Claim Missing Document
Check
Articles

Found 28 Documents
Search

LAW ENFORCEMENT AGAINST PIMPS IN UNDERCOVER PROSTITUTION THROUGH "PLUS" MASSAGE PARLORS Ardan, Andra; DM, M. Yusuf; Pardede, Rudi
JILPR Journal Indonesia Law and Policy Review Vol. 6 No. 3 (2025): Journal Indonesia Law and Policy Review (JILPR), June 2025
Publisher : International Peneliti Ekonomi, Sosial dan Teknologi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56371/jirpl.v6i3.461

Abstract

Clandestine prostitution through massage parlors in the jurisdiction of Polresta Pekanbaru exemplifies how social crimes have evolved over time by exploiting regulatory loopholes. This form of prostitution is concealed under the guise of legitimate massage or spa services, making it difficult for law enforcement agencies to detect. In reality, these services involve sexual activities managed by pimps. The aim of this study is to analyze law enforcement efforts against pimps involved in clandestine prostitution in massage parlors within the jurisdiction of Polresta Pekanbaru, to identify the obstacles hindering such enforcement, and to explore strategies to overcome these challenges. The research employs a sociological legal method. The findings indicate that law enforcement efforts in this context have not been fully effective. Although the police and related agencies have undertaken enforcement actions, prostitution under the cover of massage parlors continues to thrive. These establishments often offer hidden sexual services. Operators or pimps typically disguise these activities using coded language with regular clients or through closed digital communication networks. This demonstrates that pimps have developed more sophisticated and discreet operational systems that are difficult for law enforcement to detect directly. Several obstacles hinder effective law enforcement: First, massage parlors often continue operating covertly after being raided, simply by changing their business name, location, or service format. Second, the absence of consistent and routine monitoring by both law enforcement and regulatory agencies allows these operations to resume freely. Third, the lack of legal education and awareness programs at the community level contributes to public ignorance, making people less likely to participate in prevention or report prostitution-related activities. To overcome these challenges, several efforts are necessary. First, there must be strengthened administrative oversight and improved business licensing verification systems. Second, a joint task force comprising multiple government agencies should be established to conduct regular inspections and supervision of locations suspected of facilitating clandestine prostitution. Third, law enforcement and local governments should initiate community-based legal education programs, particularly in areas vulnerable to or near suspected prostitution sites.
Peningkatan Pemahaman Masyakakat di Kecamatan Marpoyan Damai Tentang Pengaturan Eksekusi  Jaminan Fidusia Yalid, Yalid; Ardiansah, Ardiansah; Pardede, Rudi; Dewi, Sandra
NuCSJo : Nusantara Community Service Journal Vol. 1 No. 4 (2025)
Publisher : Lembaga Penelitian Dan Publikasi Ilmiah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.70437/1keh2773

Abstract

Praktik tindakan perampasan objek jaminan fidusia secara paksa, seperti kendaraan bermotor sebagai wujud penerapan Pasal 15 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia melalui oleh debt collector merupakan perbuatan melawan hukum. Dasar penarikan objek jaminan fidusia harus ada cidera janji yang telah disepakati para pihak, tidak bisa secara sepihak untuk menghindari kesewenang-wenangan. Tim pengabdian melihat situasi di  Kecamatan Marpoyan Damai banyak juga memanfaatkan pembiayaan dari pihak leasing (kreditur) untuk membeli kendaraan  atau untuk mendapat uang/modal. Tim pengabdi mengamati banyak masyarakat pada lokasi ini tidak memahami eksekusi jaminan fidusia, sehingga terkesan pasrah dan takut ketika menghadapi pihak debt collector yang diutus pihak penerima fidusia. Padahal tindakan merampas jaminan fidusia merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana telah disinggung.   Metode menyelesaikan masalah mitra dilakukan dengan cara ceramah dan tanya jawab. Berdasarkan hasil kegiatan ini para mitra sudah merasakan manfaatnya, yaitu mendapatkan tambahan ilmu dan pemahaman tentang pengaturan eksekusi jaminan fidusia. Hal tersebut disimpulkan oleh tim pengabdian masyarakat setelah membandingkan hasil pre-test dan post-test dengan mengajukan pertanyaan (kuesioner). Sebaiknya kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan konsultasi dan bimbingan terhadap mitra. Kemudian  kegiatan seperti ini layak untuk dilaksanakan pada  khalayak sasaran lainnya karena masyarakat banyak menggunakan pendanaan dengan memanfaatkan pengaturan fidusia dan sudah pasti akan menghadapi risiko eksekusi jaminan fidusia bilamana kesulitan menyelesaikan kewajibannya terhadap penerima fidusia.
IMPLEMENTASI LARANGAN PEMBUKAAN LAHAN DENGAN CARA MEMBAKAR Sihombing, Rainer Wilona; Harahap, Irawan; Pardede, Rudi
The Juris Vol. 9 No. 1 (2025): JURNAL ILMU HUKUM : THE JURIS
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STIH Awang Long

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56301/juris.v9i1.1704

Abstract

This provision is reinforced in Article 108, which stipulates that any person who carries out land burning as referred to in Article 69 paragraph (1) letter h shall be subject to imprisonment for a minimum of 3 (three) years and a maximum of 10 (ten) years, and a fine of at least IDR 3,000,000,000 (three billion rupiah) and at most IDR 10,000,000,000 (ten billion rupiah). This behavior not only disrupts public comfort due to the smoke produced but also causes environmental damage and air pollution, even though regulations prohibit such practices. The purpose of this research is to analyze the implementation of the prohibition on land clearing by burning based on Law Number 32 of 2009 in the jurisdiction of the Rokan Hulu Police, to examine the obstacles in its implementation, and to identify efforts to overcome these obstacles. The research method used is sociological juridical research. Based on the findings, the implementation of the prohibition has been carried out but not optimally. Communities continue to engage in small-scale burning in secret, especially at the beginning of the dry season. Although warning signs and banners prohibiting burning have been installed in several locations, supervision and patrols remain uneven. The main obstacles include the low awareness and understanding of the community regarding the environmental and legal impacts of burning, limited human resources and environmental investigation equipment, as well as difficulties in obtaining sufficient evidence and witnesses in the criminal process. Efforts to overcome these obstacles include enhancing environmental education and awareness programs for communities—particularly among farmers in fire-prone areas increasing the technical capacity of investigators through training on environmental law and fire forensics, and strengthening evidence collection using aerial monitoring technologies such as drones and GPS-based surveillance cameras to document burning locations as part of legal evidence.
Peningkatan Pemahaman Masyakakat di Kecamatan Marpoyan Damai Tentang Pengaturan Eksekusi  Jaminan Fidusia Yalid, Yalid; Ardiansah, Ardiansah; Pardede, Rudi; Dewi, Sandra
World Health Digital Journal Vol. 1 No. 4 (2025)
Publisher : Institute of Advanced Knowledge and Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69693/wolgitj.v1i4.34

Abstract

Praktik tindakan perampasan objek jaminan fidusia secara paksa, seperti kendaraan bermotor sebagai wujud penerapan Pasal 15 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia melalui oleh debt collector merupakan perbuatan melawan hukum. Dasar penarikan objek jaminan fidusia harus ada cidera janji yang telah disepakati para pihak, tidak bisa secara sepihak untuk menghindari kesewenang-wenangan. Tim pengabdian melihat situasi di  Kecamatan Marpoyan Damai banyak juga memanfaatkan pembiayaan dari pihak leasing (kreditur) untuk membeli kendaraan  atau untuk mendapat uang/modal. Tim pengabdi mengamati banyak masyarakat pada lokasi ini tidak memahami eksekusi jaminan fidusia, sehingga terkesan pasrah dan takut ketika menghadapi pihak debt collector yang diutus pihak penerima fidusia. Padahal tindakan merampas jaminan fidusia merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana telah disinggung.   Metode menyelesaikan masalah mitra dilakukan dengan cara ceramah dan tanya jawab. Berdasarkan hasil kegiatan ini para mitra sudah merasakan manfaatnya, yaitu mendapatkan tambahan ilmu dan pemahaman tentang pengaturan eksekusi jaminan fidusia. Hal tersebut disimpulkan oleh tim pengabdian masyarakat setelah membandingkan hasil pre-test dan post-test dengan mengajukan pertanyaan (kuesioner). Sebaiknya kegiatan ini dapat dilanjutkan dengan konsultasi dan bimbingan terhadap mitra. Kemudian  kegiatan seperti ini layak untuk dilaksanakan pada  khalayak sasaran lainnya karena masyarakat banyak menggunakan pendanaan dengan memanfaatkan pengaturan fidusia dan sudah pasti akan menghadapi risiko eksekusi jaminan fidusia bilamana kesulitan menyelesaikan kewajibannya terhadap penerima fidusia.
Implementasi Kewajiban Sertifikasi Penyidik Anak Dalam Tugas Penyidikan Anak Yang Menjadi Pelaku Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Di Wilayah Hukum Polres Pelalawan Purba, Desi Valentianna Br; Kadaryanto, Bagio; Pardede, Rudi
RIO LAW JURNAL Vol 6, No 2 (2025): Rio Law Jurnal
Publisher : Universitas Muara Bungo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36355/rlj.v6i2.1863

Abstract

ABSTRAK Implementasi kewajiban sertifikasi penyidik anak merupakan aspek penting dalam sistem peradilan pidana anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sertifikasi ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap penyidik yang menangani perkara anak memiliki kompetensi khusus dalam memahami psikologi anak, prosedur hukum yang ramah anak, serta prinsip perlindungan anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan kewajiban sertifikasi penyidik anak di wilayah hukum Polres Pelalawan, dengan menitikberatkan pada efektivitas penerapannya dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum sebagai pelaku tindak pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual, didukung data empiris melalui wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi sertifikasi masih menghadapi kendala, antara lain keterbatasan jumlah penyidik yang telah bersertifikat, minimnya anggaran pelatihan, serta kurangnya pengawasan dari lembaga terkait. Kondisi ini berimplikasi pada masih adanya praktik penyidikan yang belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip perlindungan anak. Kesimpulannya, optimalisasi sertifikasi penyidik anak membutuhkan penguatan regulasi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta sinergi antar lembaga penegak hukum. Rekomendasi penelitian ini menekankan pentingnya percepatan program sertifikasi, penyusunan pedoman teknis, serta monitoring berkelanjutan guna memastikan terpenuhinya hak-hak anak dalam proses penyidikan.Kata Kunci: Sertifikasi Penyidik Anak, Sistem Peradilan Pidana Anak, Polres Pelalawan.
URGENSI PENGESAHAN RUU PERAMPASAN ASET DALAM PEMULIHAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT KORUPSI: PERSPEKTIF YUDIRIS NORMATIF Pardede, Rudi
JOURNAL OF SCIENCE AND SOCIAL RESEARCH Vol 8, No 3 (2025): August 2025
Publisher : Smart Education

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54314/jssr.v8i3.4356

Abstract

Abstract: Corruption in Indonesia has caused state losses of up to trillions of rupiah annually, while existing legal mechanisms still focus on criminalizing perpetrators and are not optimal in recovering state assets. The disparity between state losses and recovered assets (state loss recovery gap) highlights the weakness of regulations that rely solely on confiscation of assets through criminal decisions (conviction-based asset forfeiture). This study uses a normative juridical method with a legislative, conceptual, and comparative approach to examine the urgency of ratifying the Asset Forfeiture Bill. The results of the study indicate that the implementation of the Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) mechanism is highly relevant to addressing obstacles to law enforcement, particularly in cases where perpetrators have fled, died, or are difficult to prove criminally. Internationally, similar mechanisms have been implemented effectively in the United States, the United Kingdom, and Switzerland, and are in accordance with the mandate of the 2003 United Nations Convention against Corruption (UNCAC). However, the ratification of this bill remains hampered by political resistance and concerns about abuse of authority. Therefore, transparent, accountable regulatory design and oversight by an independent judiciary are necessary to ensure this legal instrument functions optimally. In conclusion, the ratification of the Asset Confiscation Bill is a strategic step to strengthen corruption eradication, close the state loss recovery gap, and restore public rights more equitably. Keyword: corruption, asset forfeiture, Non-Conviction Based Asset Forfeiture, UNCAC, asset recovery Abstrak: Korupsi di Indonesia telah menimbulkan kerugian negara hingga triliunan rupiah setiap tahun, sementara mekanisme hukum yang ada masih berfokus pada pemidanaan pelaku dan belum optimal dalam memulihkan aset negara. Ketimpangan antara kerugian negara dan aset yang berhasil dikembalikan (state loss recovery gap) memperlihatkan kelemahan regulasi yang hanya mengandalkan perampasan aset melalui putusan pidana (conviction-based asset forfeiture). Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan komparatif untuk mengkaji urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Hasil kajian menunjukkan bahwa penerapan mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) sangat relevan untuk mengatasi hambatan penegakan hukum, terutama pada kasus pelaku yang melarikan diri, meninggal dunia, atau sulit dibuktikan secara pidana. Secara internasional, mekanisme serupa telah diterapkan efektif di Amerika Serikat, Inggris, dan Swiss, serta sesuai dengan amanat United Nations Convention against Corruption (UNCAC) 2003. Namun, pengesahan RUU ini masih terkendala resistensi politik dan kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan. Oleh karena itu, diperlukan desain regulasi yang transparan, akuntabel, serta diawasi peradilan independen agar instrumen hukum ini dapat berfungsi optimal. Kesimpulannya, pengesahan RUU Perampasan Aset merupakan langkah strategis untuk memperkuat pemberantasan korupsi, menutup celah state loss recovery gap, dan memulihkan hak-hak publik secara lebih adil. Kata kunci: korupsi, perampasan aset, Non-Conviction Based Asset Forfeiture, UNCAC, pemulihan aset.
INKONSISTENSI HUKUM DALAM PENGEMBALIAN UANG NEGARA HASIL KORUPSI DARI PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM Pardede, Rudi
JOURNAL OF SCIENCE AND SOCIAL RESEARCH Vol 8, No 3 (2025): August 2025
Publisher : Smart Education

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54314/jssr.v8i3.4159

Abstract

Abstract: This study examines legal inconsistencies in the process of recovering state financial losses due to corruption in Indonesia, focusing on the principle of legal certainty. Although the law stipulates that the return of state funds does not eliminate criminal penalties, judicial practice shows numerous deviations. This study uses a legislative approach, a case approach, and a conceptual approach to analyze the inconsistency between legal norms and their implementation. Key findings indicate that the implementation of asset recovery is often used as a basis for easing perpetrators' sentences, inconsistent monetary sanctions in court decisions, weak tracking and confiscation of assets, and minimal coordination between law enforcement agencies. As a result, the asset recovery system is ineffective in recovering state losses and creates legal uncertainty. This study recommends systemic reforms to strengthen legal certainty, the proportionality of sanctions, and the effectiveness of decision execution so that substantive justice is truly realized in combating corruption. Keywords: corruption, legal certainty, asset recovery, replacement money, legal inconsistency Abstrak: Penelitian ini mengkaji inkonsistensi hukum dalam proses pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi di Indonesia, dengan fokus pada prinsip kepastian hukum. Meskipun secara normatif hukum telah mengatur bahwa pengembalian uang negara tidak menghapuskan pidana, praktik peradilan menunjukkan banyak penyimpangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual untuk menganalisis ketidaksesuaian antara norma hukum dan implementasinya. Temuan utama menunjukkan bahwa pelaksanaan pengembalian aset kerap dijadikan dasar untuk meringankan hukuman pelaku, tidak konsistennya sanksi uang pengganti dalam putusan pengadilan, lemahnya pelacakan serta penyitaan aset, dan minimnya koordinasi antar lembaga penegak hukum. Akibatnya, sistem asset recovery tidak efektif dalam memulihkan kerugian negara dan menciptakan ketidakpastian hukum. Penelitian ini merekomendasikan reformasi sistemik guna memperkuat kepastian hukum, proporsionalitas sanksi, dan efektivitas eksekusi putusan agar keadilan substantif benar-benar terwujud dalam penanggulangan korupsi. Kata kunci: korupsi, kepastian hukum, pengembalian aset, uang pengganti, inkonsistensi   hukum
Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pencurian Di Wilayah Hukum Kepolisian Sektor Pinggir Kabupaten Bengkalis Sari M, Ayu Novita; DM, Yusuf; Pardede, Rudi
Jurnal Administrasi Politik dan Sosial Vol 5 No 1 (2024): JAPS April 2024
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46730/japs.v5i1.152

Abstract

The perpetrators of theft in Bengkalis Regency did not commit theft above Rp. 2,500,000.00 so that detention could not be carried out. The purpose of this research is to analyze how Law Enforcement Against Theft Offenders in the Legal Area of the Pinggir Police Sector of Bengkalis Regency is seen from sociological law. Based on the results of the study, it is known that Law Enforcement has not gone well because there are still criminal acts of theft, because the perpetrators of theft know that there is a minimum theft limit of Rp. 2,500,000 (two million five hundred thousand rupiah), while the stolen gold and money items range from Rp. 1,000,000 (one million rupiah) to Rp. 2,000,000 (two million rupiah). Obstacles in Law Enforcement Against Theft Perpetrators are the minimum number of police officer personnel, lack of facilities and infrastructure, and lack of public awareness of legal knowledge. Efforts to overcome these obstacles that the need for adjustment of the rule of law with the times, the need for the number of police officer personnel, the need for facilities and infrastructure, and the need for public awareness of legal knowledge.