Keterbatasan akses air bersih di komunitas adat terpencil masih menjadi tantangan serius akibat hambatan geografis, minimnya infrastruktur, dan rendahnya adopsi teknologi yang selaras dengan konteks sosial-budaya. Sebagian besar program pengolahan air bersih cenderung mengabaikan pemanfaatan bahan lokal dan partisipasi masyarakat, sehingga keberlanjutan intervensi sulit terwujud. Kegiatan ini bertujuan merancang dan mengimplementasikan teknologi penyaring air sederhana berbasis bahan lokal yang adaptif terhadap kearifan masyarakat adat, sekaligus meningkatkan literasi air bersih dan kesehatan komunitas. Menggunakan pendekatan partisipatoris berbasis komunitas dengan desain riset tindakan, kegiatan dilakukan di Dusun Sukatain, Lombok Timur, melibatkan 30 partisipan yang dipilih secara purposif. Tahapan mencakup identifikasi masalah, perancangan dan uji coba filtrasi bertingkat (kerikil, pasir, arang tempurung kelapa), pelatihan praktis, serta monitoring-evaluasi berbasis uji laboratorium dan analisis tematik. Hasil menunjukkan penurunan signifikan kekeruhan (50 NTU menjadi 3 NTU), warna (80 TCU menjadi 5 TCU), dan skor bau (4 menjadi 1), yang memenuhi standar Permenkes RI. Kasus diare turun 80% dan infeksi kulit turun 83% dalam tiga bulan pasca-implementasi. Temuan ini menegaskan bahwa integrasi inovasi teknis dengan kearifan lokal tidak hanya meningkatkan kualitas air, tetapi juga memperkuat kapasitas teknis dan sosial komunitas, menawarkan model replikasi untuk wilayah adat lain di Indonesia. Limited access to clean water in remote indigenous communities remains a critical challenge due to geographical barriers, inadequate infrastructure, and the low adoption of technologies aligned with socio-cultural contexts. Most clean water treatment initiatives tend to overlook the use of locally sourced materials and community participation, resulting in poor sustainability of interventions. This study aimed to design and implement a simple water filtration technology utilizing locally available materials, adaptive to indigenous knowledge, while enhancing clean water literacy and community health. Employing a community-based participatory approach within an action research framework, the project was conducted in Sukatain Hamlet, East Lombok, involving 30 purposively selected participants. The stages comprised problem identification, design and testing of a multi-layer filtration system (gravel, sand, coconut shell charcoal), hands-on training, and monitoring–evaluation based on laboratory tests and thematic analysis. Results demonstrated a significant reduction in turbidity (from 50 NTU to 3 NTU), color (from 80 TCU to 5 TCU), and odor score (from 4 to 1), all meeting the Indonesian Ministry of Health standards. Incidences of diarrhea decreased by 80% and skin infections by 83% within three months post-implementation. These findings underscore that integrating technical innovation with indigenous wisdom not only improves water quality but also strengthens the technical and social capacity of communities, offering a replicable model for other indigenous areas in Indonesia.