Rosita Indrayati
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Jember Jln. Kalimantan 37, Jember 68121

Published : 31 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 31 Documents
Search

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN Sianipar, Veronica Agnes; Mulyono, Eddy; Indrayati, Rosita
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (241.626 KB)

Abstract

Pengaturan atas hak asasi manusia telah dijamin dan dilindungi dalam UUD NRI 1945 serta UU HAM itu, maka dari itu seharusnya tidak perlu lagi dibuat pengaturan oleh undang-undang untuk memastikan adanya kemerdekaan atau kebebasan bagi setiap orang itu untuk berorganisasi dalam wilayah negara Republik Indonesia. Hanya saja, bagaimana cara kebebasan itu digunakan, apa saja syarat-syarat dan prosedur pembentukan, pembinaan, penyelenggaraan kegiatan, pengawasan, dan pembubaran organisasi itu tentu masih harus diatur lebih rinci, yaitu dengan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Karena alasan itulah, pemerintah memandang perlu untuk menyusun satu undang-undang berdasarkan ketentuan UUD 1945 sebelum reformasi, yaitu UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Akan tetapi, UU Ormas yang lama tersebut sudah tidak relevan lagi dengan dinamika masyakarat kini yang kemudian mendorong lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2013 sebagai UU Ormas yang baru. UU Ormas yang baru diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan untuk mengatur ruang lingkup dan definisi ormas secara jelas terkait dengan aspek legal administratif. Walaupun demikian, nyatanya UU Ormas yang baru masih meninggalkan beberapa masalah sehingga perlu ditinjau apakah UU Ormas yang baru tersebut telah sesuai dengan konstitusi serta dapat melindungi hak asasi manusia dari tindakan anarkis melalui sanksi yang tercantum dalam batang tubuh UU tersebut. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia, Perlindungan Hukum, Tindakan Anarkis
PENGATURAN DANA KAMPANYE PEMILIHAN UMUM SEBAGAI TANGGUNG JAWAB CALON ANGGOTA LEGISLATIF BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH Anjalline, Irwan; Anggraini, R.A. Rini; Indrayati, Rosita
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (215.876 KB)

Abstract

Tuntutan dana kampanye yang begitu besar ini menjadikan peserta pemilu harus berusaha menyiapkan dana. Dana yang digunakan peserta pemilu dapat berasal dari peserta pemilu maupun sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Namun, dari dana yang dikumpulkan muncul berbagai persoalan mengenai keabsahan dana tersebut, maupun pengaruh dana yang disumbangkan terhadap tanggung jawab peserta pemilu. Disamping partai politik membutuhkan dana besar untuk membiayai kampanye, di pihak lain besarnya dana kampanye yang disumbangkan pada partai politik membuat partai politik terjebak dalam kepentingan penyumpang dan seakan melupakan kepentingan rakyat. Kata Kunci: Pemilu, Dana Kampanye, Peserta Pemilu
KAJIAN YURIDIS TENTANG IZIN PEDAGANG KAKI LIMA DI JALAN JAWA UNTUK MEWUJUDKAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) DI WILAYAH KABUPATEN JEMBER Erlinda, Ryza Dwi; Darma Sutji, Asmara Budi Dyah; Indrayati, Rosita
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (191.688 KB)

Abstract

Perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Jawa tidak terelakkan perkembangannya dari tahun ke tahun semakin banyak dan padat seiring dengan keberadaan mahasiswa yang semakin banyak menuntut ilmu di Universitas Jember. Kadangkala keberadaan Pedagang Kaki Lima tersebut menimbulkan ketidaknyamanan terhadap jalannya lalu lintas disekitar. Pemerintah daerah dalam hal ini mempunyai kewenangan mengatur permasalahan tersebut untuk mewujudkan Pemerintahan yang Baik (Good Governance) sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik (AUPB). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang tindakan pemerintah yang dilakukan untuk menangani permasalahan Pedagang Kaki Lima, kemudian bagaimanakah fakta di masayrakat khususnya mengenai Pedagang Kaki Lima (PKL) apakah sesuai apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu apa yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2008 tentang Pedagang Kaki Lima. Kata Kunci : Pedagang Kaki Lima, Tindakan Pemerintah, Izin, Pemerintahan yang Baik
PENGAWASAN PEMERINTAH TERHADAP PRODUK HUKUM DAERAH (PERATURAN DAERAH) MELALUI MEKANISME PEMBATALAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Sulistyo, Yuri; Antikowati, Antikowati; Indrayati, Rosita
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (212.491 KB)

Abstract

Penerapan sistem otonomi yang diamanatkan UUD NRI 1945 berimplikasi pada terbaginya kekuasaan pemerintah pusat pada pemerintah daerah, hal tersebut didasarkan pada asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. berdasarkan hal tersebut pemerintah daerah berhak membentuk perda untuk mengatur daerahnya, disinilah muncul salah satu peran pemerintah pusat dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pemerintah daerah dengan melakukan pengawasan terhadap perda dengan cara melakukan pengujian perda (excecutive review). Pengujian perda tersebut bermuara pada mekanisme pembatalan perda yang dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan hukum yang lebih tinggi. Namun disini terdapat inkonsisten yang dilakukan oleh pemerintah dalam menggunakan instrumen hukum untuk membatalkan perda. Sudah tegaskan pada UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa pembatalan perda dilakukan oleh Presiden dengan menggunakan Perpres, sedangkan pada Permendagri No. 53 Tahun 2007 Tentang Pengawasan Peraturan Daerah Dan Peraturan Kepala Daerah menyatakan bahwa pembatalan perda APBD, Pajak, Retribusi dan RTRW dilakukan berjenjang oleh Mendagri untuk perda pemprov dengan menggunakan Permendagri dan oleh Gubernur untuk perda Kabupaten/Kota dengan menggunakan Pergub. Tetapi dalam prakteknya pembatalan perda secara keseluruhan dilakukan oleh Mendagri dengan menggunakan Kepmendagri. Disinilah terjadi ketidakkonsistenan dari segi kewenangan dan penggunaan instrumen hukum oleh pemerintah dalam melakukan pembatalan perda. Hal tersebut tentu memiliki implikasi hukum terhadap perda-perda yang telah dibatalkan pemerintah melalui Kepmendagri. Kata Kunci : executive review, pembatalan perda, dan instrumen hukum.
KAJIAN YURIDIS MEKANISME PENCALONAN KEPALA DESA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN DESA Nugroho, Septa Eka; Soetijono, Iwan Racmad; Indrayati, Rosita
e-Journal Lentera Hukum Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : e-Journal Lentera Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (191.779 KB)

Abstract

Proses pencalonan kepala desa di daerah Jember telah diatur didalam peraturan daerah Kabupaten Jember pasal 30 nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintahan desa. Jika dikaji lagi ayat perayat secara mendalam pada pasal 30 peraturan daerah kabupaten Jemebr nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintaha desa mengenai mekanisme pencalonan kepala desa terdapat hal- hal yang tidak sesuai dengan aturan atau undang-undang diatasnya terutama pada hal penyerahan persyaratan menjadi calon kepala desa yang tertera pada pasal 30 ayat (1) peraturan daerah kabupaten Jember nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintahan desa, dimana persyaratan untuk menjadi kepala desa di kabupaten jember mengacu pada pasal 26 peraturan daerah kabupaten jember nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintahan desa, pada persyaratan inilah terdapat suatu syarat tepatnya pada pasal 26 huruf c peraturan daerah kabupaten jember nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintahan desa yang menyatakan bahwa seorang calon kepala desa tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan yang mengkhianati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan adanya persyaratan seperti ini dalam peraturan daerah kabupaten jember khususnya dalam hal pencalonan kepala desa yang tertera dalam mekanisme pencalonan kepala desa pada pasal 30 peraturan daerah kabupaten jember nomor 6 tahun 2006 tentang pemerintahan desa telah melanggar peraturan diatasnya yaitu peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang desa, karena pada dasarnya dalam peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005 khususnya dalam hal persyaratan menjadi kepala desa tidak membubuhkan persyaratan tersebut. Dengan menyertakan syarat yang akhirnya akan menjuru pada tindak diskriminatif seperti itu secara langsung pemerintah Kabupaten Jember telah mellanggar konstitusi dan pancasila . Hal seperti ini tentunya akan menimbulkan konflik pada saat pencalonan Kepala desa Kata Kunci: Mekanisme Pencalonan, Kepala Desa, Pemerintah Desa
QUO VADIS PEKERJA ANAK PADA PERKEBUNAN TEMBAKAU DI KABUPATEN JEMBER INDRAYATI, ROSITA
Petita : Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah Vol 2, No 1 (2017)
Publisher : State Islamic University (UIN) Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.625 KB) | DOI: 10.22373/petita.v2i1.1812

Abstract

Bagian terbesar pekerja anak di dunia bekerja di pertanian dan perkebunan, di mana mereka melakukan berbagai jenis pekerjaan pertanian baik usaha pertanian keluarga berukuran kecil maupun sedang hingga usaha pertanian, perkebunan atau agro industri yang besar. ILO memperkirakan bahwa di seluruh dunia lebih dari 132 juta anak perempuan dan laki-laki berusia 5-14 tahun terlibat dalam kegiatan penanaman, pemananen hasil pertanian, penyemprotan pestisida dan pemeliharaan ternak di wilayah-wilayah pedesaan dan perkebunan. Fenomena pekerja anak di perkebunan Tembakau pada Kabupaten Jember sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai pekerja anak di usaha tembakau seperti yang dilakukan oleh YPSM (1988), Pusat Analisis Sosial Akatiga Bandung (1994 dan 2002), Mahbubah (2003) menunjukkan bahwa masalah pekerja anak dan faktor-faktor yang menyebabkannya merupakan masalah yang “konstan”. Hal ini tentu saja menjadi sangat ironis mengingat tembakau Jember merupakan salah satu produk andalan ekspor bagi tembakau di Indonesia yang banyak memberi keuntungan bagi negara dan pengusaha. Meskipun telah dilarang akan tetapi masih banyak perkebunan di Kabupaten Jember yang mempekerjakan anak, hal ini karena terdapat banyak faktor yang menyebabkan mengapa anak masih banyak yang terlihat di beberapa perkebunan di Kabupaten Jember, salah satunya adalah faktor ekonomi dan faktor pendidikan.
REVITALISASI PERAN HAKIM SEBAGAI PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Rosita Indrayati
Kertha Patrika Vol 38 No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KP.2016.v38.i02.p02

Abstract

Hakim merupakan aktor utama dan amat vital dalam peradilan mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.Proses penegakan hukum sejak zaman orde baru belum banyak memuaskan masyarakat sebagai pencari keadilan. Salah satu persoalan yang muncul dalam hal penegakan hukum di Indonesia sebelum memasuki orde reformasi adalah kekuasaan kehakiman yang belum mandiri secara penuh. Kekuasaan kehakiman yang meliputi elemen Hakim dan Peradilan masih dianggap cukup mudah diintervensi oleh kepentingan kekuasaan dan kepentingan pihak di luar kekuasaan kehakiman. Akibatnya berbagai macam putusan pengadilan sering menjadi kontroversi, janggal dan tidak memuaskan para pencari keadilan. Reformasi kekuasaan kehakiman juga meliputi adanya dorongan untuk merevitalisasi peran Hakim sebagai pilar utama pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Secara sosiologis posisi Hakim sesungguhnya tidak menggambarkan sebagai seorang pejabat Negara. Salah satu bentuk pengawasan yang dapat diterapkan selain pengawasan eksternal dan internal adalah pengawasan oleh masyarakat. Bentuk pengawasan ini adalah pengawasan partisipasif dari seluruh elemen masyarakat. Upaya ini penting, mengingat keterbatasan jumlah sumber daya manusia yang dimiliki oleh Komisi Yudisial dan jarak Komisi Yudisial yang terlampau jauh, yakni berada di Jakarta.
Kewenangan Pemberian Izin Penggunaan Ruang Bawah Tanah dalam Proyek Mass Rapid Transit Jakarta Triasita Nur Azizah; Iwan Rachmad Soetijono; Rosita Indrayati
Lentera Hukum Vol 5 No 2 (2018): LENTERA HUKUM
Publisher : University of Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/ejlh.v5i2.6534

Abstract

As the capital of Indonesia, DKI Jakarta is classified as having the highest population density, resulting in emergent problems in transportation- specifically traffic congestion. The use of basements may be a potential alternative in solving congestion problems in DKI Jakarta. In terms of licensing the use of underground space, used by PT Mass Rapid Transit Jakarta (MRT) as the responsibility of MRT infrastructure implementation and procurement, the authorized licensing is governed through regulation. From a legal perspective, a central issue may be the lack of clear legislation regarding the use of the basement. Therefore, an analysis of the governor’s licensing mechanism is required, as well as the governor’s issue of conformity with regulations, in addition to the legislation pertaining to the crypt. With normative juridical research, this article argues that those authorized to grant permits for the use of basements in an area are public officials, rather than the laws and regulations. The results of the study indicate that the mechanism of licensing the use of basements has been in accordance with the laws, as are the regulations through the regional authority to implement the regional autonomy. Keywords: Underground, Power of Local Government, Permissions
Collective Food Security under the Framework of the ASEAN Community: A Reflection from Indonesia’s Food Policy Gautama Budi Arundhati; Muhammad Bahrul Ulum; Rosita Indrayati
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 6, No 1 (2019): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (428.478 KB)

Abstract

AbstractSince its inception in 1967, the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) has been based upon the common interests of its member states and the principle of solidarity. These two cornerstones have played an important role in the efforts for development of this regional organization. Under the principle of solidarity, ASEAN configures a distinct intergovernmentalism subjected to collective decision-making which emphasizes common understanding, including on how it approaches security concerns. This article aims to discuss and analyze the prospect of the collective food security in ASEAN by taking into account the legal frameworks of food security in the ASEAN community and Indonesia. Specifically, this article reflects the development of ASEAN and the member states’ common problem of providing food for national consumption. ASEAN’s development shows that it has committed to food security. For instance, ASEAN signed the Agreement on the ASEAN Food Security Reserve. However, this institution has not paid enough significant attention to food security and the ASEAN integration pillars are often justified to exempt food security amongst its priorities. Therefore, this article clarifies that food security is an essential part of the pillars. By the inclusion of food security to such pillars and taking account of Indonesia’s experiences, there is an importance for ASEAN to re-consider food security. This consideration is not only to achieve part of its ultimate objectives to bring prosperity but also to ensure regional stability.Ketahanan Pangan Kolektif dalam Kerangka Komunitas ASEAN: Sebuah Refleksi dari Kebijakan Pangan IndonesiaAbstrakSejak didirikan pada 1967, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) berlandaskan pada kepentingan bersama para negara anggota dan prinsip solidaritas. Kedua landasan utama ini memainkan peran penting dalam upaya pembangunan organisasi regional ini. Berdasarkan pada prinsip solidaritas, ASEAN membentuk sebuah kelembagaan intergovernmental yang berbeda dengan keputusan kolektif yang menekankan pada pemahaman bersama, termasuk dalam kaitannya bagaimana organisasi ini menyikapi urusan ketahanan. Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan dan menganalisis prospek ketahanan pangan kolektif di ASEAN dengan mempertimbangkan kerangka hukum ketahanan pangan di komunitas ASEAN dan Indonesia. Artikel ini secara spesifik merefleksikan perkembangan ASEAN dan permasalahan bersama pada negara-negara anggotanya dalam penyediaan pangan untuk memenuhi konsumsi nasional. Perkembangan ASEAN menunjukkan bahwa terdapat komitmen mengenai ketahanan pangan. Misalnya, ASEAN telah melakukan penandatanganan Perjanjian Cadangan Ketahanan Pangan ASEAN. Namun, institusi ini tidak begitu menunjukkan keseriusan terhadap ketahanan pangan dan pilar-pilar integrasi ASEAN seringkali dijustifikasi untuk mengecualikan ketahanan pangan dalam ke dalam daftar prioritas. Oleh karena itu, artikel ini mengklarifikasi bahwa ketahanan pangan sebenarnya sudah tercakup di dalam pilar-pilar tersebut. Dengan dimasukkannya ketahanan pangan dan belajar dari pengalaman Indonesia, ASEAN perlu mempertimbangkan kembali pentingnya ketahanan pangan. Atas pertimbangan tersebut, hal ini dimaksudkan dalam rangka mencapai bagian dari tujuan utama ASEAN yang tidak hanya untuk mewujudkan kesejahteraan tetapi juga memastikan stabilitas regional.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v6n1.a1
5 Penyuluhan Hukum Penyelesaian Masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Desa Kamal Kecamatan Arjasa Kabupaten Jember Tutik Patmiati; Rosita Indrayati; Nurul Laili Fadilah
Warta Pengabdian Vol 11 No 4 (2017): Warta Pengabdian
Publisher : LP2M Universitas Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/wrtp.v11i4.7264

Abstract

Pelaporan bentuk tindakana KDRT dimasyarakat Desa Kamal, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Jember masih dirasa belum perlu dilaporkan oleh masyarakat sekitar. Hal ini dikarenakan adanya alasan bahwa tindakan KDRT merupakan urusan intern keluarga dan orang lain tidak perlu ikut campur untuk kemudian dapat melerai atau bahkan melaporkan tindakan KDRT tersebut. Dari kondisi di atas maka dapat diketahui bahwa masyarakat belum banyak yang tahu bahwa siapa saja dapat melaporkan tindakan tersebut bagi siapa saja yang mengetahui kejadian tersebut. Hal ini sebagai amanah dari adanya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sedangkan jika melihat kondisi di masyarakat ternyata memang untuk KDRT merupakan hal yang tabu untuk diketahui orang lain dan ini merupakan aib bagi kepala keluarga bahwasanya diangap tidak dapat mengurus urusan rumah tangganya dengan baik sampai haru melakukan KDRT kepada anggota keluarganya. Selain itu juga ada perangkat desa yang memang belum tahu bahwa ini juga merupakan tanggung jawab bersama dalam rangka meminimalisir meningkatnya kasus KDRT di Indonesia. Dimana hal ini biasanya berujung pada perceraian pada perkawinan dan psikis anak dari korban KDRT.