Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI ADAT KAWIN SUMBONG DI MASYARAKAT LEKUK 50 TUMBI LEMPUR Fajri, Yan; Eva, Yusnita; Puspita, Mega
Jurnal AL-AHKAM Vol 12, No 2 (2021)
Publisher : UIN Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/alahkam.v12i2.3616

Abstract

This research is motivated by the marriage between a niece and her uncle known as sumbong marriage. The uncle in question is not the mother's biological sister, but the mother's distant relative. In Islamic law, there is no prohibition against this kind of marriage. Based on the customary law of Lekuk 50 Tumbi Lempur, the marriage has violated customary provisions and is subject to sanctions, namely by paying one goat. The research method used is descriptive qualitative by processing data with sentences or words and going directly to the field for interviews. The results of this study indicate that: First, this customary sanction has been passed down from generation to generation. There are several reasons for the imposition of sanctions, namely to expand kinship relations, strengthen kinship ties and maintain offspring because it originated from an endogamous marriage system. Second, the consequences of sanctions, namely for people who violate customary provisions, will be punished, both materially and morally. Materially, that is by paying for one goat, while morally it will be excommunicated, excluded from various traditional activities and considered to have violated customary provisions. Third, if viewed from the perspective of Islamic law, the sanction of celibate marriage is only a habit factor for the people of Lekuk 50 Tumbi Lempur and does not conflict at all with Islamic law in principle. The imposition of sanctions turned out to have a positive impact, among others: expanding kinship relations, maintaining brotherly ties and maintaining offspring. 
PEMALSUAN SURAT KETERANGAN KEMATIAN SUAMI ATAU ISTRI SEBAGAI SYARAT UNTUK PERKAWINAN BARU DI KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KECAMATAN LENGAYANG KABUPATEN PESISIR SELATAN Hasanatul Wahida; Yusnita Eva
Jurnal AL-AHKAM Vol 11, No 1 (2020)
Publisher : UIN Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/alahkam.v11i1.1479

Abstract

Latarbelakangi penelitian ini adanya pembuatan surat keterangan kematian yang dikeluarkan wali nagari, sementara orang yang dinyatakan mati masih hidup. Surat keterangan kematian itu digunakan syarat untuk perkawinan baru di KUA. Jenis peneliatan yang digunakan adalah penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan analisis data dalam penelitian ini yaitu dilakukan dengan teknik reduksi, display, dan verifikasi. Hasil penelitian menunujkan bahwa (1) penyebab pemalsuan surat keterangan kematian sebagai syarat untuk menikah adalah ada masyarakat yang enggan untuk bercerai di pengadilan. Surat keterangan kematian ini dikeluarkan oleh wali nagari dengan syarat surat pertanggungjawaban yang dibuat oleh pihak pengantin dan ditandatangai oleh kepala kampung. (2) Akibat hukum yaitu perkawinan secara hukum Islam sah, Namun, perkawinan tersebut cacat hukum karena terdapat kebohongan dalam administrasinya dan dapat dibatalkan melalui Pengadilan Agama. Secara hukum negara jika laki-laki sebagai pemalsu maka perkawinannya poligami. Jika istri sebagai pemalsu maka perkawinannya poliandri. KUHP mengatur perbuatan pemasluan surat dalam pasal 264, 266, 269 dengan hukuman penjara paling lama delapan tahun. (3) Upaya KUA mengatasi pemalsuan surat keterangan kematian sebagai syarat untuk menikah adalah memberikan, penyuluhan, sosialisasi kepada masyarakat terutama kepada orang yang hendak menikah, mamak, kepala kampung, dan wali nagari. Namun, upaya hukum yang dilakukan KUA meminimalisirnya tidak berjalan secara optimal dengan bukti masih ada sebagian masyarakat yang melampirkan surat keterangan kematian untuk menikah di KUA.
TRADISI BARANTAM DALAM PERKAWINAN DI JORONG KAYU JAO NAGARI BATANG BARUS KECAMATAN GUNUNG TALANG KABUPATEN SOLOK MENURUT PERSPEKTIF AL-‘URF Nazra Hafizatul Hasana; Yusnita Eva
Jurnal AL-AHKAM Vol 11, No 2 (2020)
Publisher : UIN Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/alahkam.v11i2.2163

Abstract

This research is motivated by the existence of the barantam tradition in a series of Walimatul al-Ursy events carried out by the people of Nagari Batang Barus. This tradition generally applies in Jorong  Kayu  Jao  which  has  been  passed  down  from  generation  to  generation  from  previous ancestors to the present. Initially this tradition existed because of the help of the ninik mamak and the  female  relatives  to  the  bride  but  over  time  this  changed  to  competition  and  competition  that was no longer healthy. The formulation of the problem in this study is how the background of the barantam  tradition  carried  out  by  the  Jorong  Kayu  Jao  Nagari  Batang  Barus  District  of  Gunung Talang District, Solok Regency and how the implementation of the barantam tradition carried out by  the  Jorong  Kayu  Jao  Nagari  Batang  Barus  community,  Gunung  Talang  District,  Solok  Regency according  to  the  perspective  of  Islamic  law  .  The  objectives  to  be  achieved  in  this  study  are  to explain  the  background  of  the  tradition  of  barantam  in  marriage  in  Jorong  Kayu  Jao  Nagari Batang  Barus,  Gunung  Talang  District,  Solok  Regency  and  to  know  the  Islamic  legal  view  of  the marriage  tradition  that  occurs  in  Jorong  Kayu Jao  Nagari  Batang  Barus,  Gunung  Talang District, Solok Regency. . This research is a field research (field research) using qualitative methods, which relies  on  data  collection  by  observation  and  interviews.  The  tradition of  barantam  carried  out  by the  people  of  Jorong  Kayu  Jao  Nagari  Batang  Barus,  Gunung  Talang  District,  Solok  Regency  is  a tradition that originates from their previous ancestors and is still preserved today. barantam is a ninik mamak, a relative, a woman who collects money at night after holding a Walimatul al-Ursy in the afternoon. For couples who do not practice the barantam tradition, the marriage is considered incomplete,  flawed  and  is  suspected  of  having  the  marriage  due  to  forbidden  acts  committed  by both  parties,  this  can  be  a  derivative  punishment  for  the  children  and  grandchildren  because  the parents'  marriages  are  not  cultic.  According  to  the  perspective  of  Islamic  law,  the  tradition  of barantam carried out by the community in Jorong Kayu Jao is not fully in accordance with Islamic law  because  there  are  still  elements  that  are  detrimental  to  the  parties  concerned.  There  is discrimination for those who do not commit and also a loss of sincerity for the parties involved in it. This  includes  "urf  fasid  if  it  is  maintained  without  repair  or  straightening  in  accordance  with syara".Keywords: Tradition, Barantam, al-'Urf  
Perspektif dan Kajian Hukum dari Beberapa Tokoh dalam Bidang Antropologi Hukum Yusnita Eva
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 22, No 1 (2010)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (579.209 KB) | DOI: 10.22146/jmh.16213

Abstract

As a newly-born branch of knowledge, anthropology of law is still in formulating stage. Basically, anthropology of law examines the empirical and mutual relation between law and various social phenomena. This research aims to learn what is the principle and meaning of law as understood and affixed by the society. Sebagai sebuah cabang pengetahuan yang independen dan relatif baru, antropologi hukum masih berada dalam tahap perumusan. Pada dasarnya, antropologi hukum meneliti hubungan empiris timbal-balik antara hukum dengan fenomena sosial di masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengetahui hakikat hukum sebagaimana disematkan oleh masyarakat.
PRAKTIK PEMBAGIAN KEWARISAN HARTA BAWAAN SUAMI ATAU ISTERI YANG TELAH MENINGGAL DUNIA DITINJAU DARI HUKUM KEWARISAN ISLAM Afrinaldi Afrinaldi; Yasrul Huda; Yusnita Eva
Jurnal AL-AHKAM Vol 13, No 2 (2022)
Publisher : UIN Imam Bonjol Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15548/alahkam.v13i2.4751

Abstract

Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana kedudukan harta bawaan suami atau isteri yang telah meninggal dunia di Kecamatan Pariaman Utara, (2) Bagaimana praktik pembagian kewarisan harta bawaan suami atau isteri yang telah meninggal dunia di Kecamatan Pariaman Utara, dan (3) Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai praktik pembagian kewarisan harta bawaan suami atau isteri yang telah meninggal dunia di Kecamatan Pariaman Utara. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui bagaimana kedudukan harta bawaan suami atau isteri yang telah meninggal dunia di Kecamatan Pariaman Utara, (2) Untuk mengetahui praktik pembagian kewarisan harta bawaan suami atau isteri yang telah meninggal dunia di Kecamatan Pariaman Utara, (3) Untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai praktik pembagian kewarisan harta bawaan suami atau isteri yang telah meninggal dunia di Kecamatan Pariaman Utara. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Kualitatif, dengan jenis penelitian Antropologi Hukum, dengan menggunakan Analisis Komparatif. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa: (1) Kedudukan harta bawaan suami atau isteri yang telah meninggal dunia, para Ninik Mamak di Kec. Pariaman Utara Kota Pariaman sepakat, bahwa harta bawaan suami atau isteri yang meninggal dunia merupakan milik pribadi si mayit dan milik sanak family keluarga si mayit, (2) Praktik pembagian kewarisan harta bawaan suami atau isteri yang meninggal dunia di Kecamatan Pariaman Utara menjelaskan, ayah atau ibu dari suami atau isteri yang meninggal dunia mendapatkan 2/3 bagian dari harta yang ditinggalkan, jika meninggalkan anak (cucu). Namun, apabila si mayit tidak meninggalkan anak, maka seluruh harta bawaan si mayit dikembalikan kepada lambung suami atau isteri yang telah meninggal dunia, dari pihak ibu. Apabila si mayit memiliki kakak, adik atau kemenakan, mereka bisa mendapatkan harta bawaan si mayit 1/6, ¼, atau 1/3, sebagai “baso basi atau “raso dan pareso” dari ayah atau ibu si mayit. Tujuannya, agar tidak ada terjadi penuntut nantinya atau perkelahian antar keluarga si mayit. (3) Menurut hukum kewarisan Islam yang sebagaimana huruf ” م “ yang terdapat di dalam surat an-Nisa’ ayat 7 makna (مِّمَّا تَرَكَ) mengandung arti “apa-apa” yang juga masih bersifat umum dan mencakup semua harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia, miskipun harta itu merupakan harta bawaan suami atau isteri. Sebab hukum Islam tidak mengenal adanya harta bawaan suami atau isteri, karena setiap harta yang ditinggalkan oleh si mayit merupakan harta warisan tanpa harus dipandang dari mana sumber harta itu berasal
Kewarisan Dalam Sistem Kekerabatan Matrilineal, Patrilineal Dan Bilateral Santika, Sovia; Eva, Yusnita
Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Vol 11 No 02 (2023): Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial Islam
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Islam Al Hidayah Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30868/am.v11i02.4874

Abstract

Negara Indonesia dikenal dengan keragaman suku, ras, etnik, budaya dan agama yang beragam, sehingga menimbulkan keunikan tertentu. Pada dasarnya terdapat tiga struktur kekerabatan di Indonesia, yaitu matrilineal, patrilineal dan parental atau bilateral. Sistem kekerabatan ini bisa sangat berpengaruh dalam hal pewarisan, selain itu juga mempengaruhi sistem kekerabatan satu sama lain dalam hal pernikahan. Penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pembagian warisan dalam sistem kekerabatan yang di anut oleh masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi lapangan dan kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa waris dalam sistem kekerabatan matrilineal, patrilineal, dan parental atau bilateral dapat dilakukan secara damai terlebih dahulu melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin dengan bantuan ninik mamak sebagaimana dalam masyarakat Minangkabau, kemudian apabila tidak dapat diselesaikan maka langkah kedua diserahkan kepada Organisasi adat yang ada di Nagari atau disebut dengan Lembaga Adat Nagari, dan jika masing-masing dari mereka tidak dapat menyelesaikannya maka langkah ketiga ialah penyelesaian sengketa di pengadilan. 
Judges' Reasoning in Vasectomy-Induced Divorce Cases Ranun, Adim; Eva, Yusnita
Mawaddah: Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol 2 No 2 (2024): November
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52496/mjhki.v2i2.64

Abstract

Vasectomy or vas ligation is a male contraceptive method that involves cutting and ligating the right and left vas deferens to prevent the release of sperm during ejaculation. Vasectomy family planning also aims to change people's thinking about the value and number of children. This research method is library research, where books, journals, laws, and other scientific works relevant to the writing are used as references. The approach used in this research is a historical approach, which is carried out by examining the background and historical development of the legal issues at hand. The focus of this research is the judge's consideration of divorce cases triggered by vasectomy, as happened in the decision of the Simalungun Religious Court Number 266/Pdt.G/2013/PA.Sim. In the verdict, a dispute between husband and wife triggered by a vasectomy is recognized as a valid basis for granting permission for divorce. This reflects the importance of proper education and socialization regarding vasectomy that is not communicated can have an impact on the marriage, making the wife feel that she does not get satisfaction, enjoyment during sexual activity and the impact, among others, not having offspring. If a divorce occurs after a vasectomy, and then remarries, the subsequent marriage will have an impact on the couple who want offspring.
The Judge's Refusal of The Application for Marriage Dispensation Amirah, Nabilla; Eva, Yusnita
Kawanua International Journal of Multicultural Studies Vol 4 No 1 (2023)
Publisher : State Islamic Institute of Manado (IAIN) Manado, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30984/kijms.v4i1.592

Abstract

A phenomenon revealed that there is a conflict between the objectives of the maqashid syari'ah and the decision of the Pangkajene Religious Court judge No.0228/PDT.P/2020/PA.PKJ in the case of a marriage dispensation application. The purpose of maqashid syari'ah in the dispensation of marriage is to avoid adultery that enters the maintenance of religion (Hifz al-Din). The marriage dispensation was proposed by the parents as applicants because their children have often gone out together and even had intercourse as husband and wife but this was rejected by the judge. The problem above is the goal to explain legal considerations by the judge of the Pangkajene Religious Court in the application for marriage dispensation and maqasid al-syari'ah review of the decision of the judge in the application for marriage dispensation. This research used a library research method by citing the contents of the judge's determination files and books related to the problem under study and the data used is in the form of secondary data, namely in the form of decisions of the Religious Courts. The fact is that in this stipulation the judge rejected the application for marriage dispensation by not considering the immoral acts that had been committed by the prospective groom and prospective bride. Furthermore, the purpose of maintaining religion in this determination is not fulfilled where the judge uses the method of avoiding mafsadah taking precedence over bringing maslahah as if contrary to the stipulation in which the judge rejects the proposed marriage dispensation application.
Legal System Resilience in Afghanistan: Dynamics of Pluralism and Political Transformation Agusti, Nailatul Fadhilah; Zulfan, Zulfan; Eva, Yusnita; Muhammad, Zakkiyu; Ahmad, Md Yazid
Kawanua International Journal of Multicultural Studies Vol 5 No 2 (2024)
Publisher : State Islamic Institute of Manado (IAIN) Manado, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30984/kijms.v5i2.1193

Abstract

Afghanistan is a multiethnic country with a complex legal system characterized by intricate interactions between Islamic law, customary law, and modern legal frameworks. This research critically examines the resilience mechanisms of Afghanistan's legal and judicial systems within the context of persistent political uncertainty and societal pluralism. Employing a descriptive qualitative methodology and comprehensive literature review, the study analyzes legal documents, international reports, and academic literature spanning the post-Taliban period from 2001 to the present. The research investigates the dynamic challenges confronting Afghanistan's legal infrastructure, particularly its capacity to integrate diverse normative systems while maintaining institutional legitimacy. Key findings reveal significant complexities in Afghanistan's legal landscape. The system encounters substantial obstacles in harmonizing Islamic legal principles, traditional customary practices, and contemporary legal standards. Family law reforms emerge as a critical focal point, demonstrating progressive attempts to enhance women's rights while simultaneously navigating conservative societal resistance. The research illuminates the intricate interplay between legal pluralism, political transformation, and institutional adaptation. It highlights how Afghanistan's judicial system continuously negotiates between preserving traditional legitimacy, accommodating societal diversity, and meeting international normative standards. The study recommends a comprehensive, nuanced approach to judicial reform that holistically considers cultural diversity, respects traditional values, and aligns with international human rights principles. By exploring the mechanisms of legal resilience in a conflict-affected context, this research contributes valuable insights into understanding adaptive strategies within complex, multi-layered legal systems. The findings provide a critical framework for comprehending how legal institutions can maintain functionality and relevance amid profound political and social transformations.
PENGARUH REVOLUSI TERHADAP SISTEM HUKUM DI IRAN STUDI PERBANDINGAN DENGAN INDONESIA Romia Saputra; Zulfan; Yusnita Eva
YUSTISI Vol 12 No 1 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i1.19000

Abstract

Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peradilan Agama Islam di Iran. Jenis penelitian dalam penulisan ini yang penulis lakukan adalah menggunakan penelitian kualitatif yaitu melakukan metode kepustakaan (library research) dari info yang berasal dari berita, jurnal- jurnal dan buku-buku yang berkaitan dengan tema penelitian. Revolusi Iran tahun 1979 telah mampu merubah wajah Iran yang moderat dan sekuler menjadi sebuah negara yang Islamis. Iran, sebelum revolusi 1979 merupakan negara moderat dan sekuler. Namun demikian, kedekatan masyarakat dengan para ulamanya yang memiliki image yang baik serta rentang sejarah yang cukup lama, sehingga hal ini memudahkan terjadinya transformasi “kesadaran dalam beragama”. Iran mengadopsi sistem hukum yang dipengaruhi oleh hukum Islam (Syariah) dan hukum sipil. Undang-undang dasar negara ini memberikan kekuasaan pada hukum Syariah dalam banyak aspek kehidupan dan terdapat beberapa jenis pengadilan di Iran: Pengadilan Umum, Pengadilan Khusus, Pengadilan Administratif. Kata Kunci; Peradilan Agama, Iran, Revolusi