tentang malpraktik ditinjau dari ketidaktersediannya fasilitas penganggulangan HIV berdasarkan KUHP, UU Nomor 44 Tahun 2009, UU Nomor 36 Tahun 2009, Permenkes No. 21 Tahun 2013 dan Permenkes No 12 Tahun 2020 serta siapa yang bertanggung jawab jika terjadi malpraktik di rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaktersediannya alat penanggulangan HIV pada rumah sakit dapat disebut sebagai malpraktik karena berdasarkan Permenkes RI Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS Pasal 41 angka (4) menyebutkan bahwa setiap rumah sakit sekurang-kurangnya kelas C wajib mampu mendiagnosis, melakukan pengobatan dan perawatan ODHA sesuai ketentuan dalam system rujukan. Akibat dari tidak tersedianya fasilitas penanggulangan HIV mengakibatkan meninggalnya bayi dalam kasus ini karena Ibu sang bayi harus menunggu dirujuk ke RSUD yang mana memakan waktu 10 jam 15 menit sehingga bayi meninggal dalam kandungan karena tidak mendapat penanganan yang benar. Selain itu mengenai tanggung jawab, yang berkontribusi paling besar dalam tindak pidana di perkara ini adaalh RS Kartika Husada karena di rumah sakit itulah tidak terdapat fasilitas penanggulangan HIV.Kata Kunci : malpraktek, HIV, tanggung jawab
Kedudukan Putusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) terhadap Pertanggungjawaban Hukum dalam Kasus Malpraktik Medis di Indonesia Wasahua, Idris; Aurellia, Stefanny
Arus Jurnal Sosial dan Humaniora Vol 5 No 2: Agustus (2025)
Publisher : Arden Jaya Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57250/ajsh.v5i2.1532

Abstract

Penelitian ini membahas kedudukan dan peran Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dalam pemeriksaan dugaan malpraktik oleh dokter, serta menelaah ketepatan putusan hakim dalam Putusan No. 72/Pdt.G/2020/PN.Mks yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena belum adanya putusan MKEK. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Data diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi bahan hukum primer seperti undang-undang dan putusan pengadilan, serta bahan hukum sekunder berupa literatur akademik dan jurnal ilmiah yang relevan. Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menelaah korelasi antara norma etik dan hukum acara perdata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun putusan MKEK kerap dijadikan referensi dalam litigasi perdata, kedudukannya tidak bersifat mengikat secara hukum. Selain itu, putusan hakim dalam perkara No. 72/Pdt.G/2020/PN.Mks yang menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima dengan alasan belum terbit putusan MKEK terlihat tidak tepat menurut hukum karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum acara perdata, antara lain Pasal 118 HIR dan bertentangan dengan prinsip akses terhadap keadilan serta asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pertimbangan hakim dalam perkara tersebut berpotensi membatasi hak konstitusional warga negara untuk mencari keadilan melalui mekanisme peradilan umum.
Pertanggungjawaban Hukum terhadap Pelaku Penyebaran Konten Asusila Melalui Media Sosial Nuriah, Resky; Wasahua, Idris
Jurnal Pendidikan Tambusai Vol. 9 No. 3 (2025): Desember
Publisher : LPPM Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai, Riau, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini menganalisis pertanggungjawaban hukum terhadap pelaku penyebaran konten asusila melalui media sosial dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana maksimum terhadap pelaku penyebaran konten asusila melalui media sosial dalam Putusan Pengadilan Negeri Pandeglang Nomor 71/Pid.Sus/2023/PN Pdl. Jenis Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, dan konseptual. Sumber hukum yang dikaji dianalisis menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum yang timbul dari suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum serta bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Nomor 71/Pid.Sus/2023/PN Pdl dan Putusan Nomor 429/Pid.Sus/2022/PN Tjk terkait penyebaran konten asusila yang didasarkan pada Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Selain pertanggungjawaban pidana, pelaku juga dapat dimintai pertanggungjawaban perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPer, yang memberikan hak kepada korban untuk menuntut ganti rugi. Dalam Putusan Nomor 71/Pid.Sus/2023/PN Pdl, majelis hakim menjatuhkan pidana maksimum 6 tahun penjara dan denda sebesar 1 miliar rupiah. Putusan ini dijatuhkan karena hakim menilai tidak terdapat alasan yang meringankan. Perbuatan terdakwa dianggap berdampak serius terhadap korban, melanggar norma kesusilaan, moral, dan agama, serta tidak disertai sikap penyesalan. Putusan serupa juga terlihat dalam Putusan Nomor 796/Pid.B/2022/PN Jkt.Sel dan Putusan Nomor 118/PID/2013/PT DKI.