Al-Fath			
            
            
            
            
            
            
            
            Al-Fath: published twice a year since 2007 (June and December), is a multilingual (Bahasa, Arabic, and English), peer-reviewed journal, and specializes in Interpretation of the quran. This journal is published by the Alquran and its Interpretation Department, Faculty of Ushuluddin and Adab, Sultan Maulana Hasanuddin State Islamic University of Banten INDONESIA. Al-Fath focused on the Islamic studies, especially the basic sciences of Islam, including the study of the Qur’an, Hadith, and Theology. Editors welcome scholars, researchers and practitioners of Alquran and its Interpretation, Hadith, and Theology around the world to submit scholarly articles to be published through this journal. All articles will be reviewed by experts before accepted for publication
            
            
         
        
            Articles 
                192 Documents
            
            
                        
            
                                                        
                        
                            Feminisme dan Kesetaraan Jender dalam Perspektif al-Quran dan Hadis 
                        
                        Muhandis al-Zuhri                        
                         Al-Fath Vol 5 No 2 (2011): Desember 2011 
                        
                        Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.32678/alfath.v5i2.3261                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Feminism point of view - as a modern deliberation of IXth century, coming from western is not a peculiar entity for eastern (read : Islam). The figure of Rasululloh SAW presents that Islam messenger has shown humanist characteristics for females particularly on behalf of wives and Islamic females in earlier era of Islam by respecting jender equality therefore the rights of politics, economy and social between males and females are regarded same, there are no discriminations just by the differences in sex and jender. Perspectives and morality characters shown by Rasululloh SAW to females in this writing is completed by performing explorations through historical and hadists texts concerning females around the Prophet and his best friends. Based on the analysis, it can be concluded that the Holy Prophet Muhammad SAW is a profile of Prophet having feminist, non discriminative, humanist and universal ways of thinking.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Membongkar Pilar-Pilar Hukum Kewarisan Islam (Reinterpretasi atas Teks-Teks Suci Al-Qur’an) 
                        
                        Nurul Ma'rifah                        
                         Al-Fath Vol 6 No 1 (2012): Juni 2012 
                        
                        Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.32678/alfath.v6i1.3211                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Aturan-aturan hukum Islam berprinsip egaliter. Jika kemudian ada aturan-aturan dalam hukum Islam yang kelihatannya tidak sesuai dengan prinsip egaliter dan dan prinsip-prinsip lainnya, maka aturan tersebut harus dipahami sesuai dengan konteks realitas sosial yang melingkupinya dan memperhatikan fungsinya sebagai legal counter terhadap aturan-aturan hukum non-egaliter yang berlaku pada masa Jahiliyyah. Akan tetapi, hukum waris Islam memperoleh prioritas yang tinggi dalam keterli-batannya sebagai fenomena prinsip yang fundamental. Sehingga hasil interpretasi terhadap ayat-ayat teks suci dianggap mapan. Padahal dengan adanya beberapa perbedaan dalam meng-interpretasikan hukum waris Islam itu sendiri tidak lepas dari campur tangan pemikiran manusia (fukaha). Sehingga, reinterpretasi dianggap perlu untuk menye-suaikan dengan setting social, moral dan ekonomi masyarakat kekinian dengan tetap bertumpu pada teks-teks suci al-Qur’an.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Pandangan Ibnu Katsir dan Sayyid Quthb terhadap Konsep Ruqyah 
                        
                        Ahmad Ryanto                        
                         Al-Fath Vol 10 No 2 (2016): Desember 2016 
                        
                        Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.32678/alfath.v10i2.3102                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Metode pengobatan dan penyembuhan dari kerasukan jin, dan sihir yang belakangan ini mulai populer adalah metode ruqyah. Bahkan ada stasiun televisi yang menanyangkan secara khusus praktek ruqyah tersebut. Namun ada beberapa praktek ruqyah yang media maupun bacaan yang digunakan tidak sesuai dengan syariat Islam dan Alquran. Ruqyah adalah bacaan ayat-ayat Alquran Al-Hadits yang shahih dan sifat-sifat Allah yang ditujukan untuk pengobatan yang sesuai syariat (berdasarkan riwayat yang shahih atau sesuai dengan ketentuanketentuan yang telah disepakati oleh para ulama), untuk melindungi diri dan untuk mengobati orang sakit atau untuk memohon kesembuhan kepada Allah SWT dari gangguan yang ada, atau memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan atau sesuatu yang dikhawatirkan. Menurut Ibnu Katsir, praktek ruqyah telah ada pada zaman Nabi Muhammad SAW dan beliaupun melakukannya. Hal ini berdasarkan asbabun nuzul QS. Al falaq: 1-5 dan QS. An Nas: 1-6. Sedangkan Sayyid Quthub tidak menyebutkan secara langsung pendapatnya mengenai ruqyah maupun prakteknya. Namun, penafsiran beliau yang menyebutkan bahwa Alquran merupakan obat penawar bagi segala penyakit sosial, fisik maupun jiwa yang diakibatkan nafsu, dengki, tamak dan bisikan syaitan dapat dipandang sebagai pendapat beliau mengenai suatu metode pengobatan dan penyembuhan menggunakan media ayat-ayat Alquran yang populer disebut ruqyah.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Metode Muhādisin dalam Penyusunan Hadis pada Abad Pertama Hijriah 
                        
                        Endad Musaddad                        
                         Al-Fath Vol 2 No 2 (2008): Desember 2008 
                        
                        Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.32678/alfath.v2i2.3276                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Hadis-hadis dikumpulkan selama masa hidup rasulullah, para istri dan sahabat Nabi yang memiliki keistimewaan mendapat pelajaran langsung dari beliau’ memperaktekan sunnah dan menyampaikan pengetahuan tentang hadis-hadis pada generasi sesudah mereka. Mereka menggunakan semua cara yang mungkin termasuk catatan-catatan tertulis. Pengingatan dan pengamalan untuk menyimpan dan menyampaikan hadis Nabi. Terdapat bukti bahwa sebagian dari sahabat menuliskan hadis-hadis itu dan mebuat catatan-catatan yang sangat teliti atas ucapan-ucapon dan tindakan-tindakan Nabi. Oleh karenanya periwayatan hadis telah dimulai sejak masa Nabi, namun pertumbuhannya sangat pesat pada dua ratus tahun pertama setelah hijrah, meski ada beberapa pemalsuan hadis yang tak terpisahkan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk tujuan-tujuan politis yang dangkal yang di dorong oleh pengaruh sectarian. Tulisan ini lebih jauh akan membahas tentang perkembangan hadis yang terjadi pada abad pertama hijriah, berikut beberapa metode yangditempuh oleh orang-orang yang hidup pada masa itu guna melestarikan Sunnah Nabi sebagai pedoman bagi kehidupan komunitas muslim. Hal inimenarik untuk dibicarakan mengingat selama ini pembahasan mengenai pentadwinan hadis, para pembahas langsung tertuju pada abad ke dua Hijriah, dimana hadis sudah mulai di tadwinkan.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Konsep Keluarga dalam Perspektif Alquran 
                        
                        Suenawati Suenawati                        
                         Al-Fath Vol 11 No 2 (2017): Desember 2017 
                        
                        Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.32678/alfath.v11i2.902                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Keluarga adalah pijakan pertama dalam pembentukan masyarakat, jika keluarga baik maka masyarakatnya akan baik,begitupun sebaliknya. karena itu, Islam memberikan perhatian yang besar dan serius dalam membentuk keluarga bahagia, penuh dengan cinta dan kasih sayang. Penafsiran Sayyid Quṭb dan Kementerian Agama RI terhadap ayat-ayat alqurān tentang keluarga ialah: a) Pemeliharaan keluarga agar terhindar dari api neraka. Sayyid Quṭb dan Kementerian menafsirkan perintah untuk melindungi dirinya dan keluarganya dari api neraka. b). Menyuruh anggota keluarga untuk melaksanakan shalat. Sayyid Quṭb dan Kementerian Agama menafsirkan bahwa perintah kepada muslimin untuk memerintahkan keluarganya agar mengerjakan shalat dan bersabar. Perbedaannya Sayyid Quṭb menjelaskan sabar disini ialah sabar mengerjakan shalat, Sedangkan Kementerian Agama menjelaskan sabar dalam shalat dan dalam kesehariannya harus tabah dan sabar. c). Kisah keluarga Imran, QS. Ali-‘Imran: 33. Kedua penafsir menafsirkan bahwa Adam dan Nu>h adalah pribadinya yang diceritakan, sedangkan keluarga Ibrahi>m dan keluarga Imran adalah keluarga yang dipilih oleh Allah. Letak perbedaannya bahwa Sayyid Quṭb menafsirkannya lebih kepada keluarga Ibrahim dan keluarga Imrannya dari pada nabi Adam dan Nabi Nu>h, sedangkan Kementerian Agama menafsirkannya dengan menceritakan tentang kenabian nabi Adam, N>u>h, Ibrahi>m serta keturunannya yaitu keluarga ‘Imran.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer 
                        
                        Sholahuddin Al Ayubi; 
Afandi Kurniawan                        
                         Al-Fath Vol 13 No 2 (2019): Desember 2019 
                        
                        Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.32678/alfath.v13i2.2900                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Kajian Arkoun terhadap al-Fatihah ini disebabkan oleh; pertama, dalam penyusunan mushaf Utmani surat al-Fatihah diletakkan pada awal mushaf. Kedua, pembacaan secara liturgis, pengulangan terhadap teks suci al-Fatihah ini, berarti mewujudkan kembali ketika peresmian ketika Rasullullah mengucapkan untuk pertama kalinya. Adapun Metodologi yang digunakan Arkoun dalam menafsirkan surat al-Fatihah yaitu ; (1) linguistik-Semiotika. (2) Historis-antropologis. Sedangkan inti dari penafsiran Arkoun terhadap surat al-Fatihah adalah; Al-Hamdu Li al-lâhi Rabb Al-‘Alamīn; mengacu pada ilmu-ilmu dasar ontologis dan metodologis dari pengetahuan (‘ilm al-ushŭl) Maliki Yaumi Al-Dīn; eskatalogi. Iyyâka Na’budu Wa Iyyâka Nasta’īn; peribadatan. Ihdi Nâ Al-sirât Al-Mustaqīm; etika. Al-Ladzīna An’amta ‘Alaihim; ilmu kenabian. Ghairi Al-Maghdŭbi ‘Alaihim Wala Al-dâllīn; sejarah spiritual kemanusiaan, tema-tema simbolis orang-orang yang buruk *‚kejahatan‛+ yang diuraikan dalam kisah-kisah orang terdahulu.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Menghimpun Hadis Bertema Sama (Sebuah Metode Memahami Hadis) 
                        
                        Masrukhin Muhsin                        
                         Al-Fath Vol 5 No 1 (2011): Juni 2011 
                        
                        Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.32678/alfath.v5i1.3255                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Menghimpun hadits-hadits yang bertema sama merupakan satu upaya untuk memahami Hadits dengan baik, komprehensif, terhindar dari kesalahan, dan lebih dekat kepada kebenaran. Hadits berfungsi merinci ayat-ayat yang global, menjelaskan yang masih samar, mengkhususkan yang umum, dan membatasi yang mutlak. Hadits Isbal, misalnya, ada sejumlah umat Islam yang menolak keras kepada mereka yang tidak memendekkan pakaiannya di atas mata kaki. Padahal setelah dilakukan pemahaman hadits secara komprehensif bahwa yang dimaksud oleh sabda Nabi saw. "orang yang memanjangkan pakaiannya" adalah orang yang menjulurkan pakaiannya dan menyeret ujungnya dengan kesombongan.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Hermeneutika: Sisi Positif dan Negatif 
                        
                        Syafi'in Mansur                        
                         Al-Fath Vol 6 No 1 (2012): Juni 2012 
                        
                        Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.32678/alfath.v6i1.3206                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Hermeneutika awalnya digunakan sebagai metode filsafat, kemudian digunakan untuk menafsirkan teks Bibel yang pada akhirnya menimbulkan pro dan kontra. Bahkan saat ini lagi tren menggunakan hermeneutika untuk studi Al-Qur’an. Sisi positif dan negatifnya tidak bisa disangkal karena heremeneutika mempunyai kelema-han dan kele-bihan sebagai metode yang dikembangkan oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang terbatas. Karena perdebatan tentang hermeneutika itu pada wila-yah metodologi, baik yang menyangkut bahasa, penga-rang, dan teks itu sendiri maka tergantung tujuan manusia yang menggunakannya. Jika digunakan untuk menying-kap kebenaran maka sah-sah saja, tetapi jika digunakan hanya untuk mencari kelemahan dan kesalahan maka hal itu akan menda-tangkan keburukan dan kemudaratan.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            UPAH MENGAJAR AL-QUR’AN DALAM PERSPEKTIF HADIS 
                        
                        Ikhwan Hadiyyin; 
Abdul Aziz Azam-zami                        
                         Al-Fath Vol 7 No 1 (2013): Juni 2013 
                        
                        Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.32678/alfath.v7i1.3083                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Masalah imbalan, bayaran, upah, atau apapun namanya, memang masih menjadi polemik di masyarakat. Tidak saja bagi guru yang menerimanya, tetapi juga bagi umat yang memberikannya. Aspek budaya “perasaan” dan ketidaktahuan tentang hukumnya adalah beberapa di antara faktor penyebabnya. Penelitian ini berusahauntuk menjawab pertanyaan ini, yakni bagaimana problem seputar upah mengajarkan Al-Qur’an?, bagaimana pandangan ulama tentang boleh tidaknya menerima upah dari mengajarkan Al-Qur’an? dan bagaimana pandangan hadis terhadap suatu upah mengajarkan Al-Qur’an? Tujuan Penelitian dari rumusan masalah di atas adalah untuk mengetahui problem seputar upah mengajar Al-Qur’an, untuk mengetahui bagaimana pandangan ulama tentang boleh tidaknya menerima upah dari mengajarkan Al-Qur’an, untuk mengetahui bagaimana pandangan hadits terhadap suatu upah mengajarkan Al-Qur’an. Dari proses penelitian, didapatkan hasil bahwa kualitas hadits tentang boleh menerima upah mengajar Al-Qur’an yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas berstatus hadis Shahih, dengan demikian hadis tersebut layak dijadikan hujjah atau dalil tentang boleh menerima atau mengambil upah dalam mengajarkan Al-Qur’an.
                                
                             
                         
                     
                    
                                            
                        
                            Manhaj Muhadisin dalam Menetapkan Kedhabitan Perawi Hadis 
                        
                        Endad Musaddad                        
                         Al-Fath Vol 2 No 1 (2008): Juni 2008 
                        
                        Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia 
                        
                             Show Abstract
                            | 
                                 Download Original
                            
                            | 
                                
                                    Original Source
                                
                            
                            | 
                                
                                    Check in Google Scholar
                                
                            
                                                                                            
                                | 
                                    DOI: 10.32678/alfath.v2i1.3271                                
                                                    
                        
                            
                                
                                
                                    
Ulama Hadis telah’ menetapkan kriteria sahihnya sebuah hadis harus memenuhi lima persyaratan: Bersambung sanadnya, Diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil, lagi Dhabit, tidak mengandung syadz dan bebas dari‘illat. Dari empat syarat tadi salah satunya terkaitan dengan masalah intelektualitas dalam menyatakan berita, juga amat berpengaruh dalam penilaian materi berita tersebut. Sebab itulah sejak awal dalam penelitian hadis unsur dhabit terlebih dulu di analisa baru kemudian meneliti keadaan materi berita tersebut. Perawi adalah masalah dhabt. Terkait dengan unsur dhabt dalam periwayatan, ia tidak hanya menentukan diterimanya kepribadian perawi.Penelitian terhadap kedhabitan para perawi hadis dilakukan oleh para muhadisin melalui cara-cara tertentu, baik berkaitan langsung dengan pribadi mereka, maupun terhadap materi beritanya melalui kajian komparatif dengan berita lainnya. Dalam tulisan ini penulis akan coba menguraikan informasi tentang manhaj muhadisin dalam masalah kedhabitan perawi hadis dengan meliputi: pengertian dhabit, macam-macamnya, dhabt dalam riwayat, kriteria penetapannya serta kitab-kitab yang membahas seputar masalah ini.