cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota kendari,
Sulawesi tenggara
INDONESIA
Kandai
ISSN : 1907204X     EISSN : 25275968     DOI : -
Kandai was first published in 2005. The name of Kandai had undergone the following changes: Kandai Majalah Illmiah Bahasa dan Sastra (2005) and Kandai Jurnal Bahasa dan Sastra (2010). Since the name of journal should refer to the name that was registered on official document SK ISSN, in 2016 Kandai started publish issues with the name of Kandai (refer to SK ISSN No. 0004.091/JI.3.02/SK.ISSN/2006 dated February 7th, 2006, stating that ISSN 1907-204X printed version uses the (only) name of KANDAI). In 2017, Kandai has started to publish in electronic version under the name of Kandai, e-ISSN 2527-5968.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 18, No 2 (2022): KANDAI" : 10 Documents clear
VERBA BERKLITIK DALAM BAHASA LAMAHOLOT DIALEK LEWOKLUOK (Clitic Verb on Lamholot Language Lewokluok Dialect) Adeline Lelo Lein; Faizal Arvianto; Kristofel Bere Nahak
Kandai Vol 18, No 2 (2022): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v18i2.3506

Abstract

This reseacrh contains: (1) morphosyntax and semantic-syntax classification of clitic verb and (2) shape of clitic verb in Lamaholot language Lewokluok dialect (BLDL). In morphosyntax clitic verb on BLDL only consist of action verbs and process-action verb and  syntactically is a transitive verb (V. trans+action). In addition, proclitic verbs on BLDL also have a semantic features action but syntactically is an intransitive verb (V. intrans+action). BLDL does not have proclitic verb which is syntactically ditranstive category.  While the enclitic verbs on BLDL consists of action verbs, motion verbs), and cognition verbs, and semantic-syntactically is a verb that has semantic features action and process, but generally enclitic verb on BLDL is syntactically intransitive category.  Based on its form, BLDL’s verb consist of (1) verbs that cannot stand alone (bound root morpheme) that must be attached to proclitic; and (2) verbs that can stand alone (free root morpheme) and can attach themselves to clitic. In addition, BLDL verb forms also can appear as (3) verbs that can stand alone, without experiencing any process-called simple verb; (4) The verb that has serialization structure or serial verbs.  Tulisan ini berisi tentang (1) klasifikasi verba berklitik secara morfosintaksis dan  semantis-sintaksis dalam bahasa Lamaholot dialek Lewokluok (BLDL); (2) bentuk verba berklitik dalam BLDL. Secara morfosintaksis verba berproklitik pada BLDL hanya terdiri atas verba aksi (actions) dan verba aksi-proses (action-process) dan secara sintaksis merupakan verba transitif (V. trans+aksi). Selain itu, verba berproklitik pada BLDL juga memiliki ciri semantis tindakan namun secara sintaksis merupakan verba intransitif (V. intrans+aksi). BLDL tidak memiliki verba berproklitik yang secara sintaksis berupa dwitransitif.  Sedangkan pada verba berenklitik pada BLDL terdiri atas verba aksi (actions), verba gerakan (motion), dan verba kognisi, dan secara semantis-sintaksis merupakan verba yang  memiliki ciri semantis tindakan (actions) dan proses. Namun, umumnya secara sintaksis verba berenklitik pada BLDL berkategori verba intransitif. Verba BLDL ditinjau dari segi bentuk terdiri atas (1) verba yang tidak dapat berdiri sendiri (bound root morpheme)  sehingga wajib mendapat bentuk klitik, dan dalam penelitian ini peneliti menyebutnya sebagai verba berprolitik; dan (2) verba yang dapat berdiri sendiri (free root morpheme) dan bisa melekatkan diri pada klitik. Selain itu, bentuk verba BLDL juga dapat tampil menjadi (3) verba yang dapat berdiri sendiri, tanpa mengalami proses apapun atau disebut dengan verba sederhana; (4) verba yang memiliki struktur serialisasi atau verba serial.
EFL POSTGRADUATE STUDENTS’ TENDENCY IN TRANSLATING CULTURAL TERMS FROM INDONESIAN LANGUAGE TO ENGLISH (Kecenderungan Mahasiswa Magister Bahasa Inggris dalam Menerjemahkan Istilah Budaya dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris) Akhmad Baihaqi; NFN Arnilah
Kandai Vol 18, No 2 (2022): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v18i2.4605

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kecenderungan mahasiswa terhadap domestikasi dan foreignization dalam menerjemahkan istilah budaya. Riset ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Partisipan yang terlibat adalah 12 orang mahasiswa pascasarjana di Program Studi Magister Bahasa Inggris pada sebuah universitas negeri di Provinsi Banten, Indonesia. Para partisipan merupakan mahasiswa semester III yang mengambil mata kuliah Advanced Translation. Data penelitian diperoleh dari hasil terjemahan mahasiswa. Mereka diminta untuk menerjemahkan beberapa istilah budaya dalam novel karya Sindhunata yang berjudul ‘Anak Bajang Menggiring Angin’ dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Pengamatan dilakukan ketika mahasiswa menerjemahkan. Kemudian, wawancara secara mendalam dilaksanakan untuk mendalami teknik penerjemahan yang digunakan dan kecenderungan mahasiswa dalam menentukan domestikasi atau foreignization dalam versi terjemahan mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa (57%) cenderung mendomestikasi versi terjemahannya. Hasil wawancara juga menunjukkan ada tiga pertimbangan mahasiswa dalam mendomestikasi versi terjemahannya: (1) mereka menganggap bahwa pembaca bahasa sasaran berasal dari budaya yang berbeda; (2) mereka mampu menerjemahkan secara sepadan ke dalam bahasa sasaran; dan (3) mereka mampu menggunakan teknik penerjemahan yang tepat untuk menyelesaikan hambatan budaya dalam menerjemakan.     AbstractThis study aims at analyzing the students’ tendency toward domestication and foreignization in translating cultural terms. This study employed qualitative research through a case study. The participants were twelve postgraduate students of the English Department at one public university in Banten Province, Indonesia. They were the third semester students currently taking Advanced Translation class. The data was collected from the students’ translation works. They were asked to translate some cultural terms in Sindhunata’s Novel entitled ‘Anak Bajang Menggiring Angin’ from Indonesian Language to English. Observation was conducted while students were working. Next, an in-depth interview was conducted to find out translation techniques and students’ tendency in domesticating or foreignizing their translation versions. The result shows that the students tend to use domestication in their works (57%). The interview results also reveal that there are three considerations of choosing domestication among students: (1) they consider that the target readers are from different cultures; (2) they can transfer the equivalence meaning in the target language; and (3) they can apply appropriate translation techniques to overcome the cultural barriers.
KOSAKATA DALAM WACANA ALAT PERAGA KAMPANYE PEMILU 2019 (Vocabulary in Discourse 2019 Election Campaign Props) Endro Nugroho Wasono Aji; Agus Sudono; NFN Sutarsih; Rini Esti Utami
Kandai Vol 18, No 2 (2022): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v18i2.3599

Abstract

In the election campaign, legislative candidates often spread political promises to achieve their goals by using words that seem bombastic. This can easily be found in campaign demontration tools in the form of billboards, banners, or posters hanging on the side of the road. This study aims to reveal the phenomenon of vocabulary use in the 2019 Election campaign by using critical discourse analysis. Critical discourse analysis according to Fairclough is divided into three stages, namely description, interpretation, and explanation. The text descriptions contained in the 2019 Election campaign discourse are limited to vocabulary use only. The vocabulary aspects used are in the form of classification patterns, words that are fought for ideologically, the use of metaphors, and meaning relations. At the interpretation stage, the caleg uses vocabulary to form a positive image which in the end is expected to increase the electability of the caleg. At the explanatory stage, at the socio-cultural level, the efforts made by candidates are to build emotional closeness to the public (especially people who have the right to vote). This is done by utilizing lingual features, such as: the use of our personal pronouns, metaphors, and the use of regional languages (Javanese). Dalam kampanye pemilu para calon legislatif seringkali menebar janji-janji politik untuk mencapai tujuan mereka dengan memanfaatkan kata-kata yang terkesan bombastis. Hal tersebut dengan mudah dapat dijumpai dalam alat peraga kampanye yang berupa baliho, spanduk, atau poster yang terpampang di pinggir jalan. Penelitian ini bertujuan mengungkap fenomena penggunaan kosakata dalam kampanye Pemilu 2019 dengan menggunakan analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis menurut Fairclough dibagi dalam tiga tahap, yaitu deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi. Deskripsi teks yang terdapat dalam wacana  kampanye Pemilu 2019 dibatasi hanya pada penggunaan kosakata. Aspek kosakata yang digunakan berupa pola klasifikasi, kata-kata yang diperjuangkan secara ideologis, penggunaan metafora, dan relasi makna. Pada tahap interpretasi caleg memanfaatkan kosakata untuk membentuk citra positif yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan elektabilitas si caleg. Pada tahap eksplanasi, pada tataran sosiokultural upaya yang dilakukan oleh caleg adalah membangun kedekatan secara emosional dengan khalayak (masyarakat), terutama yang mempunyai hak pilih. Hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan fitur-fitur lingual, seperti penggunaan pronominal persona kita, metafora, dan penggunaan bahasa daerah (bahasa Jawa).
DONGENG MANUSIA LUAR BIASA: FOLKLOR LISAN “ISSUNBOUSHI: SANG KSATRIA MUNGIL” DAN “SI KELINGKING” (Super Ordinary Human Fairy Tales: Structural Analysis of “Issunboushi: Sang Ksatria Mungil” and “Si Kelingking”) Inni Inayati Istiana; Ratna Asmarani; Sarwo Ferdi Wibowo; Mochammad Fikri
Kandai Vol 18, No 2 (2022): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v18i2.4634

Abstract

This study examines two fairy tales from Japanese and Indonesian people namely the fairy tales “Issunboushi: Sang Ksatria Mungil” (Japan) and “Si Kelingking” (Indonesia) which have the same motif with different versions. This was done to answer the formulation of the problem in this study, how to compare the elements in the structure of the story which includes the similarities and differences in the story “Issunboushi: Sang Ksatria Mungil” with "Si Kelingking". To find out the similarities and differences in the structure of the fairy tales "Issunboushi: Sang Ksatria Mungil" (Japan) and "Si Kelingking" (Indonesia), the two stories have been analyzed used a narrative structure approach by A.J. Greimas. The writer used the structural approach of narratology by A.J. Greimas in order to produce an actant and functional scheme that show the similarities and differences in the structure of these fairy tales. The results of the study show that both have the same story stages, namely the initial situation, transformation, and the final situation. The different elements of the story included the actors (subjects) and their strengths, contradictions, solutions in getting helpers, and the form of helping objects. In addition, the two-fairy tales also have almost similar themes or motives, characterizations and plotting. The moral message of the story conveyed was also not much different. Based on these differences, it can be concluded that the fairy tales "Issunboushi: Sang Ksatria Mungil" and "Si Kelingking" were not related. These differences can be seen from the peculiarities of the two-fairy tales as a form of representation of people's lives at the time the fairy tales were created. In addition, the storytelling of each of these fairy tales took advantage of local geographical conditions to become the object of the story. Penelitian ini menelaah dua dongen dari masyarakat Jepang dan Indonesia, yang bermotif sama, tetapi memiliki versi berbeda, yaitu “Issunboushi: Sang Ksatria Mungil” (Jepang) dan “Si Kelingking” (Indonesia). Hal ini dilakukan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, yakni bagaimana perbandingan unsur-unsur dalam struktur cerita yang mencakupi kemiripan dan perbedaan cerita “Issunboushi: Sang Ksatria Mungil” dengan “Si Kelingking”. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan struktur cerita dongeng “Issunboushi: Sang Ksatria Mungil” (Jepang) dan “Si Kelingking” (Indonesia), kedua cerita tersebut akan dianalisis menggunakan pendekatan struktur naratologi oleh A.J. Greimas. Melalui pendekatan struktur naratologi oleh A.J. Greimas akan dihasilkan skema aktan dan fungsional yang menunjukkan persamaan dan perbedaan struktur cerita dongeng-dongeng tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keduanya memiliki tahapan cerita yang sama, yakni situasi awal; transformasi; dan situasi akhir. Adapun unsur cerita yang berbeda mencakupi pelaku (subjek) dan kekuatannya, pertentangan, solusi dalam mendapatkan bantuan penolong (helper) dan wujud benda penolong. Selain hal tersebut, kedua dongeng itu juga memiliki tema, motif, penokohan, dan pengaluran yang hampir mirip. Amanat atau pesan moral cerita yang disampaikan juga tidak jauh berbeda. Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dongeng “Issunboushi: Sang Ksatria Mungil” dan “Si Kelingking” tidak saling terkait. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat dari kekhasan kedua dongeng sebagai bentuk representasi Kehidupan masyarakat pada saat dongeng tersebut tercipta. Selain itu, pengisahan masing-masing dongeng tersebut memanfaatkan keadaan geografis setempat untuk dijadikan objek cerita.
FUNGSI KIASAN PATAH HATI BAHASA BALI DALAM GEGURITAN “SAMPIK” (The Function of Balinese Figure of Speech on Broken Heart in Geguritan Sampik) I Ketut Wardana
Kandai Vol 18, No 2 (2022): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v18i2.3862

Abstract

   This study aimed to examine the form, function, and meaning of Balinese expressions from the perspective of systemic functional linguistic theory (SFL). This study used a phenomenological-based approach. The data consisted of 51 stanzas and each stanza contained 7 to 9 lines collected through document analysis and they were classified into language meta function elements. The data were analyzed through the classification of the content of the text, the characteristics of the text, and the application of the SFL model. The findings of this study indicate that Gaguritan Sampik has 4 types of figures of speech, namely similes, metaphor, hyperbole, and personification with comparative meaning that bridges cognitive meaning to imaginative meaning. The findings of the LSF analysis show that all of the poems in Gaguritan Sampik have ideational, interpersonal, and textual metafunction elements, but this model cannot access chronological stages and holistic meanings due to position shifting, phrase deletion, or phrase duplication in the literary writing system. However, the LSF model proves that a coherent and coherent figure of speech mechanism can evoke the reader's imagination so that it absorbs philosophical values in the text. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk, fungsi, dan makna kiasan ungkapan majas patah hati bahasa Bali dalam geguritan “Sampik” dari perspektif teori linguistik sistemik fungsional (LSF). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis fenomenologi. Data terdiri atas 51 stanza dan tiap stanza terdiri atas 7 sampai 9 baris dikumpulkan melalui analisis dokumen dan diklasifikasikan ke dalam unsur metafungsi bahasa. Data dianalisis melalui tahapan klasifikasi isi teks, karakteristik teks, dan penerapan model LSF.  Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa geguritan “Sampik” memiliki empat jenis majas, yaitu perbandingan, metafora, hiperbola, dan personifikasi dengan makna komparatif yang menjembatani makna kognitif menuju makna imajinatif. Temuan analisis LSF menunjukan semua syair pada geguritan “Sampik” memiliki unsur-unsur metafungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual, tetapi model ini tidak dapat mengakses tahapan kronologis dan makna secara holistik akibat adanya pemindahan posisi, pelesapan prasa, atau duplikasi prasa pada sistem penulisan sastra. Walaupun demikian, model LSF membuktikan bahwa mekanisme majas yang runut dan padu dapat membangkitkan imaji pembaca sehingga meresapi nilai filosofis dalam teks.  
HOMOLOGI STRUKTURAL ANTARA SALIHARA DENGAN RUMAH ASAP DALAM SAMAN (Structural Homology of Salihara and the Smokehouse in Saman) Muhammad Qadhafi
Kandai Vol 18, No 2 (2022): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v18i2.4690

Abstract

This study focuses on the problem of the relationship between the KUK/Salihara structure and the smokehouse structure in Ayu Utami's novel Saman. This study aims to find the relationship between the dominant position of KUK/Salihara and its structure and to describe the structural homology between KUK/Salihara and the Smokehouse in Saman. This study uses qualitative data collection methods. The researcher used Bourdieu's arena construction method and the Social Network Visualizer (SocNetV) application to visualize the structure. In addition, researchers also use SocNetV's “centrality analysis” feature to determine the centrality of an agent. The results of this study are: 1) KUK/Salihara occupies a dominant position in the modern Indonesian literary field because of the high level of cultural capital, social capital, and economic capital. The acquisition of these capitals is closely related to the role of KUK/Salihara as a mediator that connects the literary field with other cultural fields, making it easier for them to exchange capital and monopolize legitimacy; 2) structural homology between KUK/Salihara and Saman shows that: a) both carry the same doxa, namely "freedom”; b) the dominant position and central role of Wisanggeni in the structure of the Lubukrantau Smokehouse association actually represents the position and role of GM rather than the position and role of Ayu Utami in the KUK/Salihara structure; and c) other problems were found regarding the process of writing Saman's novel that needed further study.Penelitian ini menyoroti persoalan kaitan antara struktur KUK/Salihara dengan struktur perkumpulan di dalam novel Saman karya Ayu Utami. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kaitan antara posisi dominan KUK/Salihara dengan strukturnya dan untuk mendeskripsikan homologi struktural antara KUK/Salihara dengan perkumpulan rumah asap dalam Saman. Penelitian ini menggunakan metode pemerolehan data kualitatif. Peneliti menggunakan metode konstruksi arena Bourdieu dengan bantuan aplikasi Social Network Visualizer (SocNetV) untuk memvisualkan struktur. Selain itu, peneliti juga menggunakan fitur “centrality analysis” SocNetV untuk mengetahui sentralitas suatu agen. Hasil penelitian ini, yakni: 1) KUK/Salihara menempati posisi dominan di arena sastra Indonesia modern karena tingginya modal kultural, modal sosial, dan modal ekonomi. Pemerolehan modal-modal tersebut berkaitan erat dengan peran KUK/Salihara sebagai mediator yang menghubungkan arena sastra dengan arena kultural yang lain sehingga memudahkannya untuk melakukan pertukaran modal dan monopoli legitimasi; 2) homologi struktural antara KUK/Salihara dengan novel Saman karya Ayu Utami menunjukkan bahwa: a) keduanya mengusung doksa yang sama, yaitu “kebebasan”; b) posisi dominan dan peran sentral Wisanggeni dalam struktur perkumpulan rumah asap Lubukrantau justru merepresentasikan posisi dan peran GM daripada posisi dan peran Ayu Utami dalam struktur KUK/Salihara; dan c) ditemukannya persoalan lain mengenai proses penulisan novel Saman yang perlu dikaji lebih lanjut.
KAJIAN POETIKA KOGNITIF KETERLIBATAN PEMBACA TERHADAP FIKSI DIGITAL (The Study of Cognitive Poetics to the Readers' Engagement with Digital Fiction) Sri Kusumo Habsari; Diah Kristina; Fitria Akhmerti Primasita; Yusuf Kurniawan; Karunia Purna Kusciati
Kandai Vol 18, No 2 (2022): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v18i2.4129

Abstract

Developing the observation of the intensity of students' engagement with digital texts, which tend to increase significantly during the pandemic Covid-19, this research raises questions on the cognitive poetics process and experiences in readers' engagement with digital fiction. Of such phenomenon, this research applies cognitive poetics, which refers to the appreciation of the texts experiencing artistic enjoyment and creativity. In the context of digital fiction, this research assumes that readers experience mental immersion and create some forms of transportation. Subsequently, this research studies the readers' immersion in narratives and identifies forms of transportation as a conceptual metaphor projected to different media. This research applies qualitative content analysis to the data obtained from a survey posted on social media. Data are analyzed based on the trend and generalized to identify the causal relationship between the act of reading, the sensory immersion, and the forms of transportation. Adopting cognitive psychology theory, this research argues that readers' immersion process in digital fiction is not holistic and stable. Instead, it is a situation creating different forms and intensities. The result shows that digital text variations and the freedom of expression provide a space for readers to project the conceptual metaphor into various forms of transportation, which can be supportive and persuasive. Dari pengamatan terhadap semakin meningkatnya imersi mahasiswa terhadap teks digital yang semakin meningkat dalam situasi pandemi Covid-19, intensitas interaksi dengan fiksi digital menimbulkan pertanyaan, bagaimana proses kognitif dan keterlibatan pembaca dengan fiksi digital. Untuk mengkaji fenomena tersebut, penelitian ini menggunakan teori poetika kognitif yang mengarah pada konsep apresiasi teks yang menimbulkan kenikmatan artistik dan kreatif. Dalam konteks fiksi digital, penelitian ini memiliki asumsi bahwa pembaca mengalami imersi mental dan melakukan transportasi dalam berbagai bentuk. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji imersi pembaca terhadap naratif dan mengidentifikasi bentuk-bentuk transportasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif analisis konten terhadap data yang diperoleh melalui survey yang disebarkan melalui media sosial. Data dianalisis berdasarkan trend dan digeneralisasikan untuk mengidentifikasi relasi kausal perilaku membaca dan pengalaman imersi sensoris serta bentuk transportasi yang dilakukan. Dengan mengadopsi cabang teori kognitif psikologis, penelitian ini berusaha membangun argumen bahwa proses imersi pembaca terhadap fiksi digital bukanlah imersi yang bersifat holistik atau stabil, tetapi selalu terjadi perubahan baik dalam jenis maupun intensitas, tergantung pada situasi saat berinteraksi dengan teks digital. Hasil survey menunjukkan bahwa keragaman teks digital dan kebebasan untuk berekspresi di berbagai medium digital memberikan ruang pembaca untuk mengekpresikan bentuk-bentuk transportasi yang sifatnya bisa berupa supportif maupun persuasif.
"JARIMU HARIMAUMU": FENOMENA UJARAN KEBENCIAN MASYARAKAT KOTA KENDARI DI MEDIA SOSIAL FACEBOOK ("Jarimu Harimaumu": The Phonomenon of Hate Speech among Kendari Community in Facebook Social Media) Fahmi Gunawan
Kandai Vol 18, No 2 (2022): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v18i2.4687

Abstract

Although many experts have examined hate speech on Facebook social media, little is known about the hate speech of the Kendari community. To fill this void, the empirical study examines Kendari community's hate speech on Facebook social media. The research adopted a qualitative research approach with a case study research design. Data were garnered by analyzing documents, conducting in-depth interviews, and distributing questionnaires. Document analysis was used to examine types of hate speech, while in-depth interviews and questionnaires were conducted to analyze why hate speech emerged. The findings showed that the types of hate speech in Kendari community were classified into five, namely (1) defamation, (2) insults, (3) blasphemy, (4) incitement, and (5) spreading hoaxes. The factors causing hate speech are classified into internal and external factors. Internal factors include hurt and fun factors, while external factors encompass political interests, group interests, and SARA. Because hate speech has legal implications, this research is expected to foster critical awareness of the community to avoid legal cases related to hate speech. Meskipun para pakar sudah banyak melakukan penelitian mengenai ujaran kebencian, masih sedikit yang membahas ujaran kebencian masyarakat kota Kendari. Untuk merespons hal itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ujaran kebencian masyarakat kota Kendari di media sosial Facebook. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan desain penelitian studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan cara analisis dokumen, wawancara mendalam, dan penyebaran angket. Analisis dokumen digunakan untuk membahas jenis ujaran kebencian, sementara wawancara mendalam, dan penyebaran angket dilakukan untuk menganalisis mengapa ujaran kebencian itu muncul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ujaran kebencian masyarakat kota Kendari diklasifikasi menjadi lima, yaitu (1) pencemaran nama baik, (2) penghinaan, (3) penistaan, (4) penghasutan, dan (5) penyebaran hoaks. Faktor-faktor penyebab munculnya ujaran kebencian diklasifikasi menjadi dua, faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi faktor sakit hati dan iseng-iseng, sementara faktor eksternal meliputi faktor kepentingan politik, kepentingan golongan, dan SARA. Karena ujaran kebencian memiliki dampak hukum, penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat agar dapat terhindar dari kasus hukum yang berkaitan dengan ujaran kebencian.
PENDIDIKAN BERBASIS SASTRA LISAN (LUKISAN ANALITIK ATAS NILAI PEDAGOGI DALAM FOLKLOR ORANG WAKATOBI) (Education Based on Oral Literature (An Analytical Description of Pedagogical Values in Wakatobi People Folklore)) Muhammad Alifuddin; Sumiman Udu; Laode Anhusadar
Kandai Vol 18, No 2 (2022): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v18i2.2599

Abstract

This research is an analytic painting about the content of educational values in the oral literature of the people of Wakatobi. All data in this study were sourced from in-depth interviews, observations, and document studies. Considering this research is related to aspects of oral literature in the socio-cultural space, the data analysis was carried out using a hermeneutic phenomenology approach. Folklore in the form of folklore (tula-tula) and kabanti (folksong) are two forms of oral literature that are still used as educational media by Wakatobi people. This study found that the contents of the tula-tula and kabanti that grew in the cultural space of the Wakatobi people functioned as treasures of knowledge and entertainment value and contained ethical values. Through oral literature, the Wakatobi people consciously try to build values in order to maintain harmony with nature, microcosmic relations between humans, and macrocosm relations to the Creator. The characteristics of the learning model in the tula and kabanti, are more information-giving, in the form of facts and memories, generally one-way, and the style of the speaker/teacher is preferred in conveying messages, intonation, improvisation, enthusiasm, and systematic message. Penelitian ini merupakan lukisan analitik tentang muatan nilai pendidikan dalam sastra lisan orang Wakatobi. Seluruh data dalam penelitian ini bersumber dari hasil wawancara mendalam, pengamatan, serta studi dokumen. Mengingat penelitian ini terkait dengan aspek sastra lisan dalam ruang sosial budaya, analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi hermeneutik. Folklor dalam bentuk cerita rakyat (tula-tula) dan kabanti (folksong) adalah dua bentuk sastra lisan yang hingga kini masih digunakan sebagai media pendidikan oleh orang Wakatobi. Penelitian ini menemukan bahwa muatan tula-tula dan kabanti yang tumbuh dalam ruang budaya orang Wakatobi tidak hanya berfungsi sebagai khazanah pengetahuan dan bernilai hiburan, tetapi juga mengandung nilai-nilai etika. Melalui sastra lisan, orang Wakatobi secara sadar berusaha membangun nilai dalam rangka menjaga harmoni dengan alam, hubungan mikrokosmis sesama manusia, dan hubungan makrokosmos kepada sang Pencipta. Karakteristik model pembelajaran dalam tula-tula dan kabanti lebih bersifat pemberian informasi berupa fakta dan ingatan, umumnya bersifat satu arah, dan gaya penutur/guru lebih diutamakan dalam menyampaikan pesan, intonasi, improvisasi, semangat, dan sistematika pesan.
PENGEMBANGAN PENULISAN CERPEN BERBASIS CERITA RAKYAT (Development of Creating Short Story Based on Folktale) La Ode ode Syukur; Irianto Ibrahim; La Ode Sahidin; Nur Israfyan Sofyan; NFN Alias
Kandai Vol 18, No 2 (2022): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v18i2.4549

Abstract

The process of creating literary works is a creative process that requires a comprehensive imagination space. Literature and human life are two inseparable sides. The existence of short stories has not been widely used as a medium and source of short story writing. Therefore, this study examines the development of short story writing based on folklore. The purpose of this study was to describe and explain the development of writing literary works based on folklore for students of the Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Teacher Training and Education, Halu Oleo University. This research uses analytical descriptive method. The data source is in the form of short stories written by students of the Department of Indonesian Language and Literature Education. The results of this study indicate that the development of short story writing based on folklore is carried out through: (1) developing a theme as a short story identity in the form of the emergence of various themes such as brotherhood, affection, patriotism, spirit of life, and work ethic, and honesty, (2) Plot As Storytelling innovation is described by the variety of plots shown for a folklore such as backwards or mixed plots, as well as fleshback plots, and (3) Setting as the field of events Short stories are presented according to the reality of current conditions and atmosphere. Proses penciptaan karya sastra merupakan proses kreatif yang membutuhkan ruang imajinasi komperhensif. Karya sastra dan kehidupan manusia merupakan dua sisi yang tidak dapat terpisahkan. Keberadaan cerita pendek belum banyak digunakan sebagai media dan sumber penulisan cerpen. Oleh karena itu, dalam penelitian ini mengkaji tentang pengembangan penulisan cerpen berbasis cerita rakyat.Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan pengembangan penulisan karya sastra berbasis cerita rakyat pada mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. Penelitian ini menggunakan metodedeskriptif analitik. Sumber data berupa naskahcerpen yang tulis mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia. Adapun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan penulisan cerpen berbasis cerita rakyat dilakukan melalui: (1) pengembangan tema sebagai identitas cerpen berupa munculnya beragam seperti tema persaudaraan, kasih sayang, patriotisme, semangat hidup, dan etos kerja,dan kejujuran, (2) Alur Sebagai Inovasi Penceritaan digambarkan dengan ada variasi alur yang ditampilkan untuk sebuah cerita rakyat seperti dengan alur mundur ataupun alur campuran, maupun alur fleshback, dan (3) Latar sebagai Medan peristiwa Cerpen disajikan sesuai realita kondisi dan suasana masa kini.

Page 1 of 1 | Total Record : 10