Claim Missing Document
Check
Articles

Found 25 Documents
Search

Hubungan Kadar Zinc dan Pola Asuh Ibu dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 2 – 5 Tahun di Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman Elsa Noftalina; Mayetti Mayetti; Afriwardi Afriwardi
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol 19, No 3 (2019): Oktober
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (123.904 KB) | DOI: 10.33087/jiubj.v19i3.723

Abstract

Stunting is a short body condition based on height according to age (TB / U) whose standard deviation is less than -2 and -3 from the z-score calculation of the WHO child growth standard table. Stunting is an irreversible growth disorder due to inadequate nutrition and recurring infections during the first 1000 days of life. Indicators of chronic malnutrition that occur in a long time so that stunting in children under five, especially at the age of 2-5 years stunting will be clearly visible and is one indicator of chronic nutritional status that can provide an overall picture of the disorder in the past. The causes of stunting are lack of nutrition, infectious diseases, poor parenting, poor environmental sanitation and low health services. Zinc deficiency can cause impaired growth and decreased immunity. One of the biomarkers used is the analysis of hair zinc levels because it can describe chronic zinc levels in the past so it is appropriate to measure zinc levels in the stunting condition which is a long-standing condition of malnutrition. The croos sectional research design was carried out in the Panti District of Pasaman Regency and the West Sumatra Regional Health Laboratory in June to July 2019. The study sample were mothers and children aged 2-5 years as many as 60 people divided into two groups which are stunting and normal children, taken by proportional stratified simple random sampling. Zinc levels were measured by atomic absorption spectrophotometry (AAS) while parenting used questionnaires. Statistical test using Mann Whitney test and Chi Square. The results showed the mean zinc levels in stunting children 154.70 (9-387) µg / g and zinc levels in normal children 241.00 (60-933) µg / g with p = 0.018. parental feeding (p = 0.009), hygiene parenting (p = 0.034). health care parenting (p = 0.017), psychosocial stimulation parenting care (0,000). The conclusion of this study is that there is a significant association between zinc levels and parenting with the incidence of stunting.
Hubungan Kekerapan Pemberian Kolostrum dan Cara Lahir dengan Jumlah Koloni Bakteri Asam Laktat di Saluran Cerna Neonatus Suci Rahmani Nurita; Mayetti Mayetti; Masrul Masrul
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol 19, No 1 (2019): Februari
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (453.406 KB) | DOI: 10.33087/jiubj.v19i1.575

Abstract

One of the biggest causes of infant mortality is an infectious diseases. Infectious diseases can be prevented through breastfeeding especially colostrum which is rich in nutrients, bioactive components, immunomodulatory factors and microbiota which play a role in the formation and development of the baby's immune system. Lactic Acid Bacteria (LAB) is one of the microbiota that plays an important role. This study aims to determine the relationship between frequency of colostrum and birth mode with the number of LAB colonies in the neonatal gastrointestinal tract. This study was observational with a cross sectional approach on 61 postpartum mothers and newborns at 2 hospitals (TK III Reksodiwiryo Hospital and DR. Rashidin Hospital) and 4 Independent Midwives Practice (BPM) in the Andalas, Ambacang and Belimbing Community Health Centre. Samples were obtained by consecutive sampling. The sample examination were done in the Microbiology Laboratory of Animal Product Technology, Faculty of Animal Science, Andalas University, Padang. Data analysis using T-Independent test and Pearson correlation test. The statistical test results showed no significant differences in the number of LAB colonies in the first 24 hours of birth in the neonatal gastrointestinal tract between those who were vaginally and C-section born (p = 0.912) and there was a significant relationship between the frequency of colostrum and the number of LAB colonies in the neonatal gastrointestinal tract on the 4th day births with a very strong correlation and a positive direction (p = 0,000; r = (+) 0.91). In this study it can be concluded that the number of LAB colonies in neonates born of vaginal and C-section not much different, this is due to colonization of LAB in the neonatal gastrointestinal tract can occur before birth. The more often colostrum is given, the more number of LAB colonies in the neonatal gastrointestinal tract.
Hubungan antara Proteinuria dan Hipoalbuminemia pada Anak dengan Sindrom Nefrotik yang Dirawat di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2009-2012 Pratiwi Dian Pramana; Mayetti Mayetti; Husnil Kadri
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v2i2.127

Abstract

AbstrakSindrom nefrotik terdiri dari proteinuria massif, hipoalbuminemia, edema, serta dapat disertai hiperkolesterolemia. Proteinuria merupakan gejala utama pada sindrom nefrotik, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kehilangan protein melalui urin menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan antara proteinuria dan hipoalbuminemia pada anak dengan sindrom nefrotik. Metode yang digunakan adalah studi retrospektif dengan desain Cross Sectional. Data sekunder diambil dari rekam medik pasien yang didiagnosis sebagai Sindrom Nefrotik Anak di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2009 - April 2012. Penelitian berlangsung dari Oktober 2011- Desember 2012. Hasil penelitian menunjukan insiden tertinggi sindrom nefrotik pada kelompok umur >6 tahun terutama pada anak laki-laki dengan rasio 1,43:1. Sebagian besar pasien memiliki kadar protein urin semikuantitatif +3 dengan rata-rata kadar protein urin kuantitatif 3,121 ± 2,157 gr/24 jam. Hampir seluruh pasien mengalami hipoalbuminemia (98,2%). Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara proteinuria dan hipoalbuminemia (p > 0.05). Hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah subjek yang kurang, sehingga penelitian selanjutnya diharapkan berlangsung lebih lama agar didapatkan jumlah subjek yang lebih besar.Kata kunci: Anak dengan sindrom nefrotik, Proteinuria, HipoalbuminemiaAbstractNephrotic syndrome consist of massive proteinuria, hypoalbuminemia, edema, and may be accompanied by hypercholesterolemia. Proteinuria is a major symptom of nephrotic syndrome, while the other clinical symptoms considered secondary manifestations. Loss of protein in the urine leads to hypoalbuminemia. This study aims to identify the relationship between proteinuria and hypoalbuminemia in children with Nephrotic Syndrome. Method of this research performed a retrospective study with cross sectional design. Secondary data were taken from medical record of patients that were diagnosed as Nephrotic Syndrome Children in General Hospital Dr. M. Djamil Padang period January 2009 - April 2012. The study was held on October 2011 - December 2012. The result of this study showed that the highest incidence of Nephrotic Syndrome in the age group >6 years old especially in male with the ratio 1,43:1. Most of patients have levels of semiquantitative urinary protein +3 with average levels of quantitative urinary protein 3.121 ± 2.157 gr/24 hours. Almost all of the patients had hypoalbuminemia (98.2%). Statistical analysis showed that there was no significant relationship between proteinuria and hypoalbuminemia (p> 0.05). This may be due to the less number of subjects, so further research is expected to last much longer in order to have a larger number of subjects.Keywords:Nephrotic syndrome children, Proteinuria, Hypoalbuminemia
Hubungan Sepsis Neonatorum dengan Berat Badan Lahir pada Bayi di RSUP Dr. M. Djamil Padang Putri Rahmawati; Mayetti Mayetti; Sukri Rahman
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v7i3.894

Abstract

Sepsis neonatorum merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah utama pada neonatus saat ini, karena banyaknya faktor risiko yang belum dapat dicegah.Salah satu faktor risiko tersebut adalah berat badan lahir rendah atau lebih. Tujuan penelitian ini adalah menentukan hubungan sepsis neonatorum dengan berat badan lahir pada bayi di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jenis penelitian ini adalah analitik retrospektif dengan metode case control study. Populasi adalah seluruh neonatus yang mengalami sepsis neonatorum (kasus) dan yang tidak mengalami sepsis neonatorum (kontrol) yang diambil dari data rekam medik RSUP.Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2014 sampai Juli 2016. Subjek penelitian adalah populasi dengan data rekam medik yang lengkap. Hasil penelitian diolah dengan uji Chi-square. Jumlah subjek penelitian adalah 162 orang yang terdiri dari 81 kasus dan 81 kontrol. Dari 81 neonatus yang mengalami sepsis neonatorum, 43 diantaranya mengalami sepsis dengan late onset sepsis, 38 dengan early onset sepsis, 25 dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan 56 tidak BBLR. Setelah dilakukan uji hubungan antara sepsis neonatorum dengan berat badan lahir menggunakan uji Chi-square didapatkan nilai p=0,601, OR=1,276, CI= 0,643-2,530. Simpulan studi ini ialah tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sepsis neonatorum dengan berat badan lahir bayi. BBLR memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami sepsis daripada yang tidak BBLR.
MUKOSITIS PADA ANAK KANKER YANG MENJALANI KEMOTERAPI DI RSUP dr.M.DJAMIL PADANG Hidayatul Hasni; Mayetti Mayetti; Dwi Novrianda
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 8, No 4 (2019): Online December 2019
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v8i4.1128

Abstract

AbstrakMukositis merupakan suatu peradangan pada membran mukosa yang sering terjadi pada anak yang menderita kanker saat kemoterapi. Tujuan: Melihat gambaran kejadian mukositis sebelum dan sesudah dilakukan kemoterapi. Metode: Desain penelitian yaitu deskriptif terhadap 45 responden yaitu anak dengan kanker yang menjalani kemoterapi. Pengambilan sampel dengan purposive sampling. Pengumpulan data pada responden dengan menggunakan WHO mucositis scale. Analisa data menggunakan distribusi frekuensi. Hasil: Didapatkan sebelum menjalani kemoterapi seluruh responden (100%) tidak mengalami mukositis, sementara itu setelah menjalani kemoterapi didapatkan 28 responden (62,2%) mengalami mukositis dan 17 responden (37,8%) tidak mengalami mukositis. Simpulan: Deteksi dini mukositis sangat perlu sekali melalui pemeriksaan klinis yang dilakukan setelah anak menjalani kemoterapi. Perawat dapat mempertimbangkan dampak yang sering terjadi pada anak yang menjalani kemoterapi, serta adanya evidance practice yang diterapkan untuk mengatasi kejadian mukositis. 
Uji Diagnostik CD64 Netrofil untuk Sepsis pada Anak dengan Systemic Inflammatory Response Syndrome Herlina Herlina; Mayetti Mayetti; Husna Yetti
Sari Pediatri Vol 20, No 2 (2018)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp20.2.2018.79-84

Abstract

Latar belakang. Sepsis merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada anak. Diagnosis dini sepsis sangat penting untuk menghindari keterlambatan atau overtreatment pemberian antibiotik. Kultur darah memerlukan waktu yang lama sehingga dibutuhkan suatu marker yang bisa menentukan diagnosis sepsis secara dini. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan CD64 netrofil sebagai salah satu marker untuk deteksi dini sepsis.Metode. Penelitian cross sectional dilakukan di IGD RS Dr. M. Djamil Padang. Dilakukan pemeriksaan index CD64 netrofil dan kultur bakteri darah sebagai baku emas pada anak dengan systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Analisis stastistik dilakukan untuk menetapkan cut off point index CD64 netrofil untuk diagnosis sepsis.Hasil. Rerata index CD64 netrofil lebih tinggi pada kultur bakteri darah yang positif. CD64 netrofil memiliki sensitivitas 95,8%, spesifisitas 81,6%, nilai prediksi positif 76,7%, dan nilai prediksi negatif 96,9% dengan penetapan cut-off point 1,5. Pada penelitian ini didapatkan nilai cut off point 1,49.Kesimpulan. Indeks CD64 netrofil dapat digunakan sebagai parameter diagnostik pada sepsis. Nilai cut-off point index CD64 netrofil yang direkomendasikan sebagai batasan sepsis pada anak dengan SIRS adalah 1,49 atau 1,5.
Pola Bakteriologis dan Uji Sensitivitas pada Sepsis Neonatorum Awitan Dini Mayetti Mayetti; Ied Imilda
Sari Pediatri Vol 11, No 5 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (178.98 KB) | DOI: 10.14238/sp11.5.2010.326-9

Abstract

Latar belakang. Insidens sepsis neonatorum di negara berkembang masih tinggi sekitar (1,8-18/1000). Diagnosis dan tata laksana dini sangat penting dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian pada neonatus.Tujuan. Mengetahui insidens sepsis neonatorum, bakteri penyebab serta sensitivititas dari antibiotik yang digunakan.Metode. Penelitian retrospektif pada neonatus yang dirawat di Ruang Perinatologi Risiko Tinggi (Peristi) level II RSUP Dr. M. Djamil Padang, 1 Januari sampai 30 Juni 2009. Subjek penelitian adalah semua neonatus dengan sepsis neonatorum awitan dini disertai biakan darah positif. Kriteria eksklusi apabila data rekam medis tidak lengkap.Hasil. Terdapat 53 neonatus yang didiagnosis sepsis neonatorum dini dengan biakan darah yang positif. Staphylococcus aureus (32,6%) merupakan penyebab yang terbanyak diikuti oleh Klebsiella sp dan Enterobacter sp (masing-masing 22,6%). Sulbactam-sefoperazon dan meropenem merupakan antibiotik yang paling sensitif terhadap mikroorganisme tersebut.Kesimpulan. Bakteri terbanyak penyebab sepsis awitan dini pada 13 neonatus adalah Staphylococcus aureus. Sulbactam-sefoperazon dan meropenem merupakan antibiotik paling sensitif.
Hubungan Gambaran Klinis dan Laboratorium Sebagai Faktor Risiko Syok pada Demam Berdarah Dengue Mayetti Mayetti
Sari Pediatri Vol 11, No 5 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.5.2010.367-73

Abstract

Latar belakang. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis dengan angka kematian yangmasih tinggi. Gambaran klinis bervariasi, pasien yang awalnya tampak ringan dapat mengalami syok danmeninggal. Sampai saat ini masih sulit mengetahui mana di antara pasien yang akan mengalami syok.Tujuan. Mengetahui hubungan gambaran klinis dan parameter laboratorium sebagai faktor risiko syokpada pasien DBD.Metode. Penelitian kohort retrospektif data rekam medik pasien DBD (kriteria WHO 1997) yang dirawatdi RS. M. Djamil Padang pada Januari-Desember 2007. Dicatat umur, jenis kelamin, status gizi, suhu,manifestasi perdarahan, hepatomegali, nilai hemoglobin, leukosit, hematokrit, dan trombosit saat masukrumah sakit serta derajat DBD, dihubungkan dengan kejadian syok. Analisis memakai uji chi-square,fischer’s exact, risiko relatif dan analisis multivariat regresi logistik.Hasil. Dari 259 pasien yang memenuhi kriteria penelitian, 119 (46%) mengalami syok. Pasien dengansuhu <37,5 oC, perdarahan spontan, dan hepatomegali mengalami syok berturut-turut 55,3%, 90,5%, dan71,9%. Pasien dengan hemoglobin >14 gr%, leukosit >10000/ mm3, hematokrit >50 vol% dan trombosit<20000/ mm3 berturut-turut mengalami syok 65,4%, 70%, 79,3% dan 70%, berbeda bermakna dibandingyang tidak syok (p<0,05). Kemungkinan mengalami syok lebih besar (+2 kali) apabila suhu <37,5oC,perdarahan spontan, hepatomegali, hematokrit >42 vol%, hemoglobin >14gr%, leukosit >5000/mm3 dantrombosit <50000/ mm3. Analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling berhubungan dengan syokadalah suhu, perdarahan spontan, hepatomegali, jumlah trombosit, hematokrit, dan leukosit (p<0,05).Kesimpulan. Gambaran klinis berupa perdarahan spontan, hepatomegali, suhu tubuh dan parameterlaboratorium yaitu jumlah trombosit, hematokrit, leukosit paling berhubungan, dan merupakan faktorrisiko syok pada DBD.
High Sensitivity C-Reactive Protein sebagai Parameter Diagnostik dan Prediktor Luaran Sepsis pada Anak yang Menderita Systemic Inflammatory Response Syndrome Sofni Sarmen; Mayetti Mayetti; Hafni Bachtiar
Sari Pediatri Vol 16, No 4 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (94.383 KB) | DOI: 10.14238/sp16.4.2014.278-83

Abstract

Latar belakang. Sepsis merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada anak. Diagnosissepsis ditegakkan berdasarkan gejala Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan penemuan bakteripada kultur darah. Kultur bakteri darah memiliki sensitifitas yang rendah dan membutuhkan waktu yanglama sehingga sering menyebabkan terjadinya overdiagnosis dan overtreatment. C-reactive protein adalahreaktan fase akut yang kadarnya meningkat pada keadaan infeksi. High sensitivity C-reactive protein (hs-CRP) adalah metode yang lebih sensitif untuk mengukur kadar CRP dalam jumlah kecil.Tujuan. Mengetahui peran hs-CRP sebagai parameter diagnostik dan prediktor luaran sepsis pada anakyang menderita SIRS.Metode. Penelitian uji diagnostik dengan desain potong lintang terhadap 85 anak dengan gejala SIRS berusia1 bulan sampai dengan 15 tahun dan dirawat di bangsal anak RS.Dr.M.Djamil Padang sejak Juni sampaiNovember 2012. Pemeriksaan hs-CRP dilakukan dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).Data dianalisis dengan SPSS serta dilakukan uji diagnostik. Baku emas sepsis adalah biakan darah.Hasil. Cut off point hs-CRP untuk menentukan sepsis adalah 15,55 ng/ml, (sensitivitas 90,9% dan spesivisitas53,8%). Kadar rata-rata hs-CRP meningkat sesuai dengan beratnya penyakit.Kesimpulan. High sensitivity C-reactive protein dapat dijadikan sebagai parameter diagnostik sepsis padapasien SIRS dengan cut off point 15,55 ng/ml, serta dapat dipakai sebagai prediktor luaran sepsis.
Kolonisasi Kuman dan Kejadian Omfalitis pada Tiga Regimen Perawatan Tali Pusat pada Bayi Baru Lahir Riza Yefri; Mayetti Mayetti; Rizanda Machmud
Sari Pediatri Vol 11, No 5 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp11.5.2010.341-7

Abstract

Latar belakang. Infeksi merupakan penyebab terbanyak kematian bayi baru lahir dan salah satunya disebabkanoleh infeksi tali pusat (omfalitis). Untuk mencegah timbulnya omfalitis bermacam antiseptik atauantimikroba sudah digunakan secara luas. Rekomendasi pemilihan regimen perawatan harus didasarkanpola kolonisasi kuman di institusi tersebut. Badan Kesehatan dunia WHO dan AAP merekomendasikanperawatan tali pusat cara kering tanpa antiseptik ataupun antimikroba.Tujuan. Mengetahui pola kolonisasi kuman, kejadian omfalitis, dan lama puput tali pusat pada regimenperawatan dengan alkohol 70%, povidon iodin 10%, dan cara kering di RS Dr. M. Djamil Padang.Metode. Penelitian klinis eksperimental di Ruang Rawat Kebidanan dan Rawat Gabung RS dr. M. Djamilselama April hingga Agustus 2009. Bayi yang memenuhi kriteria penelitian dirandomisasi untuk mendapatkansatu metode perawatan tali pusat dengan alkohol 70%, povidon iodin 10%, atau cara kering. Swabumbilikal untuk biakan kuman dilakukan di rumah sakit saat bayi berusia 48-72 jam. Bayi diamati sampaitali pusat puput. Analisis data dengan uji chi-square dan Fischer exact.Hasil. Jumlah bayi yang diteliti 147, masing-masing kelompok terdiri dari 49 bayi. Hasil biakan ditemukanpertumbuhan kuman 97,3%, di antaranya 47,5% ditumbuhi lebih 1 kuman (polimikroba). Klebsiella speciesdan Staphylococcus aureus merupakan kuman dominan pada ketiga regimen. Kuman Gram negatif lebihbanyak dari Gram positif. Ditemukan satu kasus omfalitis pada cara kering. Lama puput tali pusat lebihcepat pada cara kering.Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan kolonisasi kuman pada ketiga regimen perawatan tali pusat. Kejadianomfalitis ditemukan satu kasus pada cara kering. Lama puput tali pusat lebih cepat pada cara kering.