Claim Missing Document
Check
Articles

Found 36 Documents
Search

NADRAN SEBAGAI MODEL FESTIVAL PESISIR DI CIREBON Yanti Heriyawati; Afri Wita; Juju Masunah
PANGGUNG Vol 33, No 2 (2023): Ideologi, Identitas, dan Kontekstualitas Seni Budaya Media
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v33i2.2442

Abstract

Nadran merupakan ritual tahunan masyarakat pesisir Cirebon untuk merayakan pesta nelayan. Pusat penyelenggaraan peristiwa sakral ini di Makam Gunung Djati yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan keraton. Kajian ini menjelaskan bagaimana ritual nadran sebagai model festival pesisir yang merepresentasikan peristiwa pesta rakyat dan raja dalam memaknai integritas sosial dalam ruang dan waktu terpilih. Metode kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi pengemasan ritual nadran sebagai festival pesisir dalam menjaring komunitas seni pesisir untuk mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal. Festival pesisir yang dilaksanakan kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan keraton. Festival memberi ruang bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan produksi karya/produk kreatif; menciptakan panggung seni pertunjukan; para pelaku, seniman, dan creator memiliki ruang dialog dan jejaring untuk membangun integritas bangsa melalui seni dan ritual. Perubahan masyarakat dalam memaknai realitas memacu jiwa kebertahanan dan sikap kesiapan untuk bersaing secara kompetitif sehingga terus menghasilkan karya yang berkualitas.
Memotret Dunia Anak Autis dalam Fotografi Liam’s World Karya Erin Lefevre Adinatasya Luthfiyyah Rahardian; Yanti Heriyawati
Rekam : Jurnal Fotografi, Televisi, Animasi Vol 20, No 1 (2024): April 2024
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/rekam.v20i1.11460

Abstract

Fotografi dokumenter dapat memvisualisasikan secara jelas gagasan dan tulisan yang dibuat oleh seorang fotografer jurnalistik. Erin Lafevre adalah salah satu fotografer dokumenter di New York City yang mengabadikan aktivitas keseharian dari adiknya yang didiagnosa autisme. Kajian ini dilakukan pada tiga karya foto Erin Lafevre dari keseluruhan karya berjudul Liam’s World. Metode EDFAT diterapkan untuk mengidentifikasi tanda-tanda pada foto. Teori semiotika Roland Barthes digunakan untuk menganalisis makna denotasi dan konotasi dari ketiga karya foto yang dikaji. Secara denotatif foto-foto tersebut menunjukkan Liam sebagai anak autis ketika komunikasi tidak melihat lawan bicaranya, berbeda fokusnya ketika interaksi sendiri seperti menggambar atau menyentuh benda tertentu. Secara konotatif, anak autis sulit fokus saat interaksi dengan orang lain dan mudah terdistraksi dengan benda menarik lainnya yang ada di sekitarnya, sisi lain kemandiriannya dapat diasah secara optimal. Hasil kajian menunjukkan foto-foto tersebut mampu menangkap peristiwa secara objektif. Liam sebagai anak autis aktivitasnya tertangkap kamera yang menunjukkan bagaimana karakteristik dan kecenderungan anak autis dalam berbagai macam aktivitas: cara merespon, berinterkasi, dan berkomunikasi. Foto memiliki cara sendiri dalam bercerita dan bersuara melalui visual.  Kata kunci: autis, fotografi, semiotika
VISUALIZATION OF FOOD PHOTOGRAPHY IN THE GOFOOD MENU IN MAJALAYA Andri Setiawan; Yanti Heriyawati; Sukmawati Saleh
Arty: Jurnal Seni Rupa Vol 11 No 1 (2022): Regular Issue
Publisher : Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/arty.v11i1.58261

Abstract

Fotografi makanan merupakan salah satu bentuk fotografi komersil, dan berperan sebagai media promosi. Fotografi makanan memiliki peran penting dalam proses komunkasi visual sebuah produk. Gofood hadir sebagai layanan delivery service yang terintegrasi dengan sebuah aplikasi, dapat membantu masyarkat dalam memperluas penjualan. Digitalisasi menu-menu yang ada di Gofood tidak terlepas dari sentuhan fotografi makanan. Terdapat kesenjnagan visualisasi foto makanan yang hadirkan anatara pengusaha bisnis kuliner yang ada di menu Gofood sekitar wilayah Majalaya. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyebab faktor penyebab kesenjangan visualiasi yang ada didalam menu Gofood di wilayah Majalaya. Dengan menggunana metode penelitian deskriptif kualtiatif melalui pengamatan foto makanan pada menu Gofood. Analisis menggunakan teori retorika visual dengan pendekatan segitiga retoris yang mana sebuah foto dapat memberikan efek persuasi secara tidak langsung. Hasil dari penelitian ini terdapat kesenjangan visuasilasi foto yang dihasilkan antara setiap pengusaha kuliner. Abstrac ___________________________________________________________________ Food photography is a form of commercial photography and acts as a promotional medium. Food photography has an important role in the process of visual communication of a product. Gofood is here as a delivery service that is integrated with an application, which can help the community expand sales. Digitizing the menus at Gofood cannot be separated from the touch of food photography. There is a gap in visualizing food photos that are presented between culinary business entrepreneurs on the Gofood around the Majalaya area. This writing aims to discover the causes of the visualization gaps in the Gofood in the Majalaya area. By using qualitative descriptive research method by observing food photos on Gofood. The analysis uses visual rhetoric theory with a rhetorical triangle approach in which a photo can provide an indirect persuasive effect. This study’s results show a gap in the resulting photo visualization between each culinary entrepreneur.
DEFORESTATION ISSUE CONSTRUCTION FROM THE TAKNALAWE’ EPIC OFDAYAKKAYAAN WEST KALIMANTAN Budi, Budi; Herdiani, Een; Heriyawati, Yanti
JADECS (Journal of Art, Design, Art Education & Cultural Studies) Vol 8, No 2 (2023)
Publisher : Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17977/um037v8i22023p138-151

Abstract

Takna' Lawe' is an oral tradition of the Kayaan people. Lii' Long and Ding Ngo wrote down this oral tradition in a book entitled Poetry Lawe'. The epic Takna' Lawe' is famous for the story of heroism and love from the figure of Lawe'. Apart from this story, there are also signs from the Takna' Lawe epic which constructs the issue of deforestation. This study is focused on the interpretation of the signs in the episode "Hingaan Stuck in Beraan". This episode is found in the book Poetry Lawe', which was rewritten in prose in Indonesian. The purpose of this research is to reveal the meaning behind the story in the hope that people will become aware of the dangers of deforestation that are currently happening in Kalimantan. This study uses qualitative methods with Paul Ricoeur's hermeneutical approach. The analysis is carried out through the stages of semantic meaning, phenomenological meaning, and ontological meaning to produce a new contextual meaning. The results of the research show that there is a meaning that leads to the issue of deforestation, namely exploitation and destruction of forests, the anger of nature, and disasters for natural destroyers, including actions against ancestral teachings.
Exploring the Indonesian Maritime Art toward Appreciation of Coastal Literacy Heriyawati, Yanti; Wita, Afri
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 22, No 2 (2022): December 2022
Publisher : Department of Drama, Dance and Music, FBS, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v22i2.37140

Abstract

There are many global literatures of art appreciation, but only few of them focus on maritime art appreciation. Filling the vacancy requires study of how the community or public values maritime art works in the context of coastal community’s literacy. This paper aims to show appreciation of Indonesian maritime art works. It presents the results of maritime art appreciation through Focus Group Discussion (FGD). The participants consisted of academician, governmental official, artist, creator, community, kiyai, and student. The maritime art works which are appreciated were “Segara Garam’ and “Tasbih Pesisir”. They are considered as natural and virtual art works. Respondents’ insight, knowledge, and experience showed varied perceptions. Participants with maritime culture background were quite expressive in expressing the importance of local wisdom values of the coastal community. Meanwhile the respondents without maritime culture background paid more attention on artistic and aesthetic aspects, instead of on meaning. Sociocultural difference influenced how they appreciated and produced the knowledge of maritime culture. Respondents’ cognition and affective abilities show varied interpretation, perception, and meaning of art values. Their experience of appreciation showed the importance of perception of maritime art in actualizing local genius. The appreciation of maritime art was performed to improve people’s awareness of strengthening maritime culture literacy.
RELASI KUASA DALAM PRAKTIK SUKUR BUMI Yanti Heriyawati
Jurnal Kawistara Vol 2, No 2 (2012)
Publisher : Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/kawistara.3973

Abstract

This writing is a study on the form of power relations in Sukur Bumi as a cultural practice. Sukur Bumi is a sacred ritual activity conducted by the people in Rancakalong as a gratitude of their harvest. Power is not only meant as authority and hegemony, but also as symbolic power. The power has its power to construct knowledge and truth. The power relation is in three level, that is, between the society and Sukur Bumi, the government and the society, and between the society, Sukur Bumi, and the government. In the end, Sukur Bumi has its own power. Its meaning and symbols has the power to control the society and the government. Without Sukur Bumi, both the government and the society do not have their sphere to construct the power.
Pembelajaran Seni Budaya Indonesia dalam Nuansa Interkultural Program Internasional “Darmasiswa” di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung Enok Wartika; Yanti Heriyawati
PANGGUNG Vol 24 No 3 (2014): Identitas dalam Bingkai Seni
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v24i3.121

Abstract

ABSTRACT STSI Bandung is one of the higher education institutions participating in the government’s pro- gram of international cultural promotion “Darmasiswa”. “Darmasiswa” is a program of cultural di- plomacy aims at improving cooperation with countries which have diplomatic relationships with Indo- nesia and promoting good image of Indonesia among people of other countries. This paper is a study of transfer process of art learning in the cultural diversity of the “Darmasiswa” participants. This study used a qualitative approach with the case study method. The complexities of multicultural interac- tion are found in the process. Those complexities include trans-cultural communication, international communication and cross-cultural communication. Multicultural arts learning process is delivered in a variety of learning methods. Attractiveness and uniqueness of the art teaching materials  is a force that can help to bridge any cultural differences among the participants of the international student program. Keywords: darmasiswa, intercultural communication, promotion, culture    ABSTRAK STSI Bandung merupakan salah satu lembaga pendidikan tinggi yang berpartisipasi dalam program promosi budaya internasional pemerintah “Darmasiswa”. “Darmasiswa” adalah pro- gram di bawah  diplomasi kebudayaan yang tujuannya untuk lebih meningkatkan hubungan kerja antar negara, sekaligus guna menanamkan image yang baik tentang Indonesia di mata dunia. Tulisan ini merupakan hasil penelitian terhadap   proses penyelenggaraan program “Darmasiswa” dalam mentransfer pembelajaran seni Indonesia yang pesertanya memiliki ke- beragaman latar belakang budaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Di dalam prosesnya ditemukan hal menarik yaitu kompleksitas interaksi multikultural  di antaranya; komunikasi interkultural, komunikasi internasional, dan komu- nikasi lintas budaya. Proses pembelajaran seni bernuansa multikultural ini telah memadukan berbagai metode pembelajaran. Daya tarik dan keunikan materi ajar kesenian,  diharapkan mampu membantu  menjembatani segala perbedaan budaya di antara mahasiswa internasi- onal. Kata kunci: Darmasiswa, komunikasi interkultural, promosi, budaya
Model Rekam Jejak Ritual Ngabubur dalam Film Dokumenter Yanti Heriyawati; Enok Wartika; Apip -
PANGGUNG Vol 23 No 4 (2013): Membaca Tradisi Kreatif, Menelisik Ruang Transendental
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v23i4.151

Abstract

ABSTRACT This study describes how the ngabubur ritual is represented into a documentary film. The factual data of Ngabubur ritual is collected through ethnographic methods. In terms of methods, the film was made through some stages: designing, researching, shooting, editing and finishing. Ngabubur is an annual ritual of Rancakalong society as a form of Sukur Bumi, an act of gratitude from agricultural products that have been enjoyed by the community. The Film narrative is based on the actual event structures. The meaning given to the film is greatly influenced by the propriety and authenticity of its images. Keywords: documenter film, ngabubur, etnografi, and narrative  ABSTRAK Ritual ngabubur direpresentasi ke dalam bentuk film dokumenter. Data faktual ritual ngabubur dikumpulkan melalui metode etnografi. Secara metodis film dibuat melalui tahap perumusan design, research, shooting, editing, dan finishing. Ngabubur merupakan ritual tahun- an masyarakat Rancakalong sebagai bentuk sukur bumi, wujud syukur dari hasil bumi yang telah dinikmati oleh masyarakat. Naratif film dibuat berdasarkan struktur peristiwanya. Pemaknaan filmnya sangat dipengaruhi oleh kebenaran citra dan keotentikan dalam pe- nyajiannya. Kata kunci: film dokumenter, ngabubur, etnografi, dan naratif
Kearifan Lokal Hajat Laut Budaya Maritim Pangandaran Yanti Heriyawati; Een Herdiani; Ipit Saefidier Dimyati
PANGGUNG Vol 30 No 2 (2020): Identitas Sosial Budaya dan Ekonomi Kreatif
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v30i2.1169

Abstract

ABSTRACTHajat Laut (sea celebration) as a tradition of Pangandaran coastal community has been changing as thechanging of the people’s social structure. Pangandaran, a regency which is famous of sea tourism object,still maintains the ritual of Hajat Laut containing local wisdom. This writing is aimed at analyzinghow Hajat Laut as a primordial cultural heritage of nautical community adapts with the social economydevelopment of the people. Mircea Eliade’s view is applied to trace the old views containing local wisdom.Meanwhile, Thomas Kuhn’s proposition bridges the discussion on paradigm dynamics toward theevents of Hajat Laut. in addition to literature study, the data are obtained through observation basedon characteristics of qualitative research. The result shows that Hajat Laut as the heritage of primordialsociety passes through an interpretation process from each of the generations. The anomaly existingin the process of paradigm debates place Hajat Laut in the presence and position adjusting to the livedevelopment need of Pangandaran society as a tourism city. At the same time, the economic, social, andreligious needs are fulfilled by keep maintaining the local wisdom of the culture.Keywords: local wisdom, hajat laut, coastal, PangandaranABSTRAKHajat Laut sebagai tradisi masyarakat pesisir Pangandaran telah mengalami perubahandengan perubahan struktur sosial masyarakatnya. Pangandaran sebagai kabupaten yangterkenal dengan objek wisata laut ini masih menyimpan ritual Hajat Laut yang bermuatankearifan lokal. Tulisan ini bertujuan mengkaji bagaimana Hajat Laut sebagai warisan budayaprimordial masyarakat laut mengalami proses adaptasi dengan perkembangan sosial ekonomimasyarakatnya. Pemikiran Mircea Eliade digunakan untuk menelusuri jejak-jejak pemikiranlama yang bermuatan kearifan lokal. Sementara pandangan Thomas Kuhn menjembatani dalampembahasan dinamika paradigma terhadap peristiwa Hajat Laut. Selain studi pustaka, datadatapenelitian dikumpulkan melalui observasi berdasarkan karakteristik penelitian kualitatif.Hasil kajian menunjukkan bahwa, Hajat Laut sebagai warisan masyarakat primordial melewatiproses interpretasi dari setiap generasinya. Anomali yang terjadi dalam proses perdebatanparadigma menempatkan Hajat Laut kini hadir dan mengalir sesuai dengan perkembangankebutuhan hidup masyarakat Pangandaran, sebagai kota wisata. Secara bersamaan pemenuhankebutuhan ekonomi, sosial, dan religi terpenuhi dengan tetap mempertahankan nilai-nilaikearifan lokal budayanya.Kata Kunci: kearifan lokal, hajat laut, pesisir, Pangandaran
NADRAN SEBAGAI MODEL FESTIVAL PESISIR DI CIREBON Yanti Heriyawati; Afri Wita; Juju Masunah
PANGGUNG Vol 33 No 2 (2023): Ideologi, Identitas, dan Kontekstualitas Seni Budaya Media
Publisher : LP2M ISBI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26742/panggung.v33i2.2442

Abstract

Nadran merupakan ritual tahunan masyarakat pesisir Cirebon untuk merayakan pesta nelayan. Pusat penyelenggaraan peristiwa sakral ini di Makam Gunung Djati yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan keraton. Kajian ini menjelaskan bagaimana ritual nadran sebagai model festival pesisir yang merepresentasikan peristiwa pesta rakyat dan raja dalam memaknai integritas sosial dalam ruang dan waktu terpilih. Metode kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi pengemasan ritual nadran sebagai festival pesisir dalam menjaring komunitas seni pesisir untuk mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal. Festival pesisir yang dilaksanakan kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan keraton. Festival memberi ruang bagi masyarakat pesisir untuk meningkatkan produksi karya/produk kreatif; menciptakan panggung seni pertunjukan; para pelaku, seniman, dan creator memiliki ruang dialog dan jejaring untuk membangun integritas bangsa melalui seni dan ritual. Perubahan masyarakat dalam memaknai realitas memacu jiwa kebertahanan dan sikap kesiapan untuk bersaing secara kompetitif sehingga terus menghasilkan karya yang berkualitas.