cover
Contact Name
Muhammad Ilham Akbar Alamsyah
Contact Email
231320043.muhammadilham@uinbanten.ac.id
Phone
+6285798995400
Journal Mail Official
hikmatul.luthfi@uinbanten.ac.id
Editorial Address
Jl. Syekh Moh. Nawawi Albantani, Kemanisan, Kec. Curug, Kota Serang, Banten
Location
Kota serang,
Banten
INDONESIA
Al-Fath
ISSN : 19782845     EISSN : 27237257     DOI : https://doi.org/10.32678/alfath
Al-Fath: published twice a year since 2007 (June and December), is a multilingual (Bahasa, Arabic, and English), peer-reviewed journal, and specializes in Interpretation of the quran. This journal is published by the Alquran and its Interpretation Department, Faculty of Ushuluddin and Adab, Sultan Maulana Hasanuddin State Islamic University of Banten INDONESIA. Al-Fath focused on the Islamic studies, especially the basic sciences of Islam, including the study of the Qur’an, Hadith, and Theology. Editors welcome scholars, researchers and practitioners of Alquran and its Interpretation, Hadith, and Theology around the world to submit scholarly articles to be published through this journal. All articles will be reviewed by experts before accepted for publication
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 192 Documents
Metode Bukhari dalam al-Jami‘ al-Sahih Masrukhin Muhsin
Al-Fath Vol 5 No 2 (2011): Desember 2011
Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32678/alfath.v5i2.3257

Abstract

Bukhari adalah satu-satunya ahli hadits yang sangat hati-hati dalam menerima hadits, karena ia dikenal sangat teliti dan ketat dalam menverikasi hadits (al-Tashih wa al-Tadh’if). Baginya tidak cukup dikatakan sebuah hadits itu shahih jika tidak menjumpai langsung (al-Liqa’) dengan sumber asalnya (rawi atau gurunya). Metode yang dikembangkan Bukhari demikian menjadikan karya tulisnya al-Jami’ al-Shahih ditempatkan pada peringkat pertama dari kitab-kitab hadits lainnya. Metode yang dikembangkan Imam Bukhari dapat dilihat dari dua sisi: Pertama, dilihat dari penamaan kitabnya al-Jami’ al-Shahih, dan Kedua, langkah-langkah Bukhari dalam melakukan kajian dan penelitian (al-Istiqra) terhadap hadits. Bukhari hanya mengambil para perawi tingkatan pertama dari lima tingkatan murid al-Zuhri untuk diambil haditsnya. Dengan demikian baik syarat (syuruth al-Shihhah) hadits maupun tingkatan perawinya Bukhari tampaknya selalu mengambil kriteria yang tertinggi.
Al-Dakhil (Infiltrasi ) Ajaran Islam Muhammad Sari
Al-Fath Vol 6 No 1 (2012): Juni 2012
Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32678/alfath.v6i1.3207

Abstract

Hamba-hamba Allah yang shalih-shalih dan yang cerdas-cerdas. Mereka itu semuanya pencari kebenaran dan telah ditemukan kebenarannya itu. Allah meng-informasikan kebenarannya dalam (q.1:7,2:127,4:69). Sehingga mereka diberi (dititipi) kepekaan terhadap kebenaran atau faham atas kekekliruan penyimpangan-penyimpangan ajaran islam (al-qur’an), baik penyim-pangan dari segi praktisi (pengamal)nya dan teoritisnya, baik yang datang dari dirinya maupun dari luar dirinya. Dan dia tanggap terhadap penyimpangan dan pema-haman atas ajaran-ajaran islam (al-qur’an dan al-hadis). Karena memiliki standar kebenaran (pema-haman) ajaran islam (al-qur’an). Disebabkan mereka rajin membaca, mentadabur dan memahami serta meng-amalkan ajarandan nilai-nilai al-qur’an (islam) dalam keseharianyua. Sehingga ajaran (keyakinan)nya terhin-dar (terjaga) dari virus-virus (ad-dakhil) atau kisah-ki-sah yang menyimpang dan sesat serta yang berten-tanga; merusak keyakinan dan kepercayaan ajaran-ajaran (agamanya) al-islam. Mereka langsung mem-perbaiki terhadap prilaku-prilaku dan teori-teori doku-men ajarannya (al-Qur’an dan al-Hadis). Langsung memfilter dan mengiditnya serta menerbitkan (men-syi’arkan) keseluruh dunia muslim (islam). Sebagai pelurus dan penawar (penyembuh) dari segala virus-virus neatis ajaran (jiwa) al-Islam (al-Qur’an dan Sunah-Rasul Muhammad saw).
GENDER MENURUT IMAM NAWAWI DALAM TAFSIR MUNIR Masrukhin Muhsin; Ahmad Husin
Al-Fath Vol 7 No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32678/alfath.v7i1.3087

Abstract

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Nawawi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Nawawi dalam menafsirkan ayat-ayat al- Qur’an berdasarkan kontek tradisional, baik dari kepemimpinan, pendidikan dan kesaksian, dalam menerapkan metodenya, Nawawi menggunakan perpaduan antara metode tahlili dan ijmali. Sedangkan dalam memahami ayat-ayat gender sangat bertentangan dengan zaman pada sekarang ini. Metode yang digunakan dalam persoalan ini adalah kajian studi pustaka (library research) dengan menggunakan metode deduktif denganlangkah-langkah sebagai berikut. Pertama, pengumpulan data yang diambil dari data primer dan sekunder, kedua, pengolahan data yang sudah terkumpul dan terinventarisir dan, ketiga, analisis data , keempat mengambil kesimpulan.
Tārīkh al-‘Arab Wa Ushūl Jinsihim Ahmad Hidayat Nasir
Al-Fath Vol 2 No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32678/alfath.v2i1.3272

Abstract

Jazirah Arab sebagai tempat muncul dan berkembangnya agama penutup, Islam yang dibawa oleh Rasul penutup, Muhammad s.a.w., menarik untuk dikaji sejarah penduduknya sekaligus asal-usul mereka. Sebenarnya yang paling tepat bukanlah Jazirah Arab (Pulau Arab) melainkan Syibeh Jazirah Arabiya (Semenanjung Arab), karena wilayahnya yang terletak diantara Lembah Syam di utara, Teluk Arab dan Laut Oman ditimur, Samudera Hindia di selatan, dan Laut Merah di barat. Dus, wilayah jazirah Arab hanya dikelilingi perairan di tiga arah saja yaitu barat, timur dan selatan. Orang-orang Arab dalam sejarahnya sebagian besar berdomoisilidi semenanjung Arab. Diantara mereka menurut sejarawan kuno dari Yunani, Latin, Ibrani dan Suryani, ada yang menetap di Iraq mulai dari tepi barat sungai Furat sampai ujung Syam, Palestina, Sinai sampai tepian timursungai Nil. Sehinga menurut para sejarawan kuno tersebut bahwa mereka disebut orang Arab, dan wilayah tempat tingal mereka disebut Bilad al-Arab (Kawasan Arab). Para sejarawan Arab membagi bangsa Arab menjadi dua bagian besar: Pertama: Arab Ba‘idah, yaitu bangsa Arab yang absurd untuk diketahui berita tentang mereka kecuali yang termaktub dalam kitab-kitab samawi dan syair-syair jahiliyah seperti cerita tentang kaum ‘Aad dan Tsamud. Diantara suku yang paling popular dari bangsa Arab golongan ini adalah ‘Aad, Tsamud, Jurhum generasi pertama, Thasm dan Judes. Kedua: Arab Bagiyah yang terbagi menjadi dua keturunan:Pertama, Arab ‘Aribah, yaitu keturunan Qahthan yang berdomisili di Yaman. Ketiga, Arab Musta’ribah atau disebut juga Arab Muta’arribah, yaitu mayoritas orang Arab baik Arab Pedalaman (Badawi) maupun Arab Luar (Hadhari) yang berdomisili di tengah Jazirah Arab dan wilayah Hijaz sampai lembah Syam ketika terjadi konvergensi budaya dengan Arab Yaman. Arab Bagqiyah inilah orang-orang Arab yang ada sampai sekarang.
Toleransi Beragama dalam Alquran Euis Sri Wahyuni
Al-Fath Vol 11 No 1 (2017): Juni 2017
Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32678/alfath.v11i1.884

Abstract

Toleransi Beragama: Menghargai paham yang berbeda dari paham yang dianutnya sendiri, yang mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari segi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, serta agama. Ini semua merupakan Sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Pandangan Alqurān mengenai Toleransi Beragama yaitu sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (aqidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang toleransi beragama, Ibnu Kathῑr dan al-Marāgī menafsirkan secara luas, dalam tafsirannya Ibnu Kathῑr selalu mencantumkan hadith juga pendapat para sahabat dan tabi'in untuk memperkuat penafsirannya. Ia juga menafsirkan Alqurān dengan Alqurān, kemudian hadiṡ, pendapat sahabat dan tabi'in. Sedangkan al-Marāgī dalam tafsirannya beliau selalu menuliskan ayat terlebih dahulu di awal pembahasan lalu diikuti dengan mengemukakan arti kosa kata dan dilanjutkan dengan mengemukakan asbabun nuzul jika ada. Titik persamaan tafsīr Ibnu Kathῑr dan al- Marāgī yaitu, tidak adanya paksaan untuk memasuki agama Islam, jangan saling mencemooh sesama umat muslim atau pun yang beragama selain Islam. Perbedaan tafsīr Ibnu Kathῑr dan al-Marāgī yaitu, terletak dari segi bahasa penulisan Ibnu Kathῑr dan al-Marāgi itu sendiri.
Ulil Amri dalam Perspektif Al-Qur’an Serta Penafsirannya Menurut Ahmad Musṭafā Al-Marāgī dan Wahbah Zuḥailī Rifqi Ghufron Maula
Al-Fath Vol 13 No 2 (2019): Desember 2019
Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32678/alfath.v13i2.2896

Abstract

Artikel ini menganalisis makna Ulil Amri dan system kepemerintahan dalam Al-Qur’an dengan memfokuskan pembahasan pada penafsiran Ahmad Musṭafā Al-Marāgī dan Wahbah Zuḥailī. Tulisan ini merusaha menguraikan makna Ulil Amri secara kritis, komprehensif, dan seimbang dengan metode komparatif (perbandingan) antara penafsiran Ulil Amri menurut Ahmad Musṭafā Al-Marāgī dan Wahbah Zuḥailī. Penulis menyimpulkan bahwa Ahmad Musṭafā Al-Marāgī dan Wahbah Zuḥailī memiliki persamaan pendapat tentang makna Ulil Amri. Adapun perbedaan diantara keduanya hanyalah dari segi bahasa dan penyampaiannya, jika Al-Marāgī menafsirkan dengan begitu mujmal (global) sedangkan Wahbah Zuḥailī menafsirkannya dengan sangat rinci. Tetapi, penulis juga menambahkan beberapa pendapat tentang Ulil Amri dari ulama lain selain yang penulis fokuskan.
Legalisasi Hukum Islam di Indonesia Masduki Masduki
Al-Fath Vol 1 No 1 (2007): Juni 2007
Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32678/alfath.v1i1.3252

Abstract

Pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah sampai tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Fenomena ini setidaknya muncul pertama kalinya berbarengan dengan lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana sila pertamanya berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan Syari‘at Islam bagi pemeluknya”. Perjuangan bagi legislasi hukum Islam sedikit meredup setelah pada tanggal 18 Agustus 1945 tim sukses dari golongan Islam tidak mampu mempertahankan tujuh kata terakhir dari sila pertama Piagam Jakarta tersebut. Dengan hilangnya tujuh kata tersebut, maka tidak mudah untuk melegalpositifkan hukum Islam ke dalam bingkai konstitusi negara, termasuk di era sekarang ini. Walaupun demikian, dengan perjuangan yang tak kenal lelah dari berbagai kalangan tokoh Islam, legalisasi dan legislais hukum Islam mulai menampakan hasilnya ketika akhirnya beberapa materi Hukum Islam mendapat pengakuan secara konstituional juridis.
Filsafat dan Agama Menurut Ibn Rusyd Umdatul Hasanah
Al-Fath Vol 2 No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32678/alfath.v2i1.3202

Abstract

Hubungan antara filsafat dan agama dianggap sebagai salah satu ciri terpenting dalam filsafat Islam. Seringkali terjadi pertentangan antara kaum_konservatif yang biasanya diwakili oleh kaum agamawan dengan kaum liberal yang diwakili oleh kaum filosofdan ilmuwan selalu terdapat di mana saja dan kapan saja. Kondisi demikian juga masih terjadi pada abad moderen ini, di mana banyak kalangan demikian apriori dan alergi terhadap filsafat karena ia kerap dipandang sesat. Demikian pula yang terjadi pada abad 6 H./12 M masalah demikian menjadi pertentangan yang sangat menonjol. Para filosof dicerca bahkan dipandang tidak beragama dan kafir. Ibn Rusyd sebagai seorang filosof tampil meluruskan pandangan yang keliru terhadap filsafat (pemikiran rasional) dalam hubungannya dengan wahyu, dan ia membela pemikiran para filosof. Menurut pemikirannya sebagaimana umumnya pemikiran para filososof(Muslim), filsafat tidak bertentangan dengan agama, bahkan berfilsafatmerupakan hal yang dianjurkan dalam agama.
KEBEBASAN BERPENDAPAT DALAM AL–QUR’AN Ahmad Fadhil; Sahrani Sahrani
Al-Fath Vol 8 No 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32678/alfath.v8i2.3064

Abstract

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketika melihat riwayat atau biografi al-Maraghi adalah seorang mufasir modern karena Al-Maraghi dilahirkan pada sekitar abad 19 dan karakteristik Kitab Tafsir Al-Maraghi adalah menghadirkan satu, dua atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan. Kemudian penjelasan kosa kata, kemudian makna ayat secara umum, dan dikaitkan dengan munasabah, dan jika ada ada Asbab Al-Nuzul maka dijelaskan pula, kemudian pada langkah terakhir, Al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, kemudian dalam menafsirkan ayat tentang kebebasan berpendapat, Al-Maraghi memberikan pengertian bahwa kebebasan berpendapat itu di perbolehkan baik itu kebebasan berpendapat ketika bermusyawarahataupun kebebasan berpendapat dalam hal keyakinan.
Metode Tafsir Mahmud Yunus Endad Musaddad
Al-Fath Vol 1 No 1 (2007): Juni 2007
Publisher : Department of Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, Faculty of Ushuluddin and Adab, State Islamic University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32678/alfath.v1i1.3267

Abstract

Tujuan diturunkannya al-Qur'an adalah sebagai petunjukbagi manusia. Agar ia menjadi petunjuk, maka al-Qur'an mesti dibaca, di tela'ah, diteliti dan kemudian di ambil Hukum danhikmahnya. Namun karena keterbatasan pengetahuan khususnyabahasa Al-Qur'an tidak semua umat Islam mampu memahamipetunjuk yang tertuang dalam teks kitab suci tersebut. Karena itu dibutuhkanlah tafsir untuk memahami petunjuk tersebut. Namun tafsiral-Qur'an yang beredar ketika itu kebanyakan di tulis dalam bahasaArab yang tidak semua masyarakat Indonesia (kaum Muslimin) bisamembacanya. Untuk itu mahmud Yunus tampil sebagai peloporpenafsir al-Qur'an ke dalam bahasa Indonesia generasi pertama,mengatasi kesulitan tersebut Dalam tulisan ini penulis inginmengetengahkan beberapa aspek seputar penafsiran yang di gunakanMahmud Yunus, mulai dari sisi: Ltar belakang penulisan Tafsir,rujukan tafsir, dan metode yang di gunakan.

Page 5 of 20 | Total Record : 192