cover
Contact Name
Fahmi Ramadhan Firdaus
Contact Email
puskapsi@unej.ac.id
Phone
+6285785847476
Journal Mail Official
puskapsi@unej.ac.id
Editorial Address
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/PUSKAPSI/about/editorialTeam
Location
Kab. jember,
Jawa timur
INDONESIA
PUSKAPSI Law Review
Published by Universitas Jember
ISSN : -     EISSN : 27981053     DOI : https://doi.org/10.19184/puskapsi
Core Subject : Social,
PUSKAPSI Law Review adalah jurnal peer-review yang diterbitkan oleh Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum, Universitas Jember, Indonesia. Publikasi dalam jurnal ini berfokus pada kajian Pancasila, Konstitusi, hukum dan ketatanegaraan dengan pendekatan doktrinal, empiris, sosio-hukum, dan komparatif. Jurnal ini menyambut baik semua pengajuan tentang wacana terkini tentang hukum dan konstitusi dari berbagai perspektif dalam yurisdiksi tertentu atau dengan analisis komparatif. Pengiriman naskah harus antara 5.000-8.000 kata, meskipun makalah yang lebih pendek yang berkaitan dengan analisis dan debat kebijakan akan dipertimbangkan. Proses peer-review dan keputusan publikasi biasanya akan diselesaikan dalam waktu 60 hari sejak diterimanya pengajuan. Silakan lihat Instruksi untuk Penulis kami untuk informasi tentang pengiriman naskah. Jika Anda memerlukan informasi atau bantuan lebih lanjut, silakan kunjungi Pusat Dukungan kami.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 46 Documents
Perlindungan Pembela HAM-Lingkungan dari Kriminalisasi atas Tuduhan Konten Pencemaran Nama Baik dan Berita Bohong: Perspektif Anti-SLAPP Ervita, Mona; Jiwanti, Ainun
PUSKAPSI Law Review Vol. 5 No. 2 (2025): Desember 2025 (On Progress)
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/puskapsi.v5i2.53781

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tantangan penerapan Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) serta merekomendasikan reformasi hukum guna memastikan kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap lingkungan hidup beserta pembela HAM-lingkungan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum doktrinal dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Novelty Penelitian ini menyoroti konflik hukum antara perlindungan pembela HAM-Lingkungan dalam Pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan kriminalisasi melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Penelitian ini menganalisis 2 (dua) kasus, yakni kasus Daniel Tangkilisan dan Fatia-Haris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, salah satu upaya yang dilakukan oleh Pembela HAM-Lingkungan adalah melakukan advokasi dan kampanye baik secara langsung maupun menggunakan media sosial. Namun, keberadaan pasal yang mengatur mengenai pembatasan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat di internet, yakni pasal penyebaran konten pencemaran nama baik dan berita bohong dalam UU ITE juga mengancam para Pembela HAM-Lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus kriminalisasi terhadap Pembela HAM-Lingkungan dengan tuduhan telah melakukan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong. Sementara Pasal 66 UU PPLH atau Pasal Anti-SLAPP telah mengamanahkan perlindungan bagi Pembela HAM-Lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan. Pasal 66 UU PPLH sebagai Pasal Anti-SLAPP menegaskan bahwa pejuang lingkungan tidak dapat dipidana maupun digugat secara perdata. Namun, dalam kasus Daniel dan Fatia-Haris, UU ITE justru digunakan untuk mengkriminalisasi dengan pasal pencemaran nama baik dan berita bohong. Meskipun tetap memvonis bebas, pengadilan belum sepenuhnya mengakui prinsip Anti-SLAPP, terutama dalam menegaskan status Fatia-Haris sebagai Pembela HAM-Lingkungan.
Analisis Yuridis Penerapan Asas "No Work No Pay" dalam Pemenuhan Hak Upah Pekerja saat Perusahaan Berhenti Produksi Sementara Azani, Adila; Putri, Rizha Claudilla
PUSKAPSI Law Review Vol. 5 No. 2 (2025): Desember 2025 (On Progress)
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/puskapsi.v5i2.53782

Abstract

Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penetapan Berakhirnya Status Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia pada 21 Juni 2023. Kendati status pandemi Covid-19 sudah dinyatakan menjadi endemi melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2023, saat ini masih ditemukan pelaku usaha yang merumahkan pekerjanya guna menekan labour cost dengan tidak membayarkan upah pekerja dengan dalih asas no work no pay karena perusahaan berhenti produksi sementara. Tulisan ini berfokus membahas analisis yuridis penerapan asas no work no pay dalam pemenuhan hak upah pekerja saat perusahaan berhenti produksi sementara. Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif, sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Hasil penelitian yaitu penerapan asas no work no pay ketika perusahaan berhenti produksi sementara didasari hubungan kerja pada yang tetap berjalan karena tidak terjadi PHK, sehingga pekerja tetap berhak menerima upah. Pemberi kerja yang tidak membayar upah dalam situasi ini melanggar ketentuan Pasal 186 UU Nomor 6 Tahun 2003. Pelanggaran terhadap hak upah dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana pelanggaran dan berpotensi menimbulkan perselisihan hubungan industrial berupa perselisihan hak. Sebagai rekomendasi, pemerintah perlu melakukan reformulasi norma pengupahan dalam hukum ketenagakerjaan khususnya batasan asas no work no pay, membuat guidelines pada tataran yudisial dan administratif untuk menyeragamkan intepretasi penerapan asas tersebut dalam pemenuhan hak upah pekerja. Penguatan pengawasan di bidang ketenagakerjaan oleh pengawas ketenagakerjaan sangat diperlukan guna menjamin dipatuhinya norma ketenagakerjaan oleh pemberi kerja melalui rutinitas kegiatan pembinaan, pemeriksaan, pengujian dan atau penyidikan tindak pidana ketenagakerjaan terhadap kegiatan usaha dengan tahapan preventif edukatif, tahap represif non yustisial, dan tahap represif yustisial.
Free, Prior dan Informed Consent untuk Jaminan Tenurial dalam Areal Preservasi syahrani, Nabila
PUSKAPSI Law Review Vol. 5 No. 2 (2025): Desember 2025 (On Progress)
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/puskapsi.v5i2.53788

Abstract

Kepenulisan ini membahas urgensi penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebagai instrumen jaminan tenurial dalam konteks penetapan dan pengelolaan Areal Preservasi di Indonesia. Perubahan Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU KSDAHE) tahun 2024 memperkenalkan konsep Areal Preservasi sebagai wilayah penyangga ekosistem yang dapat mencakup tanah adat, kawasan kelola masyarakat, serta area dengan nilai konservasi tinggi. Namun, pengaturan baru ini menimbulkan kekhawatiran terhadap hak masyarakat adat dan komunitas lokal karena belum adanya mekanisme partisipasi bermakna, peta arahan yang jelas, dan prosedur kompensasi yang transparan, sehingga berpotensi memicu praktik green grabbing dan konflik tenurial. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-yuridis dan studi perbandingan hukum untuk mengkaji tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas tanah serta relevansi FPIC dari praktik internasional, seperti Filipina, Kanada, dan Norwegia. Analisis menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah mengakui hak masyarakat adat melalui Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan ratifikasi ICESCR, penerapan FPIC masih bersifat formalitas dan belum memiliki dasar hukum operasional yang kuat. Studi kasus internasional memperlihatkan bahwa keberhasilan FPIC tidak hanya ditentukan oleh regulasi, tetapi juga implementasi yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama pengambilan keputusan. Artikel ini merekomendasikan penyusunan peraturan pelaksana UU KSDAHE yang memuat prosedur FPIC secara eksplisit, peta arahan berbasis partisipasi, mekanisme pengaduan yang efektif, serta standar kompensasi yang mencakup nilai budaya dan spiritual. Integrasi prinsip FPIC ke dalam kebijakan konservasi diharapkan dapat memperkuat legitimasi sosial Areal Preservasi, meminimalisasi konflik, dan memastikan keberlanjutan ekologi dengan menempatkan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai mitra strategis negara. Dengan demikian, FPIC bukan hanya instrumen prosedural, tetapi strategi substantif untuk mewujudkan keadilan sosial, perlindungan hak asasi manusia, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Menelisik Perlindungan HAM Substanstif melalui Perbuatan Melawan Hukum Pemerintah sebagai Objek Sengketa: Studi Kasus PTUN Jakarta Febriyanto, Satrio Alif
PUSKAPSI Law Review Vol. 5 No. 2 (2025): Desember 2025 (On Progress)
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/puskapsi.v5i2.53790

Abstract

Tulisan ini membahas mengenai bagaimana perlindungan HAM substantif dilakukan dalam perkara administratif di PTUN pasca kemunculan perbuatan melawan hukum pemerintah sebagai objek sengketa. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis praktik perlindungan HAM substantif di PTUN dalam perkara yang menggunakan perbuatan melawan hukum pemerintah sebagai objek sengketa seperti PTUN Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN.JKT dan Nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT.  Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan studi kasus dan historis, tulisan ini memiliki beberapa temuan. Pertama, kehadiran PTUN secara historis merupakan bentuk check and balances dalam sistem demokrasi sebagai ruang bagi masyarakat untuk mengkoreksi keputusan pejabat negara yang merugikan kepentingannya. Kedua, terdapat perluasan pemaknaan KTUN yang tidak hanya mencakup dokumen tertulis semata di mana turut menyangkut tindakan konkret pemerintah yang diperkenalkan dalam konsep perbuatan melawan hukum pemerintah. Ketiga, Perlindungan HAM secara substantif di PTUN masih belum optimal karena prosedur pembuktian berbasis dokumen menafikan permasalahan substansial yang merugikan kepentingan masyarakat.  Kesimpulan tulisan ini adalah pelaksanaan perlindungan HAM substantif di PTUN masih setengah hati karena kemunculan perbuatan melawan hukum pemerintah sebagai objek sengketa tidak diimbagi oleh pergeseran mekanisme pembuktian berbasis dokumen yang menggambarkan paradigma pertimbangan hukum masih ditentukan  aspek formil semata dan menafikan aspek substantif dari kerugian masyarakat.
Sanksi dan Dampak Penggunaan Ijazah Palsu dalam Pemilu di Indonesia Taufik, Zahratul'ain; Titin Nurfatlah; Ika Yuliana Susilawati
PUSKAPSI Law Review Vol. 5 No. 2 (2025): Desember 2025 (On Progress)
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/puskapsi.v5i2.53793

Abstract

Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat menuntut adanya kejujuran dan integritas dari setiap peserta. Namun, praktik penggunaan ijazah palsu oleh calon legislatif menunjukkan adanya persoalan serius dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis, pertama, bagaimana sanksi hukum terhadap penggunaan ijazah palsu dalam pemilu diatur dan diterapkan; dan kedua, apa dampak yang ditimbulkan terhadap kualitas pemilu dan demokrasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif dengan memadukan studi kepustakaan, putusan pengadilan, serta literatur akademik yang relevan. Hasil kajian menunjukkan bahwa meskipun penggunaan ijazah palsu telah diatur dalam UU Pemilu 2017, KUHP, dan UU Sisdiknas, masih terdapat kekosongan hukum ketika pemalsuan baru terungkap pasca penetapan calon terpilih. Kekosongan ini membuat pelaku hanya dapat diproses dengan hukum pidana umum, sehingga prinsip electoral justice tidak sepenuhnya terwujud. Dari sisi demokrasi, pemalsuan ijazah menurunkan kualitas representasi rakyat, mencederai asas jujur dan adil (jurdil), serta mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemilu. Artikel ini merekomendasikan perlunya revisi UU Pemilu untuk memperluas kewenangan Gakkumdu, penguatan sistem verifikasi ijazah berbasis digital, dan peningkatan akuntabilitas partai politik dalam seleksi calon. Dengan demikian, integritas pemilu dapat terjaga dan demokrasi dapat berdiri di atas fondasi kejujuran serta kepercayaan publik.
Constitutional Complaint Sebagai Instrumen Perlindungan Hak Konstitusional: Perbandingan Indonesia, Jerman, dan Korea Selatan Noviya, Anis; Yarni, Meri; Arfa'i
PUSKAPSI Law Review Vol. 5 No. 2 (2025): Desember 2025 (On Progress)
Publisher : Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH UNEJ

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/puskapsi.v5i2.53829

Abstract

Penelitian ini mengkaji urgensi pengaturan constitutional complaint sebagai mekanisme perlindungan hak konstitusional warga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Selama ini, belum tersedia instrumen hukum yang memungkinkan warga negara mengajukan pengaduan langsung atas pelanggaran hak konstitusional oleh tindakan negara, sehingga menimbulkan kekosongan mekanisme perlindungan hak yang efektif. Kondisi tersebut juga menunjukkan keterbatasan peran Mahkamah Konstitusi dalam memberikan jaminan keadilan konstitusional secara menyeluruh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep, landasan normatif, serta kemungkinan penerapan constitutional complaint di Indonesia, dengan membandingkannya terhadap praktik yang telah diterapkan di Jerman dan Korea Selatan. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan perbandingan, serta menggunakan bahan hukum primer dan sekunder yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan constitutional complaint di Jerman dan Korea Selatan telah terbukti efektif dalam menegakkan prinsip supremacy of constitution dan memperkuat perlindungan hak warga negara. Oleh karena itu, Indonesia perlu mempertimbangkan penerapan mekanisme serupa yang disesuaikan dengan karakteristik sistem hukumnya untuk mewujudkan perlindungan hak konstitusional yang lebih komprehensif dan berkeadilan.