Radioterapi & Onkologi Indonesia
Majalah Radioterapi & Onkologi Radiasi Indonesia (Journal of the Indonesian Radiation Oncology Society) dengan ISSN 2086-9223, satu-satunya majalah dalam bidang Onkologi Radiasi di Indonesia, merupakan majalah di bawah penerbit Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI). Majalah ini rutin diterbitkan sejak tahun 2010 dengan frekuensi terbitan 2 kali dalam setahun.
Articles
108 Documents
Tatalaksana Tumor Wilms
Sugandi Hartanto;
Nana Supriana
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5, No 2 (2014): Volume 5 No.2 Juli 2014
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1139.022 KB)
|
DOI: 10.32532/jori.v5i2.25
Penelitian menunjukkan tumor Wilms menyerang semua ras dengan prevalensi 7,8 juta anak/tahun dengan usia kurang dari 15 tahun. Satu persen dari tumor Wilms bersifat familial dan diturunkan secara dominan autosomal. Onkogen tumor Wilms terletak pada garis p13 kromosom 11. Penghapusan (delesi) yang melibatkan salah satu dari minimal dua lokus kromosom 11 telah ditemukan dalam sel dari lebih kurang 33% tumor Wilms. Kemajuan pengobatan beberapa modalitas dalam pengobatan kanker telah secara signifikan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup pasien dengan tumor Wilms. Saat ini tingkat ke-langsungan hidup 8 tahun untuk sebagian besar pasien yang memiliki tumor Wilms dengan histologi baik (favorable) adalah 80-98%. Pengobatan tumor Wilms biasanya men-cakup nefrektomi dan berbagai kombinasi obat kemoterapi (vincristine, dactinomycin, doxo-rubicin, cyclophosphamide, dan etoposid) dengan atau tanpa radioterapi tergantung pada histologi dan stadium tumor.
Efek Samping Radiasi pada Jantung
Ngakan Putu Daksa Ganapati;
H.M Djakaria
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 7, No 1 (2016): Volume 7 No.1 Januari 2016
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1462.665 KB)
|
DOI: 10.32532/jori.v7i1.42
Angka kejadian penyakit jantung yang diakibatkan radiasi, semakin meningkat dalam beberapa dekade terakhir, dikarenakan semakin meningkatnya angka kesintasan penderita keganasan pada daerah dada yang mendapat terapi radiasi. Jantung dahulu sempat dikatakan sebagai organ yang relatif resisten terhadap radiasi, namun saat ini dapat dijelaskan bahwa kerusakan pembuluh darah dan fibrosis merupakan mekanisme utama kerusakan jantung akibat radiasi. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui patofisiologi, faktor–faktor yang mempengaruhi, serta upaya untuk mencegah atau mengurangi angka kejadian gangguan jantung akibat radiasi. Salah satunya dengan menerapkan prinsip radioterapi, yaitu memberikan dosis sebesar–besarnya pada jaringan tumor, dengan memberikan dosis radiasi sekecil–kecilnya pada jaringan sehat.
Radioterapi pada Tatalaksana Tumor Wilms
Tirawan Sutedja;
Nana Supriana
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 8, No 2 (2017): Volume 8 No.2 Juli 2017
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1162.147 KB)
|
DOI: 10.32532/jori.v8i2.67
Wilms’ tumor atau nefroblastoma merupakan keganasan ginjal tersering pada anak. Insidensinya mencapai 6% dari seluruh kasus keganasan pada anak. Gejala klinis pada mayoritas kasus Wilms’ tumor berupa asimtompatik massa pada abdomen, namun 20-30 persen dari kasus memberikan gejala nyeri abdomen, malaise, atau hematuria mikroskopik ataupun makroskopik. Gambaran umum dari Wilms’ tumor adalah adanya pseudocapsule yang mengelilingi tumor. Modalitas terapi untuk Wilms’ tumor adalah pembedahan, kemoterapi, dan terapi radiasi. Pembedahan merupakan tatalaksana terpenting dan prosedur operasi yang dijalankan dengan akurat dapat menentukan staging Wilms’ tumor dengan tepat serta rencana tatalaksana selanjutnya. Kemoterapi merupakan terapi ajuvan utama pasca radiasi ataupun terapi preoperatif. Radiasi eksterna merupakan terapi ajuvan pada Wilms’ tumor dengan stadium lanjut. Gabungan kemoterapi dan radiasi eksterna memberikan hasil yang lebih baik. Namun demikian patut diperhatikan efek samping kombinasi kedua modalitas terapi tersebut. Mengingat toksisitas jangka panjang, peran radiasi eksterna masih terbatas dan hanya diberikan dengan dosis yang relatif rendah.
Rasio Malondialdehyde Katalase Sebelum dan Sesudah Radiasi sebagai Prediktor Persentase Pengecilan Volume Tumor pada Pasien Kanker Serviks Stadium Lanjut Lokal
Aida Lufti Huswatun;
Soehartati Argadikoesoema Gondhowiardjo;
Alida R Harahap;
Joedo Prihartono
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 5, No 1 (2014): Volume 5 No.1 Januari 2014
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (903.729 KB)
|
DOI: 10.32532/jori.v5i1.20
Pada keganasan terjadi stres oksidatif, yang ditandai dengan peningkatan kadar serum malondialdehyde (MDA) dan aktivitas antioksidan enzim katalase yang rendah. Penelitian ini merupakan kohort prospektif pada 30 pasien kanker serviks lanjut lokal di Departemen Radioterapi RS CiptoMangunkusumo periode Juli sampai September 2013. Pemeriksaan kadar MDA dan aktivitas enzim katalase dilakukan sebelum dan sesudah radiasi fraksi ke 15, menggunakan spektrofotometri. Respons terapi berdasarkan kriteria WHO dengan membandingkan persentase ukuran volume tumor sebelum radiasi dan 4 minggu setelah radiasi komplit. Pada penelitian ini ditemukan peningkatan serum MDA (p<0,001) dan penurunan aktivitas enzim katalase (p<0,001) setelah fraksi ke 15. Ditemukan korelasi yang signifikan antara rasio MDA katalase sesudah fraksi ke 15 dengan presentase pengecilan tumor 4 minggu setalah radiasi komplit (r=0.689, p=0.001). Penelitian ini menunjukan terjadi stres oksidatif pada pasien kanker serviks lanjut lokal, yang ditandai dengan peningkatan kadar serum MDA dan penurunan aktivitas enzim katalase. Rasio MDA katalase sebelum dan sesudah radiasi fraksi ke 15 dapat menjadi prediktor persentase pengecilan tumor 4 minggu pasca radiasi komplit.
Ketepatan Sensor Ultrasonik dalam Mendeteksi Pergerakan Dinding Dada pada Pasien dengan Keganasan Regio Thorakal dan Abdominal yang Menjalani Radioterapi
Elia A Kuncoro;
Soehartati Argadikoesoema Gondhowiardjo
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 6, No 2 (2015): Volume 6 No.2 Juli 2015
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (886.179 KB)
|
DOI: 10.32532/jori.v6i2.36
Radioterapi pada regio thorakal dan abdominal semakin menimbulkan peminatan seiring dengan berkembangnya teknik pencitraan, perencanaan penyinaran, dan imobilisasi. Pergerakan tumor karena pernafasan menjadi tantangan yang harus diatasi dalam penyampaian dosis radiasi. Diperlukan mekanisme radioterapi adaptif untuk dapat melakukan penyelarasan terhadap pergerakan nafas. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang mengambil data pengukuran gerakan dinding dada menggunakan sensor ultrasonik secara real-time dan dibandingkan dengan pengukuran sesungguhnya yang diperoleh dari MotionView™. Setiap pengukuran dilakukan setiap 0,22 detik. Dilakukan pengukuran nilai korelasi antar dua set data pengukuran serta dihitung selisih kedua pengukuran untuk mendapatkan nilai estimasi dan simpangan deviasi dari nilai yang diperoleh. Sembilan orang sampel berhasil direkrut dalam penelitian ini, pada masing-masing sampel, data diambil sebanyak 3 kali. Diperoleh median selisih pengurukuran dari kedua instrumen adalah 1,1 mm dengan simpangan deviasi 2,0 mm. Pada uji korelasi antar hasil pengukuran didapatkan bahwa nilai yang diperoleh dari instrumen berbasiskan ultrasonik memiliki ko-relasi 0,97 (positif sangat kuat; p=0,000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa instrumen berbasiskan ultrasonik memiliki kemampuan untuk mengukur pergerakan dinding thorako-abdominal dengan kekuatan korelasi sangat kuat, dengan ketepatan resolusi sebesar 1,1 mm dengan simpangan deviasi ± 2,0 mm.
Kraniofaringioma
Montesqieu Silalahi;
H.M Djakaria
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 8, No 1 (2017): Volume 8 No.1 Januari 2017
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1295.933 KB)
|
DOI: 10.32532/jori.v8i1.60
Kraniofaringioma merupakan tumor jinak regio sella yang jarang terjadi dan penanganannya memiliki kesulitan yang tinggi karena lokasinya dan morbiditasnya, serta tingginya laju rekurensi. Di Amerika Serikat, sekitar 1,2-4,6% dari seluruh tumor intrakranial adalah kraniofaringioma. Gambaran khas untuk kraniofaringioma adalah tumor suprasella dengan komponen padat dan kistik yang dapat disertai dengan gambaran kalsifikasi. Reseksi komplit lewat pembedahan diyakini merupakan pilihan tatalaksana terbaik, walaupun sayangnya sulit tercapai. Radiasi eksterna diberikan pada reseksi subtotal dan sebagai terapi utama pada kraniofaringioma rekuren. Teknik radiasi konformal yang diberikan setelah reseksi subtotal baik dengan menggunakan dosis konvensional ataupun dengan teknik stereotactic radiosurgery (SRS) memberikan kontrol lokal yang baik dan mengurangi risiko morbiditas dibandingkan terapi pembedahan yang agresif untuk mencapai reseksi total.
Prinsip Umum Penatalaksanaan Reiradiasi
Novita Ariani;
H.M Djakaria
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4, No 2 (2013): Volume 4 No. 2 Juli 2013
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1052.094 KB)
|
DOI: 10.32532/jori.v4i2.15
Penatalaksanaan reiradiasi merupakan salah satu pilihan terapi yang cukup baik pada kasus keganasan rekuren. Namun, banyak hal mendasar yang harus dijadikan pertimbangan sebelum memutuskan untuk melakukan reiradiasi; berkaitan dengan efektivitas, kualitas hidup pasien, serta kemungkinan efek samping pada jaringan normal. Berbagai literatur memberikan hasil yang bervariasi terhadap efektivitas reiradiasi, tetapi secara umum menyebutkan bahwa reiradiasi mampu laksana pada berbagai keganasan rekuren dengan efek samping jaringan sehat yang bisa ditoleransi. Makalah ini menjelaskan prinsip-prinsip umum yang menjadi pertimbangan sebelum dilakukan reiradiasi.
Perineural Spread pada Kanker Kepala Leher
Wahyudi Nurhidayat;
H.M Djakaria
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 6, No 1 (2015): Volume 6 No.1 Januari 2015
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1348.181 KB)
|
DOI: 10.32532/jori.v6i1.31
Penyebaran perineural/Perineural spread (PNS) tumor kepala dan leher adalah salah satu bentuk metastasis selain per hematogen dan limfogen. PNS tersering terjadi dengan arah retrograde, menuju ke sistem saraf pusat, namun dapat juga antregrade serta skip lessions. Saraf yang paling sering terlibat PNS pada daerah kepala dan leher adalah nervus fasialis (NC.VII) dan nervus maksilaris (V2) serta nervus mandibularis (V3) cabang nervus trigeminus (NC.V). PNS dapat menyebar dari nervus fasialis ke nervus trigeminus, dan sebaliknya, melalui nervus auriculotemporal atau nervus petrosus superfisialis mayor (GSPN). PNS dapat silent atau asimtomatik secara klinis pada sekitar 30-45% pasien. PNS merupakan faktor yang memperburuk prognosis pasien kanker, karena meningkatkan angka rekurensi tiga kali lipat dan menurunkan 30% 5-years survival rate, terutama pada pasien dengan tu-mor tipe karsinoma adenoid kistik. Pemeriksaan secara teliti pada lokasi-lokasi jalur persarafan PNS pada kepala dan leher perlu dilakukan. Oleh karena itu diperlukan kerja sama yang baik antara radiologist dan radiation oncologist dalam diagnosis dan tata laksana PNS.
Secondary Malignancy pasca Radioterapi
Fathiya Juwita Hanum;
Sri Mutya Sekarutami
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 7, No 2 (2016): Volume 7 No.2 Juli 2016
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (841.991 KB)
|
DOI: 10.32532/jori.v7i2.48
Perkembangan teknologi kedokteran dibidang Radioterapi dalam pengobatan kanker telah berdampak terhadap angka harapan hidup pasien kanker yang menjadi lebih tinggi. Hal ini juga diiringi dengan meningkatnya risiko terjadinya secondary malignancy pasca radiasi. Efek bystander radiasi menyebabkan sel yang tidak menjadi target radiasi, tapi posisinya berdekatan dengan sel target pada saat terjadinya paparan radiasi juga terkena dampak radiasi secara biologis. Berbagai strategi telah dikembangkan untuk memperbaiki rasio terapeutik pada banyak kasus keganasan yang diterapi dengan radiasi. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemungkinan kontrol lokal pada tumor sekaligus mengurangi efek samping terhadap jaringan sehat disekitarnya yang tidak menjadi target radiasi.
Model Linear Kuadratik dalam Radioterapi
Mirna Primasari;
Irwan Ramli
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4, No 1 (2013): Volume 4 No. 1 Januari 2013
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (625.077 KB)
|
DOI: 10.32532/jori.v4i1.10
Dalam mencapai tujuan utama terapi yaitu mencapai kontrol lokal tumor setinggi mungkin dan efek samping pada jaringan normal seminimal mungkin, diperlukan pemahaman yang mendasar mengenai mekanisme kematian sel, baik sel normal maupun sel ganas. Mekanisme kematian tersebut digambarkan oleh model matematis linear kuadratik. Model linear kuadratik memberikan gambaran mengenai rasio α/β, menjadi landasan kuantitatif dari fraksinasi, dan membantu interpretasi treatment planning.